BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Adanya faktor penarik suatu perkotaan dan faktor pendorong dari kawasan
perdesaan menjadikan fenomena urbanisasi kerap terjadi di kota-kota di Indonesia. Harapan untuk memperoleh kesejahteraan hidup yang lebih baik menjadi latar belakang masyarakat melakukan perpindahan dari desa menuju kota. Pada kenyataannya harapan tersebut tidak diikuti oleh bekal ilmu maupun keterampilan yang mumpuni untuk menghadapi kehidupan di kota. Keterbatasan lapangan pekerjaan di sektor formal juga menjadi tantangan. Oleh karena itu para pelaku urbanisasi yang “gagal” terpaksa menjadi masyarakat marjinal di perkotaan dan terperangkap dalam kemiskinan serta permasalahan kesejahteraan sosial. Ketidakberdayaan dalam memenuhi kebutuhan untuk bermukim membuat mereka menyusun tatanan permukiman semampunya hingga membentuk permukiman berkarakter kampung-kampung di perkotaan. Kampung kota merupakan tatanan permukiman berkarakter kampung yang berada di tengah-tengah kota. Kebanyakan kampung kota terbentuk dari para migran yang menuju kota dan tidak memiliki kemampuan yang mumpuni untuk hidup di kota (Handayani, 2009). Kebutuhan hunian membuat para migran membangun rumah tinggal seadanya. Perlahan mereka membentuk kelompok dan jumlahnya terus berkembang. Dapat disimpulkan bahwa kampung dalam proses terbentuknya dilakukan secara swadaya oleh masyarakatnya. Karena orientasi mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan hunian, aspek kebersihan dan sarana lainnya tidak menjadi perhatian khusus bagi mereka sehingga permukiman kampung kebanyakan kondisinya kumuh. Karakteristik permukiman di kampung-kampung kota sangat identik dengan kondisi rumah dibawah standar rata-rata yaitu enam meter persegi per orang. Dari segi ketersediaan fasilitas permukiman, kampung kota secara langsung tidak terlayani fasilitas perkotaan karena tidak menjangkau permukiman 1
tersebut. Akibatnya kampung-kampung kota kondisinya kumuh. Selain itu letak kampung-kampung kota secara fisik
memberikan manfaat
pokok bagi
penghuninya yaitu dekat dengan tempat bekerja (opportunity value) dan harga rumah yang murah (asas keterjangkauan) untuk membeli atau menyewa. Oleh karena itu keberadaan permukiman kampung kota mudah ditemukan di sekitar pusat-pusat kegiatan perkotaan, seperti pasar dan terminal (Silas, 1996). Seiring peningkatan urbanisasi yang terjadi, perkembangan permukiman berkarakter kampung yang dibangun oleh migran kian bermunculan di perkotaan. Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) para migran membuat mereka mencari peruntungan di sektor informal yang dianggap tidak memerlukan keahlian khusus dan mudah memperoleh penghasilan seperti pengemis, pengamen, preman, bahkan sebagai pekerja seks. Masyarakat migran yang hanya berorientasi untuk bertahan hidup tanpa ada bekal keterampilan dan pendidikan tadi membuat kampung kota potensial menimbulkan banyak permasalah perkotaan. Kampung kota kerap menjadi sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang di perkotaan, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya. Fenomena keberadaaan kampung-kampung kota di Indonesia tidak hanya ditemukan di kota-kota besar. Saat ini fenomena kampung yang berada di tengah kota juga di jumpai di kota kecil seperti Kota Purwokerto. Salah satu kampung kota yang menarik adalah kampung Sri Rahayu. Kampung Sri Rahayu merupakan kampung yang di bangun oleh para migran. Masyarakat penghuni kampung Sri Rahayu adalah para migran yang hingga kini masyarakatnya silih berganti datang dan memiliki masalah perilaku menyimpang. Kemunculan kampung Sri Rahayu di Kota Purwokerto tidak bisa di lepaskan dari keberadaan terminal Kota Purwokerto. Kemunculan kampung Sri Rahayu berawal pada tahun 1980-an dimana saat itu Kota Purwokerto mulai berkembang menjadi kota transit di Jawa Tengah dengan keberadaan transportasi bus Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) maupun Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP) yang masuk terminal Kota Purwokerto. Aksesibilitas Kota Purwokerto menjadi daya tarik bagi para pelaku urbanisasi. Para migran yang sebagian besar berasal dari luar Jawa ini berbondong-bondong datang melalui terminal.
2
Sayangnya para pendatang yang tiba melalui terminal ini didominasi oleh mereka yang tidak memiliki bekal mumpuni untuk hidup di kota. Mereka yang “gagal” dengan segala keterbatasan terpaksa membuat hunian dan tinggal berkelompok di kawasan sekitar terminal. Pada awal kemunculannya, kelompok migran ini membangun rumah-rumah sebagai tempat tinggal dengan menggunakan papan kayu maupun triplek seadanya. Seiring berjalannya waktu, jumlah mereka kian meningkat hingga terbentuk permukiman berkerakter kampung di tengah Kota Purwokerto yang bernama Kampung Sri Rahayu. Minimnya keterampilan dan rendahnya pendidikan membuat para migran di Kampung Sri Rahayu tidak mampu bersaing di dunia formal pekerjaan. Akibatnya masyarakat migran di kampung Sri Rahayu mencari peruntungan di sektor informal. Masyarakat migran menggantungkan hidup pada aktivitas terminal Kota Purwokerto. Sebagian besar kebanyakan dari mereka bekerja sebagai perempuan pekerja seks, waria, pengamen, dan pengemis. Keberadaan terminal Kota Purwokerto sejak saat itu menjadi urat nadi kehidupan bagi masyarakat Kampung Sri Rahayu. Pada saat sistem pemerintahan masih bersifat Kota Administratif, Kota Purwokerto sejak tahun 1990 terus mengalami perkembangan. Perkembangan pesat kota Purwokerto berimbas pada tuntutan peningkatan terminal guna melayani transportasi keluar-masuk Kota Purwokerto. Oleh karena itu pada tahun 2006 pemerintah daerah Banyumas melakukan pemindahan terminal ke lokasi baru yang lebih luas. Hal itu karena lokasi dan luas terminal yang berada berdekatan dengan Kampung Sri Rahayu dianggap sudah tidak memadai untuk menunjang pelayanan transportasi bagi kota Purwokerto saat itu. Pasca pemindahan lokasi terminal, kawasan terminal lama yang menjadi urat nadi masyarakat Kampung Sri Rahayu menjadi kawasan yang hilang dari bagian Kota Purwokerto. Kondisi tersebut menjadi pukulan bagi masyarakat Kampung Sri Rahayu yang telah puluhan tahun menggantungkan pekerjaan di sektor informal dengan memanfaatkan keberadaan terminal. Masyarakat kampung Sri Rahayu harus kehilangan sumber mata pencaharian mereka untuk bertahan hidup sebagai pemulung, pengamen, pengemis, preman dan pekerja seks.
3
Seiring dengan peningkatan fisik kota Purwokerto yang pesat, kondisi saat ini kawasan di sekitar kampung Sri Rahayu telah berkembang menjadi kawasan permukiman modern. Hal itu ditandai dengan munculnya perumahan – perumahan modern yang mengelilingi kampung Sri Rahayu. Perumahan yang bermunculan diantaranya: Perumahan Wartawan Suara Merdeka (1989), Perumahan Puri Hijau (1995), Perumahan Damri (1997), Perumahan Puri Indah (2000), serta yang seluruh aksesnya terhubung langsung dengan Kampung Sri Rahayu. Sedangkan lahan terminal lama yang sempat terbengkalai dan dimanfaatkan oleh masyarakat Kampung Sri Rahayu yang bekerja sebagai pelacur kini telah berubah menjadi ruang publik bagi masyarakat Kota Purwokerto dengan dibangunnya taman kota dan rekreasi “Andhang Pangrenan” pada tahun 2011 lalu. Meskipun telah terjadi perkembangan kawasan yang pesat di sekitarnya, keberadaan kampung Sri Rahayu tidak terpengaruh. Kampung Sri Rahayu tetap menjadi permukiman kumuh di tengah kota sejak terbangunnya kampung hingga saat ini. Masyarakat kampung Sri Rahayu hingga kini silih berganti datang dan kampung Sri Rahayu menjadi hunian bagi para migran penyandang perilaku menyimpang perkotaan yang sering dipinggirkan keberadaannya, antara lain: pengemis, pengamen, Pekerja Seks Komersial (PSK). 1.2
Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Keberadaan kampung di tengah kota dengan kondisi kumuh dan menjadi
hunian bagi masyarakat migran yang memiliki perilaku menyimpang tentu menimbulkan dilematis tersendiri bagi pemerintah. Permukiman kampung cenderung berkembang secara fisik maupun jumlah masyarakatnya. Keberadaan kampung yang terus meluas akan memberikan pengaruh negatif terhadap wajah kota dan kawasan sekitarnya. Dibutuhkan penataan demi perkembangan fisik kawasan maupun sosial masyarakat yang lebih baik seperti yang terjadi di kampung Sri Rahayu. Berawal dari latar belakang di atas, penelitian kali ini akan mengkaji kehadiran kampung Sri Rahayu di tengah perkembangan pesat kota Purwokerto, meskipun cikal bakal terbentuknya kampung serta sumber penghidupan terminal
4
Kota Purwokerto telah hilang, serta adanya desakan akan perkembangan perumahan modern di sekeliling Kampung Sri Rahayu. Kampung Sri Rahayu tetap bertahan menjadi hunian para pengemis, pengamen, serta Pekerja Seks Komersial (PSK) yang silih berganti datang. Adapun pertanyaan dari penelitian ini adalah, kekuatan-kekuatan apa yang menjadi latar belakang kehadiran dan kebertahanan Kampung Sri Rahayu sebagai hunian para pengemis, pengamen dan PSK di Kota Purwokerto? 1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan kekuatan –
kekuatan yang menjadi latar belakang kehadiran dan kebertahanan kampung Sri Rahayu sebagai hunian para pengemis, pengamen, dan Pekerja Seks Komersial (PSK) di tengah perkembangan pesat kota Purwokerto. 1.4.
Manfaat Penelitian
Manfaat dan hasil dari penelitian ini antara lain: 1. Bagi Akademisi Menambah pengetahuan mengenai kehadiran dan kebertahanan hunian para pengemis, pengamen dan PSK di kampung Sri Rahayu sehingga keberadaan kampung Sri Rahayu ini tetap ada dan bertahan di tengah perkembangan pesat kota Purwokerto. 2. Bagi Pemerintah Menjadi masukan bagi pemerintah untuk menentukan strategi serta kebijakan yang berhubungan dengan penataan permukiman dan perbaikan sosial masyarakat di Kampung Sri Rahayu sesuai bidang Perencanaan Wilayah dan Kota.
1.5.
Batasan Penelitian Pembatasan penelitian dilakukan agar proses penelitian dapat dilakukan
secara terfokus dan terarah, sehingga peneliti dapat mempertajam perumusan masalah yang akan diteliti. Adapun batasan penelitian ini terdiri dari fokus dan lokus, yaitu:
5
1.5.1 Fokus Fokus dari penelitian ini adalah menggali kekuatan-kekuatan yang menjadi latar belakang kehadiran dan kebertahanan kampung Sri Rahayu sebagai hunian para pengemis, pengamen dan PSK di tengah perkembangan pesat Kota Purwokerto. 1.5.2 Lokus Lokus penelitian ini adalah wilayah Kampung Sri Rahayu yang berada di Kelurahan Karanglesem, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas.
1.6.
Keaslian Penelitian Sebuah penelitian dapat ditinjau dari beberapa aspek diantaranya Fokus,
Lokus, dan Metode Penelitian. Adapun dalam penelitian “Kekuatan Kehadiran dan Kebertahanan Kampung Sri Rahayu sebagai Hunian Para Pengemis, Pengamen dan PSK di Kota Purwokerto”, terdapat penjabaran: a. Fokus: Kekuatan-kekuatan yang menjadi latar belakang kampung Sri Rahayu hadir dan bertahan sebagai hunian pengemis, pengamen dan PSK di tengah perkembangan Kota Purwokerto. b. Lokus: Kampung Sri Rahayu c. Metode Penelitian: Induktif – Kualitatif dengan paradigma fenomenologi. Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Untuk mendukung keaslian penelitian, peneliti melakukan pencarian terhadap berbagai penelitian sesuai topik yang diangkat. Topik penelitian mengenai kampung kota memang telah banyak dilakukan. Tetapi kebanyakan penelitian mendalami kampung budaya, kampung etnis, dan kampung kumuh. Penelitian kali ini berbeda, karena penelitian ini mencoba mendalami eksistensi kampung kota yang terbentuk dari masyarakat migran. Kampung ini juga telah membentuk karakter kampung sebagai hunian masyarakat migran penyandang permasalahan sosial di kota Purwokerto. Berikut penjabaran penelitian yang sejenis sebelumnya:
6
Tabel 1.6 – 1 Daftar Penelitian Sebelumnya Jenis / Tahun Skripsi / 2013
No
Judul Penelitian
Pengarang
1.
Keberlanjutan Nilai Program Perbaikan Kampung Sangkrah Kota Surakarta Fenomena Kehidupan Bermukim Masyarakat Permukiman Kumuh Studi Kasus: Bantaran Sungai Karang Mumus Kelurahan Sidodadi Kota Samarinda
Jayanti Arum Nugrahaeni Novarika Suryo
Skripsi / 2011
Penurunan Eksistensi Kampung Pecinan Kembang Jepun (KyaKya) di Kota Surabaya
Joobu Wahyudi
Skripsi / 2014
2.
3.
Fokus
Metode
Perkembangan program perbaikan kampung Budaya bermukim masyarakat di kampung bantaran sungai
Induktif – Kualitatif fenomenologi
Faktor yang mempengaruhi penurunan kampung Pecinan
Studi kasus metode analisis campuran (kualitatif – kuantitatif)
Induktif – kualitatif fenomenologi
Sumber: Analisis Peneliti, 2014
Dari penjabaran diatas memang terdapat kesamaan dari metode penelitian yang digunakan dalam membahas kampung kota yaitu metode induktif-kualitatif fenomenologi. Sejatinya kampung kota merupakan suatu obyek yang menarik karena setiap kampung memiliki sejarah dan keunikan masing-masing untuk tetap bertahan di tengah perkembangan kota. Oleh karena itu dalam melakukan penelitian di kampung kota, pendekatan kualitatif lebih sering digunakan untuk menemukan fakta-fakta yang menarik di lapangan. Berbeda dari penelitian yang telah ada, penelitian kali ini lebih menarik. Kampung Sri Rahayu merupakan kampung kota yang terbangun oleh masyarakat migran. Para masyarakat migran datang melalui terminal dan tinggal mengelompok hingga membentuk kampung di kawasan terminal. Di tengah perkembangan Kota Purwokerto pasca pindahnya terminal yang menjadi urat nadi kehidupan mereka, kampung Sri Rahayu tetap ada hingga sekarang. Selain itu, Kampung Sri Rahayu merupakan permukiman yang kini jumlah masyarakatnya di dominasi oleh masyarakat pendatang yang tergolong ke dalam masyarakat 7
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan memiliki perilaku menyimpang yang didominasi oleh para pengemis, pengamen dan Pekerja Seks Komersial (PSK). Melihat kondisi tersebut, kampung Sri Rahayu tentu memiliki karakter masyarakat yang beragam, sehingga makin menarik untuk membahas kehadiran dan kebertahanan kampung Sri Rahayu sebagai hunian para pengemis, pengamen, dan Pekerja Seks Komersial (PSK) di tengah perkembangan kota Purwokerto.
8