BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Persaingan
antar
industri
sekarang
ini
mengakibatkan perusahaan pada umumnya berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup dengan mengembangkan produknya agar lebih diminati oleh konsumen. Loyalitas konsumen akan tercipta ketika konsumen
merasa
kebutuhannya
akan
produk
tersebut terpenuhi dengan baik. Sebab pelanggan adalah kunci dari eksistensi perusahaan. Dengan memberikan kepada pelanggan “no reason to switch – and every reason to stay“ berarti perusahaan telah mengisolasi (insulate) mereka dari tekanan kompetisi (Jhonson & Gustafsson, 2000). Menurut
Setiadi
(2003),
pada
umumnya
para
pemasar kurang memiliki perhatian terhadap penelitian konsumen, hal ini terlihat dari pemasar yang lebih memfokuskan pada bagaimana caranya memproduksi dan memasarkan produknya saja. Padahal, penelitian konsumen bila ditanggapi dan ditafsirkan dengan benar dapat memberikan masukan yang esensial untuk strategi pemasar baik dalam organisasi yang mencari laba maupun yang tidak mencari laba. Lupioadi (2005) menambahkan, pengetahuan seorang manejer tentang
1
perilaku konsumen dapat sangat membantu dalam rangka
pengembangan
dan
peningkatan
produk
maupun jasa, oleh karena produk jasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan produk barang, diantaranya
adalah
unstrorability
(tak
intangibility
(tak
mengenal
berwujud),
persediaan)
dan
customization (khusus ada pada pelanggan tertentu). Menurut Supranto (2001), untuk memenangkan persaingan, perusahaan harus mampu memberikan kepuasan
kepada
diharapkan
dapat
konsumennya. menjadi
Kepuasan
pemicu
minat
ini beli
konsumen. Minat beli itu sendiri diperoleh dari suatu proses belajar dan proses pemikiran yang membentuk suatu
persepsi. Minat
beli ini menciptakan suatu
motivasi yang terus terekam dalam benak konsumen dan menjadi suatu keinginan yang sangat kuat, yang pada
akhirnya
ketika
ia
harus
memenuhi
kebutuhannya maka ia akan mengaktualisasikan apa yang ada di dalam benaknya itu. Kepuasan
konsumen
adalah
hasil
penilaian
terhadap apa yang diharapkan dengan membeli dan mengkonsumsi suatu produk (Aritonga, 2005). Harapan itu
kemudian
dibandingkan
dengan
persepsinya
terhadap kinerja yang diterima dengan mengkonsumsi produk tersebut. Ketika harapan lebih tinggi dari kinerja produk, pelanggan akan merasa tidak puas,
2
sebaliknya jika harapannya sama atau lebih rendah daripada kinerja produk maka konsumen akan merasa puas (Lerbin, 2005). Kepuasan dan loyalitas konsumen saat ini menjadi semakin penting dengan semakin tingginya persaingan. Oleh karena itu, kunci utama agar perusahaan mampu memenangkan persaingan pasar adalah menjadikan kepuasan konsumen sebagai tujuan utama perusahaan yang harus dicapai. Setelah itu perusahaan harus mampu
menjaga
bahkan
meningkatkan
kepuasan
konsumennya. Saat ini memuaskan pelanggan saja tidak memadai untuk menjamin loyalitas. Perusahaan harus berusaha untuk menyenangkan pelanggan, yaitu menciptakan kombinasi dari joy dan supraise (Alexander, 2009). Hal ini dikarenakan hanya pelanggan yang benar-benar puas saja (delight) yang akan loyal (Kotler, 2000; Burns, et. al., 2000; Schneider & Bowen, 1999; Bhote, 1996). Jones
&
Sasser
Jr.
(1997)
menyatakan
bahwa
pelanggan yang puas (tapi tidak benar-benar puas) ternyata
juga
menyatakan
rasa
tidak
senangnya
terhadap beberapa aspek dari suatu produk atau jasa. Konsekuensi dari pelanggan yang tidak senang adalah perilaku pindah (switching behavior) dapat terjadi
setiap
saat
(Reichheld,
1996).
Di
dalam
lingkungan yang semakin kompetitif saat ini, perilaku
3
pindah menjadi semakin mudah terjadi. Commonality dan paritas produk/jasa menjadi katalis bagi perilaku pindah tersebut (Verma, 2003). Keputusan switching merupakan perilaku dengan keterlibatan tinggi (high involvement) karena dalam mengambil keputusan akan melibatkan faktor internal seperti kepribadian, persepsi, motivasi, pembelajaran (sikap), faktor eksternal seperti keluarga, teman, tetangga dan lain sebagainya (norma subyektif). Kunci
agar
kemampuan
perusahaan
tetap
perusahaan
mempertahankan
pelanggannya
eksis
tersebut
adalah untuk
(retensi).
Apabila
pelanggan pergi maka eksistensi perusahaan tidak diperlukan lagi (Seybold, 2001). Oleh karena itu perusahaan perlu mendeteksi sikap pelanggannya, apakah mereka berada dalam zona tidak puas, puas, atau delight. Wahyuningsih (2005) menambahkan bahwa kepuasan yang tertinggi akan mendorong pelanggan
untuk
membeli
kembali
produk
perusahaan dan menceritakan hal-hal positif (WordOf-Mouth Positive) tentang perusahaan terhadap orang lain. Keputusan seseorang untuk melakukan tindakan tertentu
umumnya
didahului
oleh
niat
untuk
melakukan tindakan tersebut. Niat yang kuat akan mendorong
terjadinya
suatu
4
tindakan
termasuk
tindakan membeli produk. Niat konsumen untuk membeli produk tertentu tidak terjadi begitu saja, melainkan ditentukan oleh berbagai hal, diantaranya adalah sikap dan norma subyektif. Peran sikap dan norma subyektif dalam menentukan niat berperilaku dan akhirnya menentukan perilaku dijelaskan oleh teori sikap yang dikembangkan oleh Fishbein dan Ajzen (Schiffman dan Kanuk, 2007). Sikap merupakan suatu ekspresi seseorang yang merefleksikan rasa suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap seseorang berhubungan dengan perilakunya, sikap positif akan menyebabkan perilaku yang positif terhadap suatu objek. Norma subjektif adalah
komponen
seseorang
setelah
yang
berisikan
keputusan
mempertimbangkan
pandangan
orang lain tersebut, dan dapat mempengruhi perilaku seseorang (Mowen dan Minor, 2002). Para pemasar meyakini bahwa sikap positif yang ditunjukan oleh konsumen terhadap sebuah obyek akan memudahkan untuk
memacu
perilaku
positif
terhadap
objek
tersebut. Penelitian Marhaini (2008) menunjukkan bahwa
sikap
konsumen,
konsumen
secara
dan
parsial
norma
subyektif
maupun
simultan
berpengaruh signifikan terhadap minat berperilaku konsumen.
5
Hubungan antara sikap, norma subyektif dan niat
konsumen
untuk
kembali
membeli
produk
tertentu juga dapat diaplikasikan dalam organisasi gereja
dalam
mempertahankan
menyusun bahkan
strategi
meningkatkan
untuk jumlah
jemaat. Berdasarkan adopsi teori sikap dari Fishbein dan Ajzen, sebagai konsumen atau pelanggan, setiap orang memiliki sikap terhadap sejumlah objek seperti produk, jasa, orang, peristiwa, iklan, toko, merek, dan sebagainya.
Ketika
orang
ditanya
tentang
preferensinya, apakah ia suka atau tidak suka terhadap suatu objek, maka jawabanya menunjukkan sikapnya terhadap obyek tersebut. Baik buruknya sikap konsumen terhadap suatu produk atau jasa akan berpengaruh pada perilaku pembeliannya. Sikap merupakan sesuatu yang dapat dipelajari, artinya bahwa sikap yang relevan dengan perilaku pembelian terbentuk sebagai suatu hasil pengalaman langsung dengan
produk,
sosialisasi
atau
informasi
yang
diperoleh dari pihak lain (iklan atau promosi lainnya). Selanjutnya adanya “persaingan” memicu gereja untuk tetap mempertahankan jemaat sebagai bentuk dari hasil kinerja dan kerja keras para karyawan (pendeta). Hubungan kepuasan dan loyalitas tidak terlepas dari kinerja, dalam hal ini jasa pelayanan yang diberikan oleh gereja. Sebagai suatu organisasi,
6
Pdt. Nuban Timo (2013) mengatakan bahwa gereja merupakan organisasi yang produk utamanya ialah “service”
yang
ditujukan
konsumennya.
Gereja
kepada
jemaat
dituntut
sebagai untuk
mengoptimalkan kinerja karyawannya (pendeta) untuk dapat
mempertahankan
konsumennya
(jemaat).
Ketika pendeta memiliki kinerja yang baik maka jemaat bisa benar-benar puas dan loyal. Di sisi lain, ketika ketidakpuasan yang diperoleh maka jemaat bisa melakukan komplain atau bahkan pindah ke gereja atau denominasi lain. Peningkatan kepuasan bahkan lebih dari sekedar puas saja yang diberikan oleh suatu organisasi atau pun perusahaan tidak hanya berlaku bagi organisasi profit, tetapi bisa juga berlaku di organisasi-organisasi non profit, termasuk di gereja sekarang ini. Hal ini didukung oleh pendapat Pdt. Ebenhaezer Nuban Timo (2013) yang mengemukakan bahwa pada dasarnya masalah-masalah yang dihadapi oleh gereja tidak jauh berbeda dengan organisasi-organisasi profit maupun non profit lainnya (Lembaga Swadaya Masyarakat). Terkait pentingnya perasaan delight (benar-benar puas) dalam organisasi gereja, Piter kapitan (2014) berpendapat bahwa saat ini gereja harus menyadari bahwa yang penting saat ini tidak hanya menciptakan
7
jemaat yang hanya puas, tetapi yang benar-benar puas (delight). Menurut Knapp (2011), sebagian orang merasa tidak nyaman dengan mengakui bahwa manajemen perusahaan
bisnis
merupakan
aspek
yang
tak
terpisahkan dari pelayanan gereja. Organisasi gereja mempekerjakan dan membayar staf, memiliki dan mengelola
properti,
menginvestasikan
uang,
menyimpan catatan akuntansi, mengajukan laporan keuangan
dengan
konsultan memiliki
instansi
manajemen armada
pemerintah,
dan
menyewa
penggalangan
kendaraan
sendiri,
dana, bahkan
mengiklankan layanannya. Beberapa gereja memiliki fasilitas siaran televisi dan radio, kompleks rekreasi, sekolah, universitas, dan fasilitas medis. Penelitian
kali
ini
akan
di
laksanakan
di
organisasi nirlaba, organisasi yang produk utamanya ialah “service” yaitu gereja. Gereja Masehi Injili di Timor
merupakan salah satu gereja yang memiliki
wilayah pelayanan yang sangat luas yang berpusat di kota Kupang, dan memiliki daerah pelayanan yang dipisahkan oleh pulau-pulau. Sinode di bantu oleh klasis-klasis pelayanannya
untuk pada
mengkoordinasi tingkat
jemaat
gereja lokal.
dan Gereja
Masehi Injili di Timor (GMIT) memiliki 44 wilayah
8
klasis, 2.504 jemaat dengan jumlah warga mencapai 1.050.411 orang, dilayani oleh 1.072 pendeta dan pelayan lainnya berjumlah : 167.262 orang yang meliputi diaken, guru sekolah minggu, dan vikaris. (Lap. MS-GMIT, 2011). Wilayah pelayanan GMIT tersebar di seluruh Propinsi NTT (kecuali Sumba) dan Pulau Sumbawa di Propinsi NTB dan Batam (kep. Riau), yang sebagian besar (80%) wilayah pelayanan GMIT berada di pedesaan sedangkan sisanya berada di daerah kota. Pada
tahun
2006
pernah
diteliti
oleh
Tim
Puslitbang kehidupan beragama dan diklat, yang menyimpulkan
diantaranya
adalah
bahwa
Nusa
Tenggara Timur kini telah menjadi wilayah yang terbuka bagi segala suku bangsa, agama dan aliranaliran
kekristenan.
memudar.
Dominasi
Gereja-gereja
GMIT
aliran
telah
evangelikal
mulai dan
kharismatik telah bertumbuh subur di Nusa Tenggara Timur. Pada umumnya yang menjadi anggota gerejagereja aliran-aliran ini adalah anggota GMIT yang merasa kurang mendapat pelayanan. Oleh karena itu terjadilah
praktek
”pencurian
domba”
yang
menyebabkan adanya hubungan yang kurang serasi di antara gereja dan aliran-aliran tersebut. Dengan munculnya denominasi-denominasi ini maka banyak anggota jemaat GMIT yang beralih
9
status keanggotaan gerejanya ke denominasi-dominasi tersebut.
Elvy
Rohi
(2014)
memaparkan
bahwa
strategi pelayanan yang dilakukan oleh denominasidenominasi ini yaitu pelayanan secara rohani dan secara jasmani. Pelayan secara rohani yaitu pelayanan ibadah, pelayanan pastoral, sementara pelayanan jasmani yaitu pelayanan diluar ibadah, pelayanan yang dilukakan dalam segi ekonomi, dalam kehidupan sehari-hari, seperti pengobatan gratis, pendampingan bagi
warga
peningkatan
jemaat
yang
kreatifitas
kurang
jemaat
mampu,
(skill).
dan
Pelayanan
jasmani ini merupakan strategi dari dalam mengelola anggota
jemaatnya,
dalam
rangka
mengatasi
permasalahan yang dihadapi oleh anggota jemaat dalam kehidupan. Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dinilai kurang memperhatikan keluhan jemaat, tidak begitu perhatian terhadap keadaan ekonomi dan kesehatan jemaat (Samuel Riwu, 2014). Karyawan gereja atau pendeta kurang betah di jemaat pedesaan, hadir apabila
pada
saat
kebaktian
minggu
kemudian
kembali ke kota Kupang (Sarci Mboro, 2014). Gereja juga
dinilai
kebaktian
kurang
minggu,
kreatif
dan
hari
dalam raya
liturgi-liturgi gereja,
serta
minimnya sarana dalam kebaktian misalnya alat
10
musik, sebagai pengiring pujian jemaat yang dapat menggugah hati jemaat (Simeon Suan, 2014). Behavioral-intentions mendukung
atau
battery
tidak
adalah
mendukung
sikap
perusahaan,
Zeithaml et al. (1996). Terkait behavioral-intentions battery,
beberapa
penelitian
telah
sebelumnya. Raharso (2005) dalam
dilakuan
penelitiannya
menemukan pola hubungan antara tiga dimensi delight, yaitu : justice, esteem, dan finishing touch terhadap behavioral-intentions battery. Justice secara signifikan mempengaruhi variabel word of mouth, loyalitas, dan respon. Esteem mempengruhi variabel word of mouth, loyalitas, dan komplain. Kemudian finishing
touch
Penelitian
ini
mempengruhi kemudian
variabel
switch.
menggunakan
sampel
mahasiswa dari empat perguruan tinggi di Bandung. Selanjutnya pengaruh delight terhadap behavioralintentions battery juga pernah diteliti oleh mahasiswa UKSW (Raboiruisa, 2007) di dunia perbankan. Raharso (2005) mengungkapkan bahwa baik loyalitas,
komplain,
indikator
dari
disebutkan
pindah,
behavioral-intentions
menggambarkan mendukung
maupun
sikap
suatu bahwa
mendukung perusahaan.
apabila
merupakan
battery
yang
atau
tidak
Selanjutnya
kepuasan
mampu
memprediksi behavioral-intentions battery (Zeinthaml
11
et al., 1996), maka delight secara teoritis dapat menjadi faktor yang lebih kuat terhadap behavioralintentions battery (Oliver et al., 1997). Fishbein dan Ajzen (1996) juga pernah meneliti bahwa
keputusan
seseorang
untuk
melakukan
tindakan tertentu umumnya didahului oleh intentions untuk melakukan tindakan tersebut. Intentions (niat) yang kuat akan mendorong terjadinya suatu tindakan termasuk tindakan membeli produk. Niat konsumen untuk membeli produk tertentu tidak terjadi begitu saja, melainkan ditentukan oleh berbagai hal, di antaranya adalah sikap dan norma subyektif. Sikap dan norma subyektif berperan dalam menentukan behavioral-intentions sebuah
keputusan.
yang
akhirnya
Fishbein
dan
menentukan Ajzen
juga
menambahkan, sikap adalah perasaan umum yang menyatakan keberkenaan seseorang terhadap suatu obyek yang mendorong tanggapannya, baik dalam bentuk tanggapan positif maupun negatif. Sikap terhadap perilaku adalah penilaian yang bersifat pribadi dan individu yang bersangkutan menyangkut pengetahuan dan keyakinannya mengenai perilaku tertentu.
Dalam
sikap
positif
kecenderungan
mengambil tindakan mendekati dan mengharapkan obyek
tertentu.
Sedangkan
12
sikap
negatif
kecenderungan mengambil tindakan untuk menjauh atau menghindari obyek tertentu, Subagyo (2000). Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini akan diarahkan untuk menganalisis pengaruh attitude, subjective norm dan customer delight terhadap behavioral-intentions battery jemaat di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), khususnya di klasis Kupang Timur.
13
1.2. MASALAH PENELITIAN Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah attitudes berpengaruh signifikan terhadap behavioral-intentions
battery
jemaat
di
Gereja
Masehi Injili di Timor (GMIT)? 2. Apakah subjective norm berpengaruh signifikan terhadap behavioral-intentions battery jemaat di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)? 3. Apakah customer delight berpengaruh signifikan terhadap behavioral-intentions battery jemaat di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)? 1.3. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui pengaruh attitudes terhadap behavioral-intentions
battery
jemaat
di
Gereja
Masehi Injili di Timor (GMIT)? 2. Untuk
mengetahui
pengaruh
subjective
norm
terhadap behavioral-intentions battery jemaat di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)? 3. Untuk
mengetahui
pengaruh
customer
delight
terhadap behavioral-intentions battery jemaat di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)?
14
1.4. MANFAAT PENELITIAN Manfaat Teoritis : menambah referensi di bidang manajemen gereja, khususnya mengenai upaya gereja dalam mempertahankan loyalitas jemaat sekaligus dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan manajemen gereja. Manfaat Praktis: menjadi referensi bagi GMIT dalam memberdayakan sumber daya gereja dalam hal ini karyawan GMIT khususnya pendeta, dengan peka terhadap masalah dan kondisi yang jemaat hadapi, serta
lebih mengembangkan kualitas pelayanan
sehingga menciptakan pelayanan yang sempurna bagi kemuliaan Kristus.
15