BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sudah hampir 20 tahun, perbankan syariah sebagai salah satu lembaga keuangan syariah menjadi bagian dalam struktur ekonomi Indonesia. Perbankan syariah memang masih terbilang muda bila dibandingkan dengan perbankan
konvensional. Namun, perbankan syariah juga tidak bisa dikatakan terlalu dini untuk dapat memberikan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan dan menjadi salah satu instrumen ekonomi untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Serangkaian krisis keuangan internasional yang terjadi sepanjang dua dekade terakhir telah memunculkan kesadaran baru akan kebutuhan reformasi arsitektur sistem keuangan Islami. Krisis yang terjadi mulai dari krisis ekonomi tahun 1998 yang berimbas menjadi krisis moneter di Indonesia, diikuti krisis di Amerika pada tahun 2008, dan terakhir krisis yang dialami beberapa negara Eropa telah membuktikan bahwa sistem keuangan konvensional yang menggunakan bunga sebagai instrumen utama memiliki kelemahan yang memberi ruang terjadinya praktek ekonomi yang bersifat pre-determined yang mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan alokasi resources dan penumpukan kekayaan pada segelintir orang (Setiawan, 2006). Ada beberapa dampak negatif dari sistem riba/bunga. Dampak tersebut di antaranya adalah:
Bunga akan mencegah terjadinya kondisi full employment. Hal ini bisa ditinjau dari dua aspek (Beik, 2006): Pertama, institusi bunga akan membentuk komponen biaya produksi tersendiri. Akibat dari hal ini adalah adanya peningkatan pada struktur harga, yang berimplikasi pada penurunan daya beli masyarakat. Turunnya daya beli ini akan menyebabkan terjadinya penurunan tingkat konsumsi masyarakat, investasi dan lapangan pekerjaan. Aspek selanjutnya, tidak tercapainya
1
kondisi optimum untuk marjinal efisiensi permodalan. Kondisi ini
mengakibatkan segala sumber daya yang tersedia tidak dapat dimanfaatkan
dan digunakan secara maksimal, sehingga berdampak pada penurunan
tingkat investasi. Untuk itu, sebagai solusinya adalah nilai bunga harus direduksi hingga nol persen (bebas bunga) agar efisiensi permodalan ini
dapat mencapai level yang maksimal sehingga investasi dapat mencapai
tingkat yang paling optimal.
Kemudian dampak negatif lain dari sistem bunga adalah terkait dengan
pemusatan kekayaan di tangan segelintir kaum kapitalis. Bunga adalah instrumen yang menyebabkan tingginya konsentrasi ekonomi di kalangan golongan the have. Dalam kegiatan perekonomian kapitalis, bunga dibebankan kepada konsumen sebagai bagian dari harga barang yang dikonsumsi. Selanjutnya, pendapatan bunga ini akan mengalir kepada kaum kapitalis pemegang modal baik secara langsung maupun melalui institusi perbankan. Menurut M Syafi’i Antonio (2009), perekonomian Indonesia akan menjadi baik
jika menerapkan kerangka kerja atau acuan norma-norma Islami. Karena, sistem ekonomi Islam memiliki karakteristik terbuka bagi masyarakat luas, bukan hanya masyarakat Muslim, keadilan dan persaudaraan menyeluruh, juga keadilan pada distribusi pendapatan dengan tetap melihat kebebasan individu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan sosial dan tidak mengambil hak orang lain. Selain itu The Asian Development Bank Institute telah merekomendasikan tujuh butir kebijakan pencegahan dan pengelolaan krisis yang prinsipnya sesuai dengan prinsip ekonomi islam, yang intinya, yaitu (Rivai,2010): 1. Adopting an Appropriate Exchange Rate Regime Ekonomi yang sedang berkembang dengan rezim devisa bebas, seperti Indonesia dapat menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang terkendali (managed float) yang memenuhi syarat sebagai berikut a. Harus disesuaikan dengan daya saing internasional yang berkelanjutan. b. Tetap memberikan keleluasaan perubahan nilai tukar yang memadai.
2
c. Dapat mencegah misalignment nilai tukar yang serius akibat
pergerakan dana yang besar.
2. Restricting Holding of Domestic by Nonresidents
Ekonomi Asia yang relatif rentan dapat membatasi kepemilikan mata uang lokal bagi nonresiden, untuk dapat mencegah serangan para spekulan
dengan mengurangi perdagangan mata uang lokal di luar negeri.
3. Establishing a Regional Financial Arrangements
Negara-negara Asia dapat mempertimbangkan pendirian suatu regional
financial yang didukung oleh sistem pemantauan yang efektif pada kondisi ekonomi negara-negara Asia tersebut.
4. Establishing Controls on Capital Inflows Bila dana asing yang masuk dalam jumlah besar berpotensi merusak pengelolaan
moneter
maka
negara
dapat
menerapkan
ketentuan
unremunerated reserved requirements (URR) dan minimum holding period (MHP) pada dana asing tersebut. 5. Developing Domestic Capital Market Seluruh ekonomi Asia harus berjuang mengembangkan pasar modal dalam negeri yang likuid dan baik, khususnya untuk pasar obligasi domestik. Pasar saham dan obligasi yang baik dapat mendukung pembiayaan jangka panjang dalam mata uang lokal yang dapat mengurangi dampak kepanikan financial. 6. Strengthening Prudential Supervision and Regulation Ekonomi Asia dengan sistem perbankan yang masih lemah harus menerapkan secara efektif praktek-praktek terbaik dalam ketentuan dan pengawasan pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Khususnya yang berkaitan dengan keterbukaan informasi pada perbankan, lembaga keuangan lainnya dan korporasi. 7. Building In the Private Sector Ekonomi Asia harus memformulasikan ketentuan-ketentuan untuk memberi fasilitas untuk restrukturisasi keuangan bagi sektor korporat khususnya untuk meningkatkan peran serta kreditur swasta sehingga 3
proses kesepakatan restrukturisasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan
teratur.
Rekomendasi pada butir 1,2,3 berkaitan dengan nilai tukar sedangkan
rekomendasi 4,5,6, dan 7 berhubungan dengan hubungan antara pemilik dana dan
pemilik usaha. Kebijakan nilai tukar mengambang telah diterapkan oleh Bank Indonesia sejak Juli tahun 2005 sebagai sistem yang dianut dalam usaha mencapai sasaran utama kebijakan moneter yaitu inflasi. Teorinya, jika prinsip-prinsip
tersebut di terapkan di Indonesia maka akan meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap krisis.
Peran pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi salah satunya melalui bank sentral. Bank Indonesia selaku bank sentral memiliki tujuan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah yang tercantum dalam UU No.3 Tahun 2004 pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Namun, instrumen moneter yang dijalankan Bank Indonesia yaitu kebijakan suku bunga ternyata dapat memicu kontradiksi antara sektor riil dan moneter. Kebijakan Bank Indonesia mengurangi jumlah uang beredar dengan meningkatkan suku bunga diyakini membuat tekanan inflasi mereda. Namun, tingginya BI rate memberi ruang bagi praktik-praktik keuangan yang berbentuk riba dan spekulasi. Dampaknya, membuat sekor riil lesu, perusahaan mengalami kebangkrutan, produksi terhenti, dan pengangguran meledak karena berpotensi membuat sektor finansial terus menikmati keuntungan berlimpah tanpa kerja sedangkan sektor riil melemah karena meningkatnya beban bunga yang ditanggung. Ternyata kebijakan yang dijalankan BI melalui sistem bunga tersebut berpotensi membuat sektor finansial terus menikmati keuntungan berlimpah tanpa kerja sedangkan sektor riil akan melemah (Wibisono, 2006). Pada akhirnya penerapan sistem syariah dalam perbankan merupakan alternatif untuk keluar dari jeratan sistem kapitalistik. Penerapan bunga membuat output di sektor riil diharuskan tumbuh sesuai tingkat yang diinginkan sektor finansial. Dengan demikian, penerapan bunga secara sistemik akan membuat 4
upaya-upaya mendapatkan laba jangka pendek semakin marak sehingga mendorong eksploitasi sumber daya manusia dan alam secara berlebihan. Dalam
konteks inilah, menjadi penting bagi pemerintah dan otoritas moneter untuk selalu mengarahkan kegiatan sektor keuangan sebagai pendukung sektor riil. Sektor riil
lah yang menentukan imbal hasil di pasar keuangan, bukan sebaliknya. Di sinilah sistem ekonomi syariah yang selalu terkait dengan sektor riil tampil tidak hanya sebagai alternatif sistem konvensional yang menjanjikan namun juga menjadi
model solutif masalah perekonomian Indonesia. Perbankan sangat diharapkan mampu menjadi instrumen utama dalam
mencapai tujuan ekonomi karena perbankan mendominasi sistem keuangan di Indonesia baik itu perbankan konvensional maupun syariah (Ascarya, 2010). Peran perbankan syariah dalam menggerakan sektor riil terlihat jelas dalam pembiayaan, selain bebas bunga pembiayaan yang dikucurkan bank syariah juga akan disalurkan kepada sektor-sekor non keuangan termasuk untuk menggiatkan usaha kecil dan menengah. Keunggulan konsep perbankan syariah dalam melaksanakan fungsi intermediasi keuangan, termasuk dalam pembiayaan usaha kecil dan menengah dan mendorong pertumbuhan ekonomi telah banyak dijelaskan. Selain kebijakan BI rate yang diterapkan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai rupiah, terdapat piranti lain yaitu Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan Pasar Uang AntarBank Syariah (PUAS) untuk menjaga likuiditas pada bank syariah. Bank syariah yang memiliki kelebihan likuiditas dapat menempatkan dananya pada SBIS dan PUAS. Dengan memanfaatkan instrumen keuangan syariah tersebut, selain sebagai upaya untuk operasi pasar terbuka, instrumen keuangan syariah juga secara tidak langsung akan berefek kepada likuiditas, profitabilitas, dan pembiayaan bank syariah. Namun, kecenderungan untuk menempatkan dana pada instrumen keuangan syariah akan membuat fungsi intermediasi perbankan syariah tidak optimal (Widyastuti, 2009). Perkembangan perbankan syariah di Indonesia sendiri pada tahun 2010 semakin membaik dibanding tahun 2009 setelah meredanya pengaruh krisis ekonomi
5
global. Aset perbankan syariah tahun 2010 tumbuh sebesar 47,56% dengan peningkatan simpanan masyarakat sebesar 45,46%.
100000
80000
60000
BUS
40000
20000
0
UUS
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: SPS Bank Indonesia Gambar 1.1 Perkembangan Aset Perbankan Syariah (Miliar Rp) Berdasarkan laporan tahunan Bank Indonesia, hal ini disebabkan oleh membaiknya sektor riil dan aktifitas industri perbankan syariah yang semakin meningkat. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan. Peran perbankan syariah dapat dilihat dari besarnya persentase dana yang disalurkan melalui pembiayaan. Sebagaimana data statistik Bank Indonesia, rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (FDR) bank-bank syariah selalu berada di atas loan to deposit ratio (LDR) bank-bank konvensional secara umum. Berikut data FDR dan LDR perbankan Indonesia tahun 2005-2010. Dari data tersebut dapat dilihat besarnya komitmen bank syariah dalam mendukung sektor riil.
6
Tabel.1.1 LDR dan FDR tahun 2005-2010 (dalam persen) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 LDR 54.89 79.56 74.09 88.31 85.05 90.86 FDR 97.75 98.90 99.76 103.65 89.70 89.67 Sumber: SPS Bank Indonesia Penelitian lebih jauh dirasa perlu untuk mengevaluasi penerapan kebijakan
suku bunga yang ditetapkan Bank Indonesia saat ini dan pengaruh SBIS, PUAS, dan GWM terhadap pembiayaan yang diberikan oleh perbankan syariah. Maka, penulis memilih judul “PENGARUH KEBIJAKAN BI RATE, SBIS, DAN PUAS, TERHADAP PEMBIAYAAN”.
1.2 Rumusan Masalah dan Batasan Masalah 1.2.1 Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini yaitu untuk menemukan jawaban atas pertanyaan berikut: 1. Bagaimana pengaruh kebijakan BI rate terhadap pembiayaan? 2. Bagaimana pengaruh imbal hasil Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) terhadap pembiayaan? 3. Bagaimana Pengaruh imbal hasil Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) terhadap pembiayaan? 4. Bagaimana pengaruh kebijakan BI rate, imbal hasil Sertifikat Bank Indonesia (SBIS), dan imbal hasil Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) secara bersama-sama terhadap pembiayaan? 1.2.2 Batasan Masalah Untuk memfokuskan penelitian ini, penulis membatasi pada: 1. Pembiayaan merupakan pembiayaan yang diberikan oleh Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. 7
2. Periode penelitian pada Juli 2005-2011 dimana perbankan syariah menunjukan perkembangan yang sangat pesat dan pertama kali
diterapkannya kebijakan BI rate oleh Bank Indonesia.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, yaitu: 1. Menganalisis
bagaimana
pengaruh
kebijakan
BI
rate
terhadap
pembiayaan.
2. Menganalisis bagaimana pengaruh imbal hasil Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS) terhadap pembiayaan.
3. Menganalisis bagaimana pengaruh imbal hasil Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) terhadap pembiayaan. 4. Menganalisis pengaruh kebijakan BI rate, imbal hasil Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), dan imbal hasil Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) secara bersama-sama terhadap pembiayaan. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak terkait. Manfaat tersebut antara lain: 1. Manfaat bagi praktisi perbankan dan pemerintah untuk evaluasi kebijakan BI rate yang telah diterapkan dan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan di masa yang akan datang. 2. Manfaat bagi praktisi perbankan, pemerintah, dan akademisi untuk melihat bagaimana pengaruh instrumen keuangan syariah terhadap pembiayaan di Indonesia. 3. Manfaat bagi praktisi perbankan adalah sebagai gambaran kinerja perbankan syariah dalam optimalisasi pembiayaan. 4. Manfaat bagi bidang keilmuan, untuk menambah khasanah keilmuan dan memberi ruang kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lebih jauh mengenai tema ini.
8