BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kualitas dalam pemeliharaan status kesehatan holistik manusia telah dimulai sejak janin, bayi, anak, remaja, dewasa, sampai usia lanjut. Dalam setiap tahapan dari siklus kehidupan tersebut, manusia menghadapi masalah-masalah yang bervariasi dari waktu ke waktu. Permasalahan mendasar yang sering dijumpai di masyarakat adalah masalah gizi yang harus ditangani dengan tepat dan cepat. Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Secara umum terdapat empat masalah gizi utama di Indonesia yakni kurang energi protein, kurang vitamin A, gangguan akibat kurang yodium, dan anemia gizi besi. Akibat dari kurang gizi ini adalah kerentanan terhadap penyakit infeksi dan dapat menyebabkan meningkatnya angka kematian. [1,2] Usia 0–24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga sering diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya.[1,2] Salah satu upaya memperoleh tumbuh kembang dan daya tahan tubuh yang optimal adalah mengawali dengan pemberian Air Susu Ibu atau yang kemudian disingkat ASI. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 33 Tahun 2010 menyatakan bahwa ASI adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu. Dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF tahun 2001 merekomendasikan empat hal penting yang harus dilakukan yaitu, pertama memberikan ASI kepada bayi segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya ASI saja atau pemberian ASI secara eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 450 bulan April 1
tahun 2004 yang mengacu pada Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHO/UNICEF tahun 2001, pemberian ASI secara eksklusif dilakukan sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, selanjutnya disarankan pemberian ASI dilanjutkan sampai 24 bulan disertai dengan makanan pendamping. [3] ASI ekslusif adalah pemberian ASI kepada Bayi sejak ia dilahirkan selama 6 bulan, tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain. Namun, tingkat pemberian ASI eksklusif di Indonesia masih rendah. Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 menunjukkan bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif pada seluruh bayi di bawah 6 bulan meningkat dari 58,9% pada tahun 2004 menjadi 62,2% pada tahun 2007, tetapi kemudian menetap dan sedikit menurun menjadi 56,2% tahun 2008. Berdasarkan data Susenas tahun 2010, baru ada 33,6% bayi umur 0-6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif. Bahkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menyebutkan, hanya 15,3% bayi umur kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif di Bali.[4,5] Menurut WHO (2000), bayi yang diberi susu selain ASI mempunyai risiko 17 kali lebih besar dalam mengalami diare, dan tiga sampai empat kali lebih besar kemungkinan terkena ISPA dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI. Prioritas pembangunan kesehatan diarahkan pada upaya penurunan angka kematian bayi. Salah satu penyebab utama kematian bayi menurut SKRT (Survey Kesehatan Rumah Tangga) tahun 2001 adalah kejadian diare yaitu sebesar 9,4%. Penelitian lain juga dilakukan oleh Suyatno (2007) bahwa pemberian MP-ASI dini, baik padat atau pun cair berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian ISPA pada balita. [2,3,4,6] Di sisi lain, Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) masih menjadi penyebab kematian balita nomor satu di Indonesia. ISPA mengakibatkan sekitar 20-30% kematian. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien pada sarana kesehatan. Sebanyak 40-60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15-30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA. Menurut Kartasasmita, setiap 4 menit terjadi 1 kematian balita akibat ISPA. Bahkan sejak tahun 2000 angka kematian balita akibat ISPA ialah 5 per 1.000 balita. Bayi usia 0–11 bulan yang tidak diberi ASI mempunyai risiko 5 kali lebih besar meninggal karena ISPA dibandingkan dengan bayi yang memperoleh ASI eksklusif. Upaya penanggulangan ISPA sesungguhnya telah dilakukan sejak tahun 1984, dengan 2
target menurunkan angka kematian balita menjadi 3 per 1.000 balita. Namun penanggulangan ISPA melalui program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ini masih menemui banyak kendala. Target cakupan program ISPA nasional pada balita sebesar 76% dari perkiraan jumlah kasus, namun pada tahun 2008 cakupan penemuan kasus baru mencapai 18,81%. Berdasarkan laporan Riskesdas tahun 2007, ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia karena menyebabkan kematian yang cukup tinggi dengan proporsi 3,8% untuk penyebab kematian di semua umur, sementara prevalensi nasional ISPA ada sebesar 25,5% (16 propinsi di atas angka nasional). Sedangkan kasus diare berdasarkan data Riskesdas Bali tahun 2007 menyebutkan kejadian diare pada balita di Bali berdasarkan gejala dan diagnosis tenaga kesehatan adalah sebesar 32,5%. Sedangkan berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2003, prevalensi diare pada anak tertinggi terjadi pada usia 6 sampai 11 bulan (19.4%), 12 sampai 23 bulan (14.8%) dan 24 sampai 35 bulan (12%).[4,5] Puskesmas Tampaksiring I memiliki program wajib yang salah satunya adalah Program Gizi. Dalam menjalankan program tersebut, Puskesmas Tampaksiring I telah menjalani berbagai kegiatan seperti penyuluhan serta program posyandu yang dilaksanakan 8 kali dalam sebulan. Namun pada kenyataannya, masih banyak ibu yang memilih untuk tidak menyusui anaknya. Laporan Puskesmas Tampaksiring I tahun 2010 menunjukkan bahwa 61,02% ibu yang memberikan Asi eksklusif dari 220 ibu yang seharusnya memberikan ASI eksklusif. Sedangkan data laporan tahun 2011 di Puskesmas Tampaksiring I diketahui bahwa jumlah ibu yang seharusnya memberikan ASI eksklusif sebesar 214 orang namun jumlah ibu yang benar-benar memberikan ASI eksklusif hanya sebanyak 56,07%. Rendahnya pemberian ASI eksklusif juga terlihat pada target program di Puskesmas Tampaksiring I sebesar 80%. Dari kedua data tersebut disimpulkan bahwa pemberian ASI eksklusif tahun 2011 sedikit mengalami penurunan dibandingkan tahun 2010[7] Masalah kesehatan di puskesmas Tampaksiring I juga beranekaragam, namun puskesmas ini memiliki 10 besar penyakit yang sering terjadi. Diantara penyakitpenyakit tersebut, terdapat penyakit ISPA yang menempati urutan pertama dan diare yang menempati urutan keempat penyakit terbesar di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I. Kasus ISPA yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I dibagi menjadi kasus pneumonia dan non-pneumonia. Jumlah kasus pneumonia tahun 3
2010 yang dialami oleh balita sebesar 0,3% sementara kasus non pneumonia yang dialami oleh balita sebanyak 62,5%. Sementara jumlah kasus pneumonia pada tahun 2011 yang dialami oleh balita sebesar 0,2% sementara kasus non-pneuomonia yang dialami oleh balita sebanyak 64,7%. Jumlah kasus diare tahun 2010 yang dialami oleh bayi usia 0-1 tahun sebesar 13,6% dan balita mencapai 34,5%. Untuk tahun 2011 jumlah kasus diare yang dialami oleh bayi usia 0-1 tahun mencapai 13,5% dan untuk balita mencapai 42% kasus. Dari kedua data tersebut dapat disimpulkan bahwa kejadian diare dan ISPA pada balita pada tahun 2011 sedikit mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2010[7] Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I ketercapaian target pemberian ASI eksklusif cenderung masih rendah. Selain itu jumlah kasus kejadian ISPA dan diare pada bayi juga relatif tinggi. Berdasarkan data tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai “Perbedaan Kejadian Diare dan ISPA Antara Bayi Usia 6-24 Bulan yang Menerima ASI Eksklusif dan ASI Tidak Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Tampaksiring I pada Bulan Juli – Agustus 2012.” 1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana perbedaan kejadian diare antara bayi usia 6-24 bulan yang menerima ASI eksklusif dan ASI tidak eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I pada bulan Juli – Agustus 2012? 2. Bagaimana perbedaan kejadian ISPA antara bayi usia 6-24 bulan yang menerima ASI eksklusif dan ASI tidak eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I pada bulan Juli – Agustus 2012?
4
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 Tujuan Umum Mengetahui perbedaan kejadian diare dan ISPA antara bayi usia 6-24 bulan yang menerima ASI eksklusif dan ASI tidak eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I pada bulan Juli – Agustus 2012. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui perbedaan kejadian diare pada bayi usia 6-24 bulan yang menerima ASI eksklusif dibandingkan dengan bayi usia 6-24 bulan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. b. Mengetahui perbedaan kejadian ISPA pada bayi usia 6-24 bulan yang menerima ASI eksklusif dibandingkan dengan bayi usia 6-24 bulan yang tidak menerima ASI eksklusif. 1.4
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: a. Sebagai bahan masukan kepada tenaga kesehatan yang ada di puskesmas dalam menyusun
program
kebijakan
yang
berkaitan
dengan
pemberian
ASI,
penanggulangan ISPA dan diare. b. Sebagai bahan masukan petugas dan kader posyandu untuk meningkatkan penyuluhan tentang pentingnya memberikan ASI kepada bayi terutama bayi baru lahir dan meningkatkan upaya pelaksanaan manajemen laktasi. c. Menambah pengetahuan masyarakat khususnya ibu yang mempunyai bayi tentang hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA dan diare d. Menambah informasi dan wawasan peneliti tentang hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA dan diare.
5