1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara rawan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, tanah longsor, badai dan banjir. Bencana tersebut datang hampir setiap tahun, yang terbesar antara lain gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 26 Desember 2004, serta gempa bumi di Yogyakarta 27 Mei 2006. Bencana alam geologis yang sering terjadi yaitu gempa bumi, merupakan fenomena alam yang sulit diprediksi kedatangannya sampai sekarang. Indonesia sangat rawan gempa karena dekat dengan lempeng-lempeng aktif yang saling berhubungan satu sama lain dan karena adanya gunung-gunung berapi aktif. Berbagai permasalahan sering muncul dalam penanganan bencana, yang menunjukkan bahwa negara ini tidak siap menghadapi musibah tersebut. Hal itu disebabkan Indonesia belum memiliki manajemen penanggulangan bencana yang baik. Sebagai contoh, penanganan bencana di NAD terdapat kelemahan dalam proses komunikasi dan informasi yang mengakibatkan koordinasi penanganannya menjadi tumpang tindih. Padahal jika sejak awal pemerintah didukung semua elemen masyarakat dapat mempergunakan sarana komunikasi yang memadai, niscaya hal tersebut tidak akan terjadi. Masalah komunikasi dalam penanganan tragedi tsunami cukup vital karena menyangkut komunikasi dalam penanganan internal bencana dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat (Suryo, 2005:1). Penanganan bencana di NAD juga terdapat titik lemah dalam hal pengorganisasian, koordinasi, serta komando dan pengendalian (kodal). Meskipun sumber daya, baik dalam maupun luar negeri cukup tersedia, tanpa pengorganisasian, koordinasi dan kodal yang efektif, hasil yang dicapai tidak akan optimal. Karena itu, perlu dilakukan perbaikan dan penyempurnaan yang sungguhsungguh
dengan
menerapkan
praktik
manajemen
yang
profesional
dan
kepemimpinan yang efektif. Agar permasalahan tersebut tidak terulang pemerintah membuat langkah-langkah strategis antara lain (1) Peningkatan efektivitas pengorganisasian, koordinasi dan kodal; (2) Percepatan pengefektivan evakuasi
2
jenazah; (3) Percepatan relokasi pengungsi; (4) Perawatan bagi yang terluka dan sakit; (5) Pengelolaan bantuan negara sahabat dan bantuan dalam negeri;
(5)
Kkesinambungan pasokan logistik; (6) Pengelolaan transportasi darat, laut dan udara; serta (7) Intensifikasi kegiatan komunikasi publik (KOMPAS, 2005:1). Buruknya komunikasi dan koordinasi penanganan bencana NAD tersebut berdampak terhadap pada tertatanya mekanisme transisi ke tahap rehabilitasi dan rekonstruksi di ujung fase tanggap darurat pada 25 Maret 2005 (BRR NAD-Nias, 2005:22). Kondisi tersebut kemudian membuka kesadaran bersama bahwa manajemen bencana di Indonesia masih jauh dari harapan. Pemahaman terhadap manajemen bencana selama ini terabaikan dan dianggap bukan prioritas karena bencana hanya datang sewaktu-waktu. Berdasarkan pengalaman tersebut maka pemerintah dan masyarakat perlu memiliki kesadaran membangun kerjasama dalam manajemen bencana melalui komunikasi yang efektif, terutama dalam penanganan pasca bencana. Bencana alam terbesar setelah tsunami di NAD dan Nias yaitu gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta. Data Media Center Pemda DIY menyebutkan jumlah korban di Yogyakarta sebanyak 4.715 orang meningggal dunia, 19.381 orang luka berat, dan 8.422 orang luka ringan. Kemudian 109.100 rumah rusak berat dan roboh, 123.930 rumah rusak sedang, dan 174.988 rumah rusak ringan. Untuk fasilitas umum 1.180 tempat ibadah, 2378 sekolah, dan 216 bangunan pemerintah mengalami kerusakan baik berat maupun ringan. Dari lima Kabupaten/Kota yang ada di Yogyakarta kerusakan paling parah dialami Kabupaten Bantul (Pemda DIY, 2006:3). Kabupaten Bantul mengalami kerusakan paling parah karena dekat dengan pusat gempa. Dari keseluruhan jumlah korban dan kerusakan, di Kabupaten Bantul terdapat 4.280 korban meninggal dunia, 12.023 luka berat dan 28.939 bangunan roboh. Berdasarkan data tersebut dapat diasumsikan bahwa penanganan bencana di Kabupaten Bantul memerlukan waktu lama. Pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menetapkan kebijakan penanganan bencana gempa bumi di Yogyakarta sampai dengan Desember 2008. Kebijakan tersebut didasarkan pada tiga program utama, yaitu (1) Tanggap darurat, (2) Rehabilitasi dan (3) Rekonstruksi (BAPPENAS, 2006: 6).
3
Berikut ini disajikan tahapan penanganan bencana gempa bumi Yogya – Jateng yang disusun BAPPENAS (Gambar 1). PEMULIHAN
PENYELAMATAN Waktu 1 bulan
Bulan ke-2 – ke-12
Bulan ke-7 - ke-24
TANGGAP DARURAT
REHABILITASI
REKONSTRUKSI
Tujuan: Penyelamatan jiwa
Tujuan: Pemulihan standar pelayanan minimum seperti :
Tujuan: Pembangunan kembali seluruh sistem meliputi :
Pelayanan publik Pelayanan sosial dasar Prasarana dan sarana dasar Pemulihan fasilitas perekonomian Pembangunan kembali perumahan Rehabilitasi mental
Sistem ekonomi (produksi, perdagangan, perbankan) Sistem transportasi Sistem telekomunikasi Pemulihan sosial dan budaya Pemulihan kelembagaan
Tanggap darurat Pembangunan dapur umum Penyelamatan korban yang masih hidup Pembersihan puing runtuhan bangunan Penyediaan hunian sementara
Gambar 1. Sosialisasi penanganan bencana (BAPPENAS, 2006: 6) Penanganan bencana gempa bumi di Yogyakarta, awalnya mengalami keterlambatan pemberian bantuan karena masalah jalur komunikasi antara pusat dan daerah. Hal itu disebabkan ketidakjelasan komunikasi dan pengaturan hubungan kerja antara BAKORNAS PBP, SATKORLAK PBP dan SATLAK PBP. Permasalahan tersebut antara lain terjadi pada pengaturan distribusi bantuan, sehingga terjadi tumpang tindih peran lembaga-lembaga yang bersifat koordinatif tersebut. Hal itu menyebabkan ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat korban bencana sehingga penyalahkan pemerintah daerah setempat (KONTAN, 2006:1). Dalam rangka pengambilan peran dalam penanganan bencana ini, sejumlah elemen
masyarakat
mengadakan
Kongres
Rakyat
Sadar
Bencana
yang
4
diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 29 November - 2 Desember 2006. Kongres ini melahirkan Piagam Rakyat Berdaya dan Siaga (Raberdasi) dengan prinsipprinsip sebagai berikut : (1) Rakyat sebagai subyek, basis dan sumber dalam pengelolaan bencana; (2) Akses terhadap hak atas bantuan, informasi, dan pengambilan keputusan dijamin oleh undang-undang; (3) Berdaya dalam pengelolaan resiko bencana, saat dan sesudah bencana, dengan memperhatikan kesetaraan gender dan kearifan lokal; (4) Ekonomi kerakyatan dalam konteks pembangunan berkelanjutan sebagai inti pemberdayaan dalam penanggulangan bencana; (5) Risiko harus dikelola dengan mengedepankan penyediaan sumber daya yang memadai pada situasi normal sebelum bencana terjadi; (6) Demokratisasi dalam pengambilan kebijakan; (7) Advokasi untuk tranformasi struktur dan sistem nasional dan global yang memihak pada pembangunan yang berkelanjutan; (8) Solidaritas sosial yang saling menguatkan dan tidak diskriminatif dengan perhatian khusus kepada rakyat paling rentan; (9) Inisiatif dari rakyat harus menjadi prioritas dalam penanggulangan bencana (MPBI, 2006:3). Untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam penanganan bencana diperlukan komunikasi timbal balik antara pelaksana penanganan bencana dengan pemuka pendapat. Pemuka pendapat adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan status sosial lebih tinggi dari anggota masyarakat lainnya, sehingga menjadi anutan masyarakat sekitarnya. Pemuka pendapat juga mempunyai pengaruh kuat dalam menggerakkan massa pada berbagai perubahan yang dikehendaki, serta mempunyai kemampuan hubungan ke luar yang lebih luas. Peran pemuka pendapat sebagai orang yang mewakili anggota masyarakat diharapkan berfungsi sebagai mediator antara masyarakat dengan satuan pelaksana penanganan bencana. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa pemuka pendapat merupakan garda depan keberhasilan
program penanganan bencana melalui Badan Koordinasi
Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PBP), yaitu wadah yang bersifat non struktural bagi penanggulangan bencana yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. BAKORNAS
PBP
mempunyai
tugas
(1)
Merumuskan
kebijaksanaan
penanggulangan bencana dan memberikan pedoman atau pengarahan, serta
5
mengkoordinasikan kebijaksanaan penanggulangan bencana, baik dalam tahap sebelum, selama maupun setelah bencana terjadi secara terpadu, dan (2) Memberikan pedoman dan pengarahan garis-garis kebijaksanaan dalam usaha penanggulangan bencana, baik secara preventif, represif maupun rehabilitatif yang meliputi pencegahan, penjinakan, penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk
mengkomunikasikan
dan
mengendalikan
pelaksanaan
tugas
penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi di wilayah Daerah/ Propinsi, dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana (SATKORLAK PBP). Kemudian untuk koordinasi di wilayah kabupaten/Kota dibentuk Satuan Pelaksana (SATLAK PBP). Sebagai pelaksana operasional di lapangan SATLAK PBP dapat membentuk satuan tugas penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi guna melaksanakan tugas penyelamatan korban bencana, memberikan bantuan kesehatan, memberikan bantuan sosial dan pelayanan umum kepada korban bencana serta penanganan bencana yang terjadi. Salah satu tugas dan wewenang lembaga tersebut sebagai pusat informasi dan komunikasi, meliputi : (1) Pusat data penanganan bencana, (2) Pusat koordinasi peringatan dini, (3) Pertemuan rutin dan insidental, serta (4) Publikasi dan hubungan mansyarakat. Berdasarkan jenjang komunikasi BAKORNAS PBP tersebut, komunikasi dengan pemuka pendapat dilakukan dengan melibatkannya sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan program penanganan bencana. Hal ini juga dirumuskan dalam Kerangka Kerja Hyogo 2005 – 2015 (Wuryantari, 2005: 57) yang menyebutkan bahwa baik komunitas dan pihak berwenang di tingkat lokal harus diberdayakan dalam mengelola dan meredam resiko bencana dengan mempunyai akses terhadap informasi, sumber daya dan pihak berwenang yang diperlukan dalam melaksanakan aksi-aksi pengurangan risiko-risiko bencana. Komunikasi
pemuka
pendapat
ini
dapat
diberdayakan
dengan
menempatkannya sebagai penghubung komunikasi pelaksana penanganan bencana dengan masyarakat. Dengan pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat, penyampaian pesan-pesan pelaksana penanganan bencana kepada masyarakat dapat lebih efektif. Pemuka pendapat juga berperan sebagai sumber informasi bagi pelaksana penanganan bencana, terutama untuk mendapatkan informasi mengenai data kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat korban bencana.
6
1.2. Perumusan Masalah Pada tahap awal penanganan pasca bencana gempa bumi di Yogyakarta terdapat beberapa kelemahan antara lain ketidakjelasan peraturan pemerintah, koordinasi penanganan bencana yang lemah, munculnya pertarungan aspirasi masyarakat lokal dengan pemerintah. Dari persoalan tersebut kemudian memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Kebijakan pemerintah pusat yang tidak konsisten menjadi persoalan dilematis bagi pemerintah daerah. Kekecewaan warga korban bencana diluapkan kepada pemerintah daerah dengan protes dan aksi unjuk rasa. Pada posisi itulah pemerintah daerah harus lebih aspiratif mendengarkan suara masyarakat (Arga, 2006:1). Untuk wilayah Kabupaten Bantul yang merupakan daerah paling parah di Yogyakarta, banyak pekerjaan yang perlu segera dituntaskan untuk mendorong percepatan penanganan bencana. Hal ini juga ditegaskan para tokoh masyarakat dan birokrat di Bantul bahwa untuk percepatan pemulihan harus ada kekuatan di dalam masyarakat untuk bangkit dan adanya sikap tidak terlalu banyak berharap terhadap bantuan dari lembaga donor (Rozaki, 2007:1). Melihat permasalahan dalam penanganan bencana tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana. Pemuka pendapat adalah sumber informasi atau pendapat bagi para pengikutnya. Pentingnya komunikasi pemuka pendapat ini dikarenakan pemuka pendapat memiliki prakarsa dalam komunikasi dengan mengambil kesempatan-kesempatan menghubungi
anggota
masyarakat
untuk
menyebarluaskan
pesan-pesan
penanganan bencana. Sebaliknya masyarakat juga sering menemui pemuka pendapat untuk mencari informasi. Oleh karena itu, pemuka pendapat di Kabupaten Bantul menjadi bahan pertimbangan penelitian pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana gempa bumi di Yogyakarta. Berbagai studi dan hasil penelitian menunjukkan bahwa peran seseorang dipengaruhi oleh karakteristik personal dan situasionalnya. Maka dari itu karakteristik personal pemuka pendapat, perilaku komunikasi pemuka pendapat dan keragaan kelompok menjadi peubah bebas dalam penelitian. Untuk mengetahui pemberdayaan komunikasi
7
pemuka pendapat, serta hubungannya dengan karakteristik personal dan situasionalnya dalam penanganan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul, maka perlu dilakukan suatu penelitian. Sehubungan dengan itu, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah karakteristik personal pemuka pendapat di Kabupaten Bantul ?
2.
Bagaimanakah komunikasi pemuka pendapat di Kabupaten Bantul ?
3.
Bagaimanakah keragaan kelompok di Kabupaten Bantul ?
4.
Bagaimanakah
pemberdayaan
komunikasi
pemuka
pendapat
dalam
penanganan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul ? 5.
Seberapa besar pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat, perilaku komunikasi
pemuka
pendapat
dan
keragaan
kelompok
terhadap
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul ?
1.3. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui karakteristik personal pemuka pendapat di Kabupaten Bantul
2.
Mengetahui perilaku komunikasi pemuka pendapat di Kabupaten Bantul
3.
Mengetahui keragaan kelompok di Kabupaten Bantul
4.
Menetapkan faktor-faktor pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat apakah yang diperlukan dalam penanganan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul.
5.
Menganalisis pengaruh karakteristik personal pemuka pendapat, perilaku komunikasi
pemuka
pendapat
dan
keragaan
kelompok
terhadap
pemberdayaan komunikasi pemuka pendapat dalam penanganan bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul.