BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk dan pesatnya pembangunan menyebabkan sumber air bersih berkurang, khususnya di daerah perkotaan. Saat ini air bersih menjadi barang yang mahal karena air sudah banyak tercemar oleh bermacammacam limbah dari hasil kegiatan manusia, baik limbah dari kegiatan rumah tangga, limbah industri dan kegiatan-kegiatan lainnya. Sulitnya mendapatkan air berkualitas baik, mempengaruhi kegiatan budidaya ikan. Penggunaan air dengan kualitas buruk dalam budidaya ikan akan menyebabkan ikan mudah terserang parasit dan penyakit sehingga pertumbuhan ikan menjadi terhambat bahkan dapat menyebabkan kematian. Salah satu cara untuk mengatasi sulitnya memperoleh air berkualitas dalam budidaya ikan adalah dengan menggunakan kembali (re-use) air yang telah dipakai. Beberapa tahun terakhir, mulai dikembangkan sistem budidaya ikan yang menggunakan prinsip daur ulang air yaitu sistem akuaponik. Sistem ini dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengatasi masalah s ulitnya memperoleh air berkualitas. Akuaponik adalah kombinasi budidaya ikan dan tanaman menggunakan sistem resirkulasi air (Rakocy et al. 2006). Sistem ini dapat menghemat penggunaan air dalam budidaya ikan sampai 97% (ECOLIFE, 2011). Interaksi antara ikan dan tanaman pada sistem ini menciptakan lingkungan tumbuh yang lebih produktif dari metode konvensional. Budidaya ikan menggunakan sistem akuaponik lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan limbah sehingga tidak membahayakan lingkungan (Zero Enviromental Impact) dibandingkan dengan sitem budidaya lainnya. Sistem ini dapat menghasilkan ikan dan tanaman organik yang berkualitas tinggi, tanpa penggunaan pupuk buatan, pestisida maupun herbisida. Selain
menghemat
penggunaan
lahan
dan
air,
akuaponik
juga
meningkatkan efisiensi usaha melalui pemanfaatan hara dari sisa pakan dan
1
2
metabolisme ikan. Sisa pakan dan hasil metabolisme ikan (feses dan urin) aka n menghasilkan limbah berupa amonia. Amonia yang terlalu banyak dalam wadah budidaya akan menjadi racun bagi ikan. Pada sistem akuaponik, bakteri yang terdapat dalam media tumbuh tanaman dan wadah pemeliharaan ikan akan mengubah amonia menjadi nitrit dan nitrat. Pada tanaman, nitrat berfungsi sebagai nutrisi. Air yang kaya nutrisi dari wadah pemeliharaa n di salurkan kepada tanaman, kemudian dimanfaatkan sebagai sebagai pupuk (Mullen, 2003). Sistem akuaponik sangat cocok digunakan pada tanaman akuatik maupun semi-akuatik. Kangkung darat (Ipomea reptans) merupakan salah satu jenis sayuran yang cocok tanam pada sistem aquaponik karena bersifat semi-akuatik. Kangkung merupakan sumber gizi murah dan sangat mudah ditemukan. Kangkung darat yang memerlukan pengairan dan pemupukan akan mendapat air dan nutrisi yang dibutuhkan melalui sistem akuaponik. Kunci dari sistem akuaponik adalah pada proses biofiltrasi. Pada biofilter tumbuh bakteri-bakteri pengurai amonia, bakteri-bakteri ini yang berkerja mengubah amonia yang terdapat dalam perairan, tanpa bakteri ini sistem ini tidak akan berjalan maksimal. Selama ini bakteri pengurai ammonia (Nitrosomonas sp. dan Nitrospira sp.) dibiarkan berkembangbiak secara alamiah pada biofilter, sehingga timbul pemikiran untuk menambahkan mikroorganisme lain untuk membantu mempercepat proses nitrifikasi. Beberapa jenis atau kelompok
mikroorganisme diketahui mampu
melakukan proses perombakan (dekomposisi) senyawa-senyawa metabolit toksik dan dapat dikembangkan sebagai bakteri agen bioremediasi untuk pengendalian kualitas air. Jenis atau kelompok mikro-organisme tersebut antara lain bakteri nitrifkasi, bakteri sulfur (pereduksi sulfit) dan bakteri pengoksidasi amonia. Salah satu produk mikro-organisme agen bioremediasi yang telah dikomersilkan dan diaplikasikan dalam dunia perikanan adalah EM4 . Effective microorganism (EM4 ) juga digunakan sebagai probiotik pada usaha budidaya ikan dan ternak. Produk EM4 yang terdiri dari beberapa mikro-organisme yaitu Rhodopseudomonas sp., Bacillus sp. dan Saccharomyces sp. merupakan salah satu bahan yang cocok
3
untuk ditambahkan pada media biofilter dengan tujuan mengurangi konsentrasi amonia di dalam air. Ikan air tawar yang dapat digunakan dalam akuaponik sangat beragam, salah satunya adalah ikan nilem. Ikan nilem yang merupakan ikan lokal Jawa Barat yang sangat berpotensi untuk dikembangkan dengan sistem ini. Usaha budidaya ikan nilem sebelum tahun 1970-an setara dengan ikan-ikan mas, gurame, tawes, dan sepat siam serta berkembang pesat terutama di Jawa Barat. Jawa Barat saat itu masih merupakan pusat budidaya ikan air tawar di Asia Tenggara. Setelah tahun 1970-an, popularitas ikan nilem mulai menurun dibandingkan ikan budidaya lainnya. Hingga saat ini ikan nilem hanya popular di habitat aslinya di sekitar Kabupaten Tasikmalaya dan Banyumas. Perkembangan teknologi pasca panen dimasyarakat dalam pemanfaatan ikan nilem pada tahun 2004 memicu peningkatan produksi ikan nilem kembali, tercermin meningkatnya permintaan di beberapa wilayah yang tidak dapat dipenuhi. Saat ini teknologi produksi nilem masih mengandalkan teknologi tradisional, sehingga produktifitas sangat terbatas (PRPBJB, 2007). Untuk meningkatkan produksi nilem, sistem akuaponik merupakan salah satu sistem budidaya yang dapat digunakan. Atas dasar ini, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian EM4 pada media biofilter terhadap ikan nilem. Adapun parameter yang diamati untuk melihat pengaruh EM4 pada media biofilter adalah laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan nilem dengan sistem akuaponik.
1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar belakang, dapat dikemukakan permasalahan yang
muncul, yaitu : 1.
Apakah pemberian EM4 pada media biofilter akan mempengaruhi kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan ikan nilem (Ostheochilus hasselti) dengan sistem akuaponik?
4
2.
Berapakah konsentrasi pemberian EM4 untuk menghasilkan kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan ikan nilem (Ostheochilus hasselti) tertinggi dengan sistem akuaponik?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Mengetahui pengaruh pemberian EM4 pada media biofilter terhadap kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan ikan nilem (Ostheochilus hasselti) dengan sistem akuaponik.
2.
Mendapatkan konsentrasi pemberian EM4 untuk menghasilkan kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan ikan nilem (Ostheochilus hasselti) tertinggi dengan sistem akuaponik.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi informasi dan saran kepada peneliti mengenai pengaruh EM4 pada media biofilter dengan sistem akuaponik. 1.5 Kerangka Pe mikiran Akuaponik merupakan teknologi hemat air, akuaponik menggunakan 97% lebih sedikit air dibanding
metode akuakultur normal dan akuaponik
menggunakan 90% lebih sedikit air dibanding metode berkebun konvensional (ECOLIFE, 2011). Melalui penelusuran literatur, diperoleh informasi mengenai budidaya dengan sistem akuaponik pada spesies ikan air tawar. Kolam pembesaran ikan mas dengan sistem akuaponik lebih baik dibandingkan dengan sistem konvensional, terlihat dari kadar amonia di kolam akuaponik yang 91% lebih rendah dibandingkan di kolam konvensional dengan kisaran 0,0019-0,211 mg/L. Ukuran ikan produksi di kolam akuaponik 1,25 kali lebih besar dibandingkan di kolam konvensional, begitu pula dengan tingkat kelangsungan hidup ikannya (Saptarini, 2010). Budidaya dengan sistem akuaponik juga dapat diterapkan untuk ikan nila. Budidaya ikan nila BEST dengan sistem akuaponik dapat diterapkan di daerah dataran tinggi, sedang maupun rendah. Perbedaan
5
ketinggian dataran tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup, laju pertumbuhan dan produktifitas ikan nila. Kriteria kualitas air dalam kolam akuaponik di dataran tinggi, sedang dan rendah masih dalam kisaran yang layak bagi kehidupan nila (Taufik, 2010). Perbedaan waktu retensi sistem akuaponik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan spesifik ikan nila BEST, namun berpengaruh terhadap nilai reduksi amonia, nitrit, dan nitrat media budidaya (Ratananda, 2011). Peneliti sistem akuaponik asal Kanada, Savidov (2005) mengatakan bahwa tanaman akuatik sangat cocok digunakan dalam sistem akuaponik. Tanaman akuatik memiliki kemampuan untuk menyerap nutrisi yang larut dalam air. Taufik (2010) menggunakan tanaman kangkung pada sistem akuaponik untuk diteliti, penelitian berlangsung selama 6 minggu. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tanaman kangkung tumbuh baik pada sistem akuaponik, dengan sistem ini panen kangkung dapat dilakukan tiap 2 minggu. Saptarini (2010) menanam kangkung darat (Ipomoea reptans) dalam penelitian dengan sistem akuaponik, hasil penelitian menunjukkan kangkung darat dapat tumbuh baik pada sistem ini. Teknologi akuaponik berhubungan erat dengan penguraian amonia di dalam air, sehingga sangat bergantung dengan keberadaan mikro-organisme pengurai amonia. Dalam kegiatan budidaya ikan, pemberian mikro-organisme pengurai amonia sudah banyak dilakukan. Salah satu mikroorganisme pengurai amonia adalah bakteri nitrifikasi. Bakteri nitrifikasi yang dimasukkan kedalam tambak udang windu setiap 10 hari mampu beradaptasi dan menjaga kestabilan konsentrasi amonia dan nitrit, sehingga konsentrasinya masih berada pada batas aman untuk budidaya udang (Badjoeri dan Widiyanto, 2008). Salah satu cara untuk menambahkan jumlah mikroorganisme pengurai amonia adalah dengan menggunakan teknologi effective microorganisms (EM). Teknologi EM mendapat perhatian di Malaysia karena kemampuannya mengurangi kandungan nutrisi pada air tercemar dan mengembalikan kua litas air.Teknologi EM mulai diaplikasikan secara luas di berbagai daerah di Malaysia pada awal tahun 2008, EM digunakan dalam penanganan sumber daya air (Zakaria et al. 2010).
6
Penggunaan EM memberikan hasil yang positif dalam budidaya ikan dan udang. Teknologi EM sangat sukses digunakan pada budidaya udang di Thailand. EM terbukti mengurangi biaya yang dikeluarkan sebesar 50%, mengurangi konsentrasi amonia, methan dan H2 S, udang menjadi bebas penyakit sehingga mengurangi biaya untuk antibiotik dan air pada tambak menjadi lebih bersih sehingga tidak perlu penggantian berulang kali. Pada budidaya ikan, dengan mencampurkan EM pada pakan dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan produktivitas ikan hingga 1-5% (Kyan et al. 1999). Budidaya udang organik yang diberi EM pada salinitas yang berb eda dapat mengendalikan kualitas air seperti pH, amonia dan fosfat, walaupun tidak dilakukan pergantian air. Biaya produksi yang dikeluarkan lebih rendah, sehingga pembudidaya medapat keuntungan lebih (Pongdit dan Thongkaew, 2002). Pemberian EM4 berpengaruh terhadap perbaikan kualitas limbah cair tahu dan tingkat kelangsungan hidup benih ikan mas (Cyprinus carpio L.) Penggunaan EM4 dengan konsentrasi 35 mL/L
memberikan parameter perbaikan kualitas
media pemeliharaan limbah cair tahu tertinggi dibandingkan dengan konsentrasi lainnya yaitu pH 8,47, DO 5,00 mg/L, BOD 42,40 mg/L, ammonia 0,22 mg/L, nitrat 1,57 mg/L dan H2 S 0,02 mg/L. (Kusnaningsih, 2005). Penelitian yang dilakukan terhadap larva ikan mas dengan media yang tidak disiphon selama 15 hari pada padat penebaran 150 ekor/m2 menunjukkan bahwa pemberian EM4 dengan konsentrasi 10 mL/L memberikan perbaikan terhadap parameter kualitas media budidaya seperti pH (5,64-7,94), DO (1,26-6 mg/L), Amonia (0,01- 0,535 mg/L) dengan derajat kelangsungan hidup ikan mas mencapai 69, 78% (Murtiati, 2003 dalam Kusnaningsih, 2005). Hasil penelitian lainnya, menunjukkan bahwa probiotik EM 4 berpengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup, dan kandungan NH3 pada media pemeliharaan. Terdapat korelasi antara konsentrasi NH3 pada media pemeliharaan dengan tingkat kelangsungan hidup benih lele dumbo. Konsentrasi probiotik EM4 yang paling baik yaitu 12 mL/L air, dimana kelangsungan hidupnya 52,67%, dan konsentrasi amonia 0,007 mg/L (Dardiani, 2012).
7
1.6 Hipotesis Konsentrasi EM4 sebesar 12 mL/L air pada media biofilter memberikan kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan tertinggi pada ikan nilem.