BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah
merupakan
fenomena
politis
yang
menjadikan
penyelenggaraan
pemerintahan yang sentralistik birokratis ke arah desentralistik partisipatoris. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota. Perubahan masyarakat,
ini
dimaksudkan
menumbuhkan
untuk
meningkatkan
semangat
efektivitas
demokratisasi
dan
pelayanan pelaksanaan
pembangunan daerah secara berkelanjutan dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah. Lahirnya Undang-Undang tersebut memberikan implikasi positif bagi dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat “given” dan “uniform” (selalu menerima dan seragam) dari pemerintah pusat, namun justru pemerintah daerah yang mesti mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan sosiokultural masyarakat setempat. Undang-Undang ini juga membuka jalan bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) di satu pihak dan pemberdayaan ekonomi rakyat di pihak lain. Karena dengan otonomi, pemerintahan kabupaten/kota memiliki kewenangan yang memadai untuk mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat (ekonomi rakyat). Jika selama ini program-program pemberdayaan ekonomi rakyat (IDT, misalnya) didesain dari pusat, daerah tidak memiliki kewenangan untuk “berkreasi”, sekaranglah saatnya pemerintah daerah kabupaten/kota menunjukkan kemampuannya. Tantangan, bahwa daerah mampu mendesain dan melaksanakan program yang sesuai dengan kondisi lokal patut disikapi dengan kepercayaan diri
dan tanggung jawab penuh.1 Tujuan utama desentralisasi, daerah semakin mandiri dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya. Keberhasilan otonomi daerah adalah terjadinya peningkatan dalam hal pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sesuai asas money follows function, penyerahan kewenangan daerah juga disertai dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah pusat. Sumber-sumber pembiayaan tersebut akan dimanifestasikan lewat struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kuat, akan menjadi sumber pembiayaan dan mencerminkan kondisi riil daerah. Jika struktur PAD sudah kuat, maka daerah tersebut dikatakan memiliki kemampuan pembiayaan yang juga kuat dan transfer dari pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) hanya bersifat pendukung bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, maka pemerintah pusat memberikan dana subsidi kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN, terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Tujuan dari dana perimbangan adalah untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Sebesar 26 persen dari APBN merupakan sumber dana bagi DAU yang sistem pembagiannya sebesar 10 persen untuk provinsi dan 90 persen untuk kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Namun
tujuan
tersebut
belum
menunjukkan
tanda-tanda
yang
menggembirakan. Yang terjadi dewasa ini justru sebaliknya yaitu daerah makin bergantung terhadap alokasi transfer dari Pemerintah Pusat terutama DAU. Banyak penelitian terdahulu1, menunjukkan suatu fakta yang memprihatinkan yaitu hampir di semua daerah di Indonesia rasio DAU terhadap Total Pendapatan Daerah melebihi angka 50 persen, dengan kata lain tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat masih tinggi dan belum mandiri.
1. Herry Subagyo, “Pengembangan Ekonomi Rakyat di Era Otonomi Daerah”, Artikel Th. I No. 11 - Januari 2003
Sumber : Pendapatan Asli Daerah 1994-2006, DJPK Kemenkeu
Gambar 1. Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor (1994-2006) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor (Gambar 1) dari tahun 2000 menunjukkan peningkatan yang signifikan namun tidak diiringi dengan peningkatan rasio kemandiriannya. Rasio PAD terhadap APBD Kota Bogor sangat rendah yaitu rata-rata dari tahun 2001-2005 sebesar 13 persen, ini berarti pemerintah masih sangat tergantung terhadap dana bantuan dari pemerintah pusat.
Sumber : BPKAD Kota Bogor, 2010
Gambar 2. Perbandingan DAU dan PAD Kota Bogor (2001-2009)
Kemandirian suatu daerah dapat dilihat dari kapasitas fiskal yang dimiliki daerah tersebut, semakin besar kontribusi kapasitas fiskal terhadap penerimaan daerah maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam membiayai seluruh urusan. Tetapi jika persentase kapasitasnya relatif kecil, daerah tersebut sangat tergantung kepada dana perimbangan (Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil), artinya pemerintah daerah mengalami ketergantungan sangat tinggi terhadap dana dari pemerintah pusat. Oleh sebab itu perlu adanya inventarisasi potensi yang ada, dimana potensi tersebut merupakan sumber penerimaan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor, dari sisi pertumbuhan ekonomi Pemerintah Daerah Kota Bogor masih memperlihatkan adanya kecenderungan pertumbuhan ekonomi masih lambat, ini bisa dilihat pada Gambar 3, sehingga dapat dikatakan bahwa belum terlihat adanya keberhasilan desentralisasi fiskal dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, bahkan bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi saat sebelum desentralisasi fiskal lebih tinggi daripada setelah desentralisasi fiskal.
Sumber : BPS Kota Bogor
Gambar 3. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bogor (1994-2006) Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor
tahun 2009 berada pada
kisaran 6,02 persen, capaian ini lebih baik dari laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 yang mencapai 5,98 persen. Pertumbuhan ekonomi Kota Bogor juga
tergambar pada pertumbuhan angka PDRB atas dasar harga yang berlaku di tahun 2009 yang mencapai Rp 12,294 triliyun. Pada Tabel 1 dibawah ini dapat dilihat bahwa tingkat pertumbuhan PAD lebih besar dari tingkat pertumbuhan pendapatan namun demikian proporsi PAD terhadap total pendapatan relatif masih kecil dengan rata-rata sebesar 13,62 persen, hal ini menggambarkan bahwa tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah pada dana perimbangan masih tinggi. Tabel 1. Perkembangan Realisasi Pendapatan Asli Daerah dibandingkan dengan Total Pendapatan Tahun 2004-2008
Tahun
Realisasi PAD ( Juta )
2004 50,644 2005 66,707 2006 69,300 2007 79,819 2008 97,768 Rata-rata Realisasi Per Tahun
Pertumbuhan Realisasi PAD Pendapatan (%) ( Juta ) 31,72 3,89 15,18 22,49
18,32
384,595 421,439 536,012 635,463 718,083
Proporsi Pertumbuhan PAD Pendapatan terhadap (%) Pendapatan 13,17 13,17 15,83 9,58 12,93 27,19 12,56 18,55 13,62 13,00 13,62
17,08
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Kota Bogor Tahun 2004 s/d 2008
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa sumber pendapatan yang dominan bagi APBD Kota Bogor adalah berasal dari pendapatan transfer, baik dana perimbangan dari pusat maupun dari propinsi yaitu mencapai 82,88 persen dari total pendapatan. Sumber terbesar berasal dari Dana Alokasi Umum yang cenderung setiap tahunnya mengalami peningkatan. Demikian pula halnya dengan pendapatan yang berasal dari Dana Bagi Hasil pajak sejak tahun 2004-2008 terus mengalami peningkatan. Namun demikian, penggalian potensi penerimaan dari PAD tetap perlu ditingkatkan melalui penggalian pajak daerah dan retribusi daerah sehingga ketergantungan terhadap dana perimbangan dari Pusat tidak terlalu besar. Berdasarkan perkembangan Dana Alokasi Umum (DAU) Kota Bogor selama kurun waktu lima tahun, yang terlihat pada Tabel 2, besaran Dana Alokasi Umum yang diterima oleh Pemerintah Kota Bogor mengalami
peningkatan, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan fiskal Kota Bogor belum dapat dikategorikan mampu atau mandiri. Tabel 2. Perkembangan Realisasi Pendapatan dari Dana Alokasi Umum Tahun 2004-2008 Tahun
Realisasi ( Rp. )
Pertumbuhan ( Persen )
2004
205.937.147.000
-
2005
214.806.000.000
4,31
2006
302.515.000.000
40,83
2007
359.576.513.600
18,86
2008
397.366.563.000
10,51
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Kota Bogor Tahun 2004-2008
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa pengelolaan keuangan daerah dituangkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang terdiri atas struktur pendapatan, struktur belanja dan struktur pembiayaan daerah, yang dilaksanakan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pendanaan keuangan Pemerintah Daerah Kota Bogor tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor 2010-2014 yang berisi gambaran kemampuan pengelolaan keuangan daerah untuk melaksanakan pembangunan Kota Bogor untuk kurun waktu lima tahun ke depan, RPJMD ini menjadi dasar dalam penetapan kerangka penganggaran untuk pembangunan tahunan. Berdasarkan potensi tersebut sehingga dibuat target setiap tahunnya dan ini merupakan perkiraan yang terukur dan rasional dari sumber-sumber
penerimaan yang harus dicapai pada akhir tahun anggaran. Besarnya potensi sumber-sumber penerimaan pendapatan asli daerah dapat dilihat dari tingkat kemajuan ekonomi daerah (PDRB). Perhitungan PDRB setiap tahunnya memberikan gambaran perekonomian daerah baik secara makro maupun secara sektoral. Angka PDRB dapat digunakan sebagai indikator ekonomi yang bermanfaat untuk melihat pertumbuhan ekonomi daerah, struktur perekonomian daerah, tingkat kesejahteraan rakyat serta tingkat Inflasi dan Deflasi.
Sumber : BPKAD Kota Bogor, 2010
Gambar 4. PDRB Kota Bogor (2000 - 2008)
Peningkatan makro pembangunan juga tergambar dari total investasi di Kota Bogor tahun 2009 yang mencapai Rp.869,51 miliar atau naik sebesar Rp.1,09 miliar dari investasi di tahun 2008 yang hanya mencapai Rp.868,42 miliar, sedangkan inflasi berhasil ditekan pada tingkat 6 persen dari inflasi tahun 2008 yang mencapai 14,20 persen. Pembangunan pada dasarnya ditujukan agar tercipta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang lebih baik. Pembangunan ekonomi yang selama ini dilakukan, lebih difokuskan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan perluasan lapangan kerja. Idealnya ketiga hal tersebut dicapai secara bersamaan, namun menguatnya indikator makro pembangunan belum diikuti oleh pemerataan pendapatan dan
perluasan kesempatan kerja atau penurunan angka pengangguran. Sampai akhir tahun 2009 angka pengangguran di Kota Bogor masih berada di kisaran 15 persen atau naik 1,36 persen dari tahun 2008 yang mencapai 13,64 persen.2 Berdasarkan
beberapa
indikator
tersebut
diatas,
terlihat
bahwa
desentralisasi fiskal yang telah berjalan selama 10 tahun yang dimulai tahun 2000 di Kota Bogor masih belum dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara nyata khususnya pada sektor riil, sehingga perlu dibuat sebuah kajian “Bagaimana Strategi meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah Kota Bogor?”
1.2 Perumusan Masalah Anggaran pembiayaan pembangunan yang bersumber dari APBD seharusnya memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pertumbuhan Pendapatan
Domestik
Regional
Bruto
(PDRB),
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan kemandirian pemerintah daerah melalui peningkatan sumber-sumber kapasitas fiskalnya. Selama lima tahun (2001-2005) PDRB Kota Bogor mencapai rata-rata Rp.3,18 Trilyun atau rata-rata per kapita sebesar Rp. 3.888.071 per tahun. PDRB sektor primer makin menurun dari tahun ke tahun dengan kontribusi terhadap PDRB Kota Bogor rata-rata 0,37 persen, sedangkan sektor sekunder kontribusinya mencapai 38,67 persen dan sektor tersier sebesar 61,09 persen. Data Bagi Hasil Kota Bogor Tahun 2008 menunjukkan bahwa Kota Bogor masih mengandalkan bantuan dari Pemerintah Pusat dalam bentuk dana perimbangan (DAU) sebesar 57 persen untuk penyelenggaraan pemerintahannya, karena kontribusi PAD terhadap APBD Kota Bogor baru mencapai angka 13,39 persen dan rasio PAD terhadap APBD Kota Bogor rata-rata pada tahun 2001-2005 sebesar 13 persen. Jika dilihat dari tolak ukur kemampuan daerah, dimana rasio PAD terhadap APBD berada pada kisaran 10,01-20 persen menunjukkan tingkat kemandirian daerah tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahannya kurang. Artinya daerah tersebut masih sangat tergantung pada dana bantuan dari pemerintah pusat.
2. Data dalam website Kota Bogor, www.kotabogor.go.id
Sumber : Dinas PKAD Kota Bogor, 2009
Gambar 5. Bagi Hasil Kota Bogor Tahun 2008 Keberhasilan suatu pemerintahan akan diukur dari kinerjanya. Kinerja ini dapat dilihat dalam arti penampilan atau aksi dan dalam bentuk hasil (output) dan hasil akhir (outcome) yang dicapai. Hasil yang dinilai tidak hanya dikaitkan dengan input waktu namun juga dengan input biaya yang dikeluarkan. Namun apakah kemudian penerimaan daerah secara efektif telah ditransformasikan menjadi pengeluaran yang berdampak nyata terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, oleh karena itu dalam pengukuran kinerja tidak hanya digunakan indikator efektivitas tetapi juga efisiensi, maka pertanyaan pertama kajian ini adalah “Bagaimana perkembangan dan efektivitas kapasitas fiskal (Pajak Daerah) Pemerintah Daerah Kota Bogor setelah desentralisasi fiskal ?”. Untuk dapat memformulasikan kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor maka perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan penerimaan PAD untuk meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor, maka tujuan pertanyaan kedua kajian ini adalah untuk “Mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan sumber-sumber kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor“. Gambaran hubungan desentralisasi, pertumbuhan ekonomi dan proses perubahan struktur ekonomi dibutuhkan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor dalam merencanakan pembangunan daerah untuk menentukan prioritas,
khususnya dalam era desentralisasi saat ini dimana pemerintah daerah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menentukan arah kebijakan pembangunan. Dari hasil analisis tersebut, akan diperoleh suatu model yang berguna dalam penentuan strategi peningkatan pertumbuhan ekonomi, yang mampu memberikan daya ungkit untuk pengembangan potensi sumber-sumber kapasitas fiskal di Kota Bogor, sehingga rumusan permasalahan ketiga kajian ini adalah ”Strategi apa yang dapat diformulasikan untuk meningkatkan kapasitas fiskal di Kota Bogor ?”.
1.3 Tujuan Kajian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan utama dari kajian ini adalah merumuskan strategi untuk meningkatkan kapasitas fiskal di Pemerintah Daerah Kota Bogor khususnya pajak daerah oleh Dinas Pendapatan Daerah penda Kota. Untuk menjawab tujuan utama tersebut maka tujuan khusus dari kajian ini adalah : a. Menganalisis perkembangan dan efektivitas kapasitas fiskal, khususnya pajak daerah di Pemerintah Daerah Kota Bogor setelah desentralisasi fiskal b. Mengidentifikasi
faktor
internal
dan
eksternal
yang
mempengaruhi
pengembangan sumber-sumber kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor (pajak daerah) c. Memformulasikan kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal (pajak daerah) Pemerintah Daerah Kota Bogor
1.4 Manfaat Kajian Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari kajian ini adalah : 1. Menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor dalam penanganan masalah, penentuan kebijakan, dan pelaksanaan program pembangunan terkait dengan usaha-usaha peningkatan pendapatan daerah. 2. Mendukung teori ilmiah atau akademik bahwa pendekatan pertumbuhan ekonomi Kota Bogor dapat dijadikan dasar sebagai salah satu pendekatan dalam usaha peningkatan pembangunan ekonomi daerah.