BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Minyak bumi merupakan sumber energi yang sangat penting bagi kehidupan manusia sampai saat ini. Pemakaian minyak bumi akan terus berlanjut sampai ditemukan sumber energi alternatif lain yang lebih ekonomis dan efisien. Hal ini menyebabkan berbagai upaya eksplorasi, eksploitasi dan pengolahan minyak bumi terus ditingkatkan dari tahun ke tahun.(Udianto dalam Dalimunte, 2002) Namun, tumpahan yang diakibatkan kebocoran maupun kecerobohan pada proses eksplorasi, penyulingan dan distribusi minyak bumi mengakibatkan adanya penurunan kualitas lingkungan. Menurut Suryatmana, limbah minyak bumi terbesar di Indonesia adalah berupa timbunan lumpur sisa destilasi minyak mentah yang tertampung di berbagai perusahaan-perusahaan minyak. Sebagai contoh, PT Caltex Pacific Indonesia menghasilkan lumpur minyak sebanyak 650 m3 hari-1; PT UNOCAL menghasilkan 500 m3 hari-1;
Pertamina Balongan dan Plaju, masing-masing
menghasilkan limbah lumpur sebanyak 400 m3 hari-1dan 500 m3 hari-1. (Suryatmana, 2006) Lumpur minyak bumi termasuk ke dalam golongan limbah berbahaya dan beracun karena memiliki karakteristik baik fisik maupun kimia yang dapat menyebabkan serta memberi kontribusi pada peningkatan penyakit dan bahaya yang potensial bagi kesehatan manusia dan lingkungan. (Widiyarti, 2007) Terjadinya pencemaran hidrokarbon tidak hanya mempengaruhi bau dan rasa air tanah (Calabrese, 1988), tetapi juga berpengaruh pada germinasi dan pertumbuhan beberapa tanaman.(Klokk, 1984) Dalam PP no.18 tahun 1999, lumpur minyak bumi dikategorikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3). Konsekuensi dari penetapan tersebut, diperlukan adanya pengolahan dan penanganan yang khusus dan ketat bila terjadi pencemaran. Diperlukan adanya suatu sistem pengelolaan yang baik agar ceceran dan tumpahan minyak bumi
1
dapat diminimalisir. Selain itu, diperlukan pula sistem pengolahan terpadu sehingga dapat meningkatkan kembali kualitas lingkungan. Proses pemulihan kesuburan tanah tercemar sangat tergantung pada kuantitas tumpahan minyak bumi dan potensi biodegradasi oleh populasi mikroba di daerah yang tercemar tersebut.(Ekundayo, 1987) Bioremediasi merupakan suatu alternatif dalam pengolahan limbah dengan menggunakan mikroorganisme sebagai pendegradasi minyak bumi sehingga diperoleh senyawa akhir yang stabil dan tidak beracun. Proses degradasi ini relatif murah, efektif, dan ramah lingkungan.(Zam, 2004) Salah satu teknik penerapan bioremediasi adalah menggunakan teknik landfarming. Landfarming sering disebut juga landtreatment atau landapplication. Cara ini dilakukan pada permukaan tanah secara aerob dan dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ. Peranan penting nitrogen sebagai salah satu nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh mikroba pendegradasi hidrokarbon di lingkungan telah banyak diketahui. (Atlas, 1973 dan Odu, 1987) Mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak hanya jika tersedia nutrisi yang cukup dan akseptor elektron. (David, 2003) Makronutrisi yang dibutuhkan berkaitan dengan proses bioremediasi adalah nitrogen dan fosfor. Akseptor elektron yang umum dipakai adalah oksigen, walaupun beberapa mikroorganisme juga dapat menggunakan nitrat, sulfat dan senyawa lain sebagai akseptor elektron.(Bouwer, 1994) Nitrogen diperoleh dengan menambahkan pupuk kimia urea ataupun NPK ke dalam tanah. Namun, sebenarnya di dalam tanah terdapat mikroba yang ikut berkontribusi menyumbang nitrogen untuk memperkaya nutrisi tanah, yaitu mikroba pengikat nitrogen. Diantara mikroba ini ada yang mampu hidup secara bebas, aerob dan mampu bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang tercemar (Onwurah, 1996)
1.2 Tujuan Kerja Praktek
1. Menentukan pengaruh penambahan mikroba pengikat nitrogen pada proses bioremediasi tanah cemaran minyak dengan metode landfarming dengan dan tanpa penambahan pupuk urea.
2
2. Membandingkan perlakuan yang diberi penambahan urea dengan perlakuan yang diberi penambahan mikroba pengikat nitrogen. 3. Menetukan efisiensi penurunan %TPH.
1.3 Waktu dan Tempat Kerja Praktek
Waktu Pelaksanaan : 7 Juni – 9 Juli 2010 Pukul 08.00-16.00 Tempat Pelaksanaan : Balai Teknologi Lingkungan (BPPT) Gedung 412 Puspiptek, Serpong Tangerang, Banten Indonesia Telp. 021-7560919 Fax. 021-7563116 Email :
[email protected] Pelaksanaan Kerja Praktek dilakukan selama 5 minggu dimulai pada tanggal 7 Juni 2010. Dengan waktu pengenalan dan persiapan penelitian selama 4 hari dan waktu penelitian selama 26 hari. Penelitian dilakukan di Laboratorium Proses, Balai Teknologi Lingkungan.
3
BAB II PROFIL BALAI TEKNOLOGI LINGKUNGAN BPPT
Gambar 2.1 Gedung Balai Teknologi Lingkungan
2.1 Sejarah Balai Teknologi Lingkungan
Balai Teknologi Lingkungan merupakan organisasi non organik mandiri yang dibentuk secara “bertahap” sejalan dengan restrukturisasi organisai BPPT, sebagai berikut : 1. 1990-1999 : Bernama Laboratorium Teknologi Lingkungan (LTL) yang berfungsi
sebagai
laboratorium
pendukung
kegiatan
Biotechnology
Indonesia Germany (BTIG) di Direktorat eknologi Pemukiman dan Lingkungan Hidup (Dit. TPLH), ynag secara administrasi berada dalam wilayah
pembinaan
Kedeputian
(BangTek).
4
Bidang
Pengembangan
Teknologi
2. 1999-2001 : Direktorat TPLH diganti menjadi Direktorat Teknologi Lingkungan (DTL) dan Kedeputian Bidang BangTek menjadi Kedeputian Bidang Teknologi Informasi Energi dan Material (TIEM) 3. 2001-2004 : nama direktorat di lingkungan BPPT menjadi PUSAT dan DTL menjadi Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan (P3TL). Maret 2001 MenPAN menyetujui pembentukan Balai di lingkungan BPPT dengan No.83/M.PAN/3/2001 dan LTL berubah stastus menjadi BTL berdasarkan keputusan Kepala BPPT No. 030/KP/KA/IV/2002.
2.2 Tugas Pokok Balai Teknologi Lingkungan
Sebagai satuan kerja yang mandiri maka Balai Teknologi Lingkungan (BTL) menjalankan tugas pokok yang merupakan panajaman tugas pokok BPPT sesuai dengan bidang kompetisi lembaga yaitu : “Melaksanakan tugas penelitian, pengembangan serta penerapan teknologi di bidang remediasi lingkungan, konservasi lingkungan, dan analisis kualitas lingkungan.” 2.3 Visi dan Misi Balai Teknologi Lingkungan
Visi : Menjadi pusat nasional teknologi perlindungan lingkungan
Misi : Memberikan solusi perbaikan kualitas lingkungan melalui riset dan pengembangan, desain enginnering, testing, training dan konsultasi untuk masyarakat, industri, dan pemerintah.
5
2.4 Struktur Organisasi Balai Teknologi Lingkungan
Gambar 2.2 Bagan struktur organisasi Balai Teknologi Lingkungan
2.5 Sumber Daya Manusia Balai Teknologi Lingkungan
Pada saat ini jumlah SDM BTL sebanyak 44 orang yang terdiri atas individu-individu dengan rentang jenjang pendidikan doktoral, magister, sarjana tingkat strata-1, serta non-strata.
Gambar 2.3 Sumber daya manusia Balai Teknologi Lingkungan
6
2.6 Jasa Studi dan Pelatihan Balai Teknologi Lingkungan
1. Jasa Studi dan Jasa Bangun a.
Studi Amdal/UKL/UPL/DPPL
b.
Jasa Analisa (kualitas air/air limbah, dll.)
c.
Rancang Bangun IPAL Domestik
d.
Rancang Bangun IPAL Industri
e.
Rancang Bangun Pengolahan Sampah
f.
Bioremediasi lahan tercemar minyak
2. Jasa Pelatihan a. Teknologi Pengolahan Air Limbah b. Teknologi Pengolahan Air Bersih c. Kendali Mutu Laboratorium Pengujian d. Pengolahan limbah padat organik e. Kultur Jaringan Tanaman f. Biomonitoring dan Ekotoksikologi 3. Fasilitas Fasilitas yang dimiliki oleh BTL adalah Labiratorium Analitik, Ekotoksikologi, Mikrobiologi, Kultur Jaringan, Proses dan Workshop. Laboratorium tersebut diatas dikelola dengan menerapkan Standar Operation Procedure (SOP). Khusus untuk Laboratorium Analitik telah mendapatkan akreditasi dari Komite Akreditas Nasional (KAN) sebagai laboratorium penguji di bidang kualitas lingkungan berdasarkan sertifikat SNI 19-17025-2004 sejak 23 Juni 2004.
2.7 Ruang Lingkup Kompetensi dan Segmen Pasar Kompetensi : 1.
Teknologi Analisis Kualitas Lingkungan
2.
Teknologi Remediasi (Pemulihan) Lingkungan
3.
Rancang Bangun IPA (instalasi pengolahan air)
4.
Rancang Bangun IPAL (instalasi pengolahan air limbah)
5.
Konservasi Lingkungan
7
Ruang lingkup kompetensi
BTL meliputi pengkajian, pengembangan
hingga penerapan teknologi untuk kepentingan perlindungan lingkungan yang tersusun ke dalam milestone pengembangan teknologi. Milestone dari divisi remediasi dan teknologi proses terdapat pada tabel dibawah ini : Tabel 2.1 Divisi remediasi dan teknologi proses No. Tujuan
Ukuran
MILESTONE I 2001 – 2005 • Mengembangkan teknologi pengolahan limbah bioenergi (bio-etanol dan biodiesel) pada skala laboratorium. • Mengembangkan teknologi fito remediasi untuk penanganan limbah organik
MILESTONE II 2005 – 2009 • Mengembangkan teknologi pengolahan limbah bioenergi (bio-etanol dan biodiesel) pada skala pilot. • Mengembangkan teknologi proses bioremediasi cemaran organik dan minyak pada skala pilot • Memperoleh mikroba pendegradasi cemaran organik dan minyak
•
•
•
Perolehan engineering design pengolahan limbah bioenergi skala laboratorium Perolehan engineering design fitoremediasi untuk pengolahan limbah organik
•
•
MILESTONE III 2009 – 2013 • Mengembangkan teknologi pengolahan limbah bioenergi (bio-etanol dan biodiesel) skala penuh • Mengembangkan teknologi proses bioremediasi cemaran organik dan minyak skala penuh • Mengembangkan teknologi Microbially Enhanced Oil Recovery (MEOR) Perolehan • Perolehan engineering engineering design design pengolahan pengolahan limbah bioenergi limbah bioenergi skala pilot skala penuh Perolehan • Perolehan engineering engineering design proses design proses bioremediasi bioremediasi untuk pengolahan cemaran organik limbah dan minyak skala organikdan penuh minyak skala pilot • Perolehan isolat mikroba untuk Perolehan isolat mikroba petroleum berpotensi untuk recovery mendegradasi 8
Target
•
•
Penerapan teknik pengolahan limbah bioenergi skala laboratorium Penerapan teknik fitoremediasi untuk pengolahan limbah organik
•
•
•
cemaran organik dan minyak Penerapan teknik pengolahan limbah bioenergi skala pilot Penerapan teknik proses bioremediasi untuk pengolahan limbah organik dan minyak skala pilot Diperolehnya koleksi mikroba berpotensi untuk mendegradasi cemaran organik dan minyak
9
•
•
•
Penerapan teknik pengolahan limbah bioenergi skala penuh Penerapan teknik bioremediasi cemaran minyak skala penuh Diperolehnya koleksi mikroba terseleksi untuk MEOR
BAB III PELAKSAAN KERJA PRAKTEK
3.1 Deskripsi Aktivitas
3.1.1 Alat dan Bahan Sampel yang digunakan adalah sludge crude oil yang diperoleh dari salah satu mitra kerja Balai Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sedangkan konsorsium mikroba pendegradasi minyak yang dipakai pada proses bioremediasi ini diperoleh dari hasil proses seeding dan aklimatisasi mikroba yang cocok untuk mendegradasi minyak bumi di Laboratorium Proses, Balai Teknologi Lingkungan, BPPT. Biofertilizer N-FERT dipakai sebagai sumber mikroba pengikat nitrogen. Mikroba ini diperoleh dari Balai Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Pupuk urea dan NPK digunakan sebagai sumber nutrisi nitrogen dan fosfor. Pupuk NPK berbutir biru dengan komposisi 16% N, 16% P dan 16% K. Pupuk urea yang dipakai memiliki kadar 46% N. Tanah yang ditambahkan dalam campuran diambil dari halaman sekitar Gedung Balai Teknologi Lingkungan, dengan kedalaman 0 sampai 1 meter. Pada percobaan ini ditambahkan kompos yang digunakan sebagai bulking agent. Alat yang digunakan meliputi peralatan untuk pencampuran bahan dan media pengujian seperti ember, alat pencampur, gelas kimia, gelas ukur, labu destilasi untuk ekstraksi TPH, desikator, oven, pHmeter, dan termometer (selengkapnya ditampilkan dalam Lampiran D)
3.1.2 Metode Kerja Urutan metode kerja yang dilakukan dalam pelaksanaan kerja praktek terdapat pada Gambar 3.1 dibawah ini. Timeline kerja praktek terlampir dalam Lampiran E.
10
Gambar 3.1 Diagram alir tahap-tahap penelitian
a. Pencampuran Bahan Pertama, sludge oil dicampur dengan tanah dan kompos. Perbandingan antara ketiganya adalah sludge oil : tanah : kompos = 70 : 10 : 20. Campuran tersebut kemudian diukur porositas, water holding capacity dan kadar airnya. Setelah itu, ke dalam campuran ditambahkan mikroba hidrokarbonoklastik sebagai mikroba pendegradasi minyak dan nutrisi sesuai dengan perlakuan. Nutrisi yang ditambahkan berasal dari pupuk urea dan pupuk NPK sebagai sumber nitrogen dan fosfor dengan perbandingan C : N : P = 100 : 5 : 1
11
(perhitungan nutrisi terlampir dalam Lampiran C). Pada perlakuan B dan C ditambah dengan biofertilizer N-FERT. Pupuk N-FERT adalah biofertilizer berbahan aktif mikroba pengikat nitrogen non-simbiotik dengan kepadatan sel 109 sel/ml. Biofertilizer ini biasa digunakan pada lahan pertanian. Tabel 3.1 Kombinasi perlakuan Urea yang ditambahkan
Biofertilizer N-FERT
Perlakuan A
166 g
-
Perlakuan B (setengah urea)
83 g
100 ml
-
400 ml
Perlakuan C (tanpa urea)
Pemberian biofertilizer N-FERT dilakukan dua kali yaitu pada awal percobaan (hari ke-0) dan di tengah percobaan (hari ke-15) dengan volume yang sama. Biofertilizer N-FERT diencerkan dengan air sampai menjadi empat kali dengan menggunakan aquades. Pada perlakuan B, 100 ml biofertilizer N-FERT ditambah aquades 300 ml sedangkan perlakuan C 400 ml ditambahkan dengan 1200 ml aquades sehingga kepadatan sel menjadi 2,5 × 108 sel/ml. Setelah pencampuran selesai, tanah bioremediasi yang telah siap dimasukkan ke dalam model landfarming system. Model yang dibuat berupa simulasi sederhana yang dibuat untuk menggambarkan teknik bioremediasi landfarming system. Model ini dibuat dari kotak berbahan kaca dengan ukuran 50 x 50 x 20 cm3 seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 3.2 Model bioremediasi landfarming system.
12
Dalam penelitian ini, diasumsikan bahwa mikroklimat kondisi lingkungan penelitian bersifat tetap, yaitu temperatur berkisar 26 - 31 ⁰C. Dilakukan pembalikan dan pengadukan tiap 3 kali seminggu untuk aerasi. Selain itu, secara kontinu ditambahkan air untuk menjaga kelembapan tanah. Penambahan air dilakukan pada hari ke-5, 10, 14, 17 dan 21 sebanyak 1 sampai 2 L disertai pengadukan sehingga air yang ditambahkan dapat merata. Setiap perlakuan pada percobaan ini dilakukan secara duplo. Kemudian untuk membuktikan kebutuhan urea maka salah satu dari tiap perlakuan yaitu perlakuan B2 dan perlakuan C2 ditambahkan dengan urea pada hari ke-20, sebanyak 83 gram untuk masing-masing perlakuan. Selain ditambahkan urea, pada hari ke-23 perlakuan B2 dan C2 juga ditambahkan dengan mikroba pendegradasi minyak bumi sebanyak 1000 ml.
b. Pengukuran Porositas, Water Holding Capacity dan Kadar Air Sebanyak 250 ml campuran sludge oil, tanah dan kompos dimasukkan kedalam gelas ukur dengan tanpa ditekan dan digoyang-goyang. Kemudian ditambahkan dengan 250 ml aquades dan didiamkan selama 24 jam. Setelah itu, penurunan air diukur dan dihitung nilai porositasnya. Sampel tanah dari pengukuran porositas disaring dan ditiriskan. Kemudian disimpan selama 24 jam pada suhu ruang untuk meminimalkan terjadinya penguapan. Cawan dimasukkan ke dalam oven selama 1 jam lalu dimasukkan ke dalam desikator selama setengah jam. Cawan tersebut kemudian ditimbang berat kosongnya. Sementara itu, sampel tanah yang telah ditiriskan ditimbang sebanyak 5 gram dan ditaruh ke dalam cawan yang telah ditimbang berat kosongnya. Kemudian cawan yang berisi sampel tanah di masukkan ke dalam oven selama 2 jam. Setelah 2 jam, ditimbang berat kering tanah dan dihitung besar nilai water holding capacity-nya. Untuk pengukuran kadar air, 5 gram sampel campuran tanah dimasukkan ke dalam cawan yang telah ditimbang berat kosongnya. Setelah itu dimasukkan ke dalam oven selama 2 jam. Kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama setengah jam dan ditimbang berat kering tanah.
13
c. Pengukuran Suhu, Kadar O2, kadar CO2 dan pH. Pengamatan suhu, kadar O2, kadar CO2 dan pH dilakukan setiap hari selama 26 hari. Pengukuran suhu menggunakan termometer dilakukan di bagian tengah tanah perlakuan dengan kedalaman ± 10 cm.
Pengukuran pH
menggunakan pHmeter tanah sedangkan pengukuran kadar O2 dan CO2 dengan menggunakan alat pengukur gas.
d. Pengukuran Penurunan %TPH Degradasi
diukur
dengan
menghitung
berat
total
petroleum
hidrocarbon (TPH) di awal, tengah (hari ke-12) dan diakhir pengamatan (hari ke26). Sampel diambil saat dilakukan pembalikan rutin pada perlakuan. Sebanyak 5 gram sampel tanah ditambah dengan natrium sulfat pada kertas timbel kemudian diekstrak dengan hexane dan aseton selama 16 jam. Minyak yang telah terekstrak dipindah pada labu destilasi yang telah ditimbang berat kosongnya. Kemudian didestilasi untuk memisahkan antara minyak dengan pelarutnya yaitu hexane dan aseton. Setelah itu, dimasukkan ke dalam oven selama 2 jam untuk menguapkan sisa hexane, aseton maupun air yang masih ikut terbawa. Setelah dikeluarkan dari oven didiamkan selama setengah jam di dalam desikator. Berat minyak dihitung dengan cara mengurangkan berat labu yang berisi minyak dengan berat labu kosong. Setelah itu, dihitung % TPHnya. Persentase penurunan berat TPH selama uji perlakuan menunjukkan persentase degradasi yang terjadi.
14
3.2 Pengamatan dan Analisis Data
3.2.1 Hasil Pengukuran Porositas, Water Holding Capacity dan Kadar Air Hasil pengukuran porositas campuran tanah bioremediasi yaitu sebesar 51%. Pada penelitian ini, digunakan kompos sebagai bulking agent untuk menaikkan porositas tanah serta dilakukan pembalikan dan pengadukan secara rutin untuk menghindari kompaksi tanah. Peningkatan porositas tanah ini membantu meningkatkan akses sel bakteri pada minyak (hidrokarbon). Hasil pengukuran water holding capacity adalah 35% dengan hasil pengukuran kadar air sebesar 13%. Hasil ini adalah pengukuran ketika sebelum dilakukan penambahan nutrisi dan mikroba pada campuran tanah bioremediasi.
3.2.2 Hasil Pengukuran Suhu, Kadar O2, kadar CO2 dan pH
Gambar 3.3 Grafik perubahan kadar suhu pada ketiga perlakuan selama proses bioremediasi
Terlihat pada grafik perubahan suhu (Gambar 3.3), naik pada awalnya, kemudian menurun sampai hari ke-19 dan selanjutnya suhu cenderung stabil pada suhu 30⁰. Suhu ambient ditunjukkan dengan garis berwarna ungu. Dari grafik diatas (Gambar 3.3) nampak bahwa perubahan suhu yang terukur sangat
15
dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Hari ke-5 dan ke-6 suhu drop karena suhu lingkungan juga menurun akibat hujan. Penambahan air dilakukan secara periodik ditunjukkan oleh garis merah vertikal pada grafik, yaitu pada hari ke-5, 10, 14, 17, dan 21. Sedangkan pada hari ke-10 suhu menurun kemudian naik kembali setelah ditambah dengan air. Hal ini mungkin diakibatkan terjadinya kekeringan sehingga aktivitas mikroorganisme menjadi turun. Fluktuasi suhu pada perlakuan A dan B cenderung sama sedangkan pada perlakuan C suhu dari awal hingga hari ke-13 lebih rendah dan lebih cepat menurun dibandingkan dua perlakuan lainnya. Setelah hari ke-13 suhu ketiga perlakuan cenderung sama. Pada percobaan ini pengaruh lingkungan masih sangat besar, dimana menurunnya suhu ambient seringkali diikuti oleh menurunnya suhu pada perlakuan. Hal ini disebabkan oleh volume dudukan yang dipakai relatif kecil, sehingga pengaruh lingkungan lebih besar. Pada volume dudukan yang lebih besar pengaruh lingkungan berkurang. Perlu diketahui bahwa berat tanah campuran bioremediasi tiap perlakuan berkisar 24-26 kg. Tanah campuran bioremediasi tersebut diletakkan pada kotak berbahan kaca dengan ukuran 50 × 50 × 20 cm3. Pengaruh suhu lingkungan yang besar ini kurang menguntungkan karena dapat mempengaruhi proses degradasi. Pada proses bioremediasi, suhu yang tinggi akan lebih menguntungkan sebab berbagai fraksi dapat didegradasi pada kecepatan yang sama. Sebaliknya pada suhu rendah, degradasi secara keseluruhan terjadi lebih lambat dan hanya fraksi hidrokarbon tertentu yang didegradasi. Suhu pada
hari
ke-19
menurun
merepresentasikan
aktivitas
mikroba
dalam
mendegradasi minyak menurun. Beberapa diantaranya kemungkinan disebabkan oleh ketersediaan nutrisi yang semakin menipis dan hanya fraksi hidrokarbon yang sulit terdegradasi yang masih tertinggal.
16
Gambar 3.4 Grafik perubahan kadar O2 pada ketiga perlakuan selama proses bioremediasi
Gambar 3.5 Grafik perubahan kadar CO2 pada ketiga perlakuan selama proses bioremediasi
Grafik perubahan kadar O2 (Gambar 3.4) dan CO2 (Gambar 3.5) digunakan untuk melihat aktivitas mikroba melalui aktivitas respirasinya pada proses bioremediasi ini. Dari grafik perubahan kadar CO2 (Gambar 3.5) terlihat kadar pengukuran CO2 fluktuatif, sejalan dengan grafik perubahan kadar O2
17
(Gambar 3.4). Pada awalnya aktivitas mikroorganisme cukup tinggi. Pada hari ke5 dan hari ke-10 aktivitas mikroba menurun tetapi naik kembali setelah penambahan air. Penurunan tersebut diakibatkan oleh menurunnya kelembaban dan penurunan kadar air yang mencapai 13% (data pengamatan kadar air terlampir pada Lampiran C). Aktivitas mikroba pada perlakuan A menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain tetapi kemudian mulai menurun dari hari ke-19, hal ini mungkin disebabkan karena nutrisi (terutama nutrisi nitrogen dan fosfor) sudah mulai habis. Sedangkan pada perlakuan B dan C, walaupun menurun lebih cepat tetapi kemudian cenderung stabil. Pada perlakuan B dan C ditambahkan dengan mikroba pengikat nitrogen sehingga kemungkinan membuat ketersediaan nitrogen lebih kontinu walaupun tidak banyak. Pada hari ke-5 dan hari ke-10 kelembaban menurun, sehingga berdampak pada aktivitas mikroba yang terlihat dari menurunnya grafik kadar CO2, O2, maupun grafik perubahan suhu. Hal ini membuat laju biodegradasi menjadi berkurang. Kelembaban air sangat penting karena mempengaruhi keberadaan polutan, transfer massa, tingkat toksisitas dari polutan, pergerakan dan pertumbuhan serta distribusi dari mikroorganisme (Widiyarti, 2007). Kadar air yang kurang menghambat transfer massa ke dalam sel bakteri pendegradasi. Namun, jika keadaan air berlebih dapat menghambat laju aliran oksigen yang dapat memperlambat proses degradasi. Oleh karena itu, pada percobaan ini, kadar air dikondisikan tidak lebih dari 21%. Keberadaan oksigen sangat penting karena berfungsi sebagai akseptor elektron bagi mikroba. Secara stokiometri, dibutuhkan sekitar 3 kg oksigen untuk setiap 1 kg petroleum hydrocarbon. (Atlas, 1984) Namun, pada praktek di lapangan, oksigen yang dibutuhkan pada proses bioremediasi lebih dari itu dikarenakan beberapa faktor lain yaitu terjadinya reaksi oksidasi lain dan karena proses distribusi yang tidak efisien. (Cookson, 1995) Pada percobaan ini, dilakukan pengadukan dan pembalikan secara berkala setiap 3 kali seminggu untuk menjamin suplai oksigen. Secara fisiologis, keberadaan oksigen akan menghambat kinerja enzim nitrogenase. Enzim ini adalah enzim yang dimiliki bakteri pengikat nitrogen yang berguna dalam proses pemfiksasian nitrogen dari udara. Enzim nitrogenase terdiri
18
dari dua protein yaitu dinitrogenase dan dinitrogenase reductase. (Madigan, 2009) Dalam proses pemfiksasian nitrogen membutuhkan energi yang besar yaitu 6 elektron harus ditransfer untuk dapat mengubah N2 menjadi NH3. Oksigen dapat menghambat proses ini karena dinitrogen reductase dapat cepat tidak aktif (irreversible) oleh oksigen. Nitrogenase pada organisme aerob dilindungi dari oksigen dengan beberapa mekanisme yang berbeda yaitu pembuangan oksigen dengan cepat pada respirasi, produksi slime layer atau membentuk heterocyst (pada cyanobacteria). Penelitian pada salah satu mikroba pemfiksasi nitrogen yaitu Azotobacter vinelandii menunjukkan bahwa supply energi merupakan faktor utama yang mempengaruhi aktivitas nitrogenase pada pertumbuhan aerob. (Linkerhagner, 1997) Pada Streptomyces thermoautotrophicus ditemukan enzim nitrogenase yang tidak sensitif terhadap oksigen. (Madigan, 2009)
Gambar 3.6 Grafik perubahan pH pada ketiga perlakuan selama proses bioremediasi
Pengukuran pH dilakukan tiap hari dengan menggunakan alat soil tester Takemura DM5. Grafik pH (Gambar 3.6) fluktuatif dan menurun secara perlahan setelah hari ke-15. Penambahan air dilakukan secara periodik ditunjukkan oleh
19
garis merah vertikal pada grafik, yaitu pada hari ke-5, 10, 14, 17, dan 21. Dari hasil pengukuran terlihat bahwa, pH menurun sesaat setelah ditambahkan dengan air. Hal ini dikarenakan metode pengukuran pH yang digunakan pada percobaan ini masih sangat tergantung dari kelembaban tanah sehingga perubahan kelembaban menyebabkan pH yang terukur berubah. Pada pengukuran pH tanah, keasamaan tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalam tanah tersebut. Bila kepekatan ion hidrogen di dalam tanah terlalu tinggi maka tanah akan bereaksi asam. Sebaliknya bila kadar kation OH- lebih tinggi dari ion H+ maka tanah akan bereaksi basa. Karena metode pengukuran yang digunakan dalam percobaan ini sangat tergantung pada terjadinya pertukaran ion-ion H+ maka kelembaban tanah menjadi sangat berpengaruh pada hasil pengukuran. Oleh karena itu, bila kelembaban air bertambah saat ditambahkan dengan air maka nilai pH yang terukur akan menurun. Pada proses biodegradasi hidrokarbon akan dihasilkan asam-asam organik yang berkontribusi pada menurunnya pH tanah. Senyawa antara hasil proses biodegradasi berupa asam-asam organik seperti asam benzoat, asam salisilat, asam mandelat, asam piruvat, asam gentisat, dan asam-asam organik lainnya. (Widiyarti, 2007) Dalam degradasi n-alkana misalnya, reaksi oksidasi pada awalnya akan terjadi penambahan oksigen pada terminal karbon dari hidrokarbon membentuk alkohol primer dengan bantuan oksigen dan enzim oksigenase. Kemudian oksidasi dilanjutkan terhadap alkohol primer sehingga terbentuk aldehid menghasilkan asam lemak dan asetil-CoA yang berasal dari potongan dua karbon rantai karbon alkana. Produk antara asetil-CoA akan masuk ke siklus Krebs. Dari kegiatan ini rantai karbon alkana akan berkurang dari Cn menjadi Cn2.
Kegiatan
ini
akan
berlangsung
sampai
semua
hidrokarbon
teroksidasi/mineralisasi. Apabila suatu senyawa organik telah terdegradasi sampai ke bentuk asamnya, reaksi degradasi selanjutnya akan berlangsung melalui pemisahan dua unit karbon secara berkesinambungan (Cookson, 1995)
20
3.2.3 Hasil Pengukuran %TPH Pengukuran TPH dilakukan sebanyak 3 kali selama percobaan ini yaitu TPH awal pada hari ke-0, TPH tengah pada hari ke-12 dan TPH akhir pada hari ke-26. Pengukuran TPH awal sama untuk semua perlakuan yaitu 6,32%. Pada pengukuran TPH tengah antara perlakuan A dan B tidak berbeda jauh yaitu 3,44% dan 3,82%. Tetapi pada perlakuan C penurunan lebih sedikit dari kedua perlakuan lainnya yaitu hanya turun 0,11% menjadi 6,12%. Walaupun demikian, hasil yang diperoleh pada pengukuran akhir antara perlakuan B dan C tidak jauh berbeda yaitu 2,88% dan 3,05%. Dibandingkan dua perlakuan lainnya, perlakuan A memberikan hasil yang paling baik dengan penurunan %TPH menjadi 2,12%.
Gambar 3.7 Grafik perubahan %TPH pada ketiga perlakuan selama proses bioremediasi
Secara umum, terlihat bahwa hasil proses degradasi minyak bumi antara ketiga perlakuan tidak jauh berbeda. Dari hasil pengukuran %TPH nampak bahwa terjadi perbedaan kecepatan degradasi antara di awal dan di akhir percobaan. Dari hasil pengukuran TPH tengah, penurunan TPH mencapai 2,88% untuk perlakuan A dan 2,5% untuk perlakuan B tetapi pada pengukuran selanjutnya penurunan hanya 1,32% pada perlakuan A dan 0,94% pada perlakuan B. Dengan demikian terlihat dua fase kecepatan degradasi, yaitu fase cepat dan fase lambat. Fenomena ini umum terjadi pada proses bioremediasi land-treatment, dimana terdapat dua
21
fase degradasi yaitu fase degradasi cepat yang biasanya diikuti dengan fase degradasi yang lebih lambat. Fase degradasi cepat biasanya ditentukan oleh kemampuan
bakteri
menggunakan
substrat
yang
tersedia
(bioavailable
compounds) dan kinetika enzim. Sedangkan pada fase lambat, degradasi ditentukan oleh laju dissolution minyak dari partikel-partikel tanah. (Admon, 2001 dan Alexander, 2000) Secara umum, menurunnya aktivitas mikroba dan penurunan kecepatan degradasi khususnya pada perlakuan A dan B setelah hari ke-13 kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1. Menurunnya sumber karbon yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba. 2. Senyawa hidrokarbon yang tertinggal adalah fraksi-fraksi kompleks yang sulit didegradasi oleh mikroba 3. Ketersediaan nutrien yang sudah mulai menipis. Salah satu faktor pembatas utama dalam proses biodegradasi adalah sumber nitrogen dan fosfor. 4. Keberadaan senyawa toksik seperti logam-logam berat maupun senyawa lain yang sangat sukar untuk didegradasi oleh mikroba. Senyawa-senyawa yang bersifat toksik cenderung akan persisten (Crawford, 1996)
Berbeda halnya pada perlakuan C, dimana pada awalnya proses degradasi terlihat kurang efektif dengan penurunan TPH sebesar 0,11%. Hal ini kemungkinan erat kaitannya dengan keberadaan nutrisi pada tanah. Pada perlakuan C tidak ditambahkan dengan urea tetapi ditambahkan dengan mikroba pengikat nitrogen. Di awal mungkin mikroba pengikat nitrogen belum dapat bekerja dengan baik karena masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Mikroba yang ditambahkan berasal dari biofertilizer yang diperuntukkan untuk daerah pertanian sehingga bukan dikondisikan untuk daerah yang tercemar dengan hidrokarbon seperti pada percobaan kali ini. Pada akhir pengukuran, penurunan %TPH perlakuan C mencapai 3,07%. Hal ini mengindikasikan bahwa proses degradasi terjadi lebih cepat dan lebih efisien dibandingkan di awal. Dari hasil pengukuran tersebut memberikan indikasi
22
telah terjadinya proses fiksasi nitrogen dari mikroba pengikat nitrogen. Walaupun pengukuran suhu dan CO2 tidak terlihat aktivitas yang meningkat saat diberi penambahan biofertilizer N-FERT pada hari ke-14, tetapi ada kemungkinan mikroba ini tetap bekerja dengan aktivitas rendah sehingga terdapat ketersediaan nitrogen di dalam tanah walau hanya sedikit. Hasil dari fiksasi inilah kemudian yang digunakan oleh mikroba pendegradasi minyak sebagai sumber nitrogen. Dengan demikian, proses degradasi dapat berjalan lebih cepat. Namun, dalam prakteknya karena tidak dilakukan pengukuran secara langsung terhadap jumlah nitrogen yang terfiksasi dan jumlah mikroba pengikat nitrogen yang hidup maka terdapat faktor lain yang tidak boleh dilupakan. Akumulasi nitrogen diakhir percobaan dapat juga berasal dari mikroorganisme yang mati. Penambahan biofertilizer berisi mikroba pengikat nitrogen hidup cukup banyak, yaitu 100 ml dan 400 ml dengan kepadatan sel 109 sel/ml. Materi-materi organik dari mikroba yang sudah mati berupa protein dan material sel yang lain juga menjadi sumber nitrogen oleh mikroba lain yang masih hidup. Kelebihan
penambahan
mikroba
pengikat
nitrogen
dibandingkan
menambahkan nitrogen dari pupuk kimia yaitu ketersediaan nitrogen di tanah lebih kontinu dan terjaga. Tetapi kekurangannya adalah tidak mampu memberikan hasil yang drastis cepat. Selain itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa kemampuan mikroba pengikat nitrogen non-simbiotik dalam mengikat nitrogen cukup rendah hanya 15 kg N/ha/tahun, jauh lebih rendah daripada kontribusi bakteri pemfiksasi nitrogen simbiosis yang mencapai 24-584 kg N/ha/tahun. (Shantharam, 1997) Fiksasi nitrogen oleh mikroba pengikat nitrogen nonsimbiotik ini juga tidak konsisten tergantung dari kondisi lingkungannya. (Wani, 1989)
23
Gambar 3.8 Efisiensi penurunan TPH lumpur minyak bumi selama 26 hari
Efesiensi penurunan %TPH terbaik pada percobaan ini adalah perlakuan A dengan efesiensi degradasi sebesar 66,46%. Sedangkan antara perlakuan B dan C tidak berbeda jauh, yaitu 54,43% dan 51,74%. Proses degradasi sangat tergantung dari bioavailability substrat (TPH) terhadap mikroorganisme pendegradasi. Di media padat, salah satunya tanah, bioavailability dapat lebih rendah dibandingkan pada media cair. Bioavailability yang rendah membuat kontak antara sel mikroba dengan substrat menjadi terhambat. Faktor lain yang berpengaruh antara lain transfer massa dalam tanah yang rendah, kandungan dari polutan yang tidak merata (tidak homogen), mobilitas sel bakteri yang rendah dan minyak yang menempel kuat pada matrik-matrik tanah. (Widiyarti, 2007)
3.2.4 Hasil Pengamatan Setelah Penambahan Urea dan Mikroba Pada percobaan ini semua perlakuan dilakukan secara duplo, kemudian pada hari ke-20 saat aktivitas sudah terlihat menurun, salah satu dari perlakuan B dan C ditambah dengan urea yaitu pada perlakuan B2 dan C2. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah menurunnya aktivitas tersebut memang dikarenakan berkurangnya nitrogen. Kemudian pada hari ke-23, kedua perlakuan tersebut juga ditambah dengan mikroba pendegradasi minyak bumi sebanyak 1000 ml untuk
24
masing-masing perlakuan. Perubahan pH, suhu dan kadar CO2 setelah ditambahkan urea terlihat pada grafik dibawah ini :
Gambar 3.9 Grafik perubahan suhu setelah penambahan urea pada hari ke-20 dan mikroba pada hari ke-23
Secara umum pada gambar 3.9 terlihat bahwa hanya perlakuan C2 yang memberikan hasil yang meningkat setelah penambahan urea. Penambahan mikroba dilakukan saat aktivitas mulai menurun kembali yaitu pada hari-23 ditunjukkan dengan garis vertikal berwarna kuning pada grafik.
Gambar 3.10 Grafik perubahan kadar CO2 setelah penambahan urea pada hari ke-20 dan mikroba pada hari ke-23
25
Gambar 3.11 Grafik perubahan kadar O2 setelah penambahan urea pada hari ke20 dan mikroba pada hari ke-23
Aktivitas mikroba yang terlihat dari grafik perubahan kadar CO2 (Gambar 3.10) dan O2 (Gambar 3.11) menunujukkan bahwa hanya perlakuan C2 yang terlihat meningkat aktivitasnya. Sedangkan pada perlakuan B2 tidak terjadi perubahan aktivitas dan cenderung sama dengan perlakuan B1 dan C1 yang tidak ditambah dengan urea maupun mikroba. Penambahan urea pada hari ke-20 terlihat memberikan pengaruh yang lebih baik pada perubahan aktivitas mikroba dibandingkan pada penambahan mikroba pada hari ke-23. Berkurangnya nutrisi nitrogen dan fosfor, bioavailability substrat (TPH), keberadaan senyawa toksik kemungkinan menjadi faktor pembatas utama proses degradasi pada fase ini. Hal ini membuat penambahan mikroba tidak memberikan hasil yang signifikan karena faktor-faktor pembatas tersebut tidak ikut serta ditangani.
26
Gambar 3.12 Grafik perubahan pH setelah penambahan urea pada hari ke-20 dan mikroba pada hari ke-23
Nilai pH yang terukur adalah pH asam berkisar pada pH 5,5 – 3,5. Adanya akumulasi asam-asam organik hasil dari proses degradasi sebelumnya mungkin menjadi faktor utama menurunnya pH. Selain itu adanya kematian mikroba juga dapat membuat pH menjadi menurun. Dari gambar 3.12 terlihat bahwa pada perlakuan C1 dan C2 cenderung lebih asam jika dibandingkan dengan perlakuan B1 dan B2.
Gambar 3.13 Grafik penurunan %TPH setelah penambahan urea pada hari ke-20 dan mikroba pada hari ke-23
27
Penambahan urea di hari ke-20 memberikan hasil pengukuran TPH akhir pada perlakuan B2 dan C2 lebih baik dibandingkan perlakuan B1 maupun C1, yaitu 2,20% dan 2,08%. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan nutrisi terutama nitrogen yang menjadi faktor pembatas pada percobaan ini. Penambahan mikroba pada hasil pengukuran suhu, kadar CO2, kadar O2 maupun pH tidak terlihat memberikan perubahan proses degradasi.
3.2.5 Proses Degradasi oleh Mikroba Pada penelitian bioremediasi kali ini melibatkan 3 kelompok mikroba di dalamnya yaitu yang pertama mikroba indigenous yang memang sudah terdapat di dalam tanah, kompos atau dari sludge oil itu sendiri. Kedua, mikroba pendegradasi minyak bumi, mikroba ini diperoleh dari hasil proses seeding dan aklimatisasi mikroba yang cocok untuk mendegradasi minyak bumi. Ketiga, mikroba pengikat nitrogen, yaitu diperoleh dengan menambahkan biofertilizer NFERT. Untuk memastikan stabilitas dan pertumbuhan konsorsium mikroba, volume biofertilizer N-FERT yang ditambahkan untuk perlakuan B sebanyak 100 ml dan perlakuan C sebanyak 400 ml yang kemudian masing-masing diencerkan menjadi 4-kalinya dengan kepadatan sel 2,5 x 108 sel/ml. Ketika menambahkan mikroba pada suatu proses bioremediasi maka yang harus dipastikan adalah mereka dapat bertahan hidup di tempat yang baru tersebut dalam jumlah yang banyak dan mampu melakukan proses metabolisme dengan optimal. (Onwurah, 1999) Namun, beberapa penelitian menyebutkan bahwa penambahan mikroba dari luar terkadang kurang efisien karena sulit berkompetisi dengan komunitas mikroba indigenous. (MacNaughton, 1999) Diharapkan terjadi interaksi yang saling menguntungkan antara mikroba pendegradasi minyak dengan mikroba pengikat nitrogen, dimana mikroba pengikat nitrogen akan memberikan nitrogen terfiksasi yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh mikroba pendegradasi minyak untuk keberlangsungan hidupnya. Menurut Onwurah, yang menggunakan Pseudomonas sp. sebagai bakteri pendegradasi nitrogen dan Azotobacter vinelandii sebagai bakteri pengikat nitrogen akan terjadi mekanisme cross-feeding diantara keduanya.
28
Pseudomonas sp. akan mendegradasi minyak dan melepaskan secondary substrat berupa soluble microbial product dan exopolysaccharide yang dapat digunakan oleh Azotobacter vinelandii untuk mendukung pertumbuhannya sedangkan Pseudomonas sp. akan memperoleh
nitrogen terfiksasi dari
Azotobacter vinelandii. (Onwurah,1999) Beberapa kelas secondary substrat yang dapat mendukung pertumbuhan dibentuk dan dilepaskan sebagai hasil dari metabolisme mikroba dari substrat utama. (Namkung, 1987 dan Ritman, 1987)
Keterangan : SMP : soluble microbial product EPS
: exopolysaccharide
N-cpd : fixed nitrogen compound PHC
: petroleum hydrocarbon
Gambar 3.14 Mekanisme cross-feeding antara Pseudomonas sp. dan Azotobacter vinelandii (Sumber : Onwurah,1999)
29
Pada hari ke-14 dilakukan kembali penambahan biofertilizer N-FERT sebagai sumber mikroba pengikat nitrogen pada perlakuan B dan C. Hal ini dikarenakan energi yang dibutuhkan untuk melakukan fikasasi nitrogen cukup besar. Oleh karena itu, pada mekanisme croos-feeding tersebut diharapkan mikroba pendegradasi minyak bumi memberikan terlebih dahulu soluble microbial product dan exopolysaccharide yang dapat digunakan oleh mikroba pemfikasasi nitrogen untuk mendukung pertumbuhannya sehingga memiliki energi yang cukup untuk melakukan aktivitas fiksasi nitrogen.
30
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan 1. Penambahan mikroba pengikat nitrogen dapat membantu menjaga ketersediaan nitrogen bagi mikroba pendegradasi hidrokarbon pada proses bioremediasi dengan metode landfarming tetapi tidak dapat memberikan hasil yang drastis cepat. 2. Proses degradasi pada perlakuan dengan penambahan urea memberikan hasil yang lebih baik dan cepat sedangkan pada perlakuan yang ditambahkan dengan mikroba pengikat nitrogen memberikan hasil degradasi yang lebih lambat. 3. Efisiensi penurunan %TPH terbaik adalah pada perlakuan A yaitu 66,46%, kemudian diikuti dengan perlakuan B sebesar 54,43% dan perlakuan C sebesar 51,74%.
4.2 Saran 1. Dilakukan pengukuran nitrogen terfiksasi dan total plate count untuk mengetahui aktivitas mikroba pengikat nitrogen dan mikroba pendegradasi hidrokarbon. 2. Menggunakan mikroba pendegradasi hidrokarbon dan mikroba pengikat nitrogen yang diisolasi langsung dari lumpur minyak tersebut sehingga sudah dapat teradaptasi dengan baik pada lingkungan tersebut.
31
DAFTAR PUSTAKA
Admon, S., M. Green, and Y. Avnimelech. 2001. Biodegradation kinetics of hydrocarbons in soil during land treatment of oily sludge. Bioremediat. J. 5:193–209 Alexander, M. 2000. Aging, bioavailability, and overestimation of risk from environmental pollutants. Environ. Sci. Technol. 34:4259–4265 Atlas, R.M. and Bartha, R. 1973. Biodegradation of oil in sea waterlimiting factors and arti®cial stimulation, in The Microbial Degradation of Oil Pollutants Ed by Ahearn DG and Meyers SP, LSU, Baton Rouge, LA, pp 147±152 Atlas, R. M. (1984). Petroleum Microbiology. New York
: Macmillan
Publishing Co., Bouwer, E. J. 1994. Bioremediation of chlorinated solvents using alternate electron acceptors, In: (Norris, R. D., ed.) Handbook of Bioremediation. pp. 149-176. CRC Press, Boca Raton, FL. Calabrese, E.J. and Kostecki, P.T. 1988. Soils contaminated by Petroleum; Environmental and Public Health Effects, New York. : Wiley-Interscience Publ, John Wiley and Sons. pp 1±10. Cookson J.T. 1995. Bioremediation engineering: Design and application. Toronto : McGraw-Hill Inc. Crawford, R. L. Dan Crawford, D. L. 1996. Bioremediation : Principles and Application. USA : Cambridge University Press Dalimunte, R. 2002. Pengaruh Biosurfaktan dalam Biodegradasi Limbah Minyak Bumi oleh Mikroba Hidrokarbonoklastik. Skripsi Biologi. Bandung. : Institut Teknologi Bandung. David, A. I. and Frost, H. L. 2003. Bioremediation of soil contaminated with industrial waste : a report on the state-of-the-art in bioremediation.SBR Technologies, Inc. www.sbrtechnologies.com. Tanggal akses : 23 Juli 2010 Ekundayo, J.A. and Obire, O. 1987. Use of indigenous microorganisms in ridding the environment of spilled oil, in The Petroleum Industry and the
32
Nigerian Environment, Proceedings of the 1987 NNPC Seminar, Lagos. pp 139±147. Klokk J. 1984. Effect of oil pollution on the germination and vegetative growth of ®ve species of vascular plants. Oil and Petrochem Pollut 2(1): 25±30. Linkerhager, K and Jurgen, O. 1997 Nitrogenase activity and regeneration of the cellular ATP Pool in Azotobacter vinelandii adapted to different oxygen concentration. Journal of Bacteriology p.1362-1367 MacNaughton, S. J., J. R. Stephen, A. D. Venosa, G. A. Davis, Y. Chang, and D. C. White. 1999. Microbial population changes during bioremediation of an experimental oil spill. Appl. Environ. Microbiol. 65:3566–3574. Madigan, M. T, John M. M, Paul V. D, David P.C, 2009. Brock. Biology of Microorganism. San Fransisco : Pearsons Benjamin Cummings. Namkung E and Rittman BE,1987. Soluble microbial products (SMP) formation kinetics by biofilms. Wat Res 20:795±796 Odu CT. 1987. The effect of nutrient application and aeration on oil degradation in soil. Environ Pollut 15:235±240. Onwurah, I.N.E. 1996. Effect of crude oil on a soil Azotobacter isolate from an oil mineral producing area of Nigeria; simulation and mathematical modelling, PhD thesis. University of Nigeria, Nsukka. Onwurah, I. N. E, 1999. Role of diazotrophic bacteria in the bioremediation of crude oil-poluted soil. Journal of Chemical Technologu and Biotechnology Rittman BE, Bae W, Namkung E and Lu CJ,1987. A critical evaluation of microbial product formation in biological processes. Wat Sci Technol 19:517 Shantharam, S. & Mattoo, A.K. 1997. Enhancing biological nitrogen fixation: An appraisal of current and alternative technologies for N input into plants. Plant and Soil 194: 205-216.
33
Suryatmana, P., Kardena, E., Ratnaningsih. E., dan Wisnuprapto. 2006. Karakteristik
Biosurfaktan
dari
Azotobacter
Chroococcum.Jurnal
Mikrobiologi Indonesia. 11 : 30-34 Wani, S.P., S. Chandrapalaith, M.A. Zambre dan K.K. Lee.1989. Association between N2-fixing bacteria and pearl millet plants : Response, mechanism and persistence. In : Nitrogen Fixation with Non-Legumes. Kluwer Academic Publisher. Pp. 249-262. Widiyarti. 2007. Proses degradasi senyawa hidrokarbon dalam limbah lumpur minyak bumi oleh mixed culture bakteri rhizopetrofilik dengan penambahan surfactant producing bacteria (Azotobacter vinelandii). Skripsi Teknik Lingkungan. Bandung : Institut Teknologi Bandung. Zam, S. I. 2004. Bioremediasi Limbah Pengilangan Minyak Bumi Pertamina Up II Sungai Pakning dengan Menggunakan Bakteri Indigen. Tesis Bioteknologi ITB, Bandung.
34
LAMPIRAN A DATA PENELITIAN
Tabel A.1 Data perubahan pH selama proses bioremediasi Hari
Perlakuan A
Perlakuan B
ke-
1
2
1
2
1
2
0
5,4
5,4
5,6
5,4
5,4
5,4
1
5,4
6,2
5,3
5,1
5,5
5,4
2
5,6
6,2
5,8
5,4
5,2
5
3
6
6
5,4
5
5,2
5
4
5,8
5,6
6
6
5,6
5,8
5
6,4
5,8
5,6
6,2
6
6
6
5,4
5,4
5,8
5,6
5,6
5,5
7
5,6
5,8
5,4
5,2
5,6
6
10
5,6
6,8
5,4
6,2
5,8
6
11
4,6
5,2
5,3
5,6
5,8
5,8
12
5,1
5,8
5,3
5,6
5,4
5,6
13
4,8
5,4
5,7
6
6
6
14
5,3
5,4
5,6
5,8
5,7
5,7
15
3,8
4,2
5,2
5,4
5,1
5
16
4
4,8
5,6
5,4
5,1
5,2
17
4,2
4,6
5,8
5,6
5,4
5,4
19
4,5
4,6
5,1
5,4
5,2
5
20
3,9
4,2
4,2
4,4
4
4,2
21
4,2
4,6
5,7
5
4,2
4
22
3,8
3,7
3,6
3,8
3,6
3,6
23
4,8
4,5
4,1
4
3,7
3,9
24
5
5,2
4,8
4,9
4,6
3,7
25
4,1
4,2
4,6
4,1
3,6
3,8
26
4,3
4,6
5,1
4,2
4,6
4,2
35
Perlakuan C
Tabel A.2 Data perubahan kadar O2 selama proses bioremediasi Kadar O2 (%) Hari
Perlakuan A
Perlakuan B
Perlakuan C
ke-
1
2
1
2
1
2
3
13,2
14,2
12,3
13,9
13,1
12,8
20,9
4
14,3
16,1
14,6
16,4
16,4
16,7
20,9
5
15,2
14,4
15,3
14,6
17,9
18,6
20,9
6
16,1
15,6
13,8
14,3
18
18,1
20,9
7
13,6
14
14,6
14,6
18,1
17,6
20,9
10
18,9
17,3
19
18,5
20,1
19,5
20,9
11
13,9
14,4
16,6
15,6
18,7
18,1
20,9
12
16,7
17,6
18
17,7
18,5
18,1
20,9
13
16,9
17
17,6
18
18,5
18,1
20,9
14
17,6
18,29
18
18,2
18,6
18
20,9
15
16,8
18
16,7
16,4
17,7
17,7
20,9
16
18
18,4
17,5
17,3
18,1
18,2
20,9
17
18,5
18,1
17,9
17,3
18,1
18,2
20,9
19
19,4
19,4
18,3
17,7
18,4
18,5
20,9
20
18,4
18,2
17,7
16,9
18
18,4
20,9
21
18,7
19,7
18,1
17,4
18,7
16,6
20,9
22
19,7
19,6
18
18,3
18,8
15,9
20,9
23
19,8
19,8
18,4
18,6
19,4
16,6
20,9
24
19,4
19,8
18,6
18,5
19
17
20,9
25
18,9
18,6
18,5
18,3
18,3
17,4
20,8
26
19,5
19,3
19,1
18,8
19
17,4
20,9
36
Ambient
Tabel A.3 Data perubahan kadar CO2 selama proses bioremediasi Kadar CO2 (%) Hari
Perlakuan A
Perlakuan B
Perlakuan C
ke-
1
2
1
2
1
2
3
5,9
5
8,3
6,9
7,4
7,4
0,04
4
5,3
3,68
4,9
3,4
3,35
3,25
0,06
5
4,3
5
4,45
4,9
2,2
1,68
0,06
6
3,9
4,4
6,2
5,2
2,25
2,2
0,05
7
6,2
5,8
4,85
5,1
3,7
4,15
0,05
10
1,55
2,8
1,6
2
0,9
1,11
0,03
11
5,6
5,3
3,15
3,85
1,96
2
0,05
12
3,55
2,75
2,35
2,7
1,96
2,45
0,03
13
3,5
3,55
2,7
2,3
1,89
2,2
0,03
14
3,7
3,3
2,45
2,25
2,1
2,4
0,04
15
5,1
3,8
3,5
3,8
3,1
3,8
0,04
16
2,5
2,05
2,75
2,85
2,25
2,25
0,04
17
3,15
4
2,45
2,95
2,3
2,55
0,04
19
1,36
1,31
2,35
2,85
2,05
2,1
0,05
20
2,2
2
2,75
3,4
2,35
2,1
0,05
21
2,4
1,74
2,4
2,95
1,7
3,45
0,05
22
1,31
1,39
2,75
2,3
1,83
4
0,05
23
1,22
1,39
2,35
2
1,29
3,5
0,06
24
1,35
1,08
2,05
2,2
1,56
3,2
0,06
25
1,33
1,6
1,78
1,88
1,86
2,45
0,07
26
1,48
1,76
1,61
1,89
1,56
3
0,05
37
Ambient
Tabel A.4 Data perubahan suhu selama proses bioremediasi Suhu (⁰C) Hari
Perlakuan A
Perlakuan B
Perlakuan C
ke-
1
2
1
2
1
2
0
32
32
32
32
31
31
1
30,5
30,5
34
31
34
33
28
2
33
34,5
43,5
41
37
40
30
3
40
43
41
40
41
40
4
45
44
44
44,5
44
40
31
5
40,5
41
40,5
39
37
32
26
6
43
42
42
42
36
33
27
7
43
43
42
42
34
32
29
10
38
38
34
35
31
30
30
11
41
39,5
38,5
40
33
33
29,5
12
34,5
34
34
35
32
32
26
13
37
35,5
35
35
35
34
29,5
14
33
32
33
31,5
31,5
30
26,5
15
36
34,5
34,5
33
33
32
30,5
16
33
34,5
33
32
32
31
31
17
34,5
35
34
34
33
32
18
32
31,5
32
34
32
31
19
31
28,5
30
30
30
28
30
20
30,5
31
32,5
34,5
32
31
29,5
21
32
31
32
33
31
35
29
22
28
28
30
30
28
32
28
23
30
29
30
30
30
31
28
24
29
29
30
29
30
32
25
31
30
31
31
32
32
30,5
26
30,5
30
30
31
30
34
28
38
Ambient
Tabel A.5 Data pengukuran %TPH selama proses bioremediasi Pengukuran
Hari
Perlakuan A
Perlakuan B
Perlakuan C
ke-
ke-
1
2
1
2
1
2
Awal
0
6,32%
6,32%
6,32%
6,32%
6,32%
6,32%
Tengah
12
3,59%
3,28%
3,08%
4,55%
6,29%
6,12%
Akhir
26
2,00%
2,23%
2,88%
2,20%
3,05%
2,083%
Tabel A.6 Data pengukuran water holding capacity No
Berat
Berat
Berat awal
Berat akhir
sampel
cawan
(berat cawan +
(berat cawan +
tanah
kosong
sampel sebelum
sampel setelah
dioven)
dioven)
WHC
1
5,04 g
20,99 g
26,03 g
24,35 g
33,3%
2
5,17 g
24,08 g
29,25 g
27,39 g
35,9%
3
5,07 g
17,17 g
22,24 g
20,42 g
35,9%
Rata
5,09 g
20,74 g
25,84 g
24,05 g
35%
-rata
Tabel A.7 Data pengukuran kadar air awal sebelum ditambah nutrisi dan mikroba Tanah bioremediasi
Kompos
Tanah
30%
32%
(campuran) 12 %
Tabel A.8 Data pengukuran kadar air selama proses bioremediasi Hari ke-
Perlakuan A
Perlakuan B
Perlakuan C
1
2
1
2
1
2
5
13,1%
13,1%
13,3%
16,8%
17,1%
16,9%
10
11,4%
13,6%
14,7%
13,0%
15,6%
14,8%
12
17,0%
16,1%
17,0%
17,82%
18,0%
19,0%
39
LAMPIRAN B GAMBAR PENELITIAN
A
B
C
Gambar B.1 Lumpur minyak (A), tanah (B) dan kompos (C)
Gambar B.2 Mesin pencampur A
B
Gambar B.3 Ekstraksi minyak (A) dan alat destilasi (B)
40
C
B
A
Gambar B.4 Alat pengukur kadar CO2 dan O2 (A), termometer (B) dan pHmeter (C)
41
LAMPIRAN C CONTOH PERHITUNGAN
C.1 Perhitungan kebutuhan nutrisi Diketahui :
Perbandingan C : N : P = 100 : 5 : 1 Perbandingan campuran lumpur : tanah : kompos = 70 : 10 : 20 Pendekatan dari data penelitian sebelumnya %TPH lumpur = 11 % Jumlah campuran untuk tiap kotak perlakuan = ± 29 kg jadi, massa lumpur tiap kotak perlakuan =
Massa minyak (TPH) = Kandungan C dari minyak (CH2) =
Kandungan P dari perbandingan nutrisi (C : N : P ) =
Komposisi pupuk NPK = 16% N : 16%P : 16%K Jumlah pupuk NPK yang harus ditambahkan yaitu,
Jumlah kandungan N total yang dibutuhkan dari perbandingan nutrisi yang dipakai (C : N : P) yaitu,
Kandungan N yang diperoleh dari pupuk NPK =
Kandungan N yang dibutuhkan dari pupuk urea = N total – N dari pupuk NPK = 0,0957 kg – 0,0191 kg = 0,0766 kg Komposisi N dalam pupuk urea adalah 46% Jumlah pupuk urea yang harus ditambahkan yaitu,
42
C.2 Perhitungan porositas Diketahui :
sampel tanah : 250 ml Air
: 250 ml
Penurunan air 1
120 ml
2
130 ml
3
130 ml
Rata-rata
126,67 ml
Porositas :
C.3 Contoh perhitungan water holding capacity (WHC) Diketahui :
Berat sampel tanah
: 5,09 g
Berat awal (berat cawan + sampel sebelum dioven) : 25,84 g Berat akhir (berat cawan + sampel setelah dioven) : 24,05 g
C.3 Contoh perhitungan kadar air Diketahui :
Berat sampel tanah
: 3,36 g
Berat awal (berat cawan + sampel sebelum dioven) : 20,55 g Berat akhir (berat cawan + sampel setelah dioven) : 20,11 g
43
C.4 Contoh perhitungan %TPH Diketahui :
a = Berat labu kosong
: 66,28 g
b = Berat labu + minyak setelah destilasi
: 66,57 g
Berat sampel : 5,08 g Kadar air
: 12,2 %
44
LAMPIRAN D ALAT DAN BAHAN
Tabel D.1 Bahan yang digunakan dalam penelitian No
Jenis Bahan
1.
Lumpur minyak bumi
2.
Tanah
3.
Kompos
4.
Mikroorganisme hidrokarbonoklastik
5.
Pupuk urea dan NPK
6.
Hexane
7.
Aseton
8.
Natrium sulfat
9.
Aquades
10.
Biofertilizer N-FERT
Tabel D.2 Alat yang digunakan dalam penelitian No.
Jenis Alat
No.
Jenis Alat
1.
Gelas ukur
12.
Oven
2.
Gelas kimia
13.
Desikator
3.
Botol ekstraksi
14.
Kertas timbel
4.
Soxhlet
15.
Sekop kecil
5.
Labu destilasi
16.
Saringan
6.
Cawan
17.
Batang pengaduk
7.
pHmeter
18.
Cangkul
8.
Termometer
19.
Ember
9.
Alat pengukur kadar CO2 dan O2
20.
Stirer
10.
Timbangan analitik
21.
Alumunium foil
11.
Spatula
45
LAMPIRAN E TIMELINE PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK
Tabel E.1 Timeline pelaksanaan kerja praktek. No.
Kegiatan
Minggu ke1
1.
Perencanaan penelitian
2.
Persiapan bahan
3.
Pengadukan dan Pengamatan
4.
Pengukuran TPH ke-1
5.
Pengukuran TPH ke-2
6.
Pengukuran TPH ke-3
7.
Penambahan biofertilizer N-FERT
46
2
3
4
5