BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Perkotaan merupakan sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-
unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya (Bintarto, 1977). Karakteristik kawasan perkotaan salah satunya adalah kondisi fisik dan sosial yang dinamis yaitu terkait dengan perkembangan kawasan ini dari waktu ke waktu. Perkembangan kota menyangkut aspek-aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik. Penduduk merupakan salah satu aspek utama dalam perkembangan kota. Pertumbuhan penduduk akan mendorong adanya peningkatan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Seiring berkembangnya aktivitas masyarakat perkotaan maka akan meningkatkan kebutuhan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan. Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia. Memiliki jumlah penduduk 588.110 jiwa (Surakarta Dalam Angka Tahun 2011), Kota Surakarta dapat diklasifikasikan menjadi kota besar (large city) yaitu kota yang memiliki jumlah penduduk 100.000 – 800.000 jiwa (Yunus, 2006). Kota Surakarta mengalami perkembangan pesat di semua bidang kegiatan baik dalam bidang perdagangan, industri, permukiman, pendidikan maupun transportasi. Kota Surakarta dalam skala Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu kota yang cukup strategis dan memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pertumbuhan wilayah di Jawa Tengah pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Kota Surakarta merupakan simpul pergerakan yang sangat strategis dalam sistem transportasi dan jaringan jalan di Jawa Tengah. Terdapat pertemuan antara jalur pantura dan jalur selatan yang keduanya merupakan jalan nasional yang berfungsi sebagai jalan arteri primer, yaitu jalur Jakarta – Surabaya dan jalur Bandung – Yogyakarta – Surabaya. Selain pertemuan dua buah jalur besar tersebut, dari wilayah hinterland menuju Kota Surakarta dihubungkan oleh jalur jalan Provinsi Jawa Tengah yang berfungsi sebagai jalan kolektor primer, yaitu
1
jalur jalan Wonogiri – Sukoharjo – Surakarta dan jalur Semarang – Purwodadi – Surakarta (Rencana Umum Tata Ruang Kota Surakarta, 2006). Kota Surakarta mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat yang dapat dilihat dari nilai Pendapatan Regional Bruto (PDRB) di kota tersebut. Perkembangan nilai PDRB berarti menunjukkan perkembangan perekonomian wilayah bersangkutan. Kota Surakarta mengalami peningkatan nilai PDRB setiap tahunnya. Nilai PDRB ditunjang oleh sektor ekonomi, dimana sektor utama adalah industri yang diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran (Rencana Umum Tata Ruang Kota Surakarta, 2006). Potensi sektor ekonomi menjadikan penggunaan lahan disebagian ruas jalan Kota Surakarta didominasi oleh perdagangan dan jasa. Hal ini menimbulkan tingkat bangkitan terbesar dibandingkan penggunaan lahan yang lain. Wilayah terpadu dalam pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah bagian selatan terdiri dari Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten (Subosukawonosraten). Untuk memacu pertumbuhan ekonomi maka dibutuhkan titik transit bagi sarana transportasi agar pusat kegiatan disetiap kota dapat terintregasi dengan baik. Dengan adanya lokasi strategis dan potensi besar sebagai kegiatan ekonomi maka Kota Surakarta digunakan sebagai titik transit yang menghubungkan antar pusat kegiatan. Peningkatan kegiatan tersebut berbanding lurus dengan peningkatan kebutuhan sarana dan prasarana transportasi. Permasalahan transportasi dapat disebabkan ketidakseimbangan sarana transportasi berupa kendaraan dengan prasarana transportasi yang berupa jalan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) volume kendaraan tahun 2011 sebanyak 330.000 unit sedangkan tahun 2012 sebanyak 496.000 unit. Hal ini menunjukkan tingginya pertumbuhan kendaraan menyebabkan kemacetan panjang dibeberapa ruas jalan (SOLOPOS, 2013). Apabila peningkatan kendaraan tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas jalan maka dapat terjadi penurunan kinerja ruas jalan. Permasalahan transportasi di Kota Surakarta menurut RUTRK antara lain : lalu lintas regional yang masih memasuki kawasan tengah kota, sehingga
2
menambah kepadatan dan kerawanan lalu lintas ; Kondisi jalan arteri primer yang tidak memenuhi persyaratan, yaitu banyak perlintasan dengan jalan fungsi sekunder ; Terdapat 9 perlintasan sebidang antara jalan kereta api dengan jalan raya, hal ini mengakibatkan terjadinya kemacetan lalu lintas, meningkatnya pencemaran udara akibat emisi gas buang serta mengakibatkan terjadinya pemborosan energi ; Beberapa ruas jalan dalam kota sudah menunjukkan kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi, sehingga sering terjadi kemacetan lalu lintas ; Terbatasnya ruang parkir umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi kota, dan lebih banyak menggunakan ruang parkir jalan, sehingga menambah permasalahan transportasi kota. Permasalahan yang paling dominan adalah permasalahan kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu lintas dapat juga dipengaruhi oleh pola jaringan jalan. Pola jaringan jalan di dalam kota sebagian besar berbentuk dasar pola grid, yaitu kotak -kotak, dimana hal ini sesuai dengan kondisi topografi yang relatif datar (Rencana Umum Tata Ruang Kota Surakarta, 2006). Pola grid/kotak yang seperti papan catur (grid iron pattern) yaitu terdapat jaringan jalan utama (Jl. Brigjen Slamet Riyadi) yang membelah Kota Surakarta dari barat ke timur membentuk papan petak catur sebagai muara jalan lain yang lebih kecil. Pola ini memiliki keuntungan dalam penyebaran arus lalu lintas tetapi kerugiannya dapat mengakibatkan jalan utama menampung arus lalu lintas yang cukup besar dampaknya terjadi kemacetan dan ketidakteraturan lalu lintas. Kaitannya dengan kemacetan lalu lintas perlu dikaji kinerja masing-masing ruas jalan di Kota Surakarta yaitu berupa kapasitas jalan dan tingkat pelayanan jalan. Kinerja ruas jalan digunakan untuk mengetahui kemampuan ruas jalan dalam menampung arus lalu lintas, apakah volume lalu lintas sesuai dengan kapasitas jalan yang ada. Ruas jalan akan mengalami kemacetan apabila kapasitas jalan tersebut tidak mencukupi untuk volume atau arus yang melalui ruas jalan per jamnya, dengan kata lain volume lalu lintas melebihi kapasitas jalan yang ada. Kegiatan untuk mengetahui kinerja ruas jalan menggunakan citra penginderaan jauh untuk ekstraksi informasi parameter yang mempengaruhi kinerja ruas jalan yaitu kapasitas jalan dan volume lalu lintas. Keunggulan
3
menggunakan citra penginderaan jauh dapat menyajikan gambaran objek, daerah dan gejala di permukaan bumi secara lengkap dengan ujud dan letak objek yang mirip dengan keadaan sebenarnya di medan (Sutanto, 1986). Dengan citra penginderaan jauh dapat diperoleh informasi mengenai parameter – parameter yang berpengaruh terhadap kinerja ruas jalan yaitu geometrik jalan dan penggunaan lahan. Pengolahan data penginderaan jauh dilakukan dengan bantuan Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG berperan dalam melakukan input data dari data penginderaan jauh, manipulasi dan analisis data untuk klasifikasi kapasitas jalan dan volume lalu lintas, yang kemudian penyajian keluarannya berupa bentuk peta kapasitas jalan, peta volume lalu lintas, peta potensi kemacetan, grafik, tabel, dan hasil perhitungan. Penggunaan SIG ini menjadi sangat penting, khususnya dalam hal efisiensi tenaga dan waktu. Data dan informasi yang dapat dikumpulkan dengan cepat dengan teknik penginderaan jauh harus diimbangi dengan pengolahan data yang cepat dan sistematis yaitu dengan SIG.
1.2
Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Permasalahan kawasan perkotaan membutuhkan data atau informasi spasial
yang mencakup wilayah secara cepat dan akurat baik berupa peta ataupun citra. Adanya citra QuickBird sebagai citra satelit dengan resolusi spasial tinggi dapat digunakan sebagai dasar analisis permasalahan perkotaan dengan tingkat ketelitian lebih detail baik untuk perencanaan maupun pengelolaan. Permasalahan ketersediaan data spasial yang up to date dapat diatasi dengan penggunaan data penginderaan jauh untuk penurunan informasi spasial yang dibutuhkan untuk kajian perkotaan. Citra penginderaan jauh dengan resolusi tinggi seperti citra QuickBird yaitu 0,61 m pada saluran pankromatik dan 2,5 m pada saluran multispektral dapat digunakan untuk ekstraksi informasi geometrik jalan dan penggunaan lahan. Informasi tersebut merupakan unsur yang digunakan untuk mengetahui kapasitas jalan dan tingkat pelayanan jalan sebagai parameter kinerja ruas jalan. Analisis kinerja ruas jalan kaitannya dengan kemacetan lalu lintas dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi
4
Geografis dapat mempersingkat waktu dan biaya apabila dibandingkan dengan metode survei lapangan. Sistem
transportasi
merupakan
salah
satu
elemen
penting
yang
mempengaruhi perkembangan kawasan perkotaan. Sistem transportasi yang terdiri dari sistem transportasi darat, laut dan udara digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan. Sistem transportasi digunakan oleh manusia untuk melakukan perjalanan antara satu penggunaan lahan dengan penggunaan lahan lain sehingga timbul bangkitan pergerakan disetiap penggunaan lahan. Perkembangan kota juga menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan lahan yang dampaknya berupa perubahan penggunaan lahan. Perubahan jenis penggunaan lahan berdampak terhadap penurunan kinerja ruas jalan karena dari kegiatan yang ada disuatu penggunaan lahan tersebut menimbulkan pergerakan sehingga terjadi peningkatan volume lalu lintas. Permasalahan terjadi pada ruas jalan akibat adanya faktor-faktor yang mengurangi kapasitas jalan dan tingkat pelayanan jalan sehingga perlu diketahui kinerja masing – masing ruas jalan dalam kemampuannya menghadapi perkembangan fisik kota. Kota Surakarta merupakan kota yang strategis dengan adanya pertemuan antara jalur pantura dan jalur selatan yang keduanya merupakan jalan nasional yang berfungsi sebagai jalan arteri primer, yaitu jalur Jakarta – Surabaya dan jalur Bandung – Yogyakarta – Surabaya. Ruas jalan di Kota Surakarta yang berfungsi sebagai jalan Arteri Sekunder adalah Jl. Brigjen Slamet Riyadi, Jl. Jend. Sudirman, Jl. Jend. Urip Sumoharjo dan Jl. Kol. Sutarto, sedang jalan-jalan utama lainnya merupakan jalan Kolektor Sekunder. Beberapa ruas jalan di Kota Surakarta memiliki tingkat kemacetan lalu lintas yang tinggi. Ruas jalan yang menunjukkan adanya kepadatan arus lalu lintas yang cukup tinggi yaitu Jl. Jend. Ahmad Yani (arteri primer) 6652 SMP/jam, Jl. Kom. L. Yos Sudarso (kolektor primer) 1929 SMP/jam dan Jl. Adi Sucipto (arteri primer) 1538 SMP/jam. Jl. Brigjen Slamet Riyadi sebagai jalan arteri sekunder memiliki volume lalu lintas 1125 SMP/jam (DLLAJ Kota Surakarta dalam RUTRK 2007 – 2016). Volume lalu lintas ini dipengaruhi oleh bangkitan pergerakan yang ditimbulkan oleh penggunaan lahan disepanjang jalan tersebut. Terdapat jalan-jalan besar lain
5
sejajar Jl. Brigjen Slamet Riyadi, antara lain Jl. Ronggowarsito dan Jl Yosodipuro di sebelah utaranya dan Jl. Dr. Rajiman dan Jl. Moh. Yamin di sebelah selatannya. Ruas jalan tersebut dipotong beberapa ruas jalan dari selatan ke utara membentuk grid iron pattern. Pola tersebut menyebabkan jalan utama menampung arus cukup besar sehingga dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas. Perlu diketahui lokasi atau ruas jalan yang memiliki potensi kemacetan dan penyebabnya. Sistem transportasi memiliki sub-sistem sarana dan prasarana yang terkait dengan pola jaringan jalan. Kota Surakarta memiliki pola jaringan jalan berupa grid/kotak. Sistem grid merupakan sistem pola jalan berbentuk grid sehingga jalan-jalan di dalamnya dengan demikian menjadi tegak lurus satu sama lain. Arus lalu lintas dari jalan-jalan kecil akan bermuara menuju jalan utama. Dengan pola grid apabila pada jam-jam sibuk dan kapasitas jalan sudah penuh maka mudah untuk mengurai kemacetan menuju jalan-jalan kecil. Pola grid di beberapa ruas jalan Kota Surakarta diharapkan dapat mengatasi kemacetan lalu lintas. Perlu diteliti efektifitas pola tersebut untuk mengurangi kemacetan lalu lintas. Dari permasalahan tersebut, maka diperoleh pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana kemampuan citra QuickBird dalam memperoleh parameter – parameter yang akan digunakan untuk mengetahui kinerja ruas jalan dan kemacetan lalu lintas? 2. Bagaimana kinerja ruas jalan dan potensi kemacetan disebagian ruas jalan Kota Surakarta? 3. Apakah pola jaringan jalan grid mampu mengurangi kemacetan lalu lintas?
6
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini dirinci sebagai berikut : 1.
Mengkaji kemampuan citra QuickBird dalam memperoleh parameter kinerja ruas jalan dan kemacetan lalu lintas.
2.
Mengetahui kinerja ruas jalan dan potensi kemacetan.
3.
Mengetahui efektivitas pola jaringan jalan grid dalam mengurangi kemacetan lalu lintas.
1.4
Sasaran Penelitian 1. Informasi tingkat akurasi interpretasi citra QuickBird untuk parameter kinerja ruas jalan dan kemacetan lalu lintas. 2. Peta kinerja ruas jalan di sebagian ruas jalan Kota Surakarta. 3. Peta potensi kemacetan lalu lintas disebagian ruas jalan Kota Surakarta. 4. Manajemen lalu lintas yang efektif pada pola jaringan jalan grid dalam mengurangi kemacetan lalu lintas.
1.5
Kegunaan Penelitian 1.
Memberikan kontribusi bagi pengembangan penginderaan jauh untuk manajemen lalu lintas perkotaan.
2.
Memberikan informasi kinerja ruas jalan dan potensi kemacetan.
3.
Memberikan
pemasukan
kepada
pemerintah
daerah
dalam
merencanakan dan melaksanakan manajemen lalu lintas.
7
1.6
TELAAH PUSTAKA
1.6.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau gejala yang dikaji (Lilliesand, 1999). Sistem penginderaan jauh bekerja dalam dua domain yaitu domain spektral dan domain spasial. Setiap objek di permukaan bumi dapat memantulkan dan atau memancarkan gelombang elektromagnetik yang dapat diterima oleh suatu sensor. Keberadaan suatu objek dapat dideteksi berdasarkan pantulan atau pancaran gelombang elektromagnetik yang dilakukan oleh objek tersebut apabila karakteristik pantulan atau pancaran elektromagnetik objek itu telah diketahui. Perbedaan
struktur
partikel
setiap
objek
mempengaruhi
respon
elektromagnetiknya (Danoedoro, 2012 : 44). Sistem penginderaan jauh dapat dilihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Sistem Penginderaan Jauh Sumber : Lilliesand dkk, 2008 dalam Danoedoro 2012 : 45
8
Gambar 1.1 menunjukkan sistem penginderaan jauh yang menggambarkan sumber energi, atmosfer sebagai medium, sistem pengindera meliputi berbagai wahana, produk data, proses interpretasi dan analisis, serta produk informasi yang dimanfaatkan pengguna. Sumber energi dalam penginderaan jauh dapat berupa sumber energi alamiah atau sumber energi buatan. Energi tersebut kemudian mengenai objek di permukaan bumi yang kemudian dipantulkan atau dipancarkan untuk direkam oleh sensor. Satelit penginderaan jauh dapat dikelompokkan berdasarkan misi dan cara orbit. Berdasarkan misi dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu satelit cuaca dan satelit sumber daya. Satelit berdasarkan cara orbit dikelompokkan menjadi satelit sinkron bumi (geo-synchronous satellite) dan satelit sinkron matahari (sunsynchronous satellite). Hampir semua satelit sumber daya termasuk satelit sinkron matahari, seperti Landsat, SPOT, ERS dan JERS (Danoedoro, 2012 : 67). Salah satu penginderaan jauh sistem satelit yang memiliki resolusi spasial tinggi adalah Citra QuickBird. Dalam hal ini citra yang akan digunakan dalam penelitian ini termasuk ke dalam satelit sumber daya yaitu Citra QuickBird.
1.6.2 Citra QuickBird Satelit QuickBird-2 secara resmi diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001 di Vandenburg Air Force Base, California. Citra QuickBird mempunyai resolusi spasial tinggi. Resolusi spasial adalah ukuran terkecil objek yang masih dapat dideteksi oleh suatu sistem pencitraan (Danoedoro, 2012 : 34). Satelit QuickBird membawa dua sensor dengan dua macam resolusi yaitu citra pankromatik dengan resolusi 0,61 meter dan citra multispektral dengan resolusi 2,44 meter. Sensor multispektral terdiri atas saluran biru (0,45 – 0,52 µm), hijau (0,52 – 0,60 µm), merah (0,63 – 0,69 µm), dan inframerah dekat (0,76 – 0,89 µm). Sensor pankromatik memiliki julat 0,45 – 0,90 µm. Citra QuickBird mempunyai kemampuan bit coding 11 bit (2048 skala keabuan) yang berarti memberikan kualitas citra yang lebih baik karena gradasi keabuan mengalami peningkatan 8 kali dibandingkan dengan 8 bit (256 skala
9
keabuan) yang sebagian besar dimiliki citra satelit saat ini. Karakteristik Citra QuickBird dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Karakteristik Citra QuickBird No. 1
Karakteristik Informasi peluncuran
2
Orbit
3
Resolusi spasial
4.
Resolusi spektral
5. 6. 7.
Lebar sapuan Waktu melintasi equator Waktu pengulangan
8. 8.
Akurasi Metrik Kapasitas
Keterangan Tanggal : 18 Oktober 2001 Awak peluncur : Delta II Ketinggian : 482 km Tipe : Sun-syncronus Periode : 94,2 menit Pankromatik : 65 cm (nadir) Multispektral : 2,62 cm (nadir) Blue : 430 – 545 nm Green : 466 – 620 nm Red : 590 – 710 nm Near-IR 715 – 918 nm 18,0 km x 18,0 at nadir 10.00 descending node 2,5 hari 5,6 hari (200 off nadir) 23 m CE90, 17 m LE90 200.0 2 per hari
Sumber : http://www.digitalglobe.com/company/contentcollection/QuickBird, diunduh 19-04-2013 Penggunaan teknologi penginderaan jauh yaitu Citra QuickBird dapat membantu dalam menangani masalah yang timbul di daerah perkotaan melalui data dan informasi keruangan yang mencakup seluruh wilayah secara tepat, cepat, akurat dan terpercaya. Citra QuickBird digunakan untuk interpretasi visual sehingga diperoleh beberapa parameter yang akan digunakan untuk mengetahui kinerja ruas jalan yaitu lebar jalan dan penggunaan lahan. Informasi yang diperoleh dari Citra QuickBird dan data lain selanjutnya dapat diproses lebih lanjut sehingga dapat disajikan informasi kinerja ruas jalan.
1.6.3 Interpretasi Citra Pengenalan objek merupakan bagian penting dalam interpretasi citra. Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji citra yang bertujuan untuk mengidentifikasi objek-objek yang terdapat pada citra yang kemudian melakukan penilaian terhadap objek tersebut. Tanpa mengenali identitas dan jenis objek yang
10
tergambar pada citra maka tidak mungkin dilakukan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Menurut Estes et al, (1975 dalam Sutanto, 1986), interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji citra dengan tujuan untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti penting objek tersebut. Enam tahapan dalam melakukan interpretasi citra (Lo, 1979, dalam Sutanto, 1986) yaitu : 1.
Deteksi : penyadapan data secara selektif atas objek (tampak langsung) dan elemen (tak tampak langsung) dari citra.
2.
Pengenalan dan identifikasi
3.
Analisis : pemisahan dengan garis batas kelompok objek atau elemen yang memiliki kesamaan ujud.
4.
Deduksi : deduksi berdasarkan asas penggunaan bukti – bukti yang masing – masing saling mengarah ke satu titik simpul untuk prediksi terjadinya hubungan tertentu.
5.
Klasifikasi : menyusun objek dan elemen ke dalam sistem teratur.
6.
Idealisasi : penggambaran hasil interpretasi. Interpretasi citra menggunakan unsur interpretasi yang terdiri atas rona atau
warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan, situs dan asosiasi (Sutanto, 1986). Penjelasan masing-masing unsur interpretasi sebagai berikut : 1.
Rona dan warna Rona (tone/color tone/grey tone) adalah tingkat kecerahan atau tingkat kegelapan pada citra. Rona memiliki tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya, sedangkan warna memiliki tingkatan lebih beragam.
2.
Ukuran Ukuran merupakan perbandingan nyata dari objek-objek pada citra yang mengambarkan kondisi di lapangan yang memiliki atribut objek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume. Pemanfaatan unsur interpretasi ukuran harus memperhatikan skala citra.
11
3.
Bentuk Bentuk merupakan konfigurasi atau kerangka suatu objek, sehingga dapat mengetahui ciri suatu kenampakan yang ada pada citra dapat diidentifikasi dan dapat dibedakan antar objek.
4.
Tekstur Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok objek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. Tekstur sering dinyatakan dari kasar sampai halus.
5.
Pola Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek bentukan manusia dan bagi beberapa objek alamiah lainnya. Pengulangan bentuk tertentu dalam hubungan merupakan karakteristik bagi objek alamiah akan memberikan suatu pola yang membantu interpretasi.
6.
Bayangan Bayangan bersifat menyembunyikan objek di daerah gelap, tetapi bayangan penting untuk interpretasi beberapa objek yang justru lebih mudah diamati dari bayangannya. Unsur bayangan dapat menentukan arah mata angin serta pengenalan terhadap suatu objek yang kemungkinan sulit diinterpretasi sebelumnya.
7.
Situs Situs atau lokasi suatu objek merupakan hubungan satu objek dengan objek lain yang dapat membantu dalam menginterpretasi citra.
8.
Asosiasi Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara objek yang satu dengan objek yang lain. Unsur-unsur interpretasi citra tersebut dapat digunakan secara terpisah
maupun dikombinasikan satu unsur dengan unsur lain untuk mengenali suatu objek pada citra. Selain unsur-unsur tersebut di atas, hasil interpretasi citra juga dipengaruhi oleh pengetahuan interpreter tentang kondisi umum daerah penelitian atau local knowledge dan pengalaman interpreter dalam melakukan interpretasi.
12
1.7
Sistem Informasi Geografis Menurut Prahasta (2009) Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan
sejenis perangkat lunak, perangkat keras (manusia, prosedur, basis data, dan fasilitas jaringan komunikasi) yang dapat digunakan untuk memfasilitasi proses pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan, dan keluaran data/informasi geografis berikut atribut-atribut terkait. SIG paling tidak terdiri dari subsistem pemrosesan, subsistem analisis data dan subsistem yang menggunakan informasi. Subsistem pemrosesan data mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan. Subsistem analisis data mencakup perbaikan, analisis dan keluaran informasi dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan diterapkan pada suatu masalah (Lo, 1996). Pengertian SIG pada prinsipnya mempunyai kesamaan unsur yang berupa komponen
perangkat keras, piranti lunak, data geografis, dan personel yang
saling berkaitan dalam suatu sistem yang memungkinkan untuk perekaman, penyimpanan, analisis/pengolahan, dan penayangan dari data/informasi geografis secara optimal (Dimyati, 1998). SIG memiliki beberapa sub-sistem antara lain : 1.
Data Input : sub-sistem ini bertugas untuk mengumpulkan, mempersiapkan, menyimpan data spasial dan atributnya dari berbagai sumber. Sub-sistem ini pula
yang
bertanggung
jawab
dalam
mengkonversikan
atau
mentransformasikan format-format data aslinya ke format yang dapat digunakan oleh perangkat SIG yang bersangkutan. 2.
Data Output : sub-sistem ini bertugas untuk menampilkan atau menghasilkan keluaran (termasuk mengekspornya ke format yang dikehendaki) seluruh atau sebagian basis data (spasial) baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti halnya tabel, grafik, laporan, peta, dan lain lain.
3.
Data Management : sub-sistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun tabel – tabel atribut terkait kedalam sebuah sistem basis data sedemikian rupa hingga mudah dipanggil kembali, di-update dan di-edit.
13
4.
Data Manipulation dan Analisis : sub-sistem ini menentukan informasi – informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, sub-sistem ini melakukan manipulasi (evaluasi dan penggunaan fungsi – fungsi dan operator matematis dan logika) dan permodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Skema Sistem Informasi Geografi dan sub-sistem SIG yang terdiri dari data
Input, data output, manajemen data, manipulasi dan analisis data dapat dilihat pada Gambar 1.2. Manipulasi Data dan Analisis Data
Data Input
SIG
Data Output
Manajemen Data
Gambar 1.2. Sub-sistem dalam Sistem Informasi Geografis (Prahasta, 2009) Integrasi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis sudah diterapkan secara luas dan digunakan sebagai alat yang efektif dalam analisis perkotaan (Ehlers et al, 1990 dalam Weng, 2009). Data penginderaan jauh dapat digunakan untuk ekstraksi informasi tematik yang akan digunakan untuk membuat basis data SIG. Metode yang digunakan untuk input dalam SIG antara lain interpretasi visual foto udara atau citra satelit dan analisis atau klasifikasi dengan penginderaan jauh digital. Interpretasi visual menghasilkan peta tematik, misalnya peta penggunaan lahan. Peta tersebut kemudian digunakan sebagai input dalam SIG. Metode penginderaan jauh digital merupakan metode otomatis untuk menghasilkan peta dalam format digital sebagai input SIG.
14
Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam penelitian ini antara lain masukan data menggunakan data yang berasal dari pengideraan jauh yaitu citra QuickBird, data spasial berupa jaringan jalan dan data tabuler atau data atribut yaitu data tipe jalan. Dalam proses manipilasi data, SIG digunakan untuk pengukuran lebar jalan dan analisis spasial untuk menentukan klasifikasi kapasitas jalan dan klasifikasi volume lalu lintas untuk masing – masing ruas jalan. Keluaran data SIG dalam penelitian ini berupa tabel atribut yang berisi hasil perhitungan dan pengukuran kapasitas jalan dan volume lalu lintas. Selain itu keluarannya juga berupa peta kapasitas jalan, peta volume lalu lintas, dan peta potensi kemacetan lalu lintas.
1.8
Kinerja Ruas Jalan Perkotaan
1.8.1. Kapasitas Jalan Kapasitas jalan menurut MKJI (1997) adalah arus maksimum melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan jam pada kondisi tertentu. Untuk jalan dua-lajur dua-arah, kapasitas ditentukan untuk arus dua arah (kombinasi dua arah), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per lajur. Kapasitas jalan didefinisikan sebagai jumlah per-jam maksimum dimana orang atau kendaraan diperkirakan akan dapat melintasi sebuah titik atau suatu ruas jalan selama periode waktu tertentu pada kondisi jalan, lalu lintas dan pengendalian biasa (TRB, 2000 dalam Khisty dkk, 2005). Yang dimaksud kondisi jalan adalah jenis fasilitas, karakteristik geometris, jumlah lajur (berdasarkan arah), lebar lajur dan lebar bahu jalan, kecepatan desain, lengkung horisontal dan vertikal, dan ketersediaan jarak antrian di persimpangan. Kondisi-kondisi lalu lintas disini adalah distribusi jenis kendaraan yang menggunakan fasilitas, jumlah, dan distribusi kendaraan pada lajur suatu jalan, dan distribusi arahnya. Perhitungan kapasitas jalan menggunakan persamaan dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997 yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Indonesia tahun 1997.
15
Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas adalah sebagai berikut : C = CO x FCW x FCSP x FCSF x FCCS ................................................................ (i) Dengan, C
: kapasitas (smp/jam)
CO
: kapasitas dasar (smp/jam)
FCW
: faktor penyesuaian lebar jalan
FCSP
: faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk jalan tak-terbagi)
FCSF
: faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kerb
FCCS : faktor penyesuaian ukuran kota Prinsip dasar analisa kapasitas jalan adalah kecepatan berkurang apabila arus bertambah. Pengurangan kecepatan akibat penambahan arus adalah kecil pada arus rendah tetapi lebih besar pada arus yang lebih tinggi. Pertambahan arus yang sedikit akan menghasilkan pengurangan kecepatan yang besar. Hubungan kecepatan dan arus dapat dilihat pada Gambar 1.3, yaitu grafik untuk kondisi standar disetiap tipe jalan. Apabila karakteristik jalan lebih baik dari kondisi standar, kapasitas menjadi lebih tinggi dan grafik bergeser kesebelah kanan, dengan kecepatan lebih tinggi pada arus tertentu yang dapat dilihat pada Gambar 1.4.
Gambar 1.3. Bentuk Umum Hubungan Kecepatan- Arus (sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)
16
Gambar 1.4. Hubungan Kecepatan-Arus untuk kondisi standar dan bukan standar (sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997) 1.8.2 Tingkat Pelayanan Jalan Tingkat pelayanan jalan (level of service) merupakan suatu ukuran kualitatif yang menjelaskan kondisi – kondisi operasional di dalam suatu aliran lalu lintas dan persepsi dari pengemudi dan/atau penumpang terhadap kondisi – kondisi tersebut (TRB, 2000 dalam Khisty dkk, 2005). Tingkat pelayanan merupakan ukuran suatu kualitas pada jalan, yang telah merangkum banyak faktor-faktor antara lain geometrik jalan dan umumnya digunakan sebagai ukuran dari pengaruh untuk membatasi volume lalu lintas dengan kapasitas. Tingkat pelayanan ruas jalan ditentukan dengan V/C ratio, dimana V merupakan volume kendaraan harian dan C merupakan nilai kapasitas ruas jalan. Persamaan untuk menentukan kapasitas jalan adalah sebagai berikut : VCR = V/C ..........................................................................................................(ii)
Dengan, VCR : volume kapasitas rasio (nilai pelayanan) V
: volume lalu lintas (smp/jam)
C
: kapasitas ruas jalan (smp/jam)
17
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997, ada 6 tingkat pelayanan yaitu : 1.
Tingkat pelayanan A (V/C < 0,6). Tingkat pelayanan ini memberikan suatu gambaran kondisi volume lalu lintas yang terendah dan kecepatan kendaraan dapat dilakukan sesuai dengan keinginan pengemudi.
2.
Tingkat pelayanan B (0.6 < V/C < 0,7). Tingkat pelayanan ini memberikan arus yang stabil, kecepatan perjalanan mulai dipengaruhi oleh keadaan lalu lintas, dalam batas pengemudi masih bisa mendapat kebebasan dalam memilih kecepatan.
3.
Tingkat pelayanan C (0,7< V/C < 0,8). Tingkat pelayanan ini memberikan gambaran lalu lintas masih dalam keadaan stabil, tetapi pergerakkan dan kecepatan lebih dipengaruhi oleh volume yang tinggi, sehingga kecepatan sudah terbatas dalam batas-batas kecepatan yang cukup memuaskan.
4.
Tingkat pelayanan D ( 0,8
5.
Tingkat pelayanan E (0,9 < V/C < 1). Tingkat pelayanan ini memberikan gambaran arus yang tidak stabil, tidak dapat ditentukan hanya dari kecepatan perjalanan saja, sering terjadi macet (berhenti) untuk beberapa saat, volume lalu lintas dapat hampir sama dengan kapasitas jalan.
6.
Tingkat pelayanan F ( V/C > 1 ). Tingkat pelayanan ini dapat memberikan gambaran arus tertahan, kecepatan rendah, sering terjadi kemacetan pada waktu cukup lama dalam keadaan ekstrim kecepatan dapat turun menjadi 0 (macet total).
1.9
Manajemen Lalu lintas Jalan Raya Kebutuhan dan atau keinginan untuk melakukan perjalanan atau pergerakan
didorong oleh adanya aktivitas manusia. Pergerakan tersebut menyebar keseluruh lokasi secara keruangan yang dampaknya muncul suatu sistem transportasi. Arus pergerakan yang timbul merupakan arus lalu lintas dari seluruh moda transportasi
18
seperti arus lalu lintas kendaraan di jalan raya, kereta api di rel, kapal di laut, dll. Dari semua arus lalu lintas yang ada, arus lalu lintas kendaraan di jalan raya paling banyak menimbulkan permasalahan. Hal ini dikarenakan keterkaitan antara jalan dengan penggunaan lahan sebagai tempat penduduk melakukan aktivitas (Miro, 2012 : 101a). Menurut Miro (2012 : 101b), manajemen lalu lintas merupakan teknik pengelolaan (pengaturan dan penggunaan) ruas jalan raya, titik temu dua ujung ruas jalan raya (persimpangan), parkir, ruang pejalan kaki (khusus di perkotaan) agar terdapat keseimbangan antara jumlah pemakai (arus lalu lintas) dan fasilitas yang tersedia tanpa menambah fasilitas yang baru yang sasarannya dapat direalisasikan dalam jangka pendek (kurang dari setahun) atau masalahnya dapat diatasi dalam waktu singkat. Menurut UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalah serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas. Manajemen rekayasa lalu lintas dilaksanakan dengan pengadaan atribut-atribut pengendali dan penunjuk tata tertib lalu lintas, sebagai panduan masyarakat dalam berlalu lintas. Pengelolaan kendaraan di ruas jalan raya perkotaan dimaksudkan untuk mencapai sasaran dalam waktu singkat (Miro, 2012 : 103), yaitu : 1.
Pelancaran arus lalu lintas kendaraan dan orang yang bergerak di ruas jalan raya
2.
Mewujudkan keamanan dan keselamatan lalu lintas, yang dinilai dari rendahnya angka kecelakaan lalu lintas
3.
Meminimalisasi gangguan terhadap arus lalu lintas melalui pemisahan kendaraan dan penataan ruang
4.
Pengurangan kemacetan lalu lintas
5.
Terjaganya kondisi lingkungan dari akibat negatif Cara pengelolaan kendaraan di ruas jalan raya perkotaan antara lain :
19
1.
Pengaturan arus perjalanan dari lokasi bangkitan
2.
Pemilihan moda transportasi melalui sistem parkir, kawasan penumpang tiga, penataan trayek, dan lain lain.
3.
Pemilihan rute melalui informasi arah dan rambu-rambu lalu lintas
4.
Pemakaian ruas jalan sesuai fungsi melalui sistem satu arah, jalur khusus, dan lain lain
5.
Operasi lalu lintas dipersimpangan
6.
Parkir kendaraan jalan raya
7.
Keamanan lalu lintas melalui pengaturan batas kecepatan
8.
Kondisi lingkungan melalui pengecekan emisi gas buang Prosedur penerapan teknik manajemen lalu lintas dilalui melalui tahapan
sebagai berikut : 1.
Mengidentifikasi permasalahan dan parameternya
2.
Merumuskan jenis tindakan teknik manajemen yang akan diterapkan
3.
Memprediksi konsekuensi jika akan menerapkan teknik manajemen tertentu
4.
Memilih berbagai skenario teknik manajemen dengan pertimbangan prediksi konsekuensi
5.
Menerapkan skenario yang diputuskan
6.
Mengevaluasi hasil Diperlukan ruang lingkup manajemen jalan raya sebagai optimasi
penggunaan jalan raya. Ruang lingkup tersebut adalah persimpangan jalan raya, lalu lintas pada ruas jalan, manajemen parkir, dan manajemen pejalan kaki atau mengelola lalu lintas pejalan kaki. Penerapan manajemen lalu lintas jalan perlu mempertimbangkan Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALL). ANDALL dilaksanakan melalui pengontrolan sistem kegiatan dengan cara memperkirakan akibat lalu lintas karenan adanya kegiatan di suatu lokasi. Sistem kegiatan dikelola sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan peningkatan lalu lintas dilokasi tersebut (Miro, 2012 : 108). Manajemen lalu lintas melalui ANDALL digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan lalu lintas akibat adanya pembangunan fisik kota.
20
Manajemen Lalu lintas
Agar lalu lintas dapat dikendalikan
Agar akibat lalu lintas dapat terkendali
Analisis Dampak Lalu lintas
Sistem Kegiatan berupa pembagunan fisik kota
Lalu lintas
Penyebab
Akibat
Masalah lalu lintas dan lingkungan berupa macet, polusi, penundaan, dll
Gambar 1.5. Diagram alir manajemen lalu lintas melalui ANDALL (Miro, 2012) Penerapan ANDALL salah satunya adalah dalam mengatasi permasalahan penyebab kemacetan antara lain parkir di badan jalan. Parkir menggunakan badan jalan menyebabkan terjadinya kemacetan di pusat-pusat dengan intensitas kegiatan yang tinggi. Akibat dari hal tersebut dapat mengurangi kapasitas jalan raya dalam menampung arus lalu lintas. Hal ini mengakibatkan daya tampung badan jalan semakin kecil sementara volume lalu lintas semakin bertambah. Hal ini menimbulkan penurunan kinerja jalan raya dalam menampung volume lalu lintas yang ditandai kemacetan, penundaan, dan polusi. Solusi sebelum terjadinya bangkitan lalu lintas adalah manajeman lalu lintas melalui pendekatan ANDALL. Menurut Sukarto (2003), manajemen transportasi dan manajemen lalu lintas (traffic management) merupakan aplikasi, implementasi dan penanggulangan dalam pemecahan masalah lalu lintas sebagai bagian transportasi yang dihadapi salah satunya masalah kemacetan lalu lintas yang ditandai dengan rendahnya tingkat pelayanan yanng diperlihatkan oleh indikator kemacetan, yaitu : volume, kecepatan, dan kepadatan lalu lintas (traffic volume, velocity dan dencity). Manajemen lalu lintas yang bertujuan untuk keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas, salah satunya dilakukan dengan usaha peningkatan kapasitas jalan. Selain itu juga dapat dilakukan inventarisasi dan evaluasi tingkat pelayanan jalan. Inventarisasi digunakan untuk mengetahui
21
tingkat pelayanan pada setiap ruas jalan. Evaluasi digunakan untuk mengetahui tingkat pelayanan jalan yang ada apakah penggunaannya sudah sesuai dengan fungsi jalan. Kapasitas jalan dan tingkat pelayanan jalan dalam penelitian ini dilakukan dengan metode perhitungan dalam Manual Kapasitas Jalan Indonesia tahun 1997. 1.10 Pola Jaringan Jalan Jaringan transportasi jalan raya dalam kota di suatu kota terbentuk dari sekumpulan
lintasan
ruas
jalan,
sekumpulan
titik
pemberhentian
dan
persimpangan, atau beberapa terminal, yang membentuk sistem prasarana angkutan umum secara keseluruhan (Santoso, 1996 dalam Miro, 2012). Pola jaringan jalan (lay out of street) di dalam kota merupakan salah satu unsur daripada morfologi kota (Yunus, 2005). Pola jaringan jalan merupakan komponen struktural yang dapat membedakan pola spasial satu kota dengan kota yang lain. Pola jaringan jalan menjadi komponen morfologikal yang paling menentukan dalam pembentukan kota di negara barat. Terdapat tiga sistem pola jaringan jalan yang dikenal menurut Northam (1975, dalam Yunus, 2005) , yaitu : 1.
Sistem pola jalan tidak teratur (irregular system)
2.
Sistem pola jalan radial konsentris (radial concentric system)
3.
Sistem pola jalan bersudut siku atau grid (rectangular or grid system)
1.10.1 Pola Jalan Tidak Teratur (irregular system) Sistem irregular memiliki ketidak teraturan sistem jalan baik dari segi lebar jalan maupun arah jalan (Yunus, 2005 : 142). Selain itu juga terdapat ketidak teraturan dalam hal penempatan satu bangunan dengan bangunan yang lain. Sistem ini menunjukkan tidak adanya peraturan untuk menertibkan unsur-unsur morfologi kotanya. Kota-kota yang baru tumbuh ditandai dengan menggunakan sistem ini, tetapi seiring dengan perkembangan kota tersebut akan menggunakan pola jalan yang teratur. Kota yang awalnya ditandai dengan sistem ini diantaranya
22
kota-kota di Inggris, Prancis, Belanda, Jerman Barat, Spanyol, Afrika Utara dan Timur Tengah (Dickinson, 1961 dalam Yunus 2005 : 143). Sistem tidak teratur ini memiliki pola jalan melingkar-lingkar, bervariasi lebar jalan, dan memiliki banyak cabang. Beberapa kota menggunakan sistem ini dikarenakan kondisi topografinya. Ada juga kota yang tidak memiliki kendala topografi masih menggunakan sistem tidak teratur.
Gambar 1.6. Kota-kota dengan pola jalan tidak teratur (Yunus, 2005) Gambar 1.4 menunjukkan contoh kota-kota dengan pola tidak teratur. Kotakota tua di Mesopotamia dan Lembah Sungai Nil pada era kuno serta kota-kota di Eropa pada abad pertengahan merupakan contoh kota-kota dengan pola jalan tidak teratur. Permasalahan yang timbul seiring pertumbuhan kota tidak teratur ini antara lain masalah polusi dan sanitasi. Pembuangan limbah tidak teratur karena dibuang begitu saja di saluran air yang ada. Kota-kota abad pertengahan dapat digolongkan menjadi 3 kenampakan morfologus yang berbeda berdasarkan perkembangan sejarah, letak geografis dan tipe perkembangan (Yunus, 2005), yaitu : 1. Kota-kota asli peninggalan zaman kekaisaran Roma Kota-kota jenis ini biasanya mempertahankan sistem grid (rectangular system) pada daerah pusat kota. perkembangan perlahan ke arah luar sebagai respon dari kondisi topografinya. 2. Kota-kota yang tidak jelas nampak tentang peninggalan budaya sebelumnya (Roma empire)
23
Kota-kota ini memiliki pola jalan melingkar-lingkar dan beberapa diantaranya merupakan perkembangan dari jalan kereta api. Perkembangan fisik kota terjadi secara spontan dengan pola jalan tidak teratur. 3. Kota-kota
yang
telah
mengalami
sentuhan
perencanaan
sebelum
permukimannya sendiri terbentuk (planned town) Jalan “grid iron pattern” menandai kenampakan morfologi kotanya. Bagian pusat kota diperuntukkan sebagai pasar atau “assembly” yaitu tempat berkumpulnya penduduk kota. Karakteristik kota ini di zaman pertengahan ditandai dengan adanya “castle”, abbey (bangunan untuk pemujaan); cathedral (gereja besar); town hall (balai kota); guild hall (bangunan untuk perkumpulan yang sama); market place (tempat untuk pasar, dinding besar dengan satu atau beberapa pintu gerbang.
1.10.2 Pola Jalan Radial Konsentris (radial concentric system) Pola radial merupakan pola jalan yang mengarah pada kawasan inti tertentu yang berupa kawasan aktivitas tinggi. Kawasan lain disekitar kawasan ini hanya dihubungkan dengan satu koridor ke kawasan inti dan sesama kawasan lain yang mengelilingi kawasan inti tersebut. Hal ini menyebabkan tidak ada sama sekali ruas jalan yang menghubungkannya atau tidak saling berhubungan antar ruas jalan (Miro, 2003 dalam Miro, 2012). Sistem ini memiliki beberapa sifat khusus yaitu : 1. Mempunyai pola jalan konsentris. 2. Mempunyai pola jalan radial. 3. Bagian pusat kota merupakan daerah kegiatan utama dan sekaligus tempat pertahanan terakhir dari suatu kekuasaan. Daerah pusat kota dapat berupa pasar, kompleks perbentengan, “kostil”, dan kompleks ibadah. 4. Secara keseluruhan membentuk jaringan sarang laba-laba. 5. Mempunyai keteraturan geometris. 6. Jalan besar menjari dari titik pusat dan membentuk “asterik shaped pattern”. Penggunaan sistem radial konsentris lebih cocok digunakan untuk sarana transportasi menggunakan roda dibandingkan sistem tidak teratur.
24
Gambar 1.7. Kota Palma Nouva, didirikan tahun 1593 (Yunus, 2005) Gambar 1.5 adalah Kota Palma Nouva, salah satu kota di Eropa yang merupakan contoh ideal dari bentuk radio-centric (radial – concentric system). Rancangan kota ini merupakan gaya yang menarik (baroque style). Baroque City mempunyai beberapa “board avenues” dengan penataan hiasan-hiasan yang indah. Jalan-jalan yang lebar dan indah merupakan simbol kota yang penting. Lima alasan diciptakan sistem radio – centris yaitu : 1. Penggunaan kendaraan beroda menjadikan sistem tidak teratur menjadi tidak cocok. 2. Memudahkan mobilisasi militer. 3. Memenuhi perspektif artistik. 4. Memperlancar kegiatan perdagangan. 5. Memperlancar karnaval. Penggunaan bentuk “baroque” sudah tidak mampu mengakomodasi perkembangan perkotaan yang semakin lama kendaraan beroda semakin banyak. Bentuk ini menggunakan sistem transportasi radial yang menjadikan semua kegiatan diarahkan pada satu titik pusat, sehingga kelemahannya antara lain : 1. Efisiensi gerakan sangat terhambat. 2. Gerakan antara titik-titik yang ada di luar kota akan menjadi sulit dan lama karena lokasinya berlawanan dengan jalan-jalan utama. 3. “baroque city” tidak dinamis karena pengembangannya hanya diarahkan pada titik tertentu saja dan akan statis seterusnya.
25
Menurut Northam (1975, dalam Yunus, 2005 : 149) jenis ini tidak mudah dikembangkan ke arah luar maupun secara internal.
1.10.3 Pola Jalan Bersiku atau Sistem Grid (rectangular or grid system) Perancangan sistem grid meluas ke negara-negara barat pada tahun 500 – 600 M. Sistem grid ditandai dengan bagian-bagian kota yang dibagi-bagi sedemikian rupa menjadi blok-blok empat persegi panjang dengan jalan-jalan yang paralel longitudinal dan transversal membentuk sudut siku-siku. Jalan-jalan utama membentang dari pintu gerbang utama kota sampai alun-alun utama (pasar utama) pada bagian pusat kota (Yunus, 2005 : 150). Kota yang menggunakan sistem grid salah satunya kota-kota di Amerika, Eropa dan Australia seperti New York, Los Angeles, Kopenhagen, Zurich, Jenewa, Oslo, London, Muenchen, Stockholm, dan Sydney.
Gambar 1.8. Kota-kota benteng dengan pola jalan bersiku empat persegi panjang dengan sistem grid (Northam, 1979 dalam Yunus, 2005)
26
Sistem grid merupakan bentuk yang sangat cocok untuk pembagian lahannya dan untuk daerah luar kota yang masih banyak tersedia lahan kosong. Perkembangan kota akan terlihat teratur mengikuti pola yang sudah terbentuk. Selain itu menurut Miro (2012), dengan jaringan grid pelayanan trayek angkutan umum mudah direncanakan dan diterapkan. Penggunaan sistem grid ini memiliki keuntungan antara lain : 1. Dimensi yang lebih pendek pada sisi jalan 2. Menumbuhkan lebih banyak lagi lahan yang menghadap jalan 3. Lebih mudah untuk mengumpulkan orang banyak ke unit yang besar.
1.11 Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai studi transportasi maupun tentang penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis sudah banyak dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian dengan tema transportasi yang telah dilakukan antara lain adalah penelitian oleh Wibisono (1998), Adhitama (2010), Hastuti (2007), Patriandini (2012) dan Stefanic et.al (2012). Wibisono (1998) melakukan penelitian dengan judul “Penggunaan Foto Ortho Untuk Mengkaji Kapasitas dan Tingkat Pelayanan Jalan Perkotaan di Sebagian Kotamadya Surakarta”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan foto orto skala 1 : 1000 dalam menyadap data geometri jalan sebagai salah satu unsur dalam menghitung kapasitas ruang jalan di perkotaan, menghitung kapasitas jalan dengan metode IHCM, menghitung tingkat pelayanan pada jalan di perkotaan dan mengkaji pola dan tingkat pelayanan jalan perkotaan pada daerah yang diteliti. Bahan yang digunakan adalah foto ortho skala 1:1000 untuk memperoleh data geometrik jalan. Hasil yang diperoleh adalah foto orto skala 1 : 1000 mampu menyadap informasi lebar badan jalan, lebar trotoar dan bahu jalan dengan ketelitian adalah sebesar 96.45%. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian ini adalah penggunaan bahan penelitian yaitu citra QuickBird sedangkan penelitian ini menggunakan foto ortho. Lokasi penelitian sama yaitu sebagian Kota Surakarta.
27
Adhitama (2010) melakukan penelitian skripsi dengan judul “Pemanfaatan Citra QuickBird dan ASTER untuk Mengkaji Tingkat Pelayanan Jalan di Koridor Utama Daerah Perkotaan Yogyakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan citra QuickBird dan ASTER dalam menyadap informasi tentang jalan sebagai parameter – parameter untuk memperoleh rekomendasi manajemen lalu lintas, mengetahui kharakteristik volume lalu lintas dan tingkat pelayanan jalan, serta mendapatkan pemecahan masalah kepadatan lalu lintas. Metode yang digunakan adalah interpretasi Citra QuickBird dan citra ASTER, analisis SIG dan analisis
deskriptif.
Hasil
penelitian
menunjukkan
ketelitian
interpretasi
penggunaan lahan skala rinci sebesar 87, 12 % dan ketelitian penggunaan lahan skala tinjau sebesar 90, 26 %. Tingkat pelayanan jalan di koridor utama Daerah Perkotaan Yogyakarta sebagian besar merupakan kondisi buruk terutama pagi dan sore hari. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian ini adalah penggunaan citra ASTER untuk ekstraksi informasi penggunaan lahan disekeliling Daerah Perkotaan Yogyakarta dalam skala tinjau. Hastuti (2007) melakukan penelitian dengan judul “Kajian Perparkiran dengan Menggunakan Citra QuickBird di sebagian Kota Surakarta”. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan Citra QuickBird untuk menyadap parameter-parameter yang digunakan untuk menafsir kapasitas parkir dan kebutuhan parkir, menafsir kapasitas parkir berdasarkan panjang jalan, pola parkir dan luas areal parkir di luar badan jalan, menafsir kebutuhan ruang parkir berdasarkan penggunaan lahan, luas lantai efektif, volume parkir dan durasi parkir. Penelitian ini tidak hanya menghitung kapasitas parkir pada badan jalan tetapi kapasitas parkir di luar badan jalan dengan dihitung berdasarkan luas areal parkir yang tersedia dan kebutuhan lahan parkir setiap kendaraan. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian ini adalah dalam hal kajian yaitu kinerja ruas jalan sedangkan penelitian ini adalah kajian perparkiran berupa kebutuhan parkir dan kapasitas parkir. Kesamaan dengan penelitian ini dalam penggunaan data yaitu citra QuickBird dan daerah kajian yaitu Kota Surakarta. Patriandini (2012) melakukan penelitian tentang tingkat kemacetan lalu lintas di Kota Tegal. Tujuan dalam penelitian ini adalah mengkaji kemampuan
28
Citra QuickBird dalam menampilkan data geometrik jalan yang akan digunakan untuk mengkaji kemacetan lalu lintas dan mengevaluasi tingkat kemacetan lalu lintas di Kota Tegal. Bahan yang digunakan adalah Citra QuickBird dan pengolahan menggunakan Sistem Informasi Geografis. Hasil yang diperoleh adalah Tingkat ketelitian Citra QuickBird sebagai sumber data memperoleh informasi terkait kemacetan lalu lintas menunjukkan hasil yang baik. Tingkat ketelitian yang diperoleh sebesar 96,36% untuk ketelitian lebar jalan dan 96,28% untuk ketelitian interpretasi jenis penggunaan lahan. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian ini adalah dalam hal kajian yaitu kinerja ruas jalan dan pola jaringan jalan kaitannya dengan kemacetan sedangkan penelitian ini mengkaji dan mengevaluasi kemacetan lalu lintas. Kesamaan dengan penelitian ini dalam penggunaan data yaitu citra QuickBird dan metode yang digunakan yaitu MKJI 1997. Stefanic et, al. (2012) dalam jurnal PROMET - Traffic and Transportation, Vol. 24, 2012, No. 3, 261-267 melakukan penelitian dengan judul “Capacity and Level of Service on the Zagreb Bypass”. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kemampuan dan tingkat pelayanan Bypass Zagreb dan melakukan prediksi kebutuhan untuk upgrade dari jalan raya empat jalur menjadi enam jalur atau ukuran lainnya mengenai peningkatan kapasitas dan peningkatan dari tingkat pelayanan pada jaringan jalan Zagreb. Metode yang digunakan berdasarkan perhitungan dalam HCM (Highway Capacity Manual). Penggunaan perangkat lunak berupa HCS+ (Highway Capacity Software) yang dapat digunakan sesuai dengan algoritma dalam HCM. Penelitian yang akan dilakukan memiliki perbedaan dalam daerah kajian dan metode. Penelitian ini dilakukan di Zagreb, Kroasia dengan metode perhitungan HCM. Kesamaan dengan penelitian ini adalah dalam perhitungan yang dilakukan yaitu menghitung kapasitas jalan dan tingkat pelayanan jalan. Perbandingan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya meliputi judul, tujuan, metode dan hasil dapat dilihat secara rinci pada tabel 2.1.
29
Tabel 2.1 Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya Peneliti
Yusuf 1998
Judul Penggunaan Foto Ortho untuk Mengkaji Kapasitas dan Tingkat Pelayanan Wibisono, Jalan Perkotaan di Sebagian Kotamadya Surakarta
Kajian Perparkiran dengan Ani Puji Hastuti, Menggunakan Citra 2007 QuickBird di sebagian Kota Surakarta Pemanfaatan Citra QuickBird dan Aster untuk Mengkaji Tingkat Adib Prima Pelayanan Jalan Di Koridor Adhitama, 2010 Utama Daerah Perkotaan Yogyakarta
Ayudanti Patriandini, 2011
Kajian Tingkat Kemacetan Lalu Lintas dengan Memanfaatkan Citra QuickBird dan Sistem Informasi Geografis di Kota Tegal
Tujuan 1. Mengkaji kemampuan foto orto skala 1:1000 dalam menyadap data geometrik jalan 2. Menghitung kapasitas jalan perkotaan dan tingkat pelayanan jalan 3. Mengkaji pola kapasitas dan tingkat pelayanan jalan 1. Mengkaji pemanfaatan Citra QuickBird untuk kajian perparkiran 2. Menafsir kapasitas parkir dan kebutuhan ruang parkir. 1. Mengetahui kemampuan citra QuickBird dan ASTER dalam menyadap informasi jalan 2. Mengetahuk kharakteristik volume lalu lintas serta tingkat pelayanan jalan 3. Mendapat pemecahan masalah kepadatan lalu lintas 1. Mengkaji kemampuan Citra QuickBird dalam menampilkan data geometrik jalan yang akan digunakan untuk mengkaji kemacetan lalu lintas. 2. Mengevaluasi tingkat kemacetan lalu lintas di Kota Tegal.
Metode Interpretasi foto ortho dan SIG dengan metode perhitungan menggunakan formula dari IHCM 1993.
Hasil Penelitian Foto ortho skala 1:1000 mampu menyadap data unsure geometrik jalan dengan tingkat ketelitian objek 96.45%.
Interpretasi Citra QuickBird Tingkat ketelitian Citra QuickBird dan perhitungan kebutuhan diperoleh sebesar 83,54% untuk ruang parkir PL dan 100 % untuk pola parkir. Interpretasi citra QuickBird dan ASTER, pengolahan data, analisis SIG dan analisis deskriptif.
Tingkat ketelitian interpretasi citra QuickBird untuk penggunaan lahan skala detail 87,12 %, citra ASTER untuk penggunaan lahan skala tinjau 90,26 %. Tingkat pelayanan jalan di koridor utama perkotaan Yogyakarta sebagian besar kondisi buruk. Interpretasi Citra QuickBird Tingkat ketelitian Citra QuickBird dan SIG dengan metode diperoleh sebesar 96,36% untuk perhitungan IHCM 1997 ketelitian lebar jalan dan 96,28% untuk ketelitian interpretasi jenis penggunaan lahan.
30
Lanjutan Tabel 2.1 Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya Capacity and Level of Service on the Zagreb Bypass
1. Mengetahui dan menganalisa kapasitas dan tingkat pelayanan jalan 2. Mengetahui langkah-langkah untuk meningkatkan kapasitas dan tingkat layanan di koridor Bypass Zagreb.
Perhitungan kapasitas menggunakan algoritma dalam Highway Capacity Manual (HCM) Analisis kapasitas menggunakan perangkat lunak HCS+ (Highway Capacity Software)
Pemanfaatan Citra Resolusi Tinggi untuk Kajian Kinerja Ruas Jalan dan Pola Jaringan Jalan Kota Hanifah Surakarta
1. Mengkaji kemampuan citra QuickBird dalam memperoleh parameter kinerja ruas jalan dan kemacetan lalu lintas. 2. Mengetahui kinerja ruas jalan dan potensi kemacetan. 3. Mengetahui efektivitas pola jaringan jalan grid dalam mengurangi kemacetan lalu lintas.
Interpretasi visual Citra QuickBird Perhitungan kapasitas jalan dan Tingkat Pelayanan Jalan dengan metode MKJI, 1997 Penentuan jam puncak dengan data CCTV Analisis manajemen lalu lintas
Gordana Stefanic et.al, 2012
Miftahul F, 2014 (Penelitian saat ini)
Terdapat 3 tingkat pelayanan jalan (LOS) yaitu LOS A, LOS B dan LOS C. Analisis LOS digunakan sebagai dasar untuk memperoleh gambaran tentang proyeksi peningkatan arus lalu lintas dan perkiraan kebutuhan untuk meningkatkan pembangunan jalan tol. Tingkat ketelitian Citra QuickBird diperoleh sebesar 96,44% untuk ketelitian lebar jalan dan 89,99% untuk ketelitian interpretasi jenis penggunaan lahan. Jam puncak pada ruas jalan kajian ada 2 yaitu jam puncak pagi dan jam puncak sore.
31
1.12 Kerangka Pemikiran Karakteristik kawasan perkotaan salah satunya adalah kondisi fisik dan sosial yang dinamis, yaitu terkait dengan perkembangan yang menyangkut aspekaspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik kawasan ini dari waktu ke waktu. Perkembangan kota memiliki aspek berupa penggunaan lahan dan sistem transportasi. Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar yang memiliki potensi tinggi di sektor ekonomi. Potensi sektor ekonomi tersebut menjadikan jenis penggunaan lahan dibeberapa ruas jalan Kota Surakarta didominasi oleh perdagangan dan jasa. Hal ini menimbulkan tingkat bangkitan terbesar dibandingkan penggunaan lahan yang lain. Transportasi memiliki komponen berupa sistem kegiatan, sistem pergerakan dan sistem sarana prasarana yang berupa sistem jaringan jalan. Dalam hal transportasi, Kota Surakarta merupakan simpul pergerakan yang sangat strategis dalam sistem transportasi dan jaringan jalan di Jawa Tengah. Terdapat pertemuan antara jalur pantura dan jalur selatan yang keduanya merupakan jalan nasional yang berfungsi sebagai jalan arteri primer, yaitu jalur Jakarta – Surabaya dan jalur Bandung – Yogyakarta – Surabaya. Selain pertemuan 2 buah jalur besar tersebut, dari wilayah hinterland menuju Kota Surakarta dihubungkan oleh jalur jalan Provinsi Jawa Tengah yang berfungsi sebagai jalan kolektor primer. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya lalu lintas regional yang masih memasuki kawasan tengah kota, sehingga menambah kepadatan dan kerawanan lalu lintas. Sistem kegiatan terkait dengan penggunaan lahan. Jenis penggunaan dapat mempengaruhi besarnya tingkat kemacetan lalu lintas, terutama penggunaan lahan yang digunakan untuk kegiatan perdagangan dan jasa. Dominasi penggunaan lahan berupa perdagangan dan jasa dapat menimbulkan hambatan samping di setiap ruas jalan yang menyebabkan menurunnya kapasitas jalan. Sistem pergerakan merupakan dari asal (origin) ke tujuan (destination) yang menimbulkan adanya volume lalu lintas orang dan barang. Sistem sarana dan prasarana transportasi berupa sistem jaringan jalan yang terkait dengan pola jaringan. Jaringan jalan yang di sebagian Kota Surakarta memiliki pola jaringan
32
jalan grid/kotak dengan jalan utama Jl. Brigjen Slamet Riyadi dan beberapa ruas jalan disekitarnya. Intergrasi komponen sistem transportasi dapat menimbulkan volume lalu lintas. Apabila peningkatan sarana transportasi berupa kendaraan tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas jalan maka dapat terjadi penurunan kinerja ruas jalan sehingga timbul kemacetan lalu lintas. Kapasitas jalan dan tingkat pelayanan ruas merupakan indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui potensi kemacetan lalu lintas. Variabel yang digunakan untuk mengetahui kapasitas jalan yaitu kapasitas dasar, faktor penyesuaian lebar jalan, faktor penyesuaian hambatan samping, faktor penyesuaian pemisahan arah dan faktor penyesuaian ukuran kota. Permasalahan kemacetan lalu lintas membutuhkan data atau informasi spasial yang mencakup wilayah secara cepat dan akurat baik berupa peta ataupun citra. Adanya citra QuickBird sebagai citra satelit dengan resolusi spasial tinggi dapat digunakan sebagai dasar analisis permasalahan perkotaan dengan tingkat ketelitian lebih detail. Citra QuickBird digunakan untuk ekstraksi informasi geometrik jalan dan penggunaan lahan. Informasi tersebut merupakan unsur yang digunakan untuk mengetahui kapasitas jalan. Ekstraksi informasi jalan diambil pada ruas – ruas jalan yang membentuk pola grid/kotak. Parameter yang terkait kapasitas jalan yang dapat diperoleh dari citra QuickBird dan data lapangan selanjutnya diolah untuk mengetahui potensi kemacetan lalu lintas. Parameter yang diambil dari citra QuickBird adalah lebar jalan sebagai faktor koreksi kapasitas untuk lebar jalan (FCw) dan jenis penggunaan lahan sebagai faktor koreksi kapasitas akibat gangguan samping (FCsf). Perhitungan kapasitas jalan berdasarkan persamaan dari Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997. Nilai kapasitas jalan dan volume lalu lintas selanjutnya digunakan untuk mengetahui tingkat pelayanan jalan (V/C) sebagai indikator penentu potensi kemacetan lalu lintas disetiap ruas jalan. Skema kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar 1.7.
33
Kota Surakarta
Sistem Transportasi
Penggunaan Lahan
Sistem Kegiatan
Sistem Pergerakan
Merupakan kota dengan potensi kawasan perdagangan dan jasa
Merupakan simpul pergerakan yang sangat strategis dalam sistem transportasi Jawa Tengah, terdapat pergerakan lalu lintas lokal dan regional
Peningkatan Hambatan Samping
Citra QuickBird Menyadap parameter penentu kapasitas jalan
Sistem Jaringan Pola jaringan jalan berupa pola grid atau kotak
Peningkatan volume lalu lintas
Kemacetan Lalu Lintas - Penurunan kapasitas jalan - Penurunan tingkat pelayanan jalan
Survei Lapangan Mengambil informasi volume lalu lintas
Kinerja Ruas Jalan
Gambar 1.8. Skema kerangka pemikiran
34