BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Non-Communicable Disease (NCD) atau Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah masalah kesehatan global. Global Status Report mengenai NCD oleh World Health Organization (WHO) tahun 2014 melaporkan 38 juta dari 56 juta penyebab kematian adalah karena NCD. Lebih dari 40 persennya meninggal di bawah umur 70 tahun. Dan hampir dari tiga perempatnya serta dengan usia kematian dini (82%) berasal dari Negara berkembang. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 52 juta di tahun 2030. Di Indonesia, PTM merupakan 71% penyebab kematian dengan usia 30-70 tahun (WHO, 2014). Empat besar PTM dengan kematian tertinggi adalah penyakit jantung dan pembuluh darah (37%), lalu diikuti kanker (13%), diabetes (6%) dan penyakit pernapasan kronik (5%) (Kemenkes RI, 2011; WHO, 2014). Kematian di usia produktif ini merupakan ancaman serius bagi tingkat sosial-ekonomi masyarakat. Penyebab dari penyakit-penyakit ini adalah merokok, alkohol, obesitas, kurang beraktivitas dan konsumsi garam, gula, dan lemak jenuh yang tinggi (Magnusson & Patterson, 2014). Pola makan yang tidak sehat, seperti konsumsi lemak tinggi, penggunaan minyak lemak jenuh berlebihan, konsumsi gula dan minuman pemanis, garam, serta rendahnya konsumsi buah dan sayur adalah penyebab utama kedua setelah merokok (Dans, Ng, Varghese, Tai, Firestone, & Bonita, 2011). Belloc dan Breslow (1972) (dalam Taylor, 2003). mendaftar tujuh kebiasan sehat yang penting, yaitu; tidur 7 sampai 8 jam setiap malam, tidak merokok, sarapan setiap hari, tidak mengkonsumsi lebih dari satu sampai dua minuman beralkohol, olahraga rutin, tidak makan di antara waktu makan, serta maksimal lebih berat badan 10% saja. Di tengah kesibukan aktivitas harian, individu seringkali mengabaikan kebiasaan-kebiasan ini. Seperti makan tidak teratur, dan tidur terlalu larut atau begadang. Selain itu makanan yang dipilih untuk dikonsumsi
1
2
juga dapat menentukan kesehatan gaya hidup individu, misalnya memakan makanan cepat saji serta kurang serat, seperti sayur dan buah. Ditambah dengan konsumsi makanan tinggi gula dan lemak serta kelebihan berat badan dan obesitas, hal-hal tersebut termasuk ke dalam faktor utama yang beresiko terhadap gaya hidup (Danaei, Ding, Mozaffarian, Taylor, Rehm, dkk (2009). Mengenai makan sehat, survey pola hidup sehat AIA (2013) menunjukkan bahwa pola makan sehat yang diterapkan di Indonesia masih sebatas konsumsi banyak air putih, sayur dan buah. Tetapi, itupun masih jauh dari angka ideal yang ditetapkan badan pangan dunia (FAO). FAO mensyaratkan konsumsi buah dan sayur idealnya 65,75 kg per kapita per tahun. Sementara, masyarakat Indonesia 40 kg perkapita per tahun (Republika, 2014). Hanya mengkonsumsi buah dan sayur belum bisa dikatakan makan sehat. Karena menurut Gonzalez-Campoy, J., StJeor, S. T., Castorino, K., Ebrahim, A., Hurley, D., Jovanovic, L., & et al. (2013) dalam Clinical Practice Guidelines for healthy eating, makan sehat melibatkan makanan dengan gizi seimbang yang cukup untuk menyokong fisiologis normal dan menghindari kekurangan zat gizi. Selain itu juga, menghindari makanan yang merugikan tubuh seperti tinggi gula dan garam. Mengenai makanan yang merugikan, Riset Kesehatan Dasar (2013) menyatakan proporsi individu usia 15-40 tahun dengan kebiasaan makan tidak sehat, telah melebihi batas ideal. Konsumsi makanan atau minuman manis mencapai 52,9 persen, makanan berlemak 40,7 persen, dan makanan asin 26,3 persen. Idealnya, dalam sehari konsumsi gula hanya 50 gram (empat sendok makan), garam 2.000 miligram (satu sendok teh), dan lemak tak boleh lebih dari 67 gram (empat sendok makan) (Kompas, 2014). Menurut Lê, Dallongeville, Wagner, Arveiler, Haas, Cottel, Simon & Dauchet (2013) mencegah munculnya penyakit-penyakit seperti diabetes, obesitas, kardiovaskular dan kanker dapat dilakukan dengan makan yang sehat. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Hippocrates beribu tahun lalu bahwa makanan kita bisa menjadi obat dan obat kita bisa menjadi makanan. Kesehatan tubuh manusia tergantung dari apa yang dimakannya (Hicks & Campbell, 2011). Meskipun tidak mudah mengubah perilaku yang sudah menjadi kebiasaan, hal ini bisa dilakukan, misalnya dengan melihat penyebab individu makan. Seseorang dapat makan sehat karena banyak faktor, salah satunya adalah sikap. Menurut Hogg
3
dan Vaughan (2008) sikap adalah pengaturan yang relatif kontinyu dari kecendrungan keyakinan, dan perilaku terhadap objek, grup, peristiwa atau simbol yang signifikan secara sosial. Ketiga kecendrungan tersebut dirangkum dalam evaluasi umum (positif ataupun negatif). Berdasarkan penelitian di Irlandia, terdapat hubungan antara sikap terhadap makan sehat dengan perilaku makan dan gaya hidup (Hearty, McCarthy, Kearney, & Gibney, 2007). Verstreaten, Royen, Ochoa-Avile´s, Penafiel, Holdsworth, dkk (2014), juga berusaha mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi remaja di Ekuador dalam berperilaku makan, dan sikap adalah satu dari banyak faktor lainnya seperti kesadaran, rasa, serta efikasi diri. Selain itu, Lê, dkk (2013) juga menyatakan bahwa individu yang menunjukkan sikap positif terhadap makan sehat lebih cenderung melakukan kebiasaan makan sehat. Sikap tidak bersifat permanen, meskipun ada sikap-sikap yang lebih sulit diubah, tetapi mungkin bagi individu untuk menggantinya. Ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi sikap, seperti lingkungan sosial, informasi, emosi dan pengalaman pribadi. Dalam hal mengubah kebiasaan makan sehat, para ahli menyarankan untuk melakukan edukasi atau pemberian informasi mengenai perilaku tersebut (Sarafino & Smith, 2012). Informasi merupakan hal yang sangat penting saat individu ingin memperbaiki gaya hidupnya. Melalui informasi individu dapat mengetahui hal yang harus dilakukan, kapan, dan bagaimana caranya (Sarafino & Smith, 2012). Seperti yang disampaikan Trifiletti, Crovato, Capoza, Visintin, & Ravarotto (2011) dalam mengubah sikap terhadap daging mentah pada mahasiswa di Italia. Ia menggunakan pesan yang mengandung informasi terkait daging mentah dan resiko memakannya. Pesan seperti ini disebut juga dengan pesan persuasif, yang merupakan komunikasi yang merujuk kepada satu sisi tertentu. Pesan yang disampaikan dimaksudkan untuk mengubah sikap dan perilaku terkait (Hogg & Vaughan, 2008). Informasi yang terkandung di dalam pesan ini sangat luas, tetapi pada intinya mendorong individu untuk menyakini suatu hal. Penelitian yang dilakukan Valois, Turgeon, Godin, Blondeau & Cote (2001) membuktikan bahwa pesan persuasif membuat perubahan pada sikap dan perilaku murid perawat dalam menangani pasien HIV/AIDS. Pesan persuasif juga bisa berupa pesan yang mendorong munculnya rasa takut, atau disebut juga dengan fear
4
appeal. Penelitian yang ingin mengubah sikap para pemain judi menyatakan ancaman (fear appeal) itu tepat sebagai media mempromosikan perilaku sehat (Munoz, Chebat, Suissa, 2010). Pesan persuasif ini dapat disampaikan dalam beragam bentuk; oral, tertulis, tatap muka, dan basis media (Breckler, Olson, Wiggins, 2006). Salah satu bentuk pesan tertulis adalah workbook. Workbook merupakan buku yang berisi permasalahan dan latihan yang perlu dikerjakan, selain itu workbook juga merupakan tempat mengerjakan sesuatu (freedictionary.com). Media ini seringkali dipakai dalam intervensi kesehatan, seperti Meal and Snack Planning Workbook (LifeScan, Inc), dan Let’s Eat Healthy Workbook (Venditti, E. M., Elliot, D. L., Faith M. S., Firrell, L. S., Giles, C. M., Goldberg, L. dkk, 2009), Pembuatan workbook tersebut sesuai dengan Health Belief Model yang menyatakan individu akan mengambil tindakan preventif berdasarkan ancaman (seberapa serius, seberapa mungkin, dan sinyal tindakan) yang dirasakan serta penilaian pro-kontra dari suatu tindakan yang akan diambil (Sarafino & Smith, 2012). Model ini menggambarkan hubungan antara sikap individu terhadap serangkaian perilaku dan kemauan atau kemampuan mereka selanjutnya untuk meningkatkan kesehatan. Sehingga jika individu tidak menganggap perilaku makannya tidak sehat, perubahan yang muncul akan lebih tidak mungkin terjadi, apalagi jika pikiran akan melakukannya membuat mereka harus menggantinya dengan makanan yang lebih tidak disukai (Roberts & Marvin, 2011). Pencegahan melalui perubahan perilaku makan, semakin baik dilakukan sejak dini. Apalagi jika penyakit tersebut sudah menyerang usia yang terbilang muda yaitu 30 tahun. Melihat perkiraan angka kematian yang semakin tinggi di tahun mendatang, bukan tidak mungkin usia penderitanya juga semakin muda. Penelitian menyatakan bahwa pola pemilihan makanan tidak sehat berkembang selama masa dewasa muda, dan kemungkinan besar akan berlanjut hingga seumur hidup (Betts dkk., 1997; Haberman and Luffey, 1998; Wardle, 1995; dalam Sharma, Harker, Harker, & Reinhard, 2009). Dewasa muda dengan rentang uia 18-25 tahun, adalah usia dengan beragam kemungkinan, dan kesempatan individu untuk mengubah hidupnya. Arnett (2006) (dalam Santrock, 2008).) menjelaskan individu di masa ini akan mengeksplorasi identitasnya, berada dalam tahap yang belum
5
benar-benar stabil Selain itu, dewasa muda (18-25 tahun), terutama dengan pendidikan tinggi lebih cenderung menangani makanan secara beresiko. Terlebih pengetahuan akan keamanan makanan tidak memadai. Sehingga, penting bagi populasi ini untuk mendapat pendidikan tentang hal tersebut (Triffileti dkk, 2012). Ditambah, dalam penerimaan terhadap perubahan sikap, Visser dan Krosnick (1998) serta Tyler dan Schuller (1991) mengatakan dewasa muda memiliki tingkat penerimaan perubahan sikap yang tinggi dan kemudian menurun perlahan-lahan seiring jenjang hidup (dalam Hogg & Vaughan, 2008). Melihat dari kriteria usia dewasa muda dan pendidikan tinggi ini maka mahasiswa dapat dikatakan termasuk dalam kategori tersebut. Pada saat memasuki jenjang kuliah, individu dewasa muda mulai mengemban tanggung jawab karena adanya pergantian status dan juga kemungkinan untuk keluar rumah, seperti tinggal di kos atau asrama. Hal ini menuntut kemandirian, dari segala hal, termasuk memilih makanan. Sebagai mahasiswa, mencari makanan saat berada di kampus, tidaklah sulit, karena universitas adalah tempat strategis untuk berbisnis, sehingga memiliki banyak pilihan makanan. Dimulai dari makanan gerobak sampai restoran cepat saji, dapat tersedia di sekitar kampus. Begitu juga dengan Binus University. Universitas yang berada di daerah Jakarta Barat ini menawarkan beragam pilihan makanan, bahkan di area dalam kampus. Fenomena ini mengundang pertanyaan mengenai makan sehat para mahasiswa di Binus, dengan begitu banyak pilihan yang kesehatannya belum terjamin, apakah mempengaruhi perilaku makan mahasiswa. Berdasarkan data yang didapat peneliti di awal, dari 20 mahasiswa Binus University yang ditanyai hanya tujuh yang mengaku sudah menerapkan makan sehat, dan pengetahuan makan sehat juga belum cukup memadai, karena hanya menjawab ‘4 sehat 5 sempurna’ atau ‘gizi seimbang’ bahkan ada juga yang menjawab ‘makanan yang bersih’. Maka dari itu, penelitian ini akan menggunakan mahasiswa Binus University sebagai subjek. Melihat besarnya resiko penyakit tidak menular/non-communicable diseases, dan rendahnya penerapan makan sehat di Indonesia, sangat penting untuk melakukan pencegahan sedini mungkin, yang dalam penelitian ini ditujukan pada dewasa muda, khususnya mahasiswa. Sikap terhadap makan sehat digunakan sebagai tindakan preventif individu akan PTM, yang akan ditingkatkan melalui
6
pesan persuasif dalam workbook. Dengan harapan menurunkan prevalensi penyakit-penyakit tersebut di Indonesia, peneliti ingin melihat apakah workbook makan sehat efektif dalam mengubah sikap terhadap makan sehat mahasiswa Binus University.
1.2. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan penelitian ini ingin melihat apakah pesan persuasif melalui workbook makan sehat efektif pada sikap terhadap makan sehat mahasiswa Binus University?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini ingin mengetahui efektivitas pesan persuasif melalui workbook makan sehat pada sikap terhadap makan sehat mahasiswa Binus University