BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada masa lalu diagnosis penyakit ditegakkan semata-mata dengan pemeriksaan klinis, yang banyak menyebabkan kesalahn diagnosis. Kemudian berkembang pelbagai pemeriksaan penunjang atau uji diagnostic, mulai dari pemeriksaan laboratorium sederhana sampai pemeriksaan pencitraan yang canggih. Tidak dapat dipungkiri bahwa kita memerlukan pelbagai jenis uji diagnostic untuk menegakkan diagnostik pada sebagian besar kasus. Memilih pemeriksaan diagnostic yang tepat tidak selalu mudah. Uji diagnostik dapat dilakukan secara bertahap (serial) atau sekaligus beberapa uji diagnostik (paralel). Pada uji diagnostic serial, pemeriksaan dilakukan secara bertahap; perlu atau tidaknya pemeriksaan selanjutnya ditentukan oleh hasil uji sebelumnya. Misalnya, untuk diagnosis tuberculosis paru, foto toraks baru perlu dikerjakan bila hasil uji tuberculin positif. Pada uji pararel, beberapa pemeriksaan dilakukan sekaligus; hal ini biasa dilakukan pada kasus yang memerlukan diagnosis cepat. Contohnya, pada pasien dengan kesadaran menurun, perlu dilakukan segera pemeriksaan terhadap gula darah, ureum, serta funduskopi. Dikenal pula pembagian uji diagnostic berdasar pada kegunaannya misalnya untuk skrining, memastikan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis, memantau perjalanan penyakit, menentukan prpgnosis dan lain-lain. Perbedaan kegunaan tersebut menyebabkan perbedaan karakteristik uji diagnostic yang dipakai. Uji diagnostic yang ideal jarang sekali ditemukan, yaitu uji yang memberikan hasil positif pada semua subyek yang sakit dan memberikan hasil negative pada subyek yang sehat. Hamper pada semua uji diagnostic terdapat kemungkinan untuk diperoleh hasil uji positif pada subyek yang sehat (postif semu, false positive), dan hasil negative pada subyek yang sakit (negative semu, false negative). Interpretasi hasil uji diagnostic dipengaruhi pula oleh berbagai hal, terutama prevalens penyakit dan derajat penyakit pada waktu uji diagnostic dilakukan. Dalam makalah
ini diuraikan manfaat, prinsip dasar, dan langkah-langkah yang diperlukan dalam melakukan suatu uji diagnostic, serta interpretasi hasil uji diagnostik. Dikemukakan pula satu contoh uji diagnostic sederhana. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Menjelakan tentang Tujuan uji diagnostik. 2. Menjelaskan tentang Prinsip dasar uji diagnostik. 3. Menjelaskan tentang Struktur uji diagnostik. 4. Menjelaskan tentang Skala pengukuran variable. 5. Menjelaskan tentang Baku emas. 6. Menjelaskan tentang Analis dalam uji diagnostic. 7. Menjelaskan tentang Sensitivitas dan Spesifisitas. 8. Menjelaskan tentang Titik potong (Cut Off Point). 9. Menjelaskan tentang Receiver Operator Curve (ROC). 10. Menjelaskan tentang Prevalens, post test probability, pretest & post test odds. 11. Menjelaskan tentang Nilai duga (Predictive values). 12. Menjelaskan tentang Rasio Kemungkinan (Likelihood ratio). 13. Menjelaskan tentang Langkah-langkah penelitian uji diagnostic.
1.3 TUJUAN Diharapkan mahasiwa/mahasiswi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram mampu menjelaskan serta mampu mengerti tentang Tujuan uji diagnostic, Prinsip dasar uji diagnostic, Struktur uji diagnostic, Skala pengukuran variable, Baku emas, Analis dalam uji diagnostic, Sensitivitas dan Spesifisitas, Titik potong (Cut Off Point), Receiver Operator Curve (ROC), Prevalens, post test probability, pretest & post test odds, Nilai duga (Predictive values), Rasio Kemungkinan (Likelihood ratio), Langkah-langkah penelitian uji diagnostic agar mempermudah mahasiswa/mahasiswi dalam mengikuti perkuliahan selanjutnya pada blok epidemiologi (metodologi penelitian klinis).
BAB II PEMBAHASAN 2.1
TUJUAN UJI DIAGNOSTIK Telah disebutkan bahwa sedikit sekali uji diagnostic yang ideal, artinya uji yang memberikan hasil positif pada 100% pasien yang sakit dan memberikan hasil negatif pada pasien yang tidak sakit. Pengembangan uji diagnostic dapat mempunyai beberapa tujuan, termasuk: 1. Untuk menegakkan diagnosis penyakit atau menyingkirkan suatu penyakit. Untuk keperluan ini, uji diagnostic haruslah sensitif (kemungkinan negative semu kecil), sehingga bila didapatkan hasil normal (hasil uji negative) dapat digunakan untuk menyingkirkan adanya suatu penyakit. Ia juga harus spesifik (kemungkinan hasil positif semu kecil), sehingga apabila hasilnya abnormal dapat digunakan untuk menentukan adanya penyakit. Mneomoni (“jembatan keledai”) dalam bahasa inggris yang sering digunakan adalah SnNOut (with Sensitive test, Negative result rules Out the disease) dan SpPIn (with Spesific test, Positive result rules In the disease). 2. Untuk keperluan skrinning. Skrinning dlakukan untuk mencari penyakit oada subyek yang asimtomatik, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan agar diagnosis dini dapat ditegakkan. Uji diagnostic untuk skrinning harus mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi meskipun spesifisitasnya sedikit rendah. Penyakit yang perlu dilakukan skrinning memiliki syarat-syarat sebagai berikut;
Prevalens penyakit harus tinggi, meski kata „tinggi‟ ini relative.
Penyakit tersebut menunjukkan morbiditas dan/ atau mortalitas yang bermakna apabila tidak diobati.
Harus ada terapi efektif yang dapat mengubah perjalanan penyakit.
Pengobatan dini memberikan hasil yang lebih baik ketimbang pengobatan pada kasus yang lanjut. Contoh skrinning yang baik adalah uji tuberculin pada anak. Keempat syarat
tersebut terpenuhi, karena prevalens tuerkulosis di Indonesia tinggi, apabila tidak diobati akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna, terdapat
pengobatan yang efektif, dan pengobatan dini akan memberikan hasil yang jauh lebih baik. Di banyak Negara, skrinning ini juga dilaksanankan terhadap beberapa inborn error of metabolism seperti fenilketonuria (PKU) atau hipotiroidisme pada bayi baru lahir, meskipun insidens kelainan-kelainan tersebut, dipandang dengan kacamata kita saat ini, tidak terlalu tinggi. Contoh skrinning yang tidak layak adalah foto thoraks untuk mendeteksi kanker paru; karena meskipun misalnya prosedur tersebut sensitive, namun bila kanker paru sudah terdeteksi dengan foto rontgen, tidak atau belum tersedia cara pengobatan „dini‟ yang member tingkat kesembuhan yang lebih baik (dengan perkataan lain, pada keadaan ini diagnosis dini tidak mengubah prognosis). 3. Untuk pengobatan pasien. Dalam pengobatan pasien, uji diagnostic sering dilakukan berulang-ulang untuk:
Memantau perjalan penyakit atau hasil terapi
Mengidentifikasi komplikasi
Mengetahui kadar terapi suatu obat
Menetapkan prognosis
Mengkonfirmasi suatu hasil pemeriksaan yang tak terduga Untuk kepentingan tersebut, reprodusibilitas suatu uji diagnostic sangat
penting, artinya apabila suatu uji diagnostic sangat penting, artinya apabila suatu uji dilakukan terhadap subyek yang sama pada waktu yang sama, maka uji diagnostik tersebut harus member hasil yang sama pula. 4. Untuk studi epidemiologi. Uji diagnostic seringkali dilaksanakan salam studi epidemiologi. Suatu uji diagnostic yang memberikan hasil yang positif (ada penyakit) atau negative (tidak ada penyakit) sering dipakai dalam survai untuk menentukan prevalens suatu penyakit. Dalam studi kohort, uji diagnostic dapat merupakan alat untuk menentuan terjadinya efek atau penyekit tertentu, sehingga dapat dihitung incidence rate-nya, kedua hal tersebut seringkali mempunyai nilai yang penting dalam kesehatan masyarakat, untuk penentuan kebijakan kesehatan, misalnya apakah
diperlukan intervensi tertentu untuk mencegah atau menanggulangi suatu penyakit yang banyak terdapat dalam masyarakat. (Sastroasmoro, S, & Sofyan Ismael, 2010). 2.2
PRINSIP DASAR UJI DIAGNOSTIK Uji diagnostic baru harus memberi manfaat yang lebih dibandingkan uji yang sudah ada, termasuk : 1.
Nilai diagnostiknya tidak jauh berbeda dengan nilai uji diagnostik standar (baku emas).
2.
Memberi kenyamanan yang lebih baik bagi pasien.
3.
Lebih mudah atau lebih sederhana, atau lebih cepat dan murah.
4.
Dapat mendiagnosis pada fase yang lebih dini (asimtomatik). Bila uji diagnostic batu tidak mempunyai kelebihan dibandingkan dengan uji
diagnostic yang ada, maka tidak ada gunanya dilakukan penelitian baru.
2.3
STRUKTUR UJI DIAGNOSTIK Uji diagnostik mempunyai variable predictor, yaitu hasil uji diagnostik dan variable hasil akhir atau outcome yaitu sakit atau tidaknya seorang pasien, yang ditentukan oleh pemeriksaan dengan baku emas.
PENYAKIT
HASIL UJI
YA
TIDAK
JUMLAH
YA
PB
PS
PB+PS
TIDAK
NS
NB
NB+NS
JUMLAH
PB+NS
PS+NB
PB+PS+NB+NS
Gambar 1. Skema memperlihatkan struktur dasar hasil uji diagnostik yang menunjukkan tabulasi hasil uji diagnostik dan terdapatnya penyakit (yang dinyatakan oleh hasil baku emas). PB = Positif benar (true positif), artinya hasil uji menyatakan terdapat penyakit, dan kenyataannya memang terdapat penyakit; PS = Positif semu (false
positif), hasil uji menunjukkan terdapat penyakit, padahal sebenarnya subyek tidak sakit; NS = Negatif semu (false negative), hasil uji menunjukkan tidak terdapatnya penyakit, padahal sebenarnya subyek menderita penyakit; NB = Negatif benar (true negative), hasil uji menunjukkan tidak terdapat penyakit dan memang subyek tidak menderita penyakit. (Sastroasmoro, S, & Sofyan Ismael, 2010). Terlihat bahwa suatu uji diagnostik selalu berbentuk table 2 x 2; artinya, baik hasil uji yang diteliti maupun baku emas yang digunakan harus dapat memisahkan subyek menjadi sakit atau tidak sakit (abnormal atau normal). Dengan kata lain hasil uji diagnostik harus bersifat nominal dikotom. Apabila hasil uji merupakan variabel berskala numerik, maka harus dibuat titik potong (cut-off point) untuk menentukan apakah hasil tersebut normal atau abnormal. (Sastroasmoro, S, & Sofyan Ismael, 2010).
2.4
SKALA PENGUKURAN VARIABEL Hasil pemeriksaan atau pengukuran dapat dinyatakan dalam berbagai skala: 1. Skala dikotom, yaitu skala nominal yang mempunyai 2 nilai, misalnya hasil positif negatif; dalam klinik ini diknal sebagai penilaian kualitatif. 2. Skala ordinal: misalnya hasil pemeriksaan protein dalam urin +++, ++, + dan – (semi kualitatif ). 3. Skala numerik, misalnya kadar gula darah 120 mg/dl (kuantitatif). Karena uji diagnostik selalu berbentuk tabel 2 x 2, maka pelbagai skala tersebut (skala ordinal atau skala numerik) perlu diubah ke dalam skala nominal dikotom, yaitu normal – abnormal, atau positif- negatif, dengan cara menggunakan titik potong (cut-off point) tertentu. (Sastroasmoro, S, & Sofyan Ismael, 2010).
2.5
BAKU EMAS Baku emas (Gold Standard) merupakan standar untuk pembuktian ada atau tidaknya penyakit pada pasien, dan merupakan sarana diagnostik terbaik yang ada (meskipun bukan yang termurah atau termudah). Baku emas yang ideal selalu memberikan nilai positif pada semua subyek dengan penyakit, dan memberikan hasil negatif pada semua subyek tanpa penyakit. Dalam praktek, hanya sedikit baku emas yang
ideal, sehingga tidak jarang kita memakai uji diagnostik terbaik yang ada, sebagai baku emas. Kata „terbaik‟ disini berarti uji diagnostik yang mempunyai sensitivitas dan spesifitas tertinggi. Baku emas dapat berupa uji diagnostik lain, biopsi, operasi, pemantauan jangka panjang terhadap pasien, kombinasi karakteristik klinis dan pemeriksaan penunjang, atau baku lain yang dianggap benar. Dalam kaitan dengan baku emas, apabila kita ingin menguji suatu uji diagnostik baru, maka diperlukan beberapa syarat umum sebagai berikut : 1. Baku emas yang dipakai sebagai pembanding tidak boleh mengandung unsur atau komponen yang diuji, misalnya kita tidak boleh menguji nilai apgar 3 komponen dengan nilai apgar 5 komponen (yang selama ini digunakan) sebagai baku emas. Baku emas tidak boleh mempunyai sensitivitas dan/ atau spesifisitas yang lebih rendah daripada uji diagnostik yang diteliti. Sebagai contoh, kita tidak boleh menguji sensitivitas dan spesifisitas ‘magnetic resonance imaging’ MRI yang baru kita peroleh untuk menegakkan diagnosis kelainan intrakranial pada bayi dengan USG sebagai baku emas, hanya oleh karena selama ini USG dipergunakan untuk menegakkan diagnosis kelainan intrakranial. Apabila ini dilakukan, maka muncul hasil yang „aneh‟, misalnya sensitivitas spesifisitas MRI untuk menemukan tumor intraserebral adalah rendah. Dengan kata lain, harus ada informasi a priori bahwa baku emas yang digunakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik atau paling tidak sama dengan alat diagnostik yang akan diuji. (Sastroasmoro, S, & Sofyan Ismael, 2010).
2.6
ANALISIS DALAM UJI DIAGNOSTIK Uji diagnostic esensinya merupakan studi cross sectional analitik; ia mempunyai struktur yang mirip dengan penelitian observasi lain, misalnya studi kasus kontrol atau kohort. Perbedaannya ialah pada penelitian observasi tersebut kita menentukan etiologi, sedangkan pada uji diagnostik kita menentukan bagaimana suatu uji dapat memisahkan antara subyek yang sakit dan yang tidak sakit. Hasil uji diagnostic dinyatakan dalam tabel 2 x 2, karena dapat saja dilakukan uji hipotesis misalnya uji x2. Namun, adanya hubungan bermakna antara hasil uji diagnostic dengan penyakit,
misalnya dengan uji x2 saja tidak cukup, hingga diperlukan pertimbangan lain untuk inter pretasi hasil uji diagnostik. Contoh : Suatu uji diagnostik terhadap 100 pasien limfoma malignum yang dibuktikan dengan biopsi, 65 menunjukkan hasil positif; sedangkan uji diagnostik yang sama terhadap 100 pasien dengan pembesaran kelenjar non limfoma, hanya 35 yang menunjukkan hasil uji positif. Bila dilakukan uji hipotesis dengan uji x2, terdapat hubungan yang sangat bermakna (p <000.1) antara hasil uji positif dengan terdapatnya limfoma malignum.
KEADAAN SEBENARNYA
HASIL UJI
LIMFOMA
NON LIMFOMA
JUMLAH
LIMFOMA
65
30
95
NON LIMFOMA
35
70
105
JUMLAH
100
100
200
Gambar 2. Tabel 2 x 2 memperlihatkan hasil pemeriksaan dengan uji diagnostik yang diteliti dan dengan baku emas. Uji kai kuadrat menunjukkan hubungan yang amat bermakna (p <000.1).
Namun sebenarnya analisi stastistik yang sangat bermakna itu tidak banyak memberi informasi. Jumlah pasien yang menderita limfoma namun memberi hasil negatif pada uji (negatif semu) sangat besar yakni 35 pasien sehingga tetap diperlukan biopsi; sebaliknya terdapat sebanyak 30 subyek yang tidak sakit namun menunjukkan hasil positif (positif semu), sehingga ada resiko mereka akan diobati sebagai limfoma malignum, padahal mereka tidak sakit. Jadi hasil uji hipotesis yang sangat bermakna (p <0,001) tidak memberi informasi apapun tentang kualitas suatu uji diagnostik. Karenanya diperlukan cara interpretasi lain terhadap hasil pengamatan dalam uji diagnostik tersebut yang dapat memberi informasi kepada para klinikus dalam penegakkan diagnosis suatu penyakit atau kondisi klinis tertentu. (Sastroasmoro, S, & Sofyan Ismael, 2010).
2.7
SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS Seperti telah disebutkan, penilaian suatu uji diagnostik memberi kemungkinan hal positif benar, positif semu, negatif semu dan negatif benar. Dalam penyajian hasil uji diagnostik, keempat kemungkinan tersebut disusun dalam tabel 2 x 2. bila hasil positif benar disebut sel a, hasil positif semu adalah sel b, hasil negative semu adalah sel c, dan hasil negative benar adalah sel d, maka hasil pengamatan dapat disusun dalam tabel 2 x 2 seperti yang terlihat pada gambar 3. dari tabel 2 x 2 tersebut dapat diperoleh beberapa nilai statistic yang memperlihatkan berapa akurat suatu uji diagnostik dibandingkan dengan baku emas yang dipakai. Baku Emas
HASIL UJI
Positif
Negatif
Jumlah
Positif
A
b
a+b
Negatif
C
d
c+d
Jumlah
A+c
b+d
a+b+c+d
Gambar 3. Tabel 2 x 2 memperlihatkan hasil uji diagnostik, yakni hasil yang diperoleh dengan uji yang diteliti dan dengan hasil pada pemeriksaan dengan baku emas. Sel a menunjukkan jumlah subyek dengan hasil positif benar; sel b = jumlah subyek dengan hasil positif semu; sel c = subyek dengan hasil negatif semu, sel d = subyek dengan hasil negatif benar, dari tabel ini dapat dihitung: Sensitifitas
=
a : (a+c)
Spesitifitas
=
d : (b+d)
Nilai prediksi positif =
a : (a+b)
Nilai prediksi negatif =
d : (c+d)
Bila uji diagnosis telah dilakukan, maka dari hasil uji tersebut harus dapat dijawab dua pertanyaaan : 1. Bila subyek benar-benar sakit, berapa besarkah kemungkinan bahwa hasil uji diagnostik akan positif atau abnormal ? jawaban atas pertanyaan ini adalah sensitivitas, yang memperlihatkan kemampuan alat diagnostik untuk mendeteksi
penyakit. Sensitivitas adalah proporsi subyek yang sakit dengan hasil uji diagnostik positif (positif benar) dibanding seluruh subyek yang sakit (positif benar + negatif semu) atau kemungkinan bahwa hasil uji diagnostik positif bila dilakukan pada sekelompok subyek yang sakit. Pada tabel 2 x 2, sensitivitas = a : (a+c). Lihat gambar 3. 2. Bila subyek tidak sakit , berapa besarkah kemungkinan bahwa hasil uji akan negatif ? jawaban pertanyaan ini adalah spesifisitas, yang menunjuk kemampuan alat diagnostik untuk menentukan bahwa subyek tidak sakit. Spesifisitas merupakan proporsi subyek sehat yang memberikan hasil uji diagnostik negatif (negatif benar) dibandingkan dengan seluruh subyek yang tidak sakit (negatif benar + positif semu ) atau kemungkinan bahwa hasil uji diagnostik akan negatif bila dilakukan pada sekelompok subyek yang sehat. Dalam tabel 2 x 2, spesifisitas = d : (b+d). Lihatlah skema pada gambar 3.
Pada contoh limfoma malignum yang dikemukakan diatas, sensitivitas uji diagnostik tersebut adalah 65/(65+35) = 65%, atau hanya 65% diantara subyek penderita limfoma dapat dideteksi dengan uji diagnostik tersebut. Spesifisitas uji diagnostik tersebut adalah 70/(70+30) = 70%, menunjukkan bahwa limfoma malignum dapat disingkirkan pada 70% pasien pembesaran kelenjar nonlimfoma. Sensitifitas dan spesitifitas tersebut tidak memadai sehingga uji diagnostik tersebut bukanlah uji yang baik. Sensitivitas dan spesitifitas disebut sebagai uji diagnostik yang stabil, karena nilai-nilainya tidak berubah pada proporsi subyek sehat dan sakit yang berbeda atau pada prevalens rendah dan tinggi. (Sastroasmoro, S, & Sofyan Ismael, 2010).
2.8
TITIK POTONG (Cut Off Point) Titik potong atau cutoff point adalah nilai batas antara normal dan abnormal, atau nilai batas hasil uji positif dan hasil uji negatif. Bila pengukuran variabel prediktor (hasil uji) maupun variabel efek ( hasil baku emas ) dilakukan dalam skala dikotom yaitu positif dan negatif, maka tidak diperlukan titik potong. Bila skala hasil pemeriksaan berbentuk ordinal misalnya +, ++, +++, maka dapat ditentukan tiik potongnya , misalnya
sampai ++ dianggap normal, dan +++ adalah abnormal. demikian pula bila hasil pemeriksaan berskala numerik, harus ditetapkan terlebih dahulu titik potongnya. Langkah untuk mengubah variabel berskala ordinal atau numerik menjadi variabel nominal dikotom ini dengan mudah dapat dilakukan dan tidak menyalahi prinsip-prinsip pengukuran. Dalam menentukan titik potong ini harus dilakukan tawar menawar, karena peningkatan sensitifitas akan menyebabkan penurunan spesitifitas dan sebaliknya. Contoh: Misalnya kita melakukan uji dignostik untuk menentukan apakah seseorang mengalami gagal ginjal atakah tidak, dengan cara melakukan pemeriksaan kadar ureum darah. Alternatif titik potong kadar ureum adalah 40 mg/dl atau 60 mg/dl. Bila digunakan titik potong 40 mg/dl, maka sensitivitas uji diagnostic akan lebih tinggi (lebih sedikit diperoleh hasil negative semu) karena lebih banyak pasien yang didiagnosis sebagai gagal ginjal, sedangkan spesifisitas akan rendah (banyak positif semu), karena tidak semua subyek dengan nilai ureu 40 mg/dl sebenarnya mengalami gagal ginjal. Bila titik potong yang diambil adalah 60 mg/dl, maka sensitivitasnya lebih rendah (lebih banyak hasil negative semu) karena sebagian pasien gagal ginjal dengan nilai ureum belum mencapai nilai 60 akan luput dari diagnosis, sedangkan spesifisitasnya lebih tinggi karena subyek memang benar sakit bila kadar ureum 60 mg/dl. Dalam tawar menawar ini, peneliti harus memperhatikan kepentingan uji diagnostik tersebut, apakah uji tersebut lebih dimaksud untuk menegakkan diagnosis penyakit ataukah untuk menyingkirkan penyakit. Caranya adalah dengan memperhatikan nilai positif semu dan negatif semu. Bila kita ingin menghidari positif semu, misalnya untuk menentukan apakah pasien perlu operasi berbahaya, maka spesifisitas harus tinggi, meskipun sensitivitasnya menurun. Namun bila hasil negatif semu harus dihindari, misal pada skrining hipotiroid, titik potong direndahkan agar sensitivitas uji menjadi tinggi sekalipun spesifisitasnya menjadi tidak terlelu tinggi. (Sastroasmoro, S, & Sofyan Ismael, 2010).
2.9
RECEIVER OPERATOR CURVE (ROC) ROC merupakan suatu cara untuk menentukan titik potong dalam suatu uji diagnostic ROC merupakan suatu garfik yang menggambarkan tawar menawar antara
sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas digambarkan pada ordinat Y sedangkan (1spesifiisitas ) digambarkan pada absis X. Makin tinggi sensitivitas makin rendah spesfisitas dan sebaliknya. Grafik ini dapat dibuat secara manual, yakni dengan menghitung sensitivitas dan spesifisitas dengan menggunakan titik potong yang di ubah dari yang terendah sampai yang tertinggi. Grafik juga dapat dibuat dengan program computer tertentu. Bial titik potok diambil pada titik A, kita akan memperoleh nilai spesifisitas yang sangat tinggi yaitu 1-0 = 1, tetapi dengan sensitivitas yang rendah yakni 0,25. Pada ekstrim lainnya, misalnya pada titik D sensitivitas yang diperoleh sangat tinggi yaitu 1 atau 100 % tetapi spesifisitasnya hanya 1-0,6 = 0,4. Titik B dan C ialah nilai yang moderat. Pemilihan titik potong tersebut bergantung kepada tujuan uji diagnostik dilakukan. Apabila perlu sensitivitas yang tinggi, geserlah titik potong ke arah C atau D, sedangkan bila diperlukan spesifisitas yang tinggi geserlah titik potong ke arah B atau A. Garis diagonal terdiri atas titik dengan nilai sensitivitas = 1 – spesifisitas. Makin dekat kurva ROC ke garis diagonal, makin buruk hasilnya. Titik potong yang terbaik adalah titik terjauh di sebelah kiri – atas garis diagonal.
Gambar 4. Receiver Operator Curve, memperlihatkan tawar menawar antara sensitivitas dan spesifisitas suatu uji diagnostik. Upaya untuk meningkatkan sensitivitas akan menyebabkan menurunnya nilai spesifisitas, dan sebaliknya. Upaya meningkatkan spesifisitas menyebabkan menurunnya nilai sensitivitas.
2.10
PREVALENS, POST TEST PROBABILITY, PRETEST & POST TEST ODDS
Prevalens adalah proporsi kasus yang sakit dalam suatu populasi pada suatu saat atau kurun waktu. Nilai uji diagnostik tidak hanya tergantung kepada sensitivitas dan spesfisitasnya saja, tetapi juga pada prevalens penyakit dalam suatu populasi yang akan diteliti. Apabila pervalensinya rendah, kecil kemungkinan seseorang dengan hasil uji diagnostic positif memang menderita penyakit tersebut, atau berarti nilai positif semuanya sangat tinggi. Pada prevalens rendah, suatu uji yang spesifik lebih penting dibandingkan uji yang sensitive, sebaliknya suatu penyakit yang mempunyai prevalens yang tinggi memerlukan suatu uji yang sensitive. Contoh Suatu uji diagnostic untuk mencari kasus sindrom nefrotik di populasi anak SMP memerlukan suatu uji yang spesifik karena prevalens sindrom nefrotik sangat rendah. Sebaliknya suatu uji diagnostic untuk mendeteksi adanya ketulian pada suatu populasi pasien meningitis tuberkulosa yang mendapat pengobatan streptomisin memerlukan uji yang sensitive karena prevalensinya sangat tinggi. Pada seorang subyek, prevalens penyakit disebut sebagai prior probability atau Pre-test probability, yang menunjukkan besarnya kemungkinan seseorang menderita penyakit berdasarkan ciri demografis dan klinis. Prior probability diperkirakan sebelum dilakukan uji diagnostik, misalnya prior probability diperkirakan sebelum dilakukan uji diagnostik. Misalnya prior probability sindrom nefrotik pada seorang anak sekolah (ciri demografis) yang sehat (ciri klinis) hanya 1% sebaliknya prior probability seorang mengalami hiperkolestrolemia pada orang tua (ciri demografis) yang gemuk (ciri klinis) adalah 80%. Statistik lain yang dapat diperoleh adalah pretest odds, yakni besarnya kemungkinan seseorang sakit dibanding kemungkinan ia tidak sakit sebelum dilakukan uji (ingat bahwa odds = probability/ (1-probability). Pada tabel 2 x 2 pretest odds adalah = (a+c)/ (b+d). Dalam analisis hasil uji diagnostik pretest odds ini penting, karena pretest odds bila dikalikan dengan rasio kemungkinan (likelihood ratio) akan memberikan post test odds.
2.11
NILAI DUGA (PREDICTIVE VALUES)
Setelah hasil uji diagnostik diketahui normal atau abnormal,maka tugas seorang klinikus adalah menetukan ada tidaknya penyakit.untuk menetukan ada tidaknya suatu penyakit, pertanyaan harus dijawab; 1.
Bila hasil uji diagnostik positif, berapa besarkah kemungkinan subyek tersebut menderita penyakit?
2.
Bila hasil uji diagnostik negative, berapa besarkah kemungkinan bahwa subyek tidak menderita penyakit? Kedua pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menggunakan statistik lain dari
uji diagnostik, yang disebut sebagai nilai duga (predictive value) suatu uji diagnostik. Nilai duga ini terdiri atas dua jenis, yakni nilai duga positif dan nilai duga negatif. Nilai duga uji diagnostik yang positif (ND+, atau NDP) disebut pula sebagai predictive value of positive test (PV+) atau positive predictive value (PPV) adalah probabilitas seorang menderita penyakit bila uji diagnostiknya positif. Dalam table 2x2 maka NDP adalah perbandingan antara subyek dengan hasil uji positif benar dengan positif benar plus positif semu atau NDP = a : (a + b). Nilai duga suatu uji diagnostik yang negative (ND-,NDN) disebut pula predictive value of negative test (PV-) atau negative predicative value (NPV) adalah probabilitas seseorang tidak menderita penyakit bila hasil ujinya negative. Dalam table 2x2 maka NDN = d : (c + d). Nilai duga ini disebut juga sebagai posterior probability oleh karena ditetapkan setelah hasil uji diagnostik diketahui. Nilai ini sangat berfluktasi, tergantung pada prevalens penyakit, sehingga disebut sebagai bagian yang tidak stabil dari uji diagnostik (vide infra). Karena melibatkan informasi mengenai uji dan populasi yang diuji, maka nilai prediksi merupakan ukuran manfaat klinis secara keseluruhan. Dalam keadaan seharihari, terdapat perbedaan antara prevalens di masyarakat dan dirumah sakit. Lagipula di puskesmas biasanya subyek mengalami penyakit lebih ringan dibandingkan di rumah sakit rujukan. Lebih sulit lagi, biasanya penelitian uji diagnostik dilakukan terhadap jumlah yang sama antara subyek yang sakit dan yang sehat atau prevalens sebesar 50%, yang jauh lebih besar bila dibandingkan dengan keadaan sebenarnya, walaupun dirumah sakit rujukan. Pada contoh berikut terlihat fluktuasi nilai duga (positif maupun negatif)
pada prevalens penyakit yang berlainan; yang mengharuskan kita sehati-hati dalam menerapkan hasil penelitian uji diagnostik dalam praktik sehari-hari. Contoh: Suatu uji diagnostik yang mempunyai sensitivitas 90% dan spesifisitas 80% diterapkan pada 2 populasi, yakni pada 100 subyek dengan prevalens penyakit 50% (Gambar 5) dan 100 subyek dengan prevalens penyakit 20% (Gambar 6). Pada kedua keadaan tersebut nyatalah, bahwa uji diagnostik yang sama, bila dilakukan pada pouplasi dengan prevalens penyakit yang berbeda, memberi nilai prediksi yang berbeda pula. Dengan prevalens penyakit yang sebesar (50%) nilai predileksi positifnya 80% dan nilai prediksi negatifnya 89% sedangkan dengan prevalens penyakit yang rendah (20%) nilai prediksi positifnya turun (47%) dan nilai prediksi negatifnya meningkat (97%). Jadi dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tetap, kita harus berhati-hati dalam menafsirkan uji diagnostik pada populasi yang berbeda. Misalnya, pemeriksaan USG untuk menentukan keganasan tiroid berbeda maknanya bila dilakukan di Poliklinik Tumor RS rujukan dengan bila dilakukan di Puskesmas. Sebaliknya suatu uji diagnostik yang dilakukan dalam masyarakat, misalnya untuk menetapkan indeks tuberkulin, akan berbeda maknanya bila diterapkan di klinik tuberkulosis. Baku emas
Hasil uji
Positif
Negatif
Jumlah
Positif
45
10
55
Negatif
5
40
45
jumlah
50
50
100
Gambar 5. Sensitivitas, spesivisitas, dan nilai duga suatu uji diagnostik pada poulasi dengan prevalens penyakit (persentase subyek yang menderita penyakit, atau baku emas positif terhadap seluruh subyek) sebesar 50% (50/100). Sensitivitas = 45/50=90%
ND+ = 45/55=82%
Spesifisitas = 40/50=80%
ND- = 40/45=89%
Baku emas
Positif
Negatif
Jumlah
Positif
18
16
34
Negatif
2
64
66
20
60
100
Hasil uji
Gambar 6. Sensitivitas, spesifisitas, serta nilai duga suatu uji diagnostik pada populasi dengan prevalens penyakit (persentase subyek yang menderita penyakit atau baku emas positif, terhadap seluruh subyek) sebesar 20% (20/100).
2.12
Sensitivitas = 18/20 = 90%
ND+ =18/34 = 53%
Spesifisitas = 64/80 = 80%
ND- =64/66 = 97%
RASIO KEMUNGKINAN (LIKELIHOOD RATIO) Statistik lain yang diperoleh dari uji diagnostic adalah rasio kemungkinan (RK) atau likelihood ratio (LR), yang menyatakan besarnya kemungkinan subyek yang sakit akan mendapat suatu hasil uji diagnostik tertentu dibagi kemungkinan subyek tidak sakit akan mendapat hasil uji yang sama. Jadi RK positif adalah perbandingan antara proporsi subyek yang sakit yang memberi hasil uji positif dengan proporsi subyek yang sehat yang member hasil uji positif. Dalam tabel 2 x 2 maka:
RK positif = a/(a+c) : b/(b+d) = sensitivitas : (1-spesifisitas)
Sedangkan RK negative adalah perbandingan antara proporsi subyek yang sakit yang memberi hasil uji negative dengan subyek sehat yang memberi hasil uji negative. Dalam table 2 x 2 maka :
RK negative = c/(a+c) : d/(b+d) = (1-sensitivitas) : spesifisitas
Nilai RK bervariasi antara 0 sampai tidak terhingga. Hasil uji diagnostic yang positif kuat memberikan nilai RK yang jauh lebih besar dari 1, hasil uji yang negatif kuat akan memberikan nilai RK mendekati 0, sedang hasil uji yang sedang memberikan RK di
sekitar nilai 1. Nilai RK (positif) yang dianggap penting adalah 10 atau lebih. Bila hasil positif bermacam-macam, seperti yang ditemukan pada skala ordinal atau kontinu, maka nilai RK akan bervariasi tergantung hasil positif tersebut. Dengan mengetahui pretest probability (kemungkinan adanya penyakit sebelum dilakukan uji, atau prevalens) dan rasio kemungkinan uji diagnostic, dapat diketahui posttest probability (kemungkinan adanya penyakit setelah uji diagnostic). Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan perhitungan manual atau lebih praktis dengan menggunakan nomogram.
2.13
LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN UJI DIAGNOSTIK Dalam melaksanakan uji diagnostik langkah-langkah berikut perlu dilakasanakan: 1. memastikan mengapa diperlukan uji diagnostik baru 2. menetapkan tujuan utama uji diagnostik yang diteliti 3. memilih subyek penelitian 4. menetapkan baku emas 5. melaksanakan pengukuran 6. melakukan analisis
1) Menetukan mengapa diperlukan uji diagnostik baru Dalam hal ini harus diidentifikasi apakah misalnya uji yang saat ini tersedia bersifat invasif, terlalu mahal, terlalu sulit, atau memerlukan keahlian khusus, dan apakah alat diagnostik yang baru dapat mengatasi kekurangan tersebut. 2) Menetapkan tujuan utama uji diagnostik Tentukan apakah uji diganostik akan digunakan untuk skrining, diagnosa atau untuk mneyingkirkan penyakit. Uji untuk skrining memerlukan sensitivitas yang tinggi; bila skrining memberi hasil yang positif, maka perlu dikomfirmasi dengan uji pemeriksaan lainnya. Uji diagnostik untuk komfirmasi diagnosis juga memerlukan nilai sensitivitas yang tinggi dengan spesifisitas cukup, sedangkan untuk menyingkirkan penyakit, diperlukan suatu uji diagnostik dengan spesifisitas yang tinggi. 3) Menetapkan subyek penelitian
Subyek yang direkrut untuk keperrluan penelitan uji diagnostik sangat ditentukan oleh tujuan uji diagnostik tersebut. Peserta dapat direkrut dari relawan (skrinning), pasien yang berobat untuk penyakit lain (case finding), atau pasien yang datang dengan keluhan tertentu (diagnosis). Jelaskan tempat uji diagnostik ini dilakukan, apakah dilakukan di masyarakat, puskesmas, atau rumah sakit rujukan. Subyek harus terdiri atas orang sehat, mereka yang sakit ringan, dan sakit berat. Besar sampel perlu ditentukan berdasarkan interval kepercayaan (biasanya IK 95%). Harus tersedia subyek yang cukup. 4) Menetapkan baku emas Baku emas merupakan suatu hal yang mutlak dalam setiap penelitian uji diagnostik. Telah disebutkan bahwa baku emas merupakan uji dignostik terbaik yang tersedia. Kadang suatu uji diganostik secara teoritis ideal dipakai sebagai baku emas, namun kenyataannya tidak baik dipakai oleh karena memberikan hasil yang salah. Misalnya diagnosis pasti tuberkulosis paru seharusnya adalah biakan M. tuberkulosis positif; namun dalam praktik sedikit sekali biakan M. tuberkulosis yang memberi hasil positif, baik pada dewasa, dan lebih-lebih pada anak. Oleh karena biakan kuman tuberkulosis banyak memberikan nilai negatif semu, maka ia tidak dapat digunakan sebagai baku emas. Di sisi lain seringkali baku emas yang tidak memadai tidak tersedia, sehingga harus disepakati cara tertentu untuk dipakai sebagai baku emas, misalnya pengamatan jangka panjang, respon terhadap therapi, dan lain-lain. Perlu diingatkan kembali bahwa baku emas tidak boleh mangandung variabel prediktor yang diuji, dan sebaliknya variabel predikator juga bukan merupakan komponen baku emas. 5) Melaksanakan pengukuran Pengukuran terhadap variabel predikator (alat diagnostik yang diuji ) maupun variabel efek (baku emas) harus dilakukan dengan cara standar, dan harus diusahakan pengukuran dilakukan secara tersamar (masked, blinded), yakni pemeriksa variabel prediktor (uji) tidak boleh mengetahui hasil pemeriksaan variabel efek (baku emas), dan sebaliknya. Karena itu seyogyanya ada 2 peneliti atau lebih, satu untuk menetukan hasil uji positif atau negatif, dan lainnya menentukan apakah baku emas positif atau negatif. Dapat saja peneliti hanya satu orang, tetapi harus didesain
sedemikian sehingga ia tidak mengetahui hasil alat diagnostik yang diuji pada saat ia melakukan pengukuran dengan baku emas, dan sebaliknya. Kriteria positif atau negatif baik untuk uji yang diteliti maupun untuk baku emas harus telah didefiniskan dengan jelas. Pada setiap subyek yang diteliti harus dikerjakan dua cara pemeriksaan, yang masing-masing telah distandardisasi. Apapun hasil baku emas, uji terhadap alat harus dilakukan dan sebaliknya, dengan cara yang distandardisasi tersebut. 6) Melakukan analisis Laporkanlah sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif atau negatif, serta likelihood ratio-nya, masing-masing dengan interval kepercayaan yang dipilih. Apabila hasil uji diagnostik berskala ordinal atau kontinu, harus disertakan ROC.
2.14
CONTOH UJI DIAGNOSTIK Seorang peneliti ingin menguji kegunaan USG untuk mendeteksi keganasan pembesaran tiroid soliter (tunggal). Langkah yang diperlukan adalah: 1. menentukan mengapa diperlukan uji diagnostik baru. Dalam hal ini peneliti misalnya berpendapat bahwa satu prosedur yang non- invasif diperlukan untuk diagnosis dini keganasan tiroid. 2. menentukan maksud utama uji diagnostik. Dalam hal ini tujuan utama uji diagnostik baru adalah untuk menegakkan diagnosis. 3. menetapkan subyek. Subyek dipilih dari pasien dengan pembesaran soliter kelenjar tiroid yang mengunjungi klinik tumor, dengan menetapkan besar sampel agar studi yang dilakukan mempunyai
tingkat kepercayaan tertentu. Besar sampel
diperkirakan dengan prediksi sensitivitas atau spesifisitas, penyimpangan yang masih dapat diterima, dan interval kepercayaan yang dipilih. Dengan rumus untuk proporsi tunggal, dihitung jumlah subyek untuk sensitivitas (bila yang diutamakan adalah sensitivitas), atau spesifisitas (bila yang diutamakan spesifisitas uji diagnostik). Jumlah subyek total yang diperlukan mengikuti hasil perhitungan tersebut, dengan memperhitungkan prevalens penyakit di klinik tersebut. Dalam uji diagnostik USG untuk tumor tiroid, misalnya dari pustaka diketahui sensitivitas uji diagnostik adalah 75% (P = 0,75). Bila dapat diterima penyimpangan
(d) untuk sebesar ±10%, dan interval kepercayaan 95% (α = 0,05; zα = 1,96), maka dengan rumus untuk proporsi tunggal.
Artinya diperlukan 72 pasien dengan hasil ganas pada biopsi. Dengan memperkirakan proporsi keganasan pada kasus tumor di klinik tersebut, (misalnya 40%),jumlah seluruh subyek yang diperlukan adalah 100/40 x 72 = 180 pasien dengan tumor soliter tiroid. 4. menetapkan baku emas. Baku emas yang dipergunakan adalah hasil pemeriksaan patologi anatomik terhadap biopsi kelenjar tiroid. Baku emas ini dipilih karena memang merupakan modalitas diagnostik terbaik untuk kelainan yang diteliti, dan selama ini dipakai sebagai alat diagnostik untuk maksud tersebut. 5. Melaksanakan pengukuran, peneliti melakukan pemeriksaan USG terhadap semua subyek, menetukan apakah tumor tersebut bersifat ganas, kemudian membuat biopsi. Pemeriksaan sediaan PA dilakukan oleh seorang ahli patologi-anatomik yang tidak tahu hasil pemeriksaan USG. Hasil pemeriksaan dinyatakan sebagai ganas atau jinak. 6. Melakukan analisis, setelah pengumpulan data dilakukan tabulasi hasil uji diagnostik (USG) dan pemeriksaan baku emas (PA) untuk tiap pasien sebagai berikut (untuk nama sel dalam tabel 2x2 lihatlah tabel 3), perlu diingatkan bahwa sel a berisi jumlah subyek yang pada pemeriksaan USG memberi hasil uji positif (ganas) dan hasil PA positif, sel b berisi jumlah subyek dengan hasil USG positif tetapi PA negatif (jinak), sel c berisi jumlah subyek dengan hasil USG negatif tetapi PA positif dan sel d berisi jumlah subyek dengan hasil USG negatif dan PA positif. Hasil tersebut di susun dalam tabel 2 x 2 seperti tampak pada gambar 8, sehingga dapat dengan mudah dihitung sensitivitas, spesifisitas, serta nilai prediksi positif atau negatif, masing-masing dengan interval kepercayaannya adalah : sensitivitas USG untuk mendeteksi keganasan tiroid adalah 76,1% dan kita percaya bahwa 95%
nilai sensitivitas pada populasi yang diwakili oleh sampel tersebut, terletak di antara 64,5 sampai 85,4%. Hal serupa juga berlaku untuk nilai spesifisitas dan nilai prediksinya. Nilai rasio kemungkinan juga dapat dihitung.
Gambar 7. HASIL PEMERIKSAAN TUMOR KELENJAR TIROID DENGAN USG DAN DENGAN PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMIK Pasien no.
Hasi USG
Hasil PA
Tempatkan dalam sel
1
Ganas
Ganas
a
2
Jinak
Jinak
d
3
Jinak
Ganas
c
4
Ganas
Jinak
b
5
Ganas
Ganas
a
6
Jinak
Jinak
d
7
Jinak
Jinak
d
8
Ganas
Jinak
b
dst…
Gambar 8. Hasil Pemeriksaan USG dan Patologi Anatomi pada 134 Kasu Pembesaran Kelenjar Tiroid. Patologi Anatomi Positif
Negatif
Jumlah
Positif
54
12
66
Negatif
17
51
68
Jumlah
71
63
134
USG
Sensitivitas
= 54/71
= 76,1% (IK95% : 64,5 sampai 85,4)
Spesifisitas
= 51/63
= 81,5% (IK95% : 69,1 sampai 89,8)
NP+
= 54/66
= 81,8% (IK95% : 70,4 sampai 90,2)
NP-
= 51/68
= 75,0% (IK95% : 63,0 samapi 84,7)
Prevalens
= 71/134
RK +
= 76,1/(1-81,5) = 4,1
RK -
= (1-76,1)/81,5 = 0,17
BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN. -
Uji diagnostik merupakan tekhnik untuk menilai keakuratan modalitas diagnostic baru dibandingkan dengan modalitas diagnosis standar, yang disebut sebagai baku emas.
-
Uji diagnostik baru harus menjanjikan keuntungan, misalnya lebih murah, lebih mudah, kurang invasive dan sebagainya disbanding dengan baku emas, meskipun sensitivitas dan spesifisitasnya (sedikit) lebih rendah.
-
Dalam uji diagnostic diperlukan beberapa persyaratan antara lain hasil harus dalam skala nominal dikotom, komponen yang di uji tidak boleh merupakan komponen baku emas.
-
Hasil yang diperoleh dari uji diagnostic adalah sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan negative, serta rasio kemungkinan positif dan negative. Untuk setiap statistic tersebut seyogyanya disertakan interval kepercayaannya.
-
Pada sensitivitas dan spesifisitas yang sama, nilai prediksi positif dan negative sangat dipengaruhi oleh prevalens kelainan yang diteliti.
-
Perlu ditetapkan maksud penggunaan uji diagnostic. Untuk skrinning diperlukan uji diagnostic dengan sensitivitas yang tinggi. Apabila tujuannya untuk menyingkirkan kelainan,
diperlukan
uji
diagnostik
dengan
spesifisitas
yang
tinggi,
untuk
menghidnarkan pengobatan atau tindakan terhadap subyek yang tidak sakit.
3.2 SARAN. -
Hendaknya alat yang dgunakan untuk uji diagnostik mempunyai presentase sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi agar layak digunakan sebagai diagnostic.
-
Uji diagnostic baru harus memberi manfaat yang lebih dibandingkan uji yang sudah ada.
-
Dalam menentukan cut-off point harus dilakukan secara hati-hati karena akan berpengaruh terhadap sensitivitas dan spesifisitas suatu uji diagnostik.
DAFTAR PUSTAKA
MN.Bustan. 2002. Pengantar epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta. Sastroasmoro, S & Sofyan Ismael. 2010. Dasar - Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto. Timmreck, Thomas C. 2004. Epidemiologi Suatu Pengantar. Jakarta: EGC.