BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pasca krisis ekonomi global, berbagai negara mulai menjadikan pariwisata sebagai basis perolehan devisa. Hal ini didukung dengan meningkatnya jumlah kedatangan turis pada sektor pariwisata internasional yang dibuktikan melalui data dari ETC-UNWTO (2010:35) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2007, arus pariwisata atau tepatnya jumlah kedatangan wisatawan di dunia meningkat menjadi 898 milyar. Menurut Pefferkorn (2005:13) peningkatan arus pariwisata secara langsung dan tidak langsung meningkatkan gross domestic products (GDP) dan membuka lapangan kerja. World Tourism Organization (WTO) mencatat, sejak tahun 2000, sektor pariwisata menambah pendapatan asli daerah secara global sebesar 11,7% dan menciptakan 200 juta lapangan kerja. Diperkirakan pada
tahun
2020,
pendapatan
dari
sektor
pariwisata
dapat
mencapai
US$2.000.000.000.000. Peningkatan arus pariwisata juga berimplikasi pada keragaman jenis wisata. Menurut hasil penelitian ETC-UNWTO (2005:35) pada tahun 2000 terjadi peningkatan jumlah city tourism di Eropa dan pada tahun 2003 jumlahnya menaik sebesar 4%. Hasil riset yang dilakukan oleh Saffron Consultant pada 28 Agustus 2008 berhasil menentukan urutan kota terbesar di Eropa berdasarkan perbandingan aset dan kekuatan brand. Menurut hasil penelitian tersebut, Paris merupakan kota dengan city branding nomor satu di Eropa diikuti oleh London. Berdasarkan analisis kekuatan aset, Paris juga menjadi kota dengan aset terkaya di Eropa dan London juga menjadi peringkat kedua dalam hal aset. Keberhasilan Paris dalam city branding dan aset serta adanya perkembangan city tourism juga meningkatkan persaingan dalam sektor pariwisata. Agar dapat bersaing secara global dalam sektor pariwisata, maka berbagai kotapun melakukan upaya untuk menonjolkan karakteristik khusus yang mereka miliki, salah satunya dengan mengusung city branding.
1
Menurut Moilanen, Teemu & Rainisto. 2009. “How to Brand Nations, Cities and Destinations, A Planning Book for Place Branding. USA: Palgrave Macmillan, Hal. 7” City branding merupakan manajemen citra suatu destinasi melalui inovasi strategis serta kordinasi ekonomi, komersial, sosial, kultural, dan peraturan pemerintah. Menurut Kavaratzis, 2008, “From City Marketing to City Branding, An Interdisciplinary Analysis with Reference to Amsterdam, Budapest and Athens. Dissertations: University of Groningen, Hal. 8”, City branding umumnya memfokuskan pada pengelolaan citra, tepatnya apa dan bagaimana citra itu akan dibentuk serta aspek komunikasi yang dilakukan dalam proses pengelolaan citra. Salah satu aspek implementasi dari city branding diwujudkan dalam city slogan, dimana setiap kota memiliki tagline tersendiri sebagai representasi dari kota yang bersangkutan. Andia menguraikan beberapa kota yang telah memiliki city slogan diantaranya Paris dengan The City of Lights, New York yang dikenal dengan I NY. Selain kota-kota tersebut masih ada kota lainnya seperti Brisbane dengan Australia’s New World City, Las Vegas dengan What Happens Here, Stays Here, Kuala Lumpur dengan City of the Future, dan Hongkong Asia’s World City.1 Bukti dari penerapan city branding yang berimplikasi pada peningkatan pendapatan kota dapat dilihat pada kota Glasgow dengan brand-nya Glasgow: Scotland with style. Kegiatan mengkomunikasikan citra kota ini telah menghasilkan pendapatan yang sangat besar. Glasgow Marketing Bureau mencatat, keuntungan yang didapat mencapai £11.000.000 dan liputan mengenai Kota Glasglow sebagai lokasi penyelenggaraan Piala UEFA secara cuma-cuma disaksikan oleh lebih dari 45 juta orang. Strategi meningkatkan pendapatan daerah melalui sektor pariwisata juga terjadi pada Indonesia sejak diberlakukannya otonomi daerah. Sebagai salah satu bentuk penerapan city branding, beberapa kota di Indonesia meluncurkan tagline untuk menonjolkan identitasnya. Hal tersebut dipaparkan dalam artikel Ayo City 1 Situmorang, Syafrizal H., 2008, Destination Brand:Membangun Keunggulan Bersaing Daerah .Wahana Hijau, Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.2, Desember 2008.
2
Branding pada majalah SWA tanggal 14 Juni 2007, bahwa pada tahun 2001 Yogyakarta menghadirkan positioning Jogja: The Never Ending Asia. Semarang pada akhir tahun 2006 meluncurkan Semarang The Beauty of Asia, Jakarta dengan Enjoy Jakarta dan pada tahun yang sama, Surakarta mengusung brand Solo: The Spirit of Java.2 Penerapan city branding di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2001. Brand Jogja: The Never Ending Asia diperoleh melalui penelitian empiris terhadap responden yang terdiri atas penduduk Kota Yogyakarta, penduduk pendatang, bahkan turis asing. Namun, city branding Kota Yogyakarta ternyata tidak berhasil menjadikan Yogyakarta the leading economic region in Asia for trade, tourism, and invesment in five years, bahkan Gubernur Yogyakarta dalam Suara Merdeka Yogyakarta pada 10 April 2007 mengakui bahwa branding Jogja ‘Never Ending Asia’ dianggap gagal. Hal ini menjadi contoh bahwa tidak semua city branding dapat berhasil. Kota Semarang yang mengusung tagline The Beauty of Asia pada tahun 2006 juga bisa dikatakan tidak berhasil menerapkan city branding. Terpaan media mengenai city branding Semarang memiliki kecenderungan tidak mendukung pemilihan tagline Kota Semarang. Majalah Opini pada 5 Oktober 2008 menerangkan bahwa positioning Semarang, The Beauty of Asia perlu ditinjau ulang relevansinya dengan keadaan Kota Semarang. Berbeda dengan kedua kota tersebut, Solo bisa dikatakan berhasil dalam menerapkan city branding. Perbedaan yang mendasar pada penerapan city branding di Kota Solo adalah terdapat sinergi antara city branding dengan program pemerintah. Walikota Solo dalam Surat Kabar Republika Sabtu, 04 Desember 2010 memaparkan program untuk pariwisata mencapai tahap penataan manajemen produk dan pencitraan kota. Pemerintah secara berkesinambungan melakukan revitalisasi dan secara rutin mengadakan cultural event untuk menunjang pariwisata Kota Solo dan mendirikan Badan Promosi Pariwisata 2
Riyadi. 2009, Fenomena City Branding Pada Era Otonomi Daerah. Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan, Vol. 5 No.1, Maret 2009 Hal-1.
3
Daerah serta Tourism Information Center. Djumena dalam Kompas Selasa, 22 Februari 2011 memaparkan saat ini Solo telah menjadi pionir dalam pariwisata Indonesia dengan adanya railbus dan bis bertingkat yang diresmikan pada 20 Februari 2011. Bukti keberhasilan pemerintah Kota Solo dalam penerapan city branding dapat dilihat melalui penghargaan yang diperoleh Solo dalam sektor pariwisata, diantaranya ‘Indonesian MICE Award 2009’ untuk kategori Kepala Daerah Tingkat II Terbaik 2009 mengungguli Yogyakarta dan Makasar, ‘Indonesia Tourism Award 2010’, serta adanya peningkatan jumlah kunjungan wisata. Dalam ruang media online, Kepala Dinas Pariwisata Kota Solo memaparkan pada tahun 2010 jumlah wisatawan domestik mencapai 1.019.925 orang sedangkan jumlah wisatawan mancanegara 19.800 orang. Upaya pencitraan Kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa, diwujudkan dengan dirintisnya Solo sebagai pusat pengkajian dan pengembangan keris. Kota Solo juga mencitrakan kotanya sebagai kota yang mempesona, terbukti dengan diresmikannya kota ini sebagai "City of Charm." Jauh sebelum itu, kota Solo pernah mengusung slogan ‘Solo Berseri’ yang bermaksud mencerminkan kota yang bersih, sehat, rapi dan indah. Slogan ini ditampilkan pada era 1980-an, dimana ketika itu semua kota di Indonesia berlomba membenah dirinya untuk meraih penghargaan Adipura yang digelar oleh pemerintahan Orde Baru. Kebersihan merupakan salah satu hal yang pasti didambakan bagi setiap orang, termasuk wisatawan yang berkunjung ke suatu kota. Kota yang bersih tentu menjadi daya tarik tersendiri. Oleh karena itu slogan ini dipandang masih perlu dipertahankan, namun harus dikaitkan dengan “spirit of Java’ yang sekarang diusung sebagai city branding kota Solo. Sehingga pada HUT kota Solo ke 268 digunakan tagline ‘Solo Bersih dan Berbudaya’ yang mengandung makna bahwa warga kota Solo senantiasa mengutamakan kebersihan sebagai cerminan budaya Solo. Dalam wawancara dengan Kepala Dinas Pariwisata Kota Surakarta, beliau mengungkapkan bahwa guna mewujudkan program Solo, Spirit of Java, pemerintah Kota Surakarta telah berupaya menggenjot kepariwisataan dan city 4
branding-nya semenjak tahun 2008, yang di antaranya adalah, sukses menggelar World Herritage Cities Conference and Expo atau WHCC pada tanggal 25-28 Oktober 2010; menjadi tuan rumah untuk kegiatan Surakarta International Ethnic Music (SIEM) pada tanggal 28 Oktober – 1 November 2010. Malah, pada akhir tahun 2010, Surakarta juga menggelar International Keroncong Festival (IKF). Serangkaian kegiatan tersebut sengaja diselenggarakan dalam rangka menjual Kota Surakarta sebagai kota berbudaya, spirit of Java. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Udhany telah memperkuat hal itu, yakni terdapat hubungan yang signifikan antara efektivitas city branding dengan pencitraan Kota Surakarta.3 Sekalipun demikian, keberlangsungan program Solo the Spirit of Java bisa saja berhenti di tengah jalan apabila tidak didukung oleh pemerintah daerah Kota Solo sendiri, terutama saat terjadi pergantian kepemimpinan. Ketika penulis mewawancarai bapak FX. Hadi Rudyatmo selaku Walikota Solo untuk menanyakan hal tersebut, beliau mengatakan bahwa slogan “Solo the Spirit of Java” adalah slogan yang disahkan dan disepakati bersama oleh masyarakat dan pemerintah daerah Kota Solo, sehingga slogan ini tetap digunakan oleh Kota Solo meskipun terjadi pergantian kepemimpinan. Sebab slogan “Solo, the Spirit of Java” tersebut sesuai jiwa warga Solo sebagai suku Jawa, di mana orang yang tinggal di Kota Solo adalah orang-orang Jawa yang memiliki kewajiban untuk melestarikan nilai-nilai budaya Jawa. Malah, untuk menumbuhkan kesadaran itu, pemerintah kota Surakarta telah menyelenggarakan program pemilihan putra-putri Solo sebagai duta pariwisata Kota Solo yang bertugas memahamkan program Solo, the Spirit of Java’ itu kepada masyarakat Solo dan kepada dunia luar. Apa yang dikatakan oleh Walikota Solo itu memang benar, bahwa sebuah visi dan misi yang telah menjadi milik bersama semestinya terus diperjuangkan, siapapun pemimpinnya. Akan tetapi selera politik para penguasa di negara Indonesia tidaklah demikian. Rumor “ganti pejabat ganti kebijakan” sudah menjadi hal yang umum dan tidak mengherankan lagi dalam kancah perpolitikan 3 Udhany, Dewi. 2009. Efektivitas Branding dalam Pencitraan Kota: Studi Korelasi Antara Efektivitas Branding “Solo The Spirit of Java” Dengan Pencitraan Kota Solo menurut Masyarakat Kota Surakarta Tahun 2009 di Surakarta. Skripsi. Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret.
5
di negara ini. Oleh karena itu, wajar jika muncul kekuatiran terhadap keberlangsungan program ‘Solo, Spirit of Java’ tersebut. Dalam iklim demokratisasi di Indonesia sekarang ini, perilaku para pejabat pemerintahan dan wakil rakyat di DPRD sangat ditentukan oleh sikap kritis masyarakat terhadap kinerja mereka. Itu berarti, agar suatu program pembangunan jangka panjang bisa terus dilaksanakan secara berkesinambungan, maka masyarakat harus dipahamkan tentang kemanfaatan program pembangunan jangka panjang tersebut bagi kesejahteraan hidup mereka dan dididik untuk bersikap kritis terhadap penguasa atau calon penguasa yang akan mengatur pelaksanaan program jangka panjang itu. Dengan bertolak dari asumsi ini, penulis ingin melakukan penelitian terhadap implementasi city branding kota Solo yang dijalankan oleh pemerintah Kota Solo guna mengetahui apakah implementasi city branding itu bisa menjamin keberlangsungan slogan Solo, the Spirit of Java.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang dan asumsi di atas, maka penulis merumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana implementasi City Branding Kota Solo demi menjamin keberlangsungan slogan “The Spirit Of Java? 2. Adakah faktor pendukung dan atau penghambat dalam implementasi City Branding Kota Solo?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk menjelaskan implementasi City Branding Kota Solo yang dapat menjamin keberlangsungan slogan “The Spirit Of Java”. 2. Untuk menjelaskan faktor pendukung dan atau penghambat dalam implementasi City Branding Kota Solo yang dapat mempengaruhi keberlangsungan slogan “The Spirit Of Java”.
6
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Menambah kajian ilmu komunikasi yang berkenaan dengan studi bagaimana tanggapan yang diterima oleh komunikan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan wawasan dan pengetahuan serta menambah perbendaharaan kepustakaan bagi jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Satya Wacana. Penelitian ini juga dapat dijadikan masukan bagi rekan-rekan mahasiswa yang mengadakan penelitian serupa di masa mendatang. 1.4.2. Manfaat Praktis a. Media Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pertimbangan bagi seluruh media massa yang digunakan agar lebih selektif dalam memilih dan menggunakan kata-kata untuk kepuasan dan agar tidak ada terjadi kesalahpahaman terhadap khalayak pembaca dan pendengarnya pula. b. Masyarakat Sebagai masukan bagi masyarakat agar tidak bersikap terlalu frontal terhadap isu-isu yang beredar secara langsung. Karena apa yang diberitakan belum tentu benar adanya, dan terkadang masih bersifat ambigu.
1.5. Konsep yang Digunakan dan Pembatasan Masalah 1.5.1. Konsep yang Digunakan 1. Implementasi Implementasi adalah suatu rangkaian aktifitas dalam rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil sebagaimana yang diharapkan.(Afan Gaffar, 2009, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hal. 295)
7
2. City Branding City branding merupakan manajemen citra suatu destinasi melalui inovasi strategis serta kordinasi ekonomi, komersial, sosial, kultural, dan
peraturan
pemerintah.
Terdapat
beberapa
pembahasan
mengenai city branding dari berbagai bidang keilmuan.(Moilanen, Teemu & Rainisto. 2009. How to Brand Nations, Cities and Destinations, A Planning Book for Place Branding. USA: Palgrave Macmillan, Hal. 7). 3. Slogan “The Spirit Of Java” Slogan “Solo,The Spirit of Java”, mencerminkan kedalaman makna akan akar budaya, seni dan sejarah kota Solo, sehingga kota ini berhak meng klaim kotanya sebagai “Jiwanya Jawa”. 1.5.2. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Implementasi City Branding Kota Solo yang dapat
menjamin
keberlangsungan slogan “The Spirit Of Java”. 2. Faktor pendukung dan atau penghambat dalam implementasi City Branding Kota Solo yang dapat mempengaruhi keberlangsungan slogan “The Spirit Of Java”.
8