BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Keberadaan Kota Gorontalo sebagai Ibukota Provinsi Gorontalo merupakan hal utama yang memicu terjadinya alih fungsi lahan di kawasan tersebut. Berdasarkan realita di lapangan bahwa kemajuan perekonomian dan pembangunan di Kota Gorontalo, berimplikasi pada perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kebutuhan terhadap lahan baik untuk pembangunan fasilitas perkantoran pemerintah dan swasta maupun perumahan bagi masyarakat. Menurut Tarigan (2005) bahwa secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di tempat itu dan masyarakat tertarik untuk memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut, walaupun kemungkinan tidak ada interaksi antara usaha – usaha tersebut. Perkantoran pemerintah di Kota Gorontalo meliputi Perkantoran Pemerintah
Provinsi Gorontalo dan Perkantoran Pemerintah Kota Gorontalo.
Perkantoran Pemerintah Provinsi Gorontalo berada di Kawasan Botu, tetapi ada beberapa kantor pemerintah provinsi yang saat ini masih memanfaatkan fasilitas pemerintah bekas kantor penghubung Gubernur dan fasilitas pemerintah lainnya yang berada di sekitar Kawasan Stadion Kota Gorontalo. Perkantoran Pemerintah Kota Gorontalo, baik sipil maupun militer, horizontal maupun vertikal sebagian besar berada pada Kawasan Kota Lama dan sekitarnya bercampur dengan penggunaan lahan lain seperti perdagangan, jasa dan perumahan. Sebagian kecil di antaranya berada di Kecamatan Kota Tengah, Kota Utara, dan Dungingi yaitu Kantor PLN, PDAM, Bappeda, Kantor Pelayanan Pajak (PBB) maupun kantor swasta lainnya yang saat ini mulai tumbuh berkembang di wilayah Kota Gorontalo. Tarigan (2005) mengatakan bahwa secara fungsional, kota sebagai pusat pertumbuhan merupakan suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang
1
industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur yang bersifat dinamis sehingga menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar. Tidak dapat dipungkiri bahwa di beberapa bagian dari wilayah Kota Gorontalo masih terdapat beberapa pasar tradisional yang dahulunya merupakan pemicu perekonomian. Namun saat ini, hal itu seringkali menjadi penyebab terjadinya kesemrautan lalulintas yang disebabkan karena letaknya yang berada di ruas jalan arteri atau sekunder. Kegiatan perdagangan dan jasa sebagian besar dilakukan di sekitar pasar (pasar umum, pasar buah, dan pasar jajan, pertokoan dan warung). Pasar umum meliputi
Pasar Sentral, Pasar Bugis, Pasar Piloladaa dan Pasar
Liluwo yang sudah penuh sesak dan tidak mungkin dilakukan perluasan secara horizontal. Selain pasar-pasar tersebut juga dapat dijumpai pasar buah yang berdampingan dengan pasar jajan yang terletak di Kawasan Kota Lama dan di Komplek Stadion. Pertokoan dan warung menyebar di seluruh wilayah Kota Gorontalo meliputi super market, mini market, toko dan warung. Pertokoan dan warung ini umumnya tumbuh di sekitar pasar-pasar umum seperti di sekitar Pasar Sentral, di sekitar Pusat Kota Lama serta di sekitar Jalan Andalas. Kegiatan jasa seperti Perbankan, perkantoran BUMN dan sejenisnya umumnya terpusat di Kawasan Kota Lama bercampur dengan fasilitas kota lainnya seperti perkantoran, fasilitas perdagangan, hotel, rumah makan dan beberapa aktivitas swasta yang juga mulai tumbuh menyebar membentuk attivitas ekonomi baru. Perkembangan fungsi Kota Gorontalo selama 13 tahun terakhir berimplikasi pada meningkatnya jumlah penduduk. Berdasarkan data BPS hal ini terjadi bukan hanya karena bertambahnya jumlah kelahiran, tapi juga karena meningkatnya jumlah penduduk yang masuk dari
luar wilayah
Gorontalo. Gejala peningkatan jumlah penduduk ini sudah bisa dipastikan berimplikasi
juga
pada
meningkatnya
kebutuhan
ruang
untuk
permukiman, sehingga pertambahan jumlah bangunan rumah dan kantor selain secara
individu,
juga
terjadi
dalam
jumlah
besar melalui
fasilitas
pihak developer perumahan. Perkembangan ini dapat dicermati dengan angka laju pertumbuhan penduduk per tahun selang 2000-2010 pada angka 2,93% yaitu dari jumlah 134.931 jiwa di tahun 2000 menjadi 180.127 jiwa pada tahun 2
2010. Kepadatan penduduk yang ditandai dengan meningkatkan jumlah rumah dan sarana lainnya ini dapat dicermati pada gambar 1.1
Sumber : LAPAN Gambar 1.1 Citra Satelit Quickbird Kota Selatan Gorontalo
3
Satu hal yang unik di Kota Gorontalo sebagai Ibukota Provinsi Gorontalo, adalah adanya lahan pertanian basah (sawah) irigasi teknis yang berada di tengah dan pinggiran kota. Keunikan ini sebenarnya merupakan suatu potensi khas yang perlu untuk dijaga dan dilestarikan karena akan sangat identik dengan ciri khas Gorontalo yang dikenal sebagai daerah agropolitan. Jika hal ini dapat terpelihara, maka akan lahir suatu tatanan kota agropolitan yang bukan hanya mengedepankan aspek
terbangunnya
infrastruktur
kota,
tapi
juga
sebagai
kota
yang
mengedepankan aspek keberlanjutan ekologi bagi generasi selanjutnya. Adapun kondisi dilematis untuk perkembangan Kota Gorontalo ini, secara konseptual dalam gambar 1.2 Ruang kota terbatas dan rawan Banyak lahan pertanian basah (sawah) Budaya Agropolitan Budaya spesifik masyarakat lokal
Kondisi Cekungan lembah Kota Gorontalo Terbelah dan dilalui oleh 3 DAS Rawan Bencana
Temporal perkembangan fisik kota Penurunan kualitas fisik kota Potensi Konflik Pemanfaatan Ruang Kota
Peran utama sebagai ibukota provinsi Kebutuhan lahan untuk fasilitas – infrastruktur baik Pemerintah maupun swasta Berkembangnya fungsi – fungsi baru pembentuk ruang Keinginan untuk mengembangkan sebagian wilayah terisolir (city center botu)
Pola Perkembangan Kota Model Perkembangan Kota Sustainability Gambar 1.2 Skema penyederhanaan Permasalahan Penelitian
4
Kontradiktif antara perkembangan kota dengan penurunan kualitas lingkungan inilah yang sangat tepat jika dilakukan melalui pendekatan ekologi yang menjadi ciri pertama dari sudut pandang di bidang geografi dalam penelitian ini. Sementara konsep pendekatan kedua adalah pendekatan keruangan di bidang geografi yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu menyangkut arahan pengembangan serta optimalisasi ruang – ruang tertentu dalam wilayah Kota Gorontalo. Jika dicermati lebih jauh, sebenarnya masih tersedia lahan dan ruang untuk pengembangan Kota Gorontalo tetapi butuh sentuhan kebijakan dan intervensi yang besar dari pemerintah daerah karena kawasan yang bisa dikembangkan tersebut merupakan kawasan yang memiliki risiko tertentu untuk dikembangkan baik secara fisik maupun finansial. Bagian itu merupakan daerah berbukit yang memiliki kelerengan yang rawan untuk dibudidayakan. Tapi sesungguhnya kebijakan pemerintah daerah akan sangat berpengaruh dalam meningkatkan nilai lahan, misalnya nilai lahan pada kondisi kontur yang curam, terjal dan lembah akan memiliki nilai intrinsik yang rendah, tetapi dengan kebijakan publik yang didukung teknologi akan meningkatkan nilai ekstrinsiknya (Tambunan, 2002). Lebih lanjut menurut Gallion dan Eishner (1996) bahwa dari sekian penelitian geografis menunjukkan bahwa daerah perkotaan jarang terbentuk di wilayah yang topografinya terjal, tapi lebih banyak pada tanah yang relatif datar. Namun dengan adanya penemuan rekayasa teknologi dan alat berat seperti bulldozer, maka daerah – daerah terjal dapat dibuat datar untuk memungkinkan perkembangan daerah perkotaan. Konsep inilah yang coba diterapkan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota Gorontalo yang mencoba untuk melakukan pembangunan perkantoran terbatas pada Bukit Botu dengan harapan bisa memberikan efek terbukanya isolasi wilayah di sebelah selatan dan timur Kota Gorontalo. Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah keterbatasan secara alamiah untuk pengembangan kota, karena kondisi topografi sebagian besar wilayah Kota Gorontalo merupakan daerah cekungan dan berada pada pertemuan 2 (dua) muara
5
sungai sehingga berpotensi genangan/ banjir. Demikian juga dengan tingkat kerawanan bencana gempa yang sering terjadi di Gorontalo merupakan kendala untuk melakukan pengembangan bangunan secara vertikal. Area pengembangan terbatas dimaksud dapat diamati pada Gambar 1.3
Sumber : LAPAN Suber :
Gambar 1.3 Citra Satelit Quickbird Kota Timur Gorontalo
Tuntutan perkembangan dan kemajuan Kota Gorontalo sebagai ibukota provinsi saat ini, jika dipandang dari aspek pendekatan pembangunan infrastruktur dan utilitas maka banyak hal yang harus dibenahi dan dibangun terutama menyangkut infrastruktur dan utilitas dasar baik itu jalan dan jembatan, drainase, sarana persampahan dan pembuangan air limbah serta jaringan listrik, telpon, TV kabel dan PDAM yang semakin semraut. Namun apapun kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah daerah, sudah tentu yang harus dikedepankan
6
menyangkut hak dan respon masyarakat karena faktor respon/dukungan masyarakat merupakan suatu hal yang sangat berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah daerah. Hal ini identik dengan Catanese and Snyder (1996 :50) bahwa perencanaan kota terutama akan berkaitan erat dengan masalah - masalah kemasyarakatan yang di dalamnya tercakup sekelompok besar pihak yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. 1.2 Permasalahan Penelitian Seiring dengan perkembangan tersebut, keberadaan lahan produktif yang berada di Kota Gorontalo dan daerah hinterland Kota Gorontalo, semakin terancam oleh perubahan dan alih fungsi lahan. Padahal jika dilihat keberadaan beberapa lahan di kota Gorontalo yang pada awalnya berfungsi sebagai areal pertanian basah (sawah), sebenarnya bukan hanya berfungsi sebagai lahan produksi pertanian. Lahan ini juga berfungsi dalam pengaturan keseimbangan lahan sebagai daerah tangkapan air (catchment area) atau daerah resapan air untuk menghindari banjir bagi Kota Gorontalo dan sekitarnya. Dilema ini harus mendapatkan perhatian khusus, karena secara alamiah gejala perkembangan wilayah suatu kota dipastikan akan mengedepankan pembangunan sarana prasarana dan permukiman daripada kecenderungan untuk mempertahankan keberadaaan lahan pertanian. Hal inilah yang akan menjadi keunikan tersendiri dalam rencana pengembangan kota, jika Kota Gorontalo nantinya tetap mempertahankan keberadaan lahan pertanian di tengah kota. Dengan mempertimbangkan beberapa alasan tersebut, maka secara umum dapat dikatakan bahwa wilayah Kota Gorontalo bersama hinterlandnya merupakan daerah yang memiliki keterbatasan khusus untuk dikembangkan. Sebenarnya dengan memperhatikan dampak ke depan yang akan timbul sebagai akibat dari terjadinya alih fungsi lahan pertanian ini, maka tentu harus dipikirkan dan dicoba untuk mencari solusi atas permasalahan ini. Di sisi lain perubahan pola dan perilaku hidup masyarakat sudah mulai berubah dari masyarakat agraris menjadi non agraris, dimana untuk memperoleh tenaga kerja sebagai penggarap lahan – lahan di wilayah frontier sampai saat ini belum ada sistem rekruitment
7
yang terbentuk (Rijanta, 2003). Dengan demikian dari aspek sosial ekonomi pun, kebijakan pelestarian lahan pertanian perkotaan juga belum merupakan pilihan yang tidak berpotensi konflik. Dengan mengamati Gambar 1.3, sebenarnya masih ada alternatif yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan lahan bagi perkantoran pemerintah, kebutuhan lahan bagi perumahan dan kebutuhan lahan bagi industri dan berbagai aktivitas lainnya misalnya dengan alternatif pengembangan “City Center Botu”. Dengan pengembangan Kota Baru City Center Botu ini diharapkan akan dapat menjadi salah satu solusi bagi maraknya konversi lahan di Kota Gorontalo. Kawasan alternatif pengembangan kota baru di kawasan Botu ini dikenal dengan “City Center Botu”. Daerah ini merupakan wilayah yang secara fisik berhadapan dengan Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Gorontalo dengan Sungai Bone sebagai pembatas sekaligus area bersama dalam pengembangan dan pemanfaatannya. Kawasan pengembangan Botu ini dibentuk dan dipengaruhi oleh alur sungai Bone yang memanjang dari Kabupaten Bone Bolango pada belokan sungai hingga ke kota Gorontalo sampai di Jembatan Talumolo I (Gambar 1.3). Namun di sisi lain, dengan letak kawasan ini yang berbatasan langsung dengan Sungai Bone di bagian selatan menyebabkan daerah ini rawan terkena luapan air Sungai Bone atau rawan banjir terutama di musim penghujan karena saluran – saluran drainase Kota Gorontalo bermuara ke sungai ini. Dampak lainnya, sungai bone sebagai muara dari saluran drainase kawasan permukiman Kota Gorontalo juga dapat menyebabkan terjadinya pencemaran air berupa limbah rumah tangga dan non domestik (limbah dari kawasan perdagangan). Selain itu, sesuai dengan data RTRW Provinsi Gorontalo 2010-2030 yang menjelaskan bahwa kondisi geologi dari dataran wilayah di Kota Gorontalo merupakan daerah rawan gempa sehingga harus dipertimbangkan untuk perencanaan pembangunan perumahan, permukiman dan perkantoran. Dengan realitas kejadian bencana gempa yang sering terjadi di Gorontalo, maka pengembangan secara vertikal harus dibatasi sebagai bagian dari antisipasi dampak bencana gempa tersebut.
8
Segala hal yang merupakan keterbatasan alamiah baik rawan banjir, rawan gempa maupun limitasi alamiah tersebut seringkali terabaikan hanya karena euphoria masyarakat dan pihak – pihak tertentu yang melakukan ekspansi perluasan kawasan yang akan dibangun. Hal ini sebenarnya wajar terjadi mengingat kebutuhan ruang dan permukiman serta ruang untuk berusaha disektor perdagangan dan jasa yang semakin meningkat setelah Kota Gorontalo resmi menjadi Ibukota Provinsi Gorontalo yang resmi dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2001. Akan tetapi, nantinya hal ini akan bertentangan dan akan merusak keseimbangan alamiah dari ekologi lingkungan di Kota Gorontalo pada khususnya. Kecenderungan yang terjadi di Kota Gorontalo antara tahun 2000 hingga tahun 2010 tersebut, secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut : a) Kebutuhan ruang yang makin tinggi dibanding ketersediaan lahan karena Kota Gorontalo dituntut untuk mampu mengakomodir infrastruktur yang mendukungnya sebagai Ibukota Provinsi sejak tahun 2001; b) Terjadi pemusatan kegiatan di Kota Gorontalo sebagai konsekuensi ibukota provinsi menyebabkan pertambahan jumlah penduduk yang membutuhkan
ruang
untuk
permukiman,
perkembangan
sektor
perdagangan dan jasa serta bentuk perkembangan sektor investasi lainnya ; c) Kondisi Kota Gorontalo dan hinterland nya yang memiliki keterbatasan alamiah untuk dikembangkan (ketersediaan ruang yang terbatas baik di pusat kota maupun pinggiran kota), namun tidak dapat dihindari untuk tetap melakukan penyediaan sarana prasarana maupun utilitas pendukung Ibukota provinsi; d) Limitasi pengembangan vertikal dan horizontal yang diakibatkan oleh kecenderungan rawan bencana, baik gempa maupun banjir; e) Kecenderungan
perilaku
untuk
membangun
horizontal
dibanding
membangun vertikal; f) Branding Gorontalo sebagai daerah agropolitan menimbulkan pemikiran untuk mempertahankan lahan pertanian dalam kota untuk ketersediaan pangan sekaligus sebagai daerah resapan air; 9
Kota Gorontalo akan mampu berkembang jika mampu belajar dari sejarah perkembangan kota lainnya (lesson learned) dan juga harus mampu membangun dengan mengoptimalkan potensi yang ada dengan mengedepankan cirikhas tersendiri dari Kota Gorontalo (prosperity model). Berdasarkan latar belakang dan uraian kecenderungan tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang dapat dicermati sehubungan dengan penelitian di Kota Gorontalo, sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan fisik kota yang terjadi setelah penetapan Kota Gorontalo sebagai Ibukota Provinsi 2. Bagaimana proses dan tipologi perkembangan fisik Kota Gorontalo 3. Bagaimana tinjauan aspek keberlanjutan terhadap perkembangan fisik Kota Gorontalo Berkaitan dengan ruang lingkup pembahasan penelitian ini, dengan mempertimbangkan keterbatasan cakupan data spasial pada rentang waktu yang diteliti maka dibatasi pada wilayah yang masuk dalam cakupan foto udara dan citra satelit sehingga bukan merupakan keseluruhan dari wilayah Kota Gorontalo. 1.3
Keaslian Penelitian Penelitian tentang perkembangan kota, gejala berkembangnya daerah
pinggiran kota dan perubahan fungsi lahan akibat pengembangan kawasan pinggiran kota, penurunan luasan produksi pertanian, degradasi sumber daya alam, atau penelitian yang berhubungan dengan metode/analisa citra satelit, sudah begitu banyak dilakukan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian – penelitian sebelumnya karena perkembangan fisik Kota Gorontalo yang dimulai sejak peningkatan statusnya sebagai ibukota provinsi, dianalisis secara spasial temporal dalam 2 (dua) periode pengamatan. Perkembangan pada 2 (dua) periode tersebut dicermati keterkaitannya dengan intervensi pemerintah dan peran investasi swasta. Dari penelitian ini juga dicermati
klasifikasi skala layanan sarana
prasarana sehingga diperoleh kecenderungan perkembangannya pada kedua periode tersebut. Kota Gorontalo sebagai lokasi penelitian yang pada dasarnya memiliki keterbatasan fisik alamiah untuk dikembangkan, namun kota ini harus dikembangkan mengingat statusnya sebagai Ibukota Provinsi. Ukuran kota yang
10
relatif kecil, kondisi topografi yang berbukit di sisi selatan dan membentuk cekungan di bagian tengah serta merupakan pertemuan dari 3 muara sungai besar merupakan wujud dari keterbatasan fisik alamiah Kota Gorontalo. Disamping itu terdapat cirikhas tertentu dari budaya masyarakat, yaitu budaya agropolitan, perubahan perilaku konsumtif serta kecenderungan yang seringkali menjadi keharusan bagi keluarga baru membangun rumah sendiri, serta menghindari pembangunan vertikal adalah contoh perilaku masyarakat yang akan menjadi fakta yang ikut bekerja sebagai faktor yang membedakannya dari penelitian pada lokasi lainnya. Warlina (2001) menjelaskan tentang model perkembangan Kota Bandung, karakteristik perkembangan Kota dan potensi pengembangan kedepan. Hampir sama dengan Yunus (2001) yang mencoba menjelaskan pola perkembangan Kota Yogyakarta dan karakteristis perkembangannya. Selain itu Nugroho (2001) juga mencoba menjelaskan tentang karakteristik penggunaan lahan kota, Pola Perkembangan Kota dan akibat perkembangan Kota. Penelitian – penelitian ini identik dengan penelitian yang akan dilakukan, namun berbeda pada latar belakang penentuan waktu spasio temporal. Selain itu pembahasan proses perkembangan yang mencermati peran pemerintah dan swasta, kecenderungan perkembangan sarana prasarana dalam skala layanan tertentu serta faktor khas sebagai keunikan lokal yang mempengaruhi perkembangan fisik kota. Demikian halnya dengan Nurdin dan Sukojo (2003) yang mencoba menjelaskan tentang perubahan Kawasan Terbangun Surabaya dari tahun 1993 s/d tahun 1999 dan Purwandhi/Bekasi (1994) yang hanya bertujuan untuk membuktikan dayaguna data SPOT MS dan Landsat MSS untuk Pemetaan Penggunaan Lahan Pertanian serta menguji teknik gabungan yaitu interpretasi secara digital dan manual untuk pemetaan penggunaan lahan pertanian. Dari hasil kedua jenis penelitian ini hanya melahirkan model perkembangan kota dan pola perubahan pemanfaatan lahan. Namun berbedanya pada pembahasan lanjutan yang dilakukan pada penelitian ini yang mengurai lebih dalam proses kecenderunagn perkembangan fisik kota yang selanjutnya dilakukan peninjauan dari aspek keberlanjutan.
11
Selain itu Yunus (2001) melakukan penelitian yang mengkaji pola perubahan pemanfaatan lahan di daerah pinggiran kota Yogyakarta khususnya mengenai pola pengurangan lahan pertanian dan pola penambahan lahan non pertanian, proses perubahan pemanfaatan lahan (kecenderungan proses perubahan dan kekuatan penarik dari gerakan sentripetal dan sentrifugal, dan mengkaji dampak perubahan bentuk pemanfaatan lahan secara fisikal, sosial kemasyarakatan dan sosial keekonomian. Bahasan semacam ini dapat ditemui pada tujuan pertama dan kedua dari penelitian ini, namun pada tujuan ketiga akan lebih dieksplorasi lagi sehingga bukan hanya dapat menghasilkan pola pengembangan secara fisik dalam bentuk spasial, tapi juga model diagram yang mampu menggambarkan kecenderungan non spasial pada proses perkembangan fisik Kota Gorontalo. Dari penelitian – penelitian sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, maka beberapa hal yang dapat digeneralisir, antara lain : bahwa penelitian – penelitian yang sejenis ini pada dasarnya dapat melahirkan informasi tentang perkembangan fisik kota, proses dan tipologi perkembangan kota. Selanjutnya dapat ditemui bahwa pada umumnya perkembangan kota ini membawa akibat pada terjadinya konversi lahan khususnya dari lahan pertanian menjadi lahan budidaya terbangun. Dari segi metodologi, dengan menggunakan teknik interpretasi terhadap foto udara dan citra satelit untuk selanjutnya dilakukan teknik overlay untuk mengetahui poligon perkembangan fisik kota. Namun dalam hal ini pola, proses dan dampak perubahan lahan ini akan menjadi salah satu pokok permasalahan yang akan berkaitan dengan pengembangan Kota Gorontalo, yang dapat diidentifikasi faktor – faktor determinan yang mempengaruhi perkembangan kawasan kota yang kemudian akan dilakukan komparasi terhadap risiko ekologi dan sosial budaya yang kemungkinan terjadi, sehingga pada akhirnya bisa diperoleh model dan arahan pengembangan Kota Gorontalo.
12
Tabel 1.1 Tabel Penelitian Sebelumnya yang Relevan dengan Perkembangan Kota NO 1 1
NAMA DAN LOKASI 2 F. Sri Hardiyanti Purwandhi/ Bekasi
TAHUN 3 1994
2001
TUJUAN 4 Membuktikan Dayaguna data SPOT MS dan Landsat MSS untuk Pemetaan Penggunaan Lahan Pertanian serta menguji teknik gabungan yaitu interpretasi secara digital dan manual untuk pemetaan penggunaan lahan pertanian Mengetahui model perkembangan Kota Bandung, mengetahui karakteristik perkembangan Kota dan mengetahui potensi pengembangan
METODE
HASIL
5 Sampling, survey dan analisis kuantitatif
6 Metode gabungan data SPOT MS dan Landsat MSS mempunyai daya guna yang tinggi (jelas, rinci, teliti, cepat dan murah)
Sampling, survey dan gabungan analisis kuantitatif dan kualitatif
Model Konsentrik Bandung dengan cirikhas 5 zona, Kawasan Pusat Bisnis berada di Pusat Kota dengan karakteristik khusus PKL, Potensi pengembangan di wilayah sepanjang jalan – jalan utama Kota Bandung
2
Warlina/ Bandung
3
Nurdin dan Sokojo/ 2003 Surabaya
Mengetahui Perubahan Kawasan Sampling, Terbangun Surabaya dari tahun 1993 survey dan s/d tahun 1999 analisis kuantitatif
Pola perkembangan kawasan terbangun Kota Surabaya dari tahun 1993 s/d 1999
4
Sudewo/ Yogyakarta
Mengetahui pola perkembangan Kota Yogyakarta, karakteristis perkembangan
Model inti ganda dengan kenampakan terbentuk pusat – pusat pertokoan dan perkantoran dengan titik berat kota yang berbeda. Pertokoan di Kecamatan Gandomanan dan perkantoran di Kecamatan Danurejan dengan perkembangan fisik kota yang tergantung dari aksesibilitas.
2001
Studi kasus, survey dan gabungan analisis kuantitatif dan kualitatif
13
5
Nugroho/ Jakarta
2001
Mengetahui karakteristik penggunaan lahan kota, Pola Perkembangan Kota dan akibat perkembangan Kota
Sampling, survey dan analisis kuantitatif
6
Yunus, Hadi Sabari/ Yogyakarta
2001
Mengkaji pola perubahan pemanfaatan lahan di daerah pinggiran kota Yogyakarta khususnya mengenai pola pengurangan lahan pertanian dan pola penambahan lahan non pertanian, proses perubahan pemanfaatan lahan (kecenderungan proses perubahan dan kekuatan penarik dari gerakan sentripetal dan sentrifugal, dan mengkaji dampak perubahan bentuk pemanfaatan lahan secara fisikal, sosial kemasyarakatan dan sosial keekonomian
Metode survey, dimana untuk pengumpulan data primer dilaksanakan melalui wawancara langsung dengan responden dan dilakukan analisis deskriptif kualitatif
Jakarta didominasi oleh penggunaan tanah perkotaan, merupakan gabungan antara model sektor dan model inti ganda dengan menjamurnya permukiman kumuh akibat pertambahan penduduk yang tidak seimbang dengan ketersediaan lahan Pada pola perubahan pemanfaatan lahan : percepatan pengurangan lahan pertanian dan penambahan lahan non pertanian yang tinggi berasosiasi dengan jalur - jalur jalan utama yang menghubungkan Yogyakarta dengan kota - kota lain. Proses perubahan pemanfaatan lahan : bahwa kecenderungan pembangunan fisik kota memang mengarah / diarahkan ke utara timur laut karena fungsi kraton sebagai attracting forces bagi munculnya fungsi- fungsi baru. Dampak Perubahan pemanfaatan lahan : Menciutnya lahan pertanian telah menurunkan penghasilan dari sektor pertanian dan membuat petani mencari substitusi baru di luar sektor pertanian
Sumber : Hasil analisis data, 2014
14
1.4
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1
Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan perkembangan fisik Kota Gorontalo setelah ditetapkan sebagai Ibukota Provinsi, faktor yang mempengaruhinya serta keterkaitannya dengan infrastruktur pemerintah dan swasta; 2. Melakukan analisis terhadap proses dan tipologi perkembangan fisik Kota Gorontalo 3. Melakukan tinjauan dari aspek keberlanjutan terhadap perkembangan fisik Kota Gorontalo 1.4.2
Manfaat Penelitian
1. Hasil Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian – penelitian sebelumnya tentang studi pengembangan wilayah lebih khusus menyangkut pengembangan Kota Gorontalo melalui pendekatan ekologi lingkungan serta ekonomi dan sosial budaya, sehingga akan bermanfaat dari segi keilmuan sebagai berikut : a) Menemukan gambaran perkembangan fisik kota dalam tahapan waktu tertentu dengan uraian faktor khususnya terkait keunikan lokal yang mempengaruhinya dalam kapasitas kota yang merupakan Ibukota Pemerintahan Provinsi b) Menggambarkan keterkaitan erat antara peran pemerintah dan swasta dalam mempengaruhi proses perkembangan kota serta Merumuskan klasifikasi sarana dan prasarana yang berkembang dalam periode tertentu serta pengaruhnya terhadap perkembangan kota c) Memberikan suatu cirikhas tersendiri yang dapat dijadikan model untuk menggambarkan perkembangan fisik kota yang berpredikat sebagai ibukota provinsi 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi pemikiran perencanaan bagi pemerintah daerah, antara lain : a) Sebagai bahan evaluasi kebijakan penataan ruang Kota Gorontalo dengan memperhatikan keterbatasan – keterbatasan kota untuk berkembang 15
b) Menjadi pembanding terhadap perencanaan pemerintah daerah untuk memahami proses berkembangnya Kota Gorontalo semenjak menjadi ibukota provinsi dan aspek mana yang harus fokus untuk ditindaklanjuti c) Memberikan alternatif model perencanaan spasial dan kebijakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan kota Gorontalo kedepan.
16