1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Tuberkulosis adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis (Djojodibroto, 2009). Indonesia merupakan negara dengan kasus TB paru terbesar bersama 21 negara yang lain. Angka kejadian TB Paru pada tingkat nasional, Provinsi Jawa Timur berada diperingkat kedua di bawah Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2012, angka CDR (Case Detection Rate) sebesar 63.03% dengan jumlah kasus baru (positif dan negatif) sebanyak 41.472 penderita dan BTA Positif baru sebanyak 25.618 kasus. Kondisi tersebut masih jauh dari target CDR yang ditetapkan yaitu 70% (Dinkes Jatim, 2013). Penanggulangan Tuberkulosis (TB) Paru di Indonesia menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasikan WHO sejak tahun 1995. Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung, yaitu adanya seseorang yang bertanggung jawab mengawasi pasien menelan obat yang sering disebut dengan PMO (Munir, 2010). Angka kesembuhan penderita TB Paru di Malang pada tahun 2006 yang telah melalui pemeriksaan dahak dengan BTA positif sebanyak 656 penderita, sedangkan melalui pemeriksaan rountgen positif sebanyak 339 penderita dan yang sudah diobati 564 orang dengan penderita sembuh sebanyak 481 orang (85,28%). Angka kesembuhan pada tahun 2006 ini lebih besar dibandingkan dengan tahun 2005 yaitu 415 orang (83,5%). Tahun 2007 dengan penderita yang sembuh sebanyak 510 orang (77,16%). Tahun 2008 BTA positif meningkat sebesar 809 penderita, dan diobati sebanyak 100%, dengan tingkat kesembuhan 77,98% (542 penderita). Tahun 2009 BTA positif kembali meningkat sebesar 837 penderita, dan yang diobati sebanyak 809 (95,65%), dengan tingkat kesembuhan 73,30% (593 penderita). Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan target Indikator Indonesia sehat 2010 yaitu 85% (Dinkes Kota Malang, 2010). Pemerintah memperkirakan jumlah penderita TB paru akan terus meningkat. Jumlah penderita TB yang meningkat disebabkan oleh berbagai faktor, yakni
2
kurangnya tingkat kepatuhan penderita untuk berobat dan meminum obat (Depkes RI, 2005). Menurut Muttaqin (2008), pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif 2-3 bulan dan fase lanjutan 4-7 bulan. Pengobatan TB yang lama dan tanpa putus dapat menyebabkan pasien tidak patuh. Perilaku berobat yang patuh akan berpengaruh terhadap hilang atau berkurangnya gejala penyakit sehingga dapat dijadikan ukuran kesembuhan bagi penderita. Berat atau ringannya gejala penyakit mempengaruhi kepatuhan penderita berobat. Kepatuhan merupakan suatu indikator sesorang memenuhi unsur yang diharapkan dari suatu pencapaian. Tingkat kepatuhan seseorang dipengaruhi oleh cara berpikir individu yang tercermin dalam sikapnya (Musyarofah dkk, 2013). Kepatuhan merupakan perilaku positif yang diperlihatkan pasien saat mengarah ke tujuan terapeutik yang ditentukan (Mardella dan Issuyanti, 2009). Pasien yang mendapatkan pengobatan jangka panjang berpotensi berhenti minum obat karena bosan. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya resistensi (kuman kebal). Akibatnya, harus diganti dengan obat yang lebih mahal dan memiliki efek toksisitas yang lebih besar. Pasien tuberkulosis harus minum obat selama beberapa bulan, perlu diberi banyak penjelasan dan dorongan. Mereka harus tetap minum tabletnya walaupun sudah merasa lebih baik, bila tidak penyakitnya akan kambuh lagi (Pendit, 1999). Cara mengukur kepatuhan dalam penelitian ini ialah menggunakan kuesioner dan kartu pengobatan pasien. Kuesioner menggunakan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-4) yang telah dimodifikasi. Skala morisky berisi 4 butir pertanyaan yang mewakili ukuran kepatuhan secara untuk memprediksi kepatuhan pengobatan (Bosworth, 2012). Terdiri dari 4 butir pertanyaan yang berasal dari MMAS-4 dan 6 butir pertanyaan yang ditambahkan. Kuesioner tersebut akan diuji validitas dan reliabilitasnya agar dapat digunakan dalam penelitian.
Kartu
pengobatan pasien sebagai pendukung untuk mencocokkan beberapa butir pertanyaan. Pengawas Menelan Obat (PMO) yang menjalankan tugasnya akan berpengaruh terhadap meningkatnya kepatuhan berobat sehingga penderita akan cenderung mengkonsumsi obat secara teratur sehingga mendorong kesembuhan penderita. Semua orang dapat menjadi PMO antara lain keluarga penderita, kader kesehatan, petugas kesehatan, tokoh agama, tokoh masyarakat dan lain-lain
3
dengan syarat bersedia dan dapat meyakinkan penderita. Penunjukan PMO yang pertama kali dilihat adalah kesanggupan keluarga (suami atau istri, anak, orang tua dan lain-lain) untuk menjadi PMO bagi anggota keluarganya sendiri. Bila tidak ada yang bersedia menjadi PMO, barulah mencari dari tetangga sekitar atau kader kesehatan dan seterusnya (Depkes RI, 2011). Keluarga adalah orang terdekat yang setiap saat bisa mengawasi pasien pada saat minum obat tanpa harus mengeluarkan transportasi. Selama masa pengobatan diperlukan kerja sama yang baik serta berkesinambungan antara seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan penderita dalam mematuhi peraturan tata cara minum obat dan kontrol kesehatan (Muniroh dkk, 2013).
Terbentuknya PMO mencegah penularan,
mencegah resistensi obat, mencegah putus berobat dan segera mengatasi efek samping obat jika timbul sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis di dunia (Dewi, 2009). Keberhasilan pengobatan TB paru sangat ditentukan oleh adanya keteraturan minum obat anti tuberkulosis. Hal ini dapat tercapai dengan adanya Pengawas Menelan Obat (PMO) yang memantau dan mengingatkan penderita TB paru untuk meminum obat secara teratur. PMO sangat penting untuk mendampingi penderita agar dicapai hasil yang optimal. PMO yang ditunjuk untuk mendampingi ketika penderita minum obat, dapat menentukan tingkat keberhasilannya. Setelah diketahui bahwa keluarganya positif tuberculosis paru maka mereka mendapat penyuluhan dari petugas kesehatan dengan harapan dapat meningkatkan pengetahuan bagi Pengawas Menelan Obat (PMO) dan menjadi acuan untuk melakukan tindakan dalam mendukung kesembuhan penderita. PMO juga bisa mendapatkan pengetahuan tentang tuberkulosis dari poster-poster yang terpasang di Puskesmas dan juga melalui media masa yang memuat tentang kesehatan (Puri, 2010). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan peran Pengawas
Menelan Obat (PMO) di Puskesmas Janti Kota Malang. Kepatuhan dalam menjalani pengobatan merupakan hal yang penting untuk dianalisa dan belum adanya gambaran mengenai tingkat kepatuhan berobat penderita TB paru. Adanya pengaruh Pengawas Menelan Obat (PMO) pada pengobatan TB paru di Puskesmas Janti Kota Malang, dapat digunakan sebagai masukan bagi petugas penanggulangan TB paru. Desain penelitian yang digunakan ialah cross sectional
4
yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada satu saat. Metode pengambilan sampel dengan menggunakan teknik total sampling, yaitu peneliti memilih semua sample yang terdapat pada populasi yang telah memenuhi karakteristik yang akan diteliti (Nursalam, 2014).
1.2
Rumusan Masalah Adakah hubungan peran Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap
kepatuhan berobat pasien TB paru di Puskesmas Janti Kota Malang ?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan peran Pengawas Menelan Obat (PMO) dalam mendukung kepatuhan berobat pasien TB paru.
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini untuk menggali informasi tentang : 1. Untuk mengidentifikasi peran Pengawas Menelan Obat (PMO) TB paru di Puskesmas Janti Kota Malang. 2. Untuk mengidentifikasi kepatuhan berobat pada penderita TB paru di Puskesmas Janti Kota Malang. 3. Untuk mengidentifikasi hubungan peran Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap kepatuhan berobat pasien TB paru di Puskesmas Janti Kota Malang.
1.4
Hipotesis Terdapat hubungan yang signifikan antara peran Pengawas Menelan Obat
(PMO) terhadap tingkat kepatuhan berobat pasien TB paru di Puskesmas Janti Kota Malang.
5
1.5
Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti Menambah pengetahuan sekaligus memperoleh pengalaman dalam melakukan penelitian lapangan mengenai perilaku kepatuhan
berobat
penderita TB paru. 2. Bagi penyelenggara kesehatan Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi petugas penanggulangan TB dalam upaya meningkatkan kepatuhan berobat TB paru sehingga angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh M. tuberculosis dapat menurun serta kejadian resistensi obat dalam dicegah.. 3. Bagi dunia ilmu pengetahuan Mengetahui secara mendalam tentang peran keluarga sebagai Pengawas Menelan Obat (PMO) pada TB Paru, maka diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan baik yang bersifat konseptual dan teoritis. 4. Bagi Pasien Memberikan pengetahuan tentang penyakit TB paru dalam meningkatkan kepatuhan berobat pasien di Puskesmas Janti Kota Malang.