BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gaharu merupakan produk hasil hutan non kayu bernilai komersial tinggi berupa gumpalan padat, berwarna cokelat kehitaman hingga hitam dan memiliki bau harum pada bagian batang, cabang atau akar dari jenis tumbuhan penghasil gaharu setelah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh jamur (Sidiyasa dan Mira, 2009). Tumbuhan penghasil gaharu umumnya merupakan tumbuhan berkayu, namun ada juga tanaman penghasil gaharu yang berasal dari tumbuhan liana dan perdu. Kualitas gaharu yang terbentuk berbedabeda sesuai dengan jenis pohon penghasilnya. Perbedaan ini dapat menjadi ciri, sifat, dan kualitas aroma keharumannya dari tiap jenis pohon penghasil gaharu (Sumarna, 2012). Indonesia merupakan negara produsen gaharu terbesar di dunia. Indonesia pada akhir tahun 1990 mampu menghasilkan gaharu lebih dari 600 ton/tahun, tetapi sejak tahun 2000 kuota produksinya menurun sekitar 300 ton/tahun dan hanya mampu terpenuhi antara 10-15 % saja. Bahkan pada tahun 2004 kuota produksinya menjadi 50-150 ton/tahun. Berkembangnya nilai pemanfaatan gaharu semakin meningkatkan tekanan terhadap populasi tanaman penghasil gaharu di alam untuk diperoleh produk gaharunya oleh beberapa negara industri karena nilai jual gaharu yang semakin meningkat (Sumarna, 2012). Soehartono dan Newton (2002) menyebutkan bahwa sumber utama materi dagang gaharu dulunya berasal dari daerah Sumatra dan Kalimantan, kemudian berpindah ke daerah Indonesia Timur (Maluku dan Irian Jaya). Adanya perbedaan data resmi mengenai harga dan volume gaharu pada perdagangan lokal maupun internasional menunjukkan bahwa sebagian besar gaharu kualitas tinggi telah diperdagangkan secara ilegal, sehingga dimungkinkan bahwa perdagangan gaharu di Indonesia bersifat tidak lestari. Kualitas produk gaharu yang berasal dari hutan alam juga lebih baik dibandingkan gaharu hasil inokulan buatan pada tanaman budidaya (Jensen, 2003; Mucharrohmah, 2011). Hal tersebut yang menyebabkan tanaman ini pada populasi secara alaminya menjadi 1
langka, sehingga di tahun 2004 jenis ini termasuk kategori jenis yang terancam punah oleh APPENDIX II CITES (CITES, 2004). Indonesia diketahui memiliki 25 jenis tumbuhan penghasil gaharu yang terkelompok dalam 8 genus dan 3 famili (Thymeleaceae, Leguminoceae, dan Euphorbiaceae), salah satunya adalah genus Gyrinops. Total terdapat 9 spesies dari genus Gyrinops. Gaharu yang diperdagangkan oleh Indonesia ada tiga jenis yaitu Aquilaria malaccensis dari Sumatera dan Kalimantan; Aquilaria filaria dari Sulawesi, Maluku, dan Papua; serta Gyrinops versteegii yang banyak diproduksi dari Nusa Tenggara (Siran, 2011). Jenis Gyrinops versteegii termasuk salah satu tumbuhan penghasil gaharu dengan kualitas superior. Beberapa spesies dalam genus Gyrinops belum semuanya terbudidayakan dengan baik dan benar, seperti aspek bagaimana keragaman genetiknya; informasi karakteristik fenotipnya yang superior ataukah inferior; dan dilakukannya proses kegiatan pemuliaan pohon, apalagi jenis Gyrinops versteegii ini hanya terdapat di Indonesia bagian timur yaitu Nusa Tenggara dan Papua (Mulyaningsih and Yamada, 2007). Jenis Gyrinops versteegii sendiri sudah banyak dibudidayakan di beberapa daerah, tidak hanya di daerah populasi alami jenis tersebut saja. Hal tersebut dikarenakan banyaknya minat orang-orang untuk mendapatkan hasil produk berupa gaharu. Tetapi, pelaku budidaya tersebut sering tidak memperhatikan aspek seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Penelitian-penelitian yang dapat menjadi pendukung dalam hal kegiatan konservasi jenis ini pun belum banyak dilakukan di Indonesia, sehingga perlu adanya pengawalan dan usaha yang besar dalam penelitian dengan referensi yang begitu sedikit. Kegiatan pembibitan Gyrinops versteegii di luar populasi alami tidaklah mudah, dikarenakan terhambat oleh sifat biji yang rekalsitran sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu lama untuk kebutuhan jangka panjang. Hal tersebut berkaitan dengan penyimpanan dan pengiriman biji semisalnya ke luar pulau Nusa Tenggara yang memerlukan waktu lama. Selain itu, biji Gyrinops versteegii memiliki daya survive atau persen jadi bibit nya rendah dan musim buahnya hanya setahun sekali (bulan Agustus hingga Desember).
2
Persentase berkecambah dari penaburan biji secara langsung sebenarnya bisa mencapai 82 % dengan persen jadi bibit setelah 6 minggu 74 %, tetapi bila biji tersebut disimpan pada kondisi suhu ruangan (25oC-26oC) selama 2 minggu persentase kecambahnya menurun menjadi 69 % dengan persen jadi bibit setelah 6 minggu 50 %. Persen kecambah akan terus menurun seiring semakin lama biji tersebut disimpan. Persen kecambah biji yang disimpan dalam kondisi suhu ruangan selama 2 bulan akan menjadi 48 % dan persen jadi bibitnya setelah 6 minggu menjadi 29 %. (Subiakto, et al., 2010). Persentase jadi bibit dari biji yang ditabur secara langsung juga akan terus menurun hingga 60-70% setelah 6-8 bulan. Hal tersebut yang menyebabkan para pembudidaya di daerah populasi alami lebih memilih untuk mengambil cabutan dari anakan alami (Sumarna, 2002). Menanggapi permasalahan mengenai persen tingkat jadi semai yang mengalami penurunan kemudian beralih memilih mengambil cabutan anakan alami tersebut, metode propagasi (perbanyakan) dengan menggunakan materi vegetatif dapat menjadi pemecah masalah tersebut. Metode perbanyakan secara vegetatif ada dua yaitu secara makro atau mikro. Perbanyakan vegetatif secara makro antara lain stek, okulasi, menyambung, sedangkan perbanyakan vegetatif secara mikro yaitu melalui teknik kultur jaringan. Persen tumbuh dari uji coba terhadap tumbuhan penghasil gaharu dengan menggunakan metode propagasi makro pun masih terbilang belum tinggi, seperti stek batang 27,8 % dan stek pucuk gaharu 63,9 % (Sumarna, 2002), sehingga dimungkinkan penggunaan metode propagasi mikro ini bisa mendapatkan hasil lebih baik. Aplikasi propagasi mikro melalui kultur jaringan sudah banyak dilakukan pada berbagai tanaman dengan hasil yang memuaskan. Keuntungan dari teknik kultur jaringan dibanding propagasi makro lainnya antara lain : (1) melalui isolasi terhadap bagian tanaman, dapat menentukan dan mengontrol sifat alami bagian tanaman yang digunakan sebagai materi, (2) isolasi materi dari bagian tanaman yang sangat potensial seperti melalui embriogenesis dan organogenesis, (3) pengerjaan kultur jaringan ini di bawah kondisi bebas dari mikroorganisme, (4) kondisi fisik lingkungannya sangat mudah dimanipulasi dan pengembangan materi bagian tanaman pada tempat yang kecil, (5) sistem kultur jaringan memiliki kemampuan memanipulasi mekanisme hereditas lebih baik
3
dibanding sistem yang lain (misal : lebih mudah menginduksi suatu eksplan menjadi mutan dan menseleksi dalam skala besar terhadap suatu eksplan dalam tingkat sel), (6) studi metabolisme dapat dilakukan pada level sel dibanding level organisme yang lebih kompleks, dan (7) faktor juvenilitas, mature, pertumbuhan, dan perkembangannya mudah dipelajari (Bonga, 1982). Keberhasilan dari teknik kultur jaringan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pemilihan eksplan yang tepat sebagai bahan dasar terkait juvenilitas dari jaringan eksplan tersebut; komposisi medium tumbuh dan zat pengatur tumbuh yang sesuai, karena tiap jenis tanaman yang berbeda atau bahkan bagian organ/sel/jaringan dari tanaman yang sama dapat memberikan respon yang berbeda (Salisbury dan Ross, 1995); keadaan lingkungan yang aseptik serta pengaturan udara yang baik, dan cara sterilisasinya (Herawan dan Hendrati, 1996; Hendaryono dan Wijayani, 2012; Zulkarnain, 2014). Hormon (zat pengatur tumbuh) merupakan senyawa organik hasil sintesis salah satu bagian tanaman kemudian dipindahkan ke bagian yang lain dan dengan konsentrasi rendah dapat menimbulkan suatu respon fisiologis pada tanaman. Sama halnya tanaman normal yang secara alami menghasilkan dan memfungsikan hormon untuk pertumbuhan, begitu pula materi bagian tanaman, perlu adanya pemberian terhadap materi bagian tanaman dalam kultur jaringan karena materi tersebut belum bisa untuk menghasilkan dan memfungsikan hormon selayaknya tanaman normal. Pemberian hormon (zat pengatur tumbuh) bertujuan untuk mendukung pertumbuhan materi bagian tanaman dalam kultur jaringan untuk menjadi tanaman yang lengkap, sehingga diperlukan konsentrasi hormon, jenis hormon, dan kemungkinan adanya interaksi hormon yang tepat dalam teknik kultur jaringan untuk mendukung upaya tersebut. Hormon yang biasa digunakan dalam penelitian kultur jaringan adalah kelompok sitokinin dan auksin. Penggunaan hormon sitokinin dan auksin tergantung pada komposisi dan rasio dari kedua hormon tersebut serta tujuan yang ingin dicapai. Konsentrasi sitokinin yang lebih tinggi dari auksin akan mengarah kepada pembentukan tunas, sedangkan konsentrasi auksin yang lebih tinggi daripada sitokinin akan lebih mempengaruhi eksplan dalam memacu pembentukan
4
akar. Kelompok sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan yaitu BAP (Benzil Amino Purine). Azwin, et al. (2006) dalam penelitiannya terhadap Aquilaria malaccensis, hanya dengan pemberian hormon BAP 0,5 ppm dapat menghasilkan jumlah tunas dan panjang tunas tertinggi baik dari eksplan tunas aksiler yaitu 5,67 tunas dan 3,15 cm ataupun tunas adventif yaitu 6,11 tunas dan 2,79 cm. Sabdin, et al. (2011) dengan pemberian hormon BAP 1 mg/l terhadap tunas lateral Aquilaria malaccensis dapat memberikan respon jumlah tunas terbaik yaitu 10 tunas. Beberapa penelitian tersebut hanya menggunakan hormon BAP saja, pertimbangan yang digunakan yaitu auksin endogen yang dibuat dalam tubuh tanaman dirasa sudah cukup dalam menunjang kultur jaringan tanaman bersangkutan (Hendaryono dan Wijayani, 2012). Anonim (2011) dalam penelitiannya pada Gyrinops versteegii, pemberian hormon tunggal BAP 0,25 mg/l dapat membentuk tunas sebanyak 4,7 tunas dan panjang 1,7 cm. Hasil tersebut bila dibandingkan dengan Lisdiantini (2009) dalam penelitiannya terhadap Gyrinops versteegii, pemberian hormon BAP 0,2 mg/l dan IBA 0,05 mg/l hanya dapat menghasilkan jumlah tunas dan panjang tunas terbaik yaitu 3,17 tunas dan 1,8 cm. Penelitian kultur jaringan terhadap Gyrinops versteegii masih belum banyak dilakukan, sehingga acuan terdekat yaitu pada jenis yang berhubungan dekat secara taksonomi. Jenis Aquilaria malaccensis dan Gyrinops versteegii memiliki hubungan kekerabatan yang dekat (Ding Hou, 1960), kemungkinan bila diberi cara perlakuan yang sama yaitu meningkatkan pemberian hormon BAP maka jumlah tunas yang dihasilkan oleh eksplan pun akan meningkat. Pembentukan tunas lebih dipengaruhi oleh hormon sitokinin. Hormon BAP termasuk hormon sintetik dan memiliki sifat lebih stabil dan kuat dibandingkan jenis hormon sitokinin lainnya seperti kinetin dan zeatin. Pertumbuhan perakaran pada eksplan dapat dikontrol dengan adanya pemberian perlakuan zat pengatur tumbuh golongan auksin ke dalam media tumbuh untuk memacu pembentukan akar. Kelompok auksin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah NAA (Naphthalene Acetic Acid) dan IBA (Indole-3-Butyric Acid). Harmant, et al. (1990) mengungkapkan bahwa pemberian kombinasi IBA
5
dan NAA lebih efektif pengaruhnya utamanya untuk meningkatkan persentase berakar dan jumlah akar pada eksplan dibandingkan dengan hormon tunggal. Penggunaan kedua hormon tersebut sebagai sebuah kombinasi dikarenakan hormon NAA lebih mempengaruhi pembentukan akar, sedangkan hormon IBA lebih berpengaruh pada pertumbuhan panjang akar (Arlianti, et al., 2013). IBA merupakan hormon sintetis derivatif dari IAA yang bila diberikan pada eksplan dengan konsentrasi tinggi akan berperan efektif dalam membantu perakaran sebagian besar jenis tanaman. IBA dan NAA merupakan hormon yang memiliki kandungan kimia yang stabil dibandingkan IAA, tidak menimbulkan mutasi seperti 2.4 D, dan sifat translokasi lebih lambat. Astuti (2005) mengungkapkan bahwa pertumbuhan akar Aquilaria malaccensis pada perlakuan kombinasi NAA dan IBA 2 mg/l menghasilkan jumlah akar yang paling banyak dibanding kombinasi lain dan perlakuan hormon tunggal NAA atau IBA. Tahardi dan Imron (2005) pemberian kombinasi NAA dan IBA dengan konsentrasi 0,05 mg/l pada tanaman kina (Chincona succirubra) menghasilkan pengakaran tertinggi.
1.2. Rumusan Masalah Gyrinops Versteegii merupakan salah satu tanaman penghasil gaharu yang berkualitas superior dan memiliki populasi alami hanya terdapat di Indonesia bagian timur. Populasi alami tanaman ini mengalami penurunan secara terus– menerus akibat over-exploitation untuk diambil produk gaharu, padahal tidak setiap individu pohon dapat menghasilkannya meskipun telah terinfeksi oleh suatu inokulan. Kegiatan pembibitan Gyrinops versteegii diluar populasi alaminya tidaklah mudah dikarenakan terhambat oleh sifat biji yang rekalsitran, daya survive bibit yang rendah dan musim buah hanya satu tahun sekali. Penaburan biji gaharu secara langsung sebenarnya memiliki persentase berkecambah 70-80 %, tetapi tingkat jadi bibitnya akan menurun setelah 6-8 bulan hingga 60-70 %. Hal tersebut yang menyebabkan beberapa pembudidaya di daerah populasi alami lebih memilih untuk mengambil cabutan anakan alami. Menanggapi permasalahan seperti sifat biji yang rekalsitran, musim buah yang satu tahun sekali, dan daya survive atau persen jadi bibit yang rendah, maka
6
metode propagasi vegetatif bisa dijadikan sebagai pemecah permasalahan tersebut. Penggunaan metode propagasi vegetatif juga dapat mencegah pengambilan cabutan alam secara terus-menerus oleh para pembudidaya. Metode propagasi vegetatif ada dua yaitu secara makro atau mikro. Metode propagasi vegetatif secara makro misalnya stek, okulasi, menyambung. Metode propagasi vegetatif secara mikro yaitu kultur jaringan. Penggunaan metode propagasi secara makro pada tumbuhan penghasil gaharu seperti stek masih memiliki persen keberhasilan yang belum tinggi dan persen berakar yang masih rendah, sehingga diharapkan melalui teknik kultur jaringan bisa menjadi alternatif pilihan untuk membudidayakan tumbuhan penghasil gaharu. Aplikasi teknik kultur jaringan sudah banyak dilakukan pada berbagai tanaman dengan menggunakan bahan eksplan yang bervariasi. Keberhasilan dari teknik kultur jaringan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu pemilihan eksplan yang tepat sebagai bahan dasar dan kesesuaian zat pengatur tumbuh yang diberikan. Pemberian hormon (zat pengatur tumbuh) bertujuan untuk mendukung pertumbuhan materi bagian tanaman dalam kultur jaringan dalam beregenerasi. Hormon yang biasa digunakan dalam penelitian kultur jaringan adalah kelompok sitokinin dan auksin. Penggunaan hormon sitokinin dan auksin tergantung pada komposisi dan rasio dari kedua hormon tersebut serta tujuan yang ingin dicapai. Konsentrasi sitokinin yang lebih tinggi dari auksin akan mengarah kepada pembentukan tunas, sedangkan konsentrasi auksin yang lebih tinggi daripada sitokinin akan memacu pembentukan akar. Kelompok sitokinin yang sering digunakan dalam kultur jaringan yaitu BAP (Benzil Amino Purine). Penelitian yang dilakukan oleh Azwin et al (2006), Anonim (2011), dan Sabdin et al (2011) hanya diberi hormon sitokinin saja untuk memacu pembentukan tunas dan tidak memerlukan penambahan hormon auksin lagi. Hal tersebut dikarenakan auksin endogen yang ada dalam eksplan sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan kultur tanaman yang bersangkutan. Kelompok auksin yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah kombinasi NAA (Naphthalene Acetic Acid) dan IBA (Indole-3-Butyric Acid), karena secara umum lebih efektif dibandingkan dengan hormon tunggal utamanya untuk meningkatkan persentase berakar dan
7
jumlah akar. Astuti (2005) serta Tahardi dan Imron (2005) dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa penggunaan kombinasi NAA dan IBA jauh lebih baik dalam memacu pembentukan akar dibandingkan kombinasi hormon lain ataupun perlakuan hormon tunggal. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah : a) Kesesuaian konsentrasi hormon sitokinin (BAP) pada materi eksplan untuk memacu pembentukan tunas saat tahap induksi tunas? b) Kemampuan eksplan dalam menghasilkan tunas ? c) Perkembangan subkultur eksplan pada tahap multiplikasi ? d) Kesesuaian interaksi hormon auksin (NAA dan IBA) terhadap eksplan pada tahap perakaran?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan yang ada, tujuan penelitian ini adalah : a) Menentukan konsentrasi hormon BAP yang sesuai terhadap materi eksplan pada tahap induksi tunas untuk memacu pembentukan tunas. b) Mengidentifikasi perkembangan subkultur eksplan terbaik dalam media yang terbaik pada tahap mutiplikasi. c) Mengidentifikasi kemampuan eksplan yang terbaik dalam menghasilkan tunas. d) Menganalisa interaksi materi eksplan dengan konsentrasi hormon BAP terhadap pembentukan tunas dan pertumbuhan panjang tunas pada tahap induksi tunas. e) Menganalisa interaksi hormon NAA dengan konsentrasi hormon IBA terhadap pembentukan akar dan pertumbuhan panjang akar pada tahap perakaran.
1.4. Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan, sehingga didapatkan hipotesis dalam penelitian ini antara lain :
8
a) Peningkatan pemberian konsentrasi hormon BAP akan meningkatkan pembentukan tunas pada eksplan. b) Perkembangan subkultur eksplan terbaik dalam medium tumbuh yang terbaik mampu meningkatkan pembentukan tunas dan pertumbuhan panjang tunas pada eksplan. c) Materi eksplan epikotil merupakan eksplan yang terbaik dalam hal menghasilkan tunas d) Interaksi antara materi eksplan dengan konsentrasi hormon BAP dapat meningkatkan pembentukan tunas dan pertumbuhan panjang tunas pada eksplan saat tahap induksi tunas. e) Interaksi antara hormon NAA dan konsentrasi hormon IBA dapat meningkatkan pembentukan akar dan pertumbuhan panjang akar pada eksplan saat tahap perakaran.
1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini nantinya diharapkan bisa memberikan informasi, antara lain: a) Informasi dasar tentang efisiensi dan efektifitas penggunaan konsentrasi hormon BAP sebagai metode terbaik dalam memacu pertumbuhan tunas tiap materi eksplan Gyrinops versteegii pada tahap induksi. b) Informasi dasar mengenai perkembangan subkultur eksplan terbaik dalam media yang terbaik saat tahap multiplikasi dalam hal perbanyakan tunas. c) Informasi dasar berkaitan dengan efisiensi dan efektifitas penggunaan kombinasi hormon NAA dan IBA untuk memacu pembentukan akar pada eksplan Gyrinops versteegii saat tahap perakaran. d) Mengaplikasikan informasi dasar tersebut dengan menggunakan materi eksplan berasal dari indukan pohon hasil pemuliaan. e) Informasi mengenai daya trubus dan berakar Gyrinops versteegii guna mendukung salah satu upaya dalam kegiatan pemuliaan yaitu perbanyakan tanaman yang dilakukan secara mikropropagasi dengan menggunakan teknik kultur jaringan.
9
f)
Memberikan pilihan alternatif dalam hal pembangunan mother trees kebun pangkas secara mikropropagasi dengan menggunakan teknik kultur jaringan.
10