BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gereja mengenal
Protestan
adanya
Maluku
jabatan
secara
organisasi
institusi
dan
jabatan
pelayanan fungsional gereja. Jabatan secara organisasi gereja
yaitu
Ketua
Majelis,
Wakil,
Sekretaris,
Bendahara, dan Komisi Pelayanan, atau yang disebut juga Pimpinan Harian Majelis Jemaat (PHMJ). Jabatan pelayanan fungsional yaitu Pendeta, Diaken, Penatua, dan
Pengajar.
Jabatan
organisasi
gereja
Pendeta
sebagai Ketua Majelis jemaat sekaligus pemimpin bagi organisasi gereja. Jabatan pendeta tersebut memiliki peran, tugas dan tanggung jawab pendeta sebagai pelayaan umat dan pemimpin dalam jemaat GPM yang diatur dalam Tata Gereja GPM 1998 : Bab I dan Bab II, demikian : Memimpin serta bertanggungjawab atas ibadah, Pemberitaan Firman dan Pelayanan Sakramen. Melaksanakan pelayanan penggembalaan bagi semua pelayan dan anggota jemaat. Bersama Penatua dan Diaken bertanggungjawab atas penyelenggaraan katekisasi, pembinaan umat, pendidikan agama Kristen di sekolah. Bersama Penatua dan Diaken bertanggung jawab atas pelaksanaan Pekabaran Injil, Pelayanan Kasih dan Keadilan. Membina serta mendorong semua warga jemaat untuk menggunakan potensi dan karunia yang
diberikan Tuhan secara bertanggung jawab. Melaksanakan fungsi organisasi dalam Gereja Protestan Maluku sesuai ketentuan Tata Gereja dan Peraturan-Peraturan Gereja yang berlaku. Proses pelaksanaan tugas dan tanggung jawab seorang
pemimpin
jemaat
(pendeta)
dibantu
oleh
penatua dan diaken. Dan proses koordinasi pelayanan tersebut dikenal dengan asas kolegial (Tata peraturan GPM) artinya, secara struktur memiliki kedudukan yang berbeda. Namun secara koordinasi pelaksanaan pelayanan antara pemimpin jemaat dan patner kerja (penatua dan diaken) memiliki fungsi kontrol yang sama yakni, secara bersama-sama mengkordinasikan pelayanannya. Proses koordinasi pelayanan itu penting dilakukan secara efektif supaya, tujuan dan proses pelayanan dapat berjalan dengan baik. Terlebih penting pendeta
selaku
kemampuan
pemimpin
manajerial
mampu
mencakup;
memiliki
perencanaan,
pengorganisasian, pengontrolan, dan evaluasi. Dengan demikian dalam proses kepemimpinannya (pendeta) dapat
memberikan
pengaruh
positif
bagi
patner
kerjanya namun juga bagi warga jemaat. Pengaruh
kepemimpinan
pendeta
terkadang
memberikan cara pandang yang berbeda pada setiap anggota
organisasi.
Penelitian
Latumahina
(2011)
membuktikan bahwa cara pandang anggota jemaat terhadap pemimpinya dapat di lihat dari dua sisi yang
berbeda yakni, dari sisi negatif dan positif. Pemahaman jemaat yang negatif disebabkan, proses manajemen pelayanan kepada anggota jemaat yang kurang baik, timbulnya rasa resah, kegelisahaan, dan rasa tidak nyaman terhadap cara hidup pendeta dalam kegiatan formal gereja ataupun juga kehidupan kesehariannya. Sedangkan dari sisi positif pendeta dipandang sebagai hamba Tuhan yang melakukan pelayanan dengan baik dan menjadi teladan. Kerja keras pendeta dengan kesungguhan
dan
kegigihannya
dalam
melayani
jemaat, serta spritualitas pendeta telah melahirkan terciptanya rasa hormat jemaat, sehingga menunjukan cara pandang yang positif dari anggota jemaat. Secara umum Maxwell (2012) mendefinisikan kepemimpinan sebagai cara pemimpin mempengaruhi orang lain. Dalam hal ini, mempengaruhi berarti membantu
orang
lain
perubahan.
Artinya
untuk
dapat
kepemimpinan
melakukan
menjadi
unsur
kunci untuk melakukan pengelolaan suatu organisasi yang efektif. Semua bentuk kepemimpinan itu penting bagi semua organisasi, dan kepemimpinan yang efektif adalah penting
(www.com/aboutdefinition-leadership-
theories). Fungsi dari kepemimpinan yang efektif yaitu, dapat menggerakkan para anggota kelompoknya dalam mencapai
tujuan
yang
ditetapkan
oleh
organisasi
(Prodjowijono: 2008). Sejalan dengan itu, Stutzman dan
Shenk (1988) sebagaimana dikutip dalam Bennis dan Nanus
mengidentifikasikan
pemimpin
yang
efektif
adalah memberi diri untuk memimpin orang lain tetapi, harus menjadi pelayaan kepada komunitas orang yang dipimpinnya. Selain itu penelitian Zaluchu (2011) menunjukan fakta bahwa anggapan banyak orang tentang kepemimpinan yang lebih melekat kepada kekuasaan, posisi atau jabatan dibandingkan menjadi pelayan itu tidak benar. Lebih lanjut diungkapkan, kepemimpinan merupakan posisi atau jabatan tertentu dan kedudukan itu membuat orang menjadi takut dan segan.
Kedudukan
demikian
tidak
seharusnya
membuat anggotanya menjadi takut dan segan namun, dibutuhkan
pemimpin
yang
mampu
memberikan
pengaruh yang positif bagi anggotanya. Pendeta gereja
sebagai
memiliki
menguatkan
peran
aspek
memanajemen
pemimpin
proses
dalam
penting
organisasi
yang
pemberdayaan pelayanan.
mampu
jemaat
Namun
dan
menurut
Prodjowijono (2008) pendeta tidak hanya melihat aspekaspek itu saja, tetapi pendeta dalam konteks organisasi gereja diharapkan juga menjadi manajer bagi anggota organisasi.
Artinya
bahwa,
kehadiran
atau
kepemimpinannya menjadi perekat dan solusi atas masalah-masalah yang di hadapi jemaat. Sebagai pemimpin
organisasi
gereja
dan
pelayan
perlu
menunjukan
karakter
kepada
jemaat
yang
dapat
memberikan teladan. Untuk itu kekuatan karakter pemimpin yang sesuai dengan lingkungan jemaat sangat diperlukan, yakni bertanggung jawab menjadi pemimpin yang tepat, dalam waktu yang tepat (Right Leader In The Right Time). Kondisi
ini
memberi
kepemimpinan
dapat
pendekatan
kepemimpinan
gambaran
diwujudkan
bahwa
melalui
yang
suatu
berbeda.
Kepemimpinan yang mampu memberikan pelayanan dan dari pelayanannya dapat memberikan pengaruh kepada anggotanya. Oleh sebab itu dalam mewujudkan kondisi
tersebut
tentunya
ada
sebuah
model
kepemimpinan yang memberikan pembelajaran tentang kepemimpinan sejati yang dikenal dengan servant leadership (kepemimpinan melayani). Zaluchu (2011) berpendapat bahwa, kepemimpinan ini masih relevan sebagai sumber inspirasi bagi kepemimpinan Kristen dimanapun untuk dikembangkan dan dipraktekan. Menurut Senjaya (1997) mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Covey bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) semata-mata bukan hanya melayani untuk mendapat hasil, tetapi perilaku untuk melayani adalah hasilnya. Pendapat tersebut didukung oleh Blanchard dan Hodges (2006) mengungkapkan, bahwa
bagi
para
pengikut
Yesus,
kepemimpinan
sebagai tindakan pelayanan bukanlah pilihan, itu adalah
mandat
atau
perintah.
Dijelaskan
servant
leadership (kepemimpinan melayani) harus menjadi statemen
hidup
bila
tinggal
dalam
Yesus,
cara
memperlakukan sesama memperlihatkan cara hidup Yesus. Cara hidup yang harus menjadi teladan bagi seorang pemimpin bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Pendapat tersebut didukung dengan pendapat (Neuschel: 2008) yang menyatakan bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) sebagai seseorang yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, bukan nasib pemimpin untuk dilayani, tetapi adalah hak istimewanya untuk melayani. Salah satu tugas seorang pemimpin meliputi memotivasi pengikutnya dan menciptakan kondisi yang menyenangkan dalam melaksanakan pekerjaan (Yulk: 2010). Bront Kark dan Dina Va Dijk (2007) serta Anderson
et
al.,
(2008)
mengemukakan
bahwa
kepemimpinan mempunyai pengaruh dan memainkan peran penting terhadap motivasi diri dari pengikutnya. Begitupun
dengan
penelitian
Smith,
Monlango,
Kuzmenko (2004) yang menunjukan bahwa, servant leadership (kepemimpinan melayani) diarahkan untuk memotivasi
pertumbuhan
pribadi
pengikut
atau
anggotanya. Tulisan ini diperkuat oleh Patterson (2003) yang memperlihatkan bahwa dasar servant leadership
(kepemimpinan melayani) adalah kasih atau cinta. Kasih atau cinta dapat memberikan motivasi yang kuat pada diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Dapat disimpulkan
kepmimpinan
melayani
juga
dapat
memberikan pengaruh yang positif terhadap motivasi yang terbangun dalan diri individunya. Namun bila tidak bisa memotivasi bawahannya tidak mungkin pemimpin organisasi dapat sukses dalam mencapai tujuan dari organisasi. Secara umum motivasi diartikan sebagai faktor yang timbul dari dalam diri seseorang, sehingga hal itu mendorong
dan
menggerakan
individu
melakukan
sesuatu perbuatan atau tindakan, untuk mencapai satu tujuan tertentu. Menurut Kini dan Hobson (2002), motivasi didefinisikan sebagai suatu kesatuan proses yang membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku kearah pencapaian tujuan. Dengan motivasi yang
tinggi
akan
menciptakan
sebuah
komitmen
terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya dalam menyelesaikan setiap pekerjaan (McNeese–Smith et al: 1995). Pendapat ini didukung oleh penelitian Burton, J; Lee Thomas; Holtom, B (2002), yang menunjukan hasil bahwa
motivasi
anggota
organisasi
berpengaruh
signifikan dan positif terhadap komitmen organisasi. Selanjutnya penelitian KuVaas Bard (2006) mengutip pendapat
yang
dikemukakan
oleh
Furthermore,
Ganesan dan Weitz, menemukan adanya pengaruh positif antara motivasi terhadap komitmen induvidu yang timbul dari dalam dirinya. Penelitian diatas membuktikan motivasi kerja dalam
konteks
organisasi
secara
umum
bisa
memberikan pengaruh terhadap komitmen. Namun perlu dilihat dalam konteks gereja motivasi pelayanan lebih banyak muncul dari kesadaran induvidu secara internal. Motivasi pelayanan itu timbul dari ketulusan hati
individu
untuk
melayani,
melayani
tanpa
mengharapkan imbalan atau penghargaan. Karena motivasi pelayanan tidak bisa diukur dengan uang atau materi. Namun ada nilai yang terkandung dari proses pengabdian yakni kesadaran akan suatu panggilan pelayanan. Dengan demikian individu mampu akan mempunyai komitmen yang tinggi. Motivasi pelayanan itu lebih penting, diperlukan dan harus timbul dari dalam diri individu. Motivasi pelayanan itu muncul lebih kuat dari dalam diri induvidu, sehingga mampu meningkatkan kehidupan rohani atau spritual individu tersebut. Seorang pendeta yang
memiliki
melayani) pelayanan
itu
servant
leadership
(kepemimpinan
akan
bisa
meningkatkan
individu,
dan
memberikan
motivasi tambahan
dorongan untuk melakukannya walaupun sudah ada dari dalam diri. Dan servant leadership (kepemimpinan
melayani) dari pendeta yang baik mampu menjadi teladan bagi induvidu tersebut. Akibatnya induvidu akan lebih berkomitmen tapi tidak secara langsung. Dimaksudkan tanpa induvidu itu mempunyai motivasi internal
pelayanan.
Untuk
itu
servant
leadership
(kepemimpinan melayani) tidak berpengruh secara langsung terhadap komitmen namun ada kemungkinan melalui motivasi pelayanan. Dengan demikian motivasi pelayanan menjadi variabel mediasi antara servant leadership (kepemimpinan melayani) dan komitmen pelayanan. Penelitian Cavin dan McCuddy (2009) melibatkan responden yang bekerja di gereja Lutheran. Penelitian ini memperlihatkan penerapan sepuluh karakteristik servant leadership dalam kerangka demografik (status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, gender, usia, dan tempat tinggal responden). Hasilnya menunjukkan bahwa
perilaku
servant
leadership
beragam
berdasarkan empat karakteristik demografi (status social ekonomi, tingkat pendidikan,usia dan tempat tinggal responden). Cohen, Colwell, dan Reed (2011) melakukan
penelitian
yang
menghasilkan
sebuah
pengukuran baru terhadap servant leadership para eksekutif
dalam
dampaknya masyarakat.
konteks
terhadap
kepemimpinan
anggota,
etis
organisasi
dan dan
Melalui
penjelasan
di
atas
bahwa
ada
pertimbangan lain yang mendasari penelitian ini adalah masih minimnya penelitian yang beroriantasi pada servant leadershipi pendeta,
dalam kaitan dengan
motivasi dan dampaknya pada komitmen pelayanan khususnya di gereja.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah terdapat pengaruh Servant leadership terhadap
motivasi
pelayanan
pada
Majelis
Jemaat? 2. Apakah terdapat pengaruh motivasi pelayanan terhadap
komitmen
pelayanan
pada
Majelis
Jemaat? 3. Apakah
motivasi pelayanan
pemediasi
antara
(kepemimpinan
menjadi
servant
melayani)
dengan
variabel
leadership komitmen
pelayanan.
1.3 Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui
dan
menguji
pengaruh
Servant leadership terhadap motivasi pelayanan pada Majelis Jemaat. 2. Untuk
mengetahui
motivasi
dan
pelayanan
menguji
terhadap
pengaruh komitmen
pelayanan pada Majelis Jemaat. 3. Untuk
mengetahui
dan
menguji
motivasi
pelayanan menjadi variabel pemediasi antara Servant leadership dengan komitmen pelayanan.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian
ini
diharapkan
akan
memberikan
manfaat, antara lain : 1.
Secara Teori, hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan suatu bukti empiris bahwa : teori-teori
motivasi
dan
komitmen
secara
manajemen bisa diterapkan di dalam organisasi gereja. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai informas, referansi dan pertimbangan bagi pihak yang akan melakukan penelitian selanjutnya. 2.
Secara Gereja hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan
kontribusi
menegenai
pentingnya mengetahui dan memiliki servant leadership (kepemimpinan melayani) sebagai rol model
kepemimpinan
seorang
pendeta.
Selanjutnya
dapat
memberikan
pengaruh
terhadap anggota jemaat (diaken dan penatua) dalam meningkatkan motivasi dan komitmen para (diaken dan penatua) dalam melaksanakan pelayanannya.