BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Secara spesifik Aceh memiliki keistimewaan pada komoditas kopi yang memiliki kualitas tinggi di mata dunia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Gabungan Eksportir Kopi Indonesia menempatkan Aceh sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbaik bagi Indonesia. Bahkan Aceh menjadi daerah penghasil kopi arabika (kopi dengan kualitas terbaik di dunia) tertinggi di Indonesia mencapai 30.000-40.000 ton. Selain telah dikenal sebagai daerah penghasil kopi, Aceh juga dikenal dengan sebutan “negeri seribu warung kopi”. Ungkapan tersebut dikarenakan Provinsi Aceh menjadi daerah tumbuh dan berkembanganya warung kopi dan salah satunya adalah Kota Banda Aceh. Hal ini dapat dilihat dari morfologi Kota Banda Aceh yang sebagiannya terbentuk oleh keberadaan warung kopi yang tumbuh di setiap ruas jalan dan deretan bangunan pertokoan. Bahkan Aceh boleh di katakan merupakan provinsi yang memiliki paling banyak warung kopi di dunia. Dari data yang dihimpun Aceh Art pada tahun 2012 terdapat lebih dari 800 warung kopi dengan berbagai tipe warung kopi yang bertempat di Kota Banda Aceh (www.atjeharts.com/ diakses pada 28 Oktober 2013, pukul 21.03). Sedangkan warung kopi dalam skala kota berjumlah 272 unit (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh, 2013). Diumpamakan jumlah warung Kopi di Kota Banda Aceh layaknya jumlah mesin ATM yang hampir di setiap ruas jalan dapat ditemui. Dengan mudahnya warung kopi ditemukan berbaris sepanjang jalan, dari jalan raya protokol, negara, sampai jalan-jalan lokal. Bahkan sampai pada lingkup kawasan terpencilpun hampir pasti ditemukan warung kopi walaupun hanya satu saja. Jumlahnya sudah tidak dapat dihitung alias banyak sekali. Jadi tak heran bila kita melihat hampir di setiap sudut Kota Banda Aceh terdapat warung kopi.
1
Gambar 1.1 Warkop di Kota Banda Aceh (Dhapu Kupi) Sumber: teukuiskandar.wordpress.com Diakses pada tanggal 12 Juni 2014, pukul 05.37
(a)
Gambar 1.2 Warkop di Kota Banda Aceh (Zakir) Sumber: medanbisnisdaily.com dan Diakses pada tanggal 12 Juni 2014, pukul 05.37
(b)
(c)
(d)
Gambar 1.3 Beberapa Warung Kopi di Kota-Kota Dunia Keterangan: (a) (b) (c) (d)
Wellington Coffee Shop, Australia (sumber: propertypal.com) Coffee Shop di Amsterdam, Belanda (sumber: coffeeheroes.blogspot.com) Starbucks on beginning (sumber: starbucks.com) The Central Cafe Vienna, Austria (sumber: thegln.org)
Diakses pada tanggal 12 Juni 2014, pukul 05.50
Fenomena menjamurnya warung kopi tak lepas dari kebiasaan ataupun budaya minum kopi masyarakat di kota tersebut. Budaya minum kopi di setiap negara atau kota berbeda-beda. Di Kota Vienna (Austria), kebiasaan minum kopi pada pagi hari di warung kopi sudah menjadi aktivitas wajib penduduk lokalnya. Warung kopi dengan ciri khas yang mewah dan elegan menjadi warisan budaya
2
Austria. Lain lagi di Amsterdam (Belanda) yang masyarakatnya sangat suka bersosialisasi di tempat-tempat semacam warung kopi, sehingga disana terdapat banyak warung kopi. Kemudian di Negara Selandia Baru, Kota Wellington merupakan kota favorit warga Selandia Baru untuk menikmati minuman kopi. Dengan banyaknya keberadaan warung kopi di Kota Wellington, maka masyarakat tidak akan mengalami kesulitan mencari tempat minum kopi di Kota Wellington. Selanjutnya, sejak tahun 1990-an Amerika Utara dikenal sebagai tempat lahirnya budaya minum kopi di Amerika Serikat dengan keberadaan warung kopi yang terletak di hampir setiap blok kota. Di negara inilah perusahaan warung kopi ternama (Strabucks) didirikan, tepatnya pada tahun 1971 di Kota Seattle. Sementara itu, jauh sebelum warung kopi khusus pertama terkenal di Amerika, orang-orang Turki sudah duluan menikmati hidup dengan budaya warung kopi sejak tahun 1500-an (Mayrani, 2014).
Gambar 1.4 Antusiasme Masyarakat Banda Aceh Terhadap Aktivitas “Ngopi” Sumber: seputaraceh.com Diakses pada tanggal 12 juni 2014, pukul 06.12
Menilik dari budaya minum kopi di beberapa kota di dunia, budaya minum kopi di Kota Banda Aceh saat ini mampu menjadikan warung kopi sebagai arena terbaik untuk menikmati kopi, bersosialisasi hingga tercipta interaksi di dalamnya. Keberadaan warung kopi di Banda Aceh selalu memberikan nuansa keterbukaan bagi kehidupan masyarakatnya. Tradisi minum kopi ini merupakan salah satu bentuk
aktivitas
dalam
mengisi
kekosongan
waktu
untuk
beristirahat,
menghilangkan segala kepenatan, berkumpul hingga membentuk interaksi sosial antar pengunjung
warung kopi. Tradisi ini juga dilakukan sebagai media
silaturrahmi, media bisnis bahkan menjadi media tukar informasi lintas generasi. 3
Sebagian besar masyarakat Aceh hampir tidak pernah melepas hiruk pikuk kesehariannya bersama warung kopi. Warung kopi telah menjadi sarana yang penting bagi publik dalam menjalani hari disela-sela melakukan aktivitas rutin. Tak ubahnya warung kopi di Banda Aceh terus menunjukkan wajah kehidupan yang humanistik terhadap masyarakatnya. Keberadaan warung kopi di Kota Banda Aceh juga memenuhi kebutuhan masyarakat akan hal-hal baru yang tidak ditemui selain di warung kopi. Tak aneh rasanya bila para pengunjung berkumpul mampu menciptakan suasana publik di warung kopi. Warung kopi adalah sebuah wadah yang dapat memberikan tempat bagi masyarakat Aceh untuk berkomunikasi satu sama lain (Mauriza, 1998). Kondisi dimana orang-orang berinteraksi dengan cara berkomunikasi di warung kopi. Warung kopi selalu dijadikan opsi untuk melakukan interaksi oleh masyarakat Kota Banda Aceh. Sebenarnya orang-orang mengunjungi warung kopi untuk mencari lawan bicara, sehingga tidak akan ditemukan warung kopi yang luput dari hiruk-pikuk percakapan (Mauriza, 1998). Selain itu, tidak sedikit yang mengakui bahwa warung kopi dapat memberikan berbagai inspirasi dan informasi. Hal ini tidak lepas dari salah satu manfaat warung kopi yaitu sebagai tempat menemukan ide dan gagasan. Menurut Carmona, dkk (2010), menyebutkan bahwa dalam menentukan relativitas ‘ke-publik-an’ suatu ruang, maka harus memenuhi tiga unsur yakni kepemilikan fungsi, akses, dan kegunaan. Dalam hal ini ini, warung kopi di Banda Aceh memiliki kepemilikan fungsi yang netral, dapat diakses oleh publik dan digunakan secara bersama-sama oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga warung kopi kian menjelma sebagai ruang vital bagi kehidupan publik. Keberagaman ini tak mengenal tingkat usia, jenis kelamin maupun status sosial dan membuktikan bahwa warung kopi memiliki potensi kultural yang dapat membawa masyarakat ke arah peremajaan sosial. Keberpihakan ruang publik pada warung kopi di Kota Banda Aceh diyakini sangat erat pemanfaatannya sebagai ruang publik dengan karakteristik masyarakat Aceh pada umumnya. Menurut Madanipour (2003), sejauh ini masyarakat kota telah menafsirkan berbagai skala ruang kota untuk digunakan sebagai ruang publik yang seharusnya dan
4
sebelumnya mereka telah memahami bagaimana ruang-ruang publik tersebut terbentuk. Untuk memenuhi kebutuhan akan nilai-nilai tersebut, dari sisi keruangan salah satunya bisa dipenuhi dengan menghadirkan ruang publik yang memadai di tengah perkotaan. Kualitas masyarakat ditentukan juga oleh ketersediaan ruang publik yang memberikan kualitas dalam berinteraksi sosial, penyaluran kegemaran yang pada akhirnya memberikan rasa nyaman, bahagia, sekaligus menambah rasa cinta masyarakat untuk melakukan berbagai hal di kotanya. Hal ini tentu menarik untuk dikaji, keberadaan warung kopi yang terus berkembang telah menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dalam melakukan rutinitas kesehariannya dengan latar belakang pengguna yang beragam. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa keberadaan warung kopi di Banda Aceh sedemikian pentingnya dalam keseharian masyarakatnya. Bagi kaum muda khususnya pelajar dan mahasiswa, warung kopi lebih dimanfaatkan untuk mengerjakan tugas, diskusi kelompok, rapat organisasi. Sedangkan oleh kaum tua warung kopi lebih dimanfaatkan sebagai tempat melakukan perbincangan berupa opini-opini terkait dinamika politik, sosial ekonomi, dan kebubudayaan di Aceh, perbincangan seputar urusan pekerjaan, serta tempat melakukan negosiasi dan kesepakatan kerjasama bisnis. Selain itu, warung kopi di Kota Banda Aceh juga menyajikan suasana kemeriahan dan euforia seperti kegiatan menonton pertandingan sepakbola dan terselenggaranya berbagai event menarik di warung kopi.
1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Ruang publik yang baik adalah sebuah tempat yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk berinteraksi. Melihat perkembangan warung kopi di Kota Banda Aceh saat ini telah menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat. Dalam melakukan berbagai aktivitas, masyarakat Kota Banda Aceh kerap sekali dihadapkan dengan kegiatan ngopi. Dalam kegiatan ngopi tak jarang terjadi pertukaran informasi, bahkan sering terjadi kesepakatan kerjasama mulai dari janji
5
lanjutan hingga tanda tangan kontrak. Kian jauh melangkah, anggapan pemanfaatan warung kopi sebagai ruang publik semakin kuat sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah warung kopi di Kota Banda Aceh. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian mengenai pemanfaatan warung kopi sebagai ruang publik di Kota Banda Aceh dirasa perlu untuk dilakukan sehingga memunculkan sebuah pertanyaan penelitian, sejauh mana keberadaan warung kopi di Kota Banda Aceh merepresentasikan pemanfaatannya sebagai ruang publik?
1.3 Tujuan Penelitian Untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah memverifikasi warung kopi di Banda Aceh dengan melihat sejauh mana keberadaannya menjadi ruang publik.
1.4 Manfaat Penelitian Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan berbagai manfaat bagi pemerintah maupun ilmu pengetahuan. Sebagai institusi terkait, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan maupun alternatif pemikiran bagi penentu kebijakan dalam hal penyediaan ruang publik. Kebijakan itu nantinya ditujukan agar ruang publik yang tersedia benar-benar selaras dengan kebutuhan masyarakat akan ruang publik. Bagi ilmu pengetahuan, manfaat hasil penelitian ini dapat menambah literatur mengenai konsep ruang publik. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan masukan guna merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan penyediaan ruang publik.
1.5 Batasan Penelitian Penyusunan penelitian ini memuat batasan secara spasial atau kawasan penelitian dan batasan secara substansial atau materi penelitian. Penentuan batasan penelitian digunakan sebagai batasan operasional pelaksana penelitian.
6
1.5.1
Batasan Substansial Batasan substansial dari penelitian ini adalah sebatas aspek ruang publik
yang diverifikasi pada warung kopi di Kota Banda Aceh dengan penilaian para pengunjung terhadap kondisi di lokasi penelitian. Dengan begitu, peneliti dapat mengetahui sejauh mana warung kopi menjadi ruang publik di Kota Banda Aceh dengan melihat aspek ruang publik di dalamnya. 1.5.2
Batasan Spasial
Kota Banda Aceh
Kawasan Batoh (Jl. Mr.Moh.Hasan
Gambar 1.5 Lokasi Penelitian Sumber: Google Maps Tahun 2013, dengan Modifikasi Peneliti
Secara umum kawasan penelitian ini dilakukan pada warung kopi yang berada di Kota Banda Aceh. Namun, jumlah warung kopi yang terlalu banyak, peneliti membatasi objek penelitian dengan batasan bahwa hanya warung kopi yang berada di Kawasan Batoh, tepatnya di jalan Mr. Moh. Hasan. Hal ini dikarenakan populasi warung kopi yang berada di Kota Banda Aceh sudah hampir tidak terhitung jumlahnya atau banyak sekali. Selain itu, kawasan yang dipilih sebagai lokasi penelitian sudah cukup untuk merepresentasikan karakteristik warung kopi di seluruh penjuru Kota Banda Aceh.
7
1.5.3
Batasan Waktu Dalam melakukan penelitian ini terdapat batasan waktu dalam melakukan
survei/observasi dan pengerjaan laporan hasil penelitian. Peneliti membutuhkan waktu kurang lebih selama satu bulan dalam melakukan survei lapangan guna memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan untuk penyelesaian penelitian ini. Sementara itu, penyelesaian laporan penelitian ini membutuhkan waktu sekitar dua bulan.
1.6 Keaslian Penelitian Penelitian ini berfokus pada identifikasi sejauh mana keberadaan warung kopi menjadi ruang publik di Kota Banda Aceh. Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian mengenai ruang publik dan warung kopi telah dilakukan sebelumnya, tetapi belum ada penelitian dengan fokus dan lokasi seperti yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian ini ditujukan untuk melihat sejauh mana pemanfaatan warung kopi menjadi ruang publik di Kota Banda Aceh dengan melihat aspek ruang publik di dalamnya. Berikut penjabaran beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian yang sedang dilakukan saat ini: 1. Lapangan Puputan Badung sebagai Ruang Kreatif Publik bagi Pengembangan Kota Kreatif Denpasar Oleh: Buana, Made Bhela Sanji (2013) Penelitian ini membahas mengenai konsep ruang kreatif publik pada Lapangan Puputan Badung di Kota Denpasar. Kemudian disimpulkan sejauh mana Lapangan Puputan Badung memenuhi prinsip ruang kreatif publik. Hasil Penelitian ini menjelaskan bahwa Lapangan Puputan Badung telah menjadi ruang kreatif publik yang baik dan ditemukan beberapa faktor utama yang menjadi kepentingan dalam mengunjungi Lapangan Puputan Badung. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deduktif kuantitatif dan kualitatif.
8
2. Pemanfaatan Plaza Benteng Kuto Besak sebagai Ruang Publik di Tepian Sungai Musi Kota Palembang Oleh: Marliza, Winda (2014) Fokus penelitian ini adalah menganalisis pemanfaatan ruang publik dari segi aktivitas, pelaku, tempat, dan waktu (pola pemanfaatan) dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan ruang publik dengan menggunakan teori waterfront design character. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deduktif-kualitatif-deskriptif. 3. Ruang Publik Semu: Pusat Perbelanjaan Sebagai Ruang Publik Perkotaan di Kota Jakarta Oleh: Riyadi, Fariz (2012) Penelitian ini berfokus pada pusat perbelanjaan di Kota Jakarta sebagai ruang publik. Kemudian penelitian ini menyimpulkan penggunaan pusat perbelanjaan sebagai bentuk baru dalam kesemuan ruang publik di Kota Jakarta. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa keberadaan pusat-pusat perbelanjaan telah menjadi ruang publik di Kota Jakarta. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode induktif kualitatif. 4. Dualisme Tradisional-Modern pada Gaya Hidup Orang Aceh, Kasus Warung Kopi di Banda Aceh Oleh: Rahayu, Mutia (2013) Penelitian ini berfokus pada hal-hal yang menjadi alasan terjadinya dualisme pada keberadaan warung kopi di Banda Aceh. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk dualisme tradisional-modern dalam warung kopi di Banda Aceh dapat dikatakan berjalan beriringan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode induktif kualitatif. 5. Pemanfaatan Ruang Publik Kawasan 0 Km Kota Yogyakarta Oleh: Sianida, Ferry (2012) Penelitian ini berfokus pada pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kawasan 0 Km Kota Yogyakarta. Kemudian penelitian ini menyimpulkan bahwa Kawasan
9
0 Km merupakan ruang publik yang bebas digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kegiatan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode induktif kualitatif. 6. Hubungan Gaya Hidup Masyarakat Urban (Urban Lifesyle) terhadap Tumbuh Kembang Warung kopi. Kasus: Kawasan Seturan Babarsari Oleh: Sari, Dayu Ariesta Kirana (2010) Fokus dari penelitian ini adalah bagaimana gaya hidup masyarakat mempengaruhi perkembangan warung kopi di Kawasan Seturan Babarsari. Masih diperlukan amatan lebih lanjut mengenai keberlanjutan warung kopi terhadap perubahan gaya hidup. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode induktif kualitatif. 7. Penggunaan Ruang Alun-Alun Kota Magelang sebagai Ruang Publik Oleh: Widyaningrum, Maria Prasasti Ragil Putri (2010) Penelitian ini berfokus pada penggunaan ruang alun-alun sebagai ruang publik untuk aktivitas masyarakat dan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan ruang tersebut. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa alun-alun Kota Magelang merupakan salah-satu bentuk ruang publik untuk melakukan beragam aktivitas yang bersifat rekreatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. 8. Tingkat Keberhasilan Taman Denggung di Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta sebagai Ruang Publik Oleh: Indriani, Yuvita (2013) Penelitian ini berfokus pada pengidentifikasian pada Taman Denggung terhadap tingkat keberhasilannya sebagai ruang publik di Kabupaten Sleman. Hasil identifikasi tersebut menyimpulkan bahwa saat ini Taman Denggung dapat dijadikan salah-satu contoh sebagai ruang publik yang berhasil sebagai destinasi wisata dan penunjang kebutuhan perkotaan.
10
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No.
Judul Penelitian Lapangan Puputan Badung sebagai
1
Ruang Kreatif Publik bagi Pengembangan Kota Kreatif Denpasar (Skripsi)
Penulis
Lokasi
Made Bhela Sanji Buana
Bali
(2013)
Fokus
Verifikasi aspek ruang kreatif publik pada Lapangan Puputan Badung
Metode Penelitian Deduktifkuantitatifkualitatif
Hasil Penelitian
Lapangan puputan badung terbukti memenuhi kriteria ruang kreatif publik
Menganalisis pemanfaatan ruang publik Pemanfaatan Plaza Benteng Kuto 2
Besak sebagai Ruang Publik di Tepian Sungai Musi Kota Palembang
dari segi aktivitas, pelaku, tempat, dan Winda Marliza (2011)
Palembang
(Skripsi)
Pemanfaatan Plaza Benteng Kuto Besak
waktu (pola pemanfaatan) dan faktor-
Deduktif
cenderung mengarah pada kegiatan
faktor yang mempengaruhi pemanfaatan
Kualitatif
rekreasi, sehingga intensitas kunjungan
ruang publik dengan menggunakan teori
hanya dilakukan pada hari-hari libur saja.
waterfront design character. Ruang Publik Semu: Pusat 3
Perbelanjaan Sebagai Ruang Publik Perkotaan di Kota Jakarta (Skripsi)
Permintaan masyarakat perkotaan Fariz Riyadi (2012)
Jakarta
Pusat perbelanjaan sebagai ruang publik
Induktif
mendorong penggunaan pusat perbelanjaan
Kualitatif
sebagai bentuk baru dalam kesemuan ruang publik di Kota Jakarta Warung kopi merupakan salah satu tempat
Dualisme Tradisional-Modern pada 4
Gaya Hidup Orang Aceh, Kasus Warung Kopi di Banda Aceh
Mutia Rahayu (2013)
Hal-hal yang menjadi alasan terjadinya Banda Aceh
dualisme pada keberadaan warung kopi di Banda Aceh
yang penting bagi masyarakat Banda Aceh. Kualitatif
Selain sebagai sentral informasi, warung kopi juga dapat merepresentasikan gaya hidup masayarakat Aceh.
Bersambung.. 11
No.
Judul Penelitian
Penulis
Lokasi
Fokus
Metode
Pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh 5
Pemanfaatan Ruang Publik Kawasan 0 Km Kota Yogyakarta
Ferry Sianida (2012)
Yogyakarta
Hasil Penelitian
Penelitian
masyarakat dan faktor-faktor yang
Induktif-
mempengaruhinya di Kawasan 0 Km Kota
Kualitatif
Yogyakarta
Kawasan 0 Km merupakan ruang publik yang bebas digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kegiatan
Hubungan Gaya Hidup Masyarakat
6
Urban (Urban Lifesyle) terhadap
Dayu Ariesta
Seturan,
Tumbuh Kembang Warung kopi.
Kirana Sari
Babarsari,
(2010)
Yogyakarta
Kasus: Kawasan Seturan Babarsari
Pengaruh urban lifestyle terhadap perkembangan warung kopi
Induktif Kualitatif
Masih diperlukan amatan lebih lanjut mengenai
keberlanjutan
warung
kopi
terhadap perubahan gaya hidup
(Skripsi) Penggunaan Ruang Alun-Alun Kota 7
Magelang sebagai Ruang Publik (Skripsi)
Maria Prasasti
Penggunaan ruang alun-alun sebagai ruang
Ragil Putri
Kota
Widyaningrum
Magelang
(2010)
publik untuk aktivitas masyarakat dan halhal yang berkaitan dengan penggunaan ruang tersebut
Induktif-
Alun-alun Kota Magelang merupakan salh-
Deskriptif
satu bentuk ruang publik untuk melakukan
eksploratif
beragam aktivitas yang bersifat rekreatif
Tingkat Keberhasilan Taman 8
Denggung di Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta sebagai Ruang
Taman Denggung dapat dijadikan salahYuvita Indriani
Kabupaten
(2013)
Sleman
Identifikasi tingkat keberhasilan Taman
Deduktif-
satu contoh sebagai ruang publik yang
Denggung sebagai ruang publik
Kualitatif
berhasil
Publik (Skripsi)
seabagi
destinasi
wisata
penunjang kebutuhan perkotaan Sumber: Hasil Konstruksi Peneliti, 2014
12
dan