BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Terdapat perubahan besar dalam struktur ekonomi internasional sejak awal tahun 1980-an dan juga terdapat perubahan respon pemerintah dalam bentuk kebijakan dalam menghadapi perubahan besar tersebut. Perubahan besar itu adalah investasi asing langsung yang perkembangannya cepat dan merupakan faktor dominan yang mendorong ekonomi dunia. Integrasi ekonomi dunia semakin intensif dengan adanya ekspansi dari perdagangan global, keuangan dan produksi yang terhubung dengan bangsa, komunitas, dan kawasan menjadi pasar ekonomi dunia. Selain itu perusahaan transnasional memberikan kontribusi sebanyak 70% dalam perdagangan dunia dan 80% untuk investasi internasional. Di samping masalah ekonomi, dapat juga dilihat dari infrastruktur dan cara baru dalam komunikasi global yang memungkinkan untuk memobilisasi manusia melintasi batas negara, hal ini membuat tersebarnya ide-ide, budaya, dan informasi ke semua tempat di dunia ini. Dalam beberapa tahun terakhir, kita seringkali mendengar kata globalisasi di mana batas-batas negara menjadi kabur ketika dunia ini seolah-olah menjadi sebuah tempat yang tunggal. Begitu juga yang terjadi dalam perekonomian yaitu mengenai globalisasi ekonomi. Tidak ada pengertian yang baku mengenai globalisasi, tetapi secara sederhana, globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses di mana semakin banyak negara yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi. Globalisasi ekonomi juga merupakan perubahan perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan proses ini akan berlangsung terus dengan laju yang akan semakin cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga akan semakin cepat dan peningkatan serta perubahan pola kebutuhan masyarakat dunia. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan ekonomi dan juga mempertajam persaingan antarnegara, tidak hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga investasi, keuangan dan produksi. Seluruh negara telah melihat pengaruh dari perdagangan lintas batas sebagai keuntungan potensial dan produk baru. Bagaimanapun juga, perdagangan melahirkan kompetisi, yang biasanya terjadi ketika dua perekonomian saling 1
bertukar barang dan jasa demi uang. Seiring tumbuhnya perdagangan, status perekonomian nasional menjadi pusat perhatian dalam perekonomian global dan memiliki pengaruh jangka panjang terhadap keadaan domestik.1 Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional tidak mungkin berdiam diri dengan gencarnya globalisasi ekonomi dunia dimana pergerakan barang/jasa bahkan individu semakin mudahnya melintasi batas-batas negara. Kompetisi jelas semakin terlihat ketika Indonesia masuk dalam organisasi internasional maupun meratifikasi perjanjian dalam bidang perdagangan internasional. Ketika kondisi ekonomi sudah mengglobal maka diperlukan kemampuan untuk bisa ikut berkompetisi di dalamnya dalam menghadapi pasar global. Dalam konteks ekonomi perdagangan internasional, Indonesia tergabung dalam World Trade Organization (WTO) dengan meratifikasi UU No.7 Tahun 1994. World
Trade
Organizations
ditandatanganinya
Marrakesh
(WTO)
didirikan
Agreement
pada
Establishing
Organization oleh 124 negara anggota GATT
tahun in
the
1994 World
dengan Trade
(General Agreement Trade and
Tarrif). Dengan ditandatanganinya perjanjian pembentukan WTO tersebut, maka WTO menjadi organisasi pengganti GATT yang melaksanakan seluruh aturan perdagangan internasional yang telah disepakati di Marrakesh. World Trade Organization memiliki dua tujuan, yang pertama adalah untuk mendorong
perdagangan
bebas
dengan
penghapusan
hambatan-hambatan
perdagangan yang tidak menimbulkan dampak-dampak sampingan. Dengan adanya WTO setiap individu, perusahaan, dan pemerintah negara-negara anggota WTO dapat mengetahui aturan perdagangan yang berlaku di seluruh dunia, dan memberikan kepercayaan bahwa tidak akan terjadi perubahan-perubahan kebijakan perdagangan secara mendadak, karena peraturan perdagangan yang ada dibuat secara transparan dan mudah diprediksi. Kedua, untuk menyediakan forum negosiasi perdagangan internasional yang lebih permanen. Ketiga, sebagai mediator untuk penyelesaian sengketa perdagangan internasional.2
1
Jeffrey Edmund Curry. 2001. Memahami Ekonomi Internasional. Jakarta: Victory Jaya Abadi, hal 143 2 Perwita, AA. Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
2
WTO adalah badan internasional yang mempromosikan perdagangan yang lebih
terbuka
dan
berkompeten
untuk
menghasilkan
aturan
perdagangan
antarnegara saat ini. Inti dari berjalannya fungsi WTO adalah dilaksanakannya kesepakatan-kesepakatan multilateral yang merupakan dasar hukum untuk perdagangan internasional yang telah dinegosiasikan dan disepakati oleh negaranegara anggotanya. Dokumen kesepakatan ini berupa perjanjian yang mengikat setiap pemerintah penandatangan untuk menetapkan kebijakan-kebijakan dagang dalam batas-batas yang telah disetujui bersama. Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, para pelaku bisnis dan unsur-unsur pemerintahan suatu negara sebagai fasilitator dituntut untuk memahami dan melaksanakan aturan main perdagangan internasional tersebut secara penuh, dalam rangka mengambil manfaat sebesarbesarnya dari peluang akses pasar yang terbuka oleh adanya WTO ini. Prinsip-prinsip dalam WTO, antara lain: a. MFN (Most-Favoured Nation): Perlakuan yang sama terhadap semua mitra dagang. Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari mitra dagang negara anggota lainnya. b.
Perlakuan Nasional (National Treatment): Negara anggota diwajibkan untuk
memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan lokal- paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik. c.
Transparansi (Transparency): Negara anggota diwajibkan untuk bersikap
terbuka/transparan
terhadap
berbagai
kebijakan
perdagangannya
sehingga
memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan perdagangan. Pembentukan WTO sendiri secara resmi pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai
3
perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi. Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrumen multilateral yang mengatur perdagangan internasional. Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan “plurilateral” (disepakati oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tarif. Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round), sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional. Pada tahun-tahun awal, Putaran Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tariff. Pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) dibahas mengenai tarif dan Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement). Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff secara progresif. Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tariff rata-rata atas produk industri turun menjadi 4,7%. Pengurangan tariff, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur “harmonisasi” – yakni semakin tinggi tariff, semakin luas pemotongannya secara proporsional. Dalam isu lainnya, Putaran Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk utama yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai “safeguards” (emergency import measures). Meskipun demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non tariff telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.
4
Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut nampaknya akan berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia. Hasil dari Putaran Uruguay berupa the Legal Text terdiri dari sekitar 60 persetujuan, lampiran (annexes), keputusan dan kesepakatan. Persetujuanpersetujuan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi.3 Struktur dasar persetujuan WTO, meliputi: 1.
Barang/ goods (General Agreement on Tariff and Trade/ GATT)
2.
Jasa/ services (General Agreement on Trade and Services/ GATS)
3.
Kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/ TRIPs)
4.
Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements) Dalam WTO terdapat perjanjian multilateral dan plurilateral. Untuk perjanjian
multilateral, semua negara anggota WTO wajib meratifikasinya sedangkan untuk perjanjian plurilateral, tidak ada kewajiban bagi negara anggota WTO untuk meratifikasinya karena sifatnya voluntary-based. Salah satu perjanjian plurilateral dalam WTO adalah Government Procurement Agreement. GPA merupakan persetujuan plurilateral yang mulai berlaku pada 1 Januari 1996. Sebagian besar persetujuan dalam WTO diikuti oleh semua negara anggota, namun ada empat persetujuan yang bersifat plurilateral yang hanya ditandatangani 3
Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Ditjen Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri. 2003. Sekilas WTO.
5
oleh sejumlah negara anggota, antara lain trade in civil aircraft, government procurement, daily product, dan bovine meat. GPA didasarkan pada prinsip keterbukaan, transparansi dan non-diskriminasi yang jelas akan memberikan keuntungan untuk para pihak yang menandatangani termasuk penyedia mereka dalam hal barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa oleh instansi pemerintah adalah elemen penting dalam hal berjalannya pemerintah. Hal ini disebabkan oleh dengan adanya pengadaan tersebut maka tugas-tugas pemerintah bisa berjalan, bahkan pengadaan juga berdampak besar bagi para pemangku kepentingan di masyarakat. Selain itu, pengadaan pemerintah juga merupakan aspek yang penting dalam perdagangan internasional. Adanya kelangkaan dalam sumber-sumber publik, efisiensi proses pengadaan adalah
pertimbangan utama dalam setiap
pengadaan itu sendiri.
Prinsip
keterbukaan, transparan dan non diskriminasi adalah yang paling utama untuk mencapai “value for money” yang dalam waktu yang bersamaan dapat meningkatkan kompetisi di antara para penyedia. Namun sejumlah negara anggota WTO masih menggunakan aturan mereka sendiri dalam pembeliannya untuk mencapai tujuan kebijakan domestik, seperti penggunaan industri lokal.4 Pengadaan pemerintah adalah aspek penting dalam perdagangan internasional, di mana pasar pengadaan itu sendiri sekitar 10-15 % dari GDP dan juga dilihat dari keuntungan yang didapatkan baik para pemangku kepentingan domestik maupun asing dalam meningkatkan kompetisi. Terdapat tiga hal yang melingkupi pengadaan pemerintah, yaitu:5 1. Agreement on Government Procurement (GPA) yang ditandatangani oleh sejumlah anggota WTO; 2. Transparency in government procurement, yang dilakukan oleh Working Group, dan 3. Multilateral negotiations on services procurement, yang dilakukan oleh Working Group on GATS Rules (WPGR). Sampai saat ini, Indonesia belum meratifikasi Government Procurement Agreement (GPA) karena diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai
4 5
http://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gp_gpa_e.htm http://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gproc_e.htm
6
kesiapan domestik dalam menghadapi perdagangan bebas, termasuk mengenai tingkat daya saing (kompetisi) pelaku usaha Indonesia. 1.2 Ruang Lingkup Dengan begitu intensifnya ekonomi dunia melalui perdagangan bebas, maka diperlukan kajian untuk membahas kesiapan pelaku usaha domestik dalam menghadapi pasar global. Selain itu, dalam laporan ini juga akan dibahas bagaimana tingkat daya saing nasional. Masih berkenaan dengan globalisasi ekonomi, maka Indonesia perlu melihat peluang-peluang untuk bisa meratifikasi Government Procurement Agreement (GPA), hal tersebut juga berkaitan dengan kondisi riil perekonomian Indonesia dalam kaitannya dengan akses pasar.
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perdagangan Bebas Perdagangan bebas adalah aliran barang dan jasa yang melintasi batas-batas negara yang tidak dihalangi oleh tarif atau hambatan lainnya.6 Perdagangan bebas sangat krusial bagi sebuah negara untuk mengambil keuntungan dari keunggulan komparatifnya (comparative advantages). Dengan kata lain tiap negara dapat mengeksploitasi sumber dayanya dan mengambil keuntungan dari spesialisasi yang negara tersebut miliki. Ekonominya sendiri diperlancar oleh pertukaran mata uang yang bebas dan pasar terbuka yang dapat menciptakan sistem harga secara global.7 Empat keuntungan dari perdagangan bebas, yaitu: mendorong terjadinya kompetisi, memperbanyak pilihan para konsumen, perdagangan bebas mempermudah ketersediaan barang-barang tertentu, dan perdagangan bebas memiliki tendensi untuk mengurangi perbedaan tingkat pendapatan antar negara.8 Perdagangan bebas memegang arti penting dalam kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, para pendukung perdagangan bebas berkeyakinan bahwa liberalisasi perdagangan yang meliputi upaya-upaya promosi ekspor, devaluasi mata uang domestik, penghapusan segala bentuk hambatan-hambatan perdagangan internasional, serta pengikisan distorsi-distorsi harga (agar lebih sesuai dengan konstelasi kekuatan permintaan dan penawarannya di pasar), merupakan syarat penting demi terciptanya pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ekspor.9 2.2 Liberalisasi Perdagangan Liberalisasi perdagangan merupakan salah satu dari tiga poin utama neoliberalisme dalam memandang globalisasi. Konsep tersebut hingga saat ini masih banyak menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Liberalisasi perdagangan akan mengarah pada pola perdagangan efisien yang ditentukan oleh prinsip 6
Baylis, John and Steve Smith. 2001. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press, p. 618 7 Ibid, p. 285 8 Martin Griffiths and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key Concepts. New York: Routledge, p. 114-115 9 Michael P. Todaro. 1997. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga, hal 79
8
keunggulan komparatif; yaitu oleh relative factor prices (tanah, modal dan tenaga kerja). Penerapan asas-asas keunggulan komparatif atau biaya komparatif akan menjamin sebuah negara menerima kesejahteraan ekonomi yang lebih besar melalui partisipasinya dalam perdagangan asing daripada melalui proteksi perdagangan.10 Liberalisasi
perdagangan,
membantu
negara
untuk
menyadari
efisiensi
kegunaan dari sumber daya yang mereka miliki. Liberalisasi perdagangan memiliki dua efek yang tidak dapat dikesampingkan. Pertama, menggiring pada penataan kembali sumber daya pada aktivitas negara yang memiliki keunggulan komparatif. Kedua, liberalisasi perdagangan memperluas kesempatan konsumsi banyak negara, makin efisien kegiatan produksi memicu pendapatan yang lebih dan meningkatkan kesempatan untuk membeli barang dan jasa dari negara lain. Walau suatu negara semiskin apa pun, pasti negara tersebut tetap saja memiliki keunggulan komparatif. Liberalisasi perdagangan seharusnya dapat meningkatkan penerimaan negara melalui pengalihan sumber daya dari yang kurang produktif ke yang lebih produktif. 2.3 Kepentingan Nasional Kepentingan nasional adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan negara-bangsa atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan. Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama di antara semua negara-bangsa adalah keamanan serta kesejahteraan. Oleh karena kesamaan itu, kepentingan nasional lazim diidentikkan dengan tujuan nasional. Namun untuk halhal lainnya yang bisa saja berbeda dan berubah dalam jangka waktu tertentu, jelas perlu diutarakan sebagai kepentingan nasional dan bukan tujuan nasional. Kepentingan nasional adalah konsep abstrak yang meliputi berbagai kategori atau keinginan dari suatu negara yang berdaulat. Kepentingan nasional terbagi ke dalam beberapa jenis: 1. Core/basic/vital interests, kepentingan yang sangat tinggi nilainya sehingga suatu negara bersedia untuk berperang dalam mencapainya. Melindungi daerah-daerah wilayahnya, menjaga dan melestarikan nilai-nilai hidup yang dianut suatu negara merupakan beberapa contoh darii jenis kepentingan ini. 10
Robert Gilpin. 1987. The Political Economy of International Relations. New Jersey: Princeton University Press
9
2. Secondary interests, meliputi segala macam keinginan yang hendak dicapai masing-masing negara. Namun mereka tidak bersedia berperang di mana masih
terdapat
kemungkinan
lain
untuk
mencapainya
melalui
jalur
11
perundingan misalnya.
Untuk memperjelas pengertian kepentingan nasional Coulumbis dan Wolfe memberikan beberapa hal penting yang harus menjadi perhatian, yaitu: (1) kepentingan nasional berbeda dengan kepentingan kelompok, kelas, elit atau kepentingan lainnya; (2) kepentingan nasional suatu negara harus seimbang dengan kapabilitas yang dimilikinya; (3) bagaimana menghubungkan kepentingan nasional suatu negara dengan kepentingan negara lain, hal ini berdasaran asumsi bahwa kepentingan nasional suatu negara yang bukan hanya menyadari kepentingan sendiri, tetapi juga menyadari kepentingan negara-negara lain”; (4) yang terakhir adalah bagaimana menghubungkan kepentingan nasional dengan persyaratan keamanan global dan keamanan regional.12 2.4 Kerjasama Internasional Kerjasama dapat tercipta sebagai akibat dari adanya penyesuaian-penyesuaian perilaku oleh aktor dalam rangka merespon dan mengantisipasi pilihan-pilihan yang diambil oleh aktor-aktor lainnya. Kerjasama dapat dijalankan dalam suatu proses perundingan yang secara nyata diadakan atau karena masing-masing pihak sudah saling mengerti, sehingga tidak perlu lagi diadakan suatu perundingan Hal lain yang dapat mendorong sebuah kerjasama timbul adalah adanya komitmen seseorang atau individu terhadap kesejahteraan bersama atau sebagai usaha memenuhi kepentingan pribadi. Oleh karena itu, isu utama dari teori kerjasama
adalah
pemenuhan
kepentingan
pribadi,
dimana
hasil
yang
menguntungkan kedua belah pihak akan diperoleh dengan bekerjasama, daripada berusaha memenuhi kepentingan sendiri dengan berusaha sendiri atau dengan berkompetisi. Sarana untuk melaksanakan kerjasama internasional dapat ditempuh melalui perjanjian internasional (treaty, convention, agreement, declaration, pact,
11
Perwita, AA. Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Hal 52 12 Couloumbis, Theodore, James H. Wolfe. 1986. Pengantar Hubungan Internasional: Power and Justice. Bandung: Putra Bardin, hal 115-116
10
charter, final act, protocol). Bisa juga secara bilateral, trilateral atau multilateral, bergantung pada segi kebutuhan dan hal yang diperjanjikan.13 2.5 Progress in Policy Reforms to Improve the Investment Climate in South East Europe-Investment Reform Index (IRI) 2006 Alat yang digunakan Negara Eropa Tenggara untuk mengukur dan mengkomunikasikan perkembangan dalam kerangka reformasi kebijakan berkaitan dengan iklim usaha. Tujuan pelaksanaan dari IRI 2006 antara lain: a. Structured evaluation b. Targeted suppoert for improvement c. Regional collaboration and peer review d. Public and private sector involvement Dimensi yang tercover dalam IRI 2006 antara lain: investment policy, investment promotion and facilitation, tax policy, anti-corruption and business integrity, competition policy, trade policy, regulatory reform, human capital and employment, corporate governance dan SME policy. Dari dimensi yang sudah dibagi tersebut, kemudian dibali lagi menjadi subdimensi. Sub-dimensi tersebut dibagi kedalam 5 level struktur dari indikator dari reformasi kebijakan dengan angka 1 sebagai yang terlemah dan 5 sebagai yang terkuat. Setiap sub-dimensi dan indikator tersebut kemudian ditetapkan bobotnya dengan tujuan untuk mengkalkulasikan score nilai dari setiap dimensi kebijakan. Sistem pembobotan tersebut terdiri dari range 3 (yang paling penting) sampai 1(kurang penting). Penilaian dari dimensi reformasi kebijakan yang berbeda level atau tingkat berdasarkan kombinasi dari kuantitatif dan kualitatif input, meliputi: •
OECD Investment Compact databese, 5 tahun terakhir
•
Data sekunder yang tersedia, seperti report dari WB, Komisi Uni Eropa, EBRD atau Foreign Investors Councils
13
Dougherty, James E and Robert L. Pfaltzgraff. 1997. Contending Theories of International Relations. United States: Addison-Wesley Educational Publishers, p. 418-419
11
•
Data yang disediakan secara langsung oleh pemerintah, seperti rencana strategis, peraturan terbaru, rencana kerja, data monitoring
•
Interview secara langsung kepada individu atau kelompok sektor swasta di setiap negara.
Langkah-langkah proses IRI 2006: a. Putaran pertama dari misi pengenalan Investment Compact untuk mempresentasikan dan menjelaskan proyek IRI (Oktober 2005-Januari 2006); b. Finalisasi dari toolkit IRI dan evaluasi pertama dari negara-negara Eropa tenggara yang dilakukan oleh tim dari Investment Compact, berdasarkan data sekunder (Januari 2006); c. Negara-negara Eropa tenggara melakukan evaluasi mandiri merujuk pada IRI dimensi (Februari-Maret 2006); d. Tim Investment Compact memperkenalkan patokan atau alat ukur level kedua, yang ikut melibatkan konsultan lokal:
Data orimer dari setiap negara-negara Eropa Tenggara;
Masukan dari lembaga negara yang secara spesifik khusus menangani satu bidang (ex: otoritas persaingan usaha, badan promosi investasi);
e. Putaran kedua dari misi adalah untuk mendiskusikan evaluasi mandiri yang telah dilakukan dan hasil dari simpulan IRI dengan pemerintah setiap negara eropa tenggara (April 2006); f. Finalisasi dan publikasi dari laporan IRI (November 2006). Kelebihan dari Metodologi IRI antara lain: a. Data yang digunakan IRI menggabungkan data yang dikumpulkan oleh OECD Investment Compact dengan data yang telah tersedia, seperti data dari Komisi Eropa, WB, dan EBRD untk memberikan pandangan yang luas kepada
pemerintah
mengenai
kekuatan
dan
prioritas
kebijakan,
memberikan masukan referensi/masukan unik dan secara umum kepada setiap negara untuk digunakan pada penilaian prioritas kebijakan. b. Menggunakan papan scoreboard secara umum yang memfasilitasi konsultan pemerintah-swasta dan mendorong aksi. Hal ini juga membantu 12
pegawai negara untuk berkomunikasi lebih baik untuk peningkatan kebijakan dan area kebijakan yang perlu segera dilakukan pembaharuan. c.
IRI adalah good practices yang dapat diambil dari negara CEE yang paling relevan untuk dicontoh.
d. Akhirnya, indikator dari IRI secara struktur dapat digunakan atau komatibel dengan Uni Eropa yang mencakupi seluruh dimensi penting dari iklim investasi. Limitasi atau keterbatasan dari metodologi IRI: a. IRI tidak mencover seluruh dimensi kebijakan yang berpengaruh terhadap iklim usaha. Dimensi yang tidak termasuk tersebut seperti infrastruktur dan jasa keuangan, yang secara mendalam termasuk dalam organisasi internasional lainnya seperti WB dan EBRD. Evaluasi dari kebijakan UKM adalah proses terpisah yang termasuk dalam kerjasama Uni Eropa, serta kerangka Center UKM Eropa. b. Mengukur implementasi yang efektif dari sebuah kebijakan pemerintah adalah hal yang sulit. Oleh karena itu, IRI mengkombinasikan data kuantitatif yang tersedia (seperti data pemegang sertifikat ISO) dengan data kualitatif (seperti feedbak yang berasal dari sektor swasta melalui interview), tetapi informasi yang disesidkan kadang terbatas sehingga evaluasi memerlukan penilaian pribadi. c. Perbedaan antara tingkatan nilai bisa menjadi tantangan, terutama untuk nilai yang berada dibawah 3 yang menilai tingkatan evaluasi dari pelaksanaan. d. Tidak semua indikator memiliki bobot atau penting yang sama. Maksudnya adalah parameter pembobotan sudah diberitahukan, tapi tidak melepaskan timbulnya banyak pertanyaan. e. Dimana negara yang menjadi tempat survey tidak memiliki tingkat kesetaraan yang sama dalam hal pertumbuhan, dalam hal ini beberapa dimensi memiliki tingkat bobot yang berbeda dibandingkan dengan negara lain. seperti Sumber daya manusia yang akan menjadi lebih prioritas di Bulgaria dan Romanis. Setiap negara harus menginterpretasikan dasar penilaian pada konteks perkembangan yang spesi 13
Makroekonomi dan infrastruktur menggunakan penilaian sebagai berikut:
-
Kebijakan Investasi
14
-
Promosi Investasi dan fasilitasi (Investment Promotion and Facilitation)
Dibagi menjadi 3 bagian antara lain: a. Dukungan pemerintah terhadap perkembangan investasi yang ramah lingkungan
b. Kerangka kerja penilaian
15
c. Elemen kunci
-
Kebijakan Perpajakan
16
-
Anti-korupsi dan business integrity
-
Kebijakan Persaingan Usaha (Competition Policy)
17
-
Kebijakan Perdagangan
-
Reformasi Kebijakan/ Regulatory Reform
18
Ditambahkan pula dalam bagian ini adalah Bagan Analisa Dampak Peraturan yang diambil dari OECD:
-
Sumber Daya Manusia/Human Capital
19
BAB III GAMBARAN UMUM 3.1
Perekonomian Ekonomi Dunia dan Indonesia Dinamika perekonomian Indonesia tidak terlepas dari perkembangan ekonomi
global dan kawasan serta berbagai kemajuan dalam perbaikan, iklim investasi, infrastruktur, produktivitas dan daya saing (sisi penawaran) dalam negeri. Ekonomi dunia telah mampu tumbuh diatas 4% dalam lima tahun terakhir, lebih tinggi dari rata-rata historisnya. Perkembangan ini terutama didorong oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi di negara
berkembang
(China
dan
India)
serta
kawasan
Eropa.
Tingginya
pertumbuhan ekonomi dunia tersebut diiringi dengan volume perdagangan dunia yang juga tumbuh lebih tinggi dari tren jangka panjangnya.Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia tersebut, aliran Foreign Direct Investment (FDI) global juga meningkat pesat. Namun perkembangan ekonomi dunia yang impresif ini dibayangi dengan melambungnya harga minyak dan non-minyakdunia. Terus naiknya harga komoditas dan tetap tingginya pertumbuhan ekonomi dunia menyebabkan tekanan inflasi dunia meningkat. Tekanan inflasi dunia yang meningkat seiring dengan harga komoditas yang masih tinggi direspons secara bervariasi oleh bank sentral di beberapa negara. Disamping tekanan inflasi, beberapa bank sentral tampaknya juga mempertimbangkan kondisi stabilitas pasar keuangan dan prospek pertumbuhan ekonomi domestiknya. Bank sentral Amerika Serikat (TheFed) memberi bobot yang tinggi pada pemulihan krisis di pasar keuangan dan stimulus perekonomian domestik, yang terlihat dari agresivitas penurunan Fed Fund Rate menjadi 3% pada Januari 2008. Sebaliknya, bank sentral Uni Eropa (ECB) dan Jepang (BOJ) tampaknya lebih memprioritaskan tekanan inflasi domestik sehingga memilih mempertahankan tingkat bunga. Dari sisi domestik, walaupun stabilitas ekonomi makro bisa dijaga, sejumlah masalah struktural, iklim investasi, infrastruktur, produktivitas dan daya saing (sisi penawaran) masih membayangi pencapaian pertumbuhan yang lebih cepat dan berkualitas. Hal ini antara lain karena struktur perekonomian pascakrisis lebih ditopang oleh konsumsi dan ekspor, sementara investasi belum menunjukkan peran yang signifikan. Belum pulihnya investasi ditunjukkan oleh menurunnya pangsa investasi 20
terhadap PDB, terutama dialami oleh sektor terpenting dalam perekonomian Indonesia seperti industri pengolahan, pertanian dan pertambangan. Dalam pada itu, pergerakan inflasi menunjukkan karakteristik yang berbeda antara periode sebelum dan sesudah krisis, dimana volatilitas inflasi jauh lebih tinggi pascakrisis. Kondisi di mana pertumbuhan ekonomi pascakrisis lebih rendah dan rata-rata inflasi yang sedikit lebih tinggi menunjukkan penawaran agregat yang mengindikasikan adanya permasalahan di sisi penawaran (supply side constraints), sehingga menyebabkan perekonomian Indonesia lebih sensitif terhadap tekanan harga. Meskipun masih dibayangi berbagai permasalahan di atas, secara umum investor internasional menilai bahwa prospek usaha di Indonesia tetap baik dan Indonesia masih dianggap sebagai lokasi yang menarik untuk penempatan FDI.
Sumber: Balitbang Kementerian Perdagangan RI Berdasarkan survei UNCTAD pada 2007, Indonesia ditempatkan dalam 15 besar negara paling menarik sebagai lokasi penempatan FDI. Selain itu, peringkat Indonesia dalam indeks kinerja dan potensi FDI juga terus menunjukkan perbaikan.4 21
Hal ini sejalan dengan persepsi risiko terhadap Indonesia yang dari tahun ke tahun semakin membaik, seperti terlihat dalam International Country Risk Guide (ICRG). Selain itu, Indonesia dianggap memiliki potensi pasar yang besar dan kualitas lingkungan usaha yang baik. Mempertimbangkan konstelasi perekonomian dunia dan Indonesia selama 5 tahun terakhir, faktor eksternal menunjukkan kontribusi yang semakin signifikan terhadap perkembangan perekonomian Indonesia. Hal ini terkait dengan semakin terbukanya perekonomian Indonesia, baik terhadap ekonomi dunia maupun ekonomi kawasan.14
Sumber: Balitbang Kementerian Perdagangan RI 3.1.1 Masyarakat Ekonomi ASEAN Perkembangan signifikan di tingkat kawasan yang perlu diamati adalah rencana percepatan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic 14
Outlook Ekonomi Indonesia 2008 – 2012, Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia.
22
Community) dari 2020 menjadi 2015, yang memiliki tujuan tercapainya suatu kawasan yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang berimbang serta berkurangnya kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi. Hal ini karena integrasi ekonomi menjanjikan peningkatan kesejahteraan bagi negara-negara di dalamnya melalui pembukaan akses pasar yang lebih besar, dorongan mencapai efisiensi dan
daya saing ekonomi yang lebih tinggi, serta
terbukanya peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih luas. Pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2006 di Kuala Lumpur, Malaysia, sepakat untuk mengembangkan ASEAN Economic Community Blueprint yang merupakan panduan untuk terwujudnya AEC. Declaration on ASEAN Economic Community Blueprint, ditandatangani pada 20 November 2007, memuat jadwal strategis untuk masing-masing pilar yang disepakati dengan target waktu yang terbagi dalam empat fase yaitu tahun 2008-2009, 2010-2011, 2012-2013, dan 2014-2015. Penandatanganan AEC Blueprint dilakukan bersamaan dengan penandatanganan Piagam ASEAN. AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara anggota ASEAN untuk mencapai AEC 2015, dimana masing-masing negara berkewajiban untuk melaksanakan komitmen dalam bluepirnt tersebut. AEC Blueprint memuat empat kerangka utama, yaitu: a. ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; b. ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan e-commerce. c. ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam). d. ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global. Dari keempat pilar tersebut, saat ini pilar pertama masih menjadi perhatian utama ASEAN. 23
Perkembangan Pilar Utama ASEAN Economic Community (AEC): 1. Arus Barang yang Bebas ASEAN telah melakukan penurunan hambatan tarif secara signifikan. Sejak 1 Januari 2010, seluruh tarif produk ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) yang masuk dalam Inclusion List (IL) dari Common Effective Preferential Tariff (CEPT), telah dihapuskan untuk perdagangan antar negara ASEAN. Daftar produk yang mengalami penghapusan tersebut merepresentasikan 99 % dari seluruh daftar tarif. Rata-rata tarif telah berkurang dari 4.4 % pada tahun 2000 menjadi 0.9% pada tahun 2009. Peraturan asal barang (ROO) menetapkan kondisi produk manufaktur atau diproduksi di negara anggota ASEAN yang dapat menikmati konsesi tarif preferensi tersebut apabila produk tersebut diproses atau dihasilkan untuk di ekspor ke negara anggota ASEAN lainnya. Upaya signifikan telah dilakukan dengan merevisi dan menyederhanakan ASEAN ROO untuk memfasilitasi perdagangan dan meningkatkan pengembangan usaha di kawasan. Dengan penurunan hambatan tarif yang sangat signifikan dan ROO yang lebih sederhana, saat ini ASEAN mengarahkan perhatiannya kepada langkah-langkah fasilitasi perdagangan dan penyelesaian beberapa hambatan non-tarif. Hambatan non tarif ini dapat menghambat arus bebas barang di ASEAN melalui penerapan persyaratan yang rumit dan tidak transparan. Untuk mengatasi hal tersebut, negara anggota ASEAN telah melakukan identifikasi terhadap hambatan perdagangan
non
-
tarif
dan
langkah-langkah
yang
diperlukan
untuk
menghapuskannya. 2. Arus Jasa yang Bebas Negara anggota ASEAN sejauh ini telah merundingkan dan menyepakati tujuh paket komitmen ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) yang meliputi liberalisasi dari sektor: • layanan bisnis • jasa profesional • jasa konstruksi • jasa distribusi 24
• jasa lingkungan • jasa kesehatan • jasa transportasi maritim • jasa telekomunikasi • jasa pendidikan • jasa pariwisata 3. Arus Investasi yang Bebas Perjanjian investasi yang ada, termasuk jaminan investasi, telah ditingkatkan dan dikonsolidasikan ke dalam ASEAN Comprehensive Agreement on Investment (ACIA) untuk memenuhi tantangan kompetisi yang semakin meningkat bagi investasi langsung asing (FDI). Melalui ACIA, baik investor ASEAN dan investor asing berbasis ASEAN dapat mengambil manfaat dari liberalisasi investasi yang lebih besar dan proteksi investasi yang semakin membaik. Sejauh ini, delapan negara anggota ASEAN telah meratifikasi perjanjian: Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina,Singapura dan Vietnam. 4. Arus Modal yang Bebas Sejumlah US$ 120 milyar yang dialokasikan untuk swap arrangement dalam Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) telah disepakati pada bulan Desember 2009 dan diharapkan dapat dioperasikan pada bulan Maret 2010. CMIM adalah respon kolektif yang signifikan dari ASEAN, dan 3 negara mitra wicara yaitu China, Jepang dan Republik Korea untuk mengatasi dampak krisis keuangan global. Sejalan dengan roadmap terbaru Asian Bond Markets Initiative (ABMI)
yang
telah
disahkan,
ada
upaya
untuk
terus
mempromosikan
pemberlakuan nilai obligasi dalam mata uang lokal sesuai dengan perkembangan permintaan, serta meningkatkan kerangka peraturan dan infrastruktur untuk pasar obligasi. Salah satu kunci inisiatif di bawah kerangka ABMI adalah pembentukan Credit Guarantee and Investment Mechanism (CGIM) atau Penjaminan Kredit dan Pinjaman Kredit Investasi yang bertujuan untuk mendukung penerbitan obligasi mata uang lokal di kawasan. Inisiatif utama lainnya yang sedang diupayakan adalah pembentukan Mekanisme Pembiayaan Infrastruktur ASEAN yang
25
diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembiayaan infrastruktur di ASEAN. 5. Arus Tenaga Kerja Terampil yang Bebas Pergerakan jasa yang lebih besar - ASEAN akan mewujudkan pergerakan jasa profesional
berkualitas
ditandatanganinya
yang
pengaturan
lebih
besar
saling
di
wilayah
pengakuan
ASEAN.
(Mutual
Dengan
Recognition
Arrangement/MRA) di bidang praktisi medis, gigi , dan jasa akuntansi, maka ASEAN telah menyepakati 7 (tujuh) MRA. MRA lainnya adalah dalam MRA di bidang jasa teknik, keperawatan, arsitektur dan survei kualifikasi. Fokus ASEAN saat ini adalah di tataran implementasi/penerapan seluruh MRA tersebut. 3.1.2 ASEAN-China Free Trade Agreement Para kepala negara anggota ASEAN dan China pada tanggal 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja telah menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast Asian Nations and The People’s Republic of China (ACFTA). Tujuan dari Framework Agreement AC-FTA tersebut adalah (a) memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi,
perdagangan
dan
investasi
kedua
pihak;
(b)
meliberalisasikan
perdagangan barang, jasa dan investasi (c) mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak; (d) memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak. Selain itu, kedua pihak juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui (a) penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang; (b) liberalisasi secara progresif perdagangan jasa; (c) membangun regim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka ASEAN-China FTA. Dalam hal penurunan dan penghapusan tariff perdagangan barang, telah disepakati tiga skenario yaitu: (a) Early Harvest Programme (EHP); (b) Normal Track Programme; (c) Sensitive dan Highly Sensitive. The Early Harvest Programme (EHP), tujuannya adalah mempercepat implementasi penurunan tarif produk dimana program penurunan tarif bea masuk dilakukan secara bertahap dan efektif dimulai pada 1 Januari 2004 bagi produk EHP dan menjadi 0% pada 1 Januari 2006. Pada 26
Normal Track programme penurunan tarif bea masuk dimulai sejak tanggal 20 Juli 2005, yang menjadi 0% pada tahun 2010, dengan fleksibilitas pada produk-produk yang akan menjadi 0% pada tahun 2012. Adapun produk-produk dalam kelompok Sensitive, akan dilakukan penurunan tarif mulai tahun 2012, dengan penjadwalan bahwa maksimun tarif bea masuk 20% pada tahun 2012 dan akan menjadi 0-5% mulai tahun 2018. Produk-produk Highly Sensitive akan dilakukan penurunan tariff bea masuknya 0-5% pada tahun 2020.15 Perdagangan antar negara yang tanpa hambatan seperti yang diterapkan dalam ACFTA berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara melalui spesifikasi produksi komoditas yang diunggulkan masing-masing negara tersebut. Namun dalam perdagangan bebas dapat juga menimbulkan dampak negatif, diantaranya adalah eksploitasi terhadap negara berkembang, rusaknya industri lokal, serta keamanan barang menjadi lebih rendah. Kekhawatiran terhadap membanjirnya produk dari China pasca implementasi ACFTA timbul karena produk China selain dikenal murah harganya juga sudah banyak beredar di Indonesia sebelum implementasi ACFTA. Pendapat tentang dampak negatif dari ACFTA juga telah banyak dilontarkan oleh berbagai pihak dan arus menentang kesepakatan ACFTA juga telah dilakukan oleh kalangan pelaku usaha. Belum lagi rapuhnya industri hilir dan menengah Indonesia dalam menunjang beberapa barang ekspor manufaktur (tekstil dan pakaian jadi, plastik, karpet, kemasan, serta industri mainan anak-anak). Perkembangan China dengan pertumbuhan ekonominya dan total perdagangannya yang semakin besar ternyata belum secara langsung diikuti dengan peningkatan ekspor non-migas Indonesia.16 China merupakan negara yang sedang berjaya. Produknya merambah hampir ke seluruh dunia. Produk yang murah menjadi poin plus bagi Negara Tirai Bambu tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang pesat pun membuat China menjadi Aktor paling penting di kawasan Asia. China memang mempunyai dukungan yang besar terhadap industri dalam negerinya sehingga dapat menguasai pasar dunia. Kemudahan dalam memberikan 15
Economic Review No. 218 Desember 2009 Zainuddin Djafar. 2008. Indonesia, ASEAN dan Dinamika Asia Timur: kajian Perspektif EkonomiPolitik. Jakarta: Pustaka Jaya
16
27
pinjaman bank dengan bunga yang rendah mendorong lahirnya produk-produk yang merambah negara-negara lain dengan harga relatif murah. Dukungan infrastruktur juga sangat diperhatikan bagi perluasan perdagangan. Selain itu kemudahan izin usaha juga diterapkan. Kemudahan-kemudahan seperti di China tersebut sampai saat ini belum ditemui di Indonesia. Inilah yang memberikan kekhawatiran tersendiri atas dampak ACFTA di dalam negeri. Produk dalam negeri dinilai belum dapat bersaing dengan produk-produk dari China karena biaya produksi di dalam negeri masih tinggi dan menyebabkan harga jualnya jauh di atas produk-produk China. Segala sesuatu memang akan memberi dampak positif dan negatif. Begitu juga dengan ACFTA. Dampak kesepakatan ini memang memiliki implikasi yang cukup luas di bidang ekonomi, industri dan perdagangan. Gambar 3.3 Produk China yang sering dibeli
Produk-produk dalam negeri masih memiliki biaya produksi yang cukup tinggi sehingga harga pasaran pun masih sulit ditekan. Keadaan ini dikhawatirkan akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dikarenakan ditutupnya perusahaan dalam negeri akibat kalah bersaing. Masalah yang paling dikhawatirkan adalah pengaruh ACFTA terhadap keberlangsungan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang 28
berkonsentrasi pada pasar dalam negeri. Tentu UKM tersebutlah yang paling parah terkena imbas dengan membanjirnya produk-produk China. Dari sisi konsumen atau masyarakat, kesepakatan ini memberikan angin segar karena membuat pasar dibanjiri oleh produk-produk dengan harga lebih murah dan banyak pilihan. Dengan demikian akan berdampak pada meningkatnya daya beli masyarakat
sehingga
diharapkan
kesejahteraan
pun
dapat
ditingkatkan.
Namun, kesepakatan tersebut justru membuat industri lokal gelisah. Hal ini dikarenakan industri lokal belum siap terhadap serbuan produk China. Tujuan memperkuat
pembentukkan kerjasama
ACFTA
perdagangan
adalah
pertama,
antara
ASEAN
meningkatkan dan
China.
dan
Kedua,
meliberalisasi perdagangan barang dan jasa melalui penurunan tarif. Ketiga, mengembangkan
berbagai
area
kerjasama
ekonomi
lain
yang
saling
menguntungkan dan yang terakhir, memfasilitasi integrasi ekonomi kawasan dengan menjembatani berbagai kesenjangan ekonomi yang ada antara ASEAN dan China. Pada awal penandatanganan, kesepakatan ini disambut hangat oleh banyak kalangan di dalam negeri untuk beberapa alasan. Pertama, penurunan tarif dan penghilangan hambatan non-tarif perdagangan dengan China memungkinkan Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke negara tersebut, yang memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Kedua, terkait dengan hal ini, peningkatan perdagangan diprediksikan akan meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan pendapatan di dalam negeri. Hal ini mengingat ia cenderung menghasilkan pola pertumbuhan yang broadbased, yang dinikmati oleh banyak masyarakat. Ketiga, penetapan perdagangan bebas dengan China memungkin ditariknya lebih banyak investasi asing di dalam negeri, baik dari China maupun dari negara lain yang ingin memanfaatkan kedekatan ekonomi Indonesia dengan
negara
ini.
Keempat,
perdagangan
bebas
dengan
China
juga
memungkinkan terserapnya lebih banyak teknologi dan pengetahuan serta skill, yang memungkinkan pengembangan industri di dalam negeri.17 Namun di sisi yang lain, kebijakan perdagangan bebas dalam ACFTA ini memberikan berbagai konsekuensi yang berasal dari kehawatiran pengusaha Indonesia, yaitu karena dengan berlakunya perjanjian antara negara-negara ASEAN dan China maka produk China akan membanjir di Indonesia dengan kualitas baik 17
Majalah Trust No. 11 tahun VII edisi 11-17 Januari 2010
29
dan harga yang lebih murah karena China menggunakan teknologi tinggi sehingga biaya produksinya lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia yang belum memiliki permesinan canggih sehingga bisa menekan biaya produksi. Hal inilah yang menjadi masalah bagi para pengusaha di Indonesia mengenai kebijakan perdagangan bebas dalam ACFTA, kekhawatiran mengenai usaha yang akan gulung tikar maupun peningkatan pengangguran di Indonesia. Gambar 3.4 Komposisi Ekspor-Impor Indonesia dengan China
Sumber: Balitbang Kementerian Perdagangan RI
30
3.2
Kinerja Perekonomian Domestik Kinerja perekonomian Indonesia pada tahun 2010 turut diwarnai oleh
dinamika perekonomian global. Membaiknya pertumbuhan ekonomi global yang mendorong naiknya volume perdagangan internasional serta memicu kenaikan harga-harga komoditas berdampak pada tingginya pertumbuhan ekspor Indonesia. Pada tahun 2010, ekspor menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kinerjanya yang meningkat tinggi mampu mempertahankan surplus transaksi berjalan, walaupun terjadi peningkatan yang tinggi baik di sisi impor maupun pembayaran profit transfer. Di sisi transaksi modal dan finansial, pemulihan ekonomi global yang disertai derasnya aliran modal menyebabkan surplus neraca modal yang besar dalam NPI. Perkembangan kondisi makroekonomi yang membaik ini membawa perkembangan positif bagi pasar modal Indonesia. Harga saham meningkat cukup tinggi hingga menjadikan Bursa Efek Indonesia sebagai bursa terbaik di negara-negara kawasan. Sementara itu, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) terus mengalami penurunan yang signifikan sejak 2009. Derasnya arus modal masuk juga mengakibatkan terjadinya penguatan nilai tukar rupiah yang cukup signifikan dan peningkatan likuiditas di pasar uang jangka pendek. Kondisi ini mendorong suku bunga PUAB over night (O/N) bergerak di bawah BI rate dan cenderung mendekati batas bawah koridor. Dari sisi domestik, meningkatnya keyakinan konsumen dan daya beli masyarakat menjadi faktor utama cukup tingginya pertumbuhan konsumsi pada tahun 2010. Kondisi ini kemudian direspons 31
oleh peningkatan pertumbuhan investasi seiring dengan membaiknya tendensi bisnis dan permintaan ekspor yang tinggi. Di sisi lain, realisasi belanja pemerintah tumbuh lebih lambat dibanding tahun sebelumnya. Berbagai perkembangan ini membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat menjadi 6,1% dari 4,6% pada tahun sebelumnya. Sementara itu, inflasi pada tahun 2010 meningkat cukup tinggi dengan perkembangan inflasi IHK yang mencapai 6,96%, berada di atas sasaran inflasi tahun 2010 ( 5±1%). Tingginya inflasi ini bersumber dari tekanan kenaikan inflasi pada kelompok volatile food terkait dengan anomali cuaca yang menyebabkan terjadinya gangguan pasokan pada kelompok barang ini. Meskipun demikian, secara fundamental perkembangan inflasi pada dasarnya cukup terkendali, sejalan dengan penguatan rupiah, terjaganya ekspektasi inflasi masyarakat, serta kondisi sisi penawaran yang masih memadai dalam merespons kenaikan permintaan. Perkembangan ini terlihat pada inflasi inti yang tetap stabil di angka yang relatif sama dengan tahun sebelumnya yaitu 4,28%. Sejalan dengan berlanjutnya pemulihan ekonomi global, perekonomian Indonesia tahun 2010 tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan PDB 2010 mencapai 6,1%, meningkat dari 4,6% pada tahun 2009. Di sisi permintaan, meningkatnya pertumbuhan ekonomi didukung oleh kinerja ekspor dan investasi yang tumbuh tinggi, disertai konsumsi rumah tangga yang tetap kuat. Kenaikan harga komoditas internasional turut menunjang tingginya pertumbuhan ekspor nasional. Selain itu, meningkatnya kinerja ekspor juga diikuti oleh lebih terdiversifikasinya komoditas ekspor dan lebih besarnya peran negara-negara emerging markets sebagai pasar tujuan ekspor Indonesia. Permintaan eksternal dan domestik yang kuat berpengaruh positif bagi optimisme pelaku usaha terhadap prospek perekonomian, sehingga pada akhirnya mendorong kinerja investasi tumbuh meningkat. Sementara itu, konsumsi rumah tangga yang tetap kuat ditopang oleh daya beli masyarakat yang terjaga didukung meningkatnya peran pembiayaan lembaga keuangan. Tingginya permintaan domestik dan eksternal pada gilirannya
berdampak
pada
tingginya
pertumbuhan
impor hingga
melebihi
pertumbuhan ekspor. Kinerja ekspor yang meningkat cukup tinggi sejalan dengan berlanjutnya pemulihan ekonomi global. Kenaikan kinerja ekspor paling tinggi terjadi di semester I 2010, terutama pada awal tahun, didukung baik oleh komoditas migas maupun 32
nonmigas. Namun, memasuki semester II 2010 ekspor mengalami perlambatan terkait
dengan
terjadinya
penurunan
produksi
minyak,
melambatnya
laju
pertumbuhan negara mitra dagang, serta harga komoditas manufaktur dan pertanian yang melambat. Kinerja ekspor kembali mencatat kenaikan yang cukup tinggi pada akhir 2010 didorong oleh meningkatnya ekspor produk pertanian dan manufaktur, disertai kenaikan harga komoditas. Secara keseluruhan, ekspor tahun 2010 mencatat kenaikan yang tinggi, yakni mencapai 14,9%. Pertumbuhan ekspor tersebut merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir – kecuali tahun 2005 – dengan komoditas ekspor yang relatif lebih tidak terkonsentrasi pada hanya beberapa produk tertentu. Selain itu, capaian pertumbuhan ekspor nasional yang tinggi juga disertai meningkatnya pangsa negara-negara emerging markets sebagai pasar tujuan ekspor. Meningkatnya kinerja
ekspor dan semakin
kondusifnya
berbagai variabel makroekonomi
berkontribusi pada kinerja investasi yang tumbuh tinggi. Iklim investasi yang membaik didukung oleh pembiayaan dari dalam dan luar negeri yang meningkat sehingga mendorong realisasi investasi tumbuh lebih cepat untuk merespons kenaikan kapasitas utilisasi seiring kuatnya permintaan. Survei Tendensi Bisnis yang dilakukan oleh BPS menunjukkan optimisme pelaku usaha yang positif dengan terus meningkatnya pemesanan barang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, harga jual yang naik, serta kenaikan pemesanan barang input. Menguatnya nilai tukar rupiah juga turut menunjang impor barang modal dengan harga yang relatif lebih rendah. Dengan perkembangan tersebut, investasi nonbangunan kembali tumbuh tinggi sebesar 13,1% setelah pada tahun 2009 mengalami kontraksi yang cukup dalam. Sementara itu, investasi bangunan tumbuh stabil sebesar 7,0% Tingginya perkembangan investasi nonbangunan ini mengisyaratkan sifat investasi yang lebih kepada menambah kapasitas ekonomi. Berdasarkan jenis investasi, peningkatan pertumbuhan investasi didorong oleh Penanaman Modal Asing (PMA) yang tercatat mencapai Rp 208,6 triliun dan Penanaman Modal Dalam negeri (PMDN) sebesar Rp 60,5 triliun.18
18
Outlook Ekonomi Indonesia 2008 – 2012, Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia.
33
3.3
Perkembangan Sektoral Ekonomi Nasional Berdasarkan data BPS, sektor pertanian masih memegang peranan penting
dalam
menopang
pertumbuhan
ekonomi,
meskipun
cenderung
mengalami
penurunan pangsa dalam PDB, dari 15,2% pada 2003 menjadi 12,9% pada 2006. Kendala yang dihadapi adalah rendahnya investasi dalam rangka penyediaan dan perbaikan infrastruktur. Namun dalam 40 tahun terakhir pertumbuhan pertanian Indonesia mengalami perlambatan. Pergeseran sektoral telah terjadi dimana penurunan pangsa sektor pertanian dibarengi peningkatan pangsa industri pengolahan. Untuk negara maju seperti Jepang dan USA, pergeseran terjadi ke arah peningkatan pangsa sektor jasa bisnis. Indonesia menempati peringkat 20 negara eksportir pertanian namun sayangnya justru kalah dari negara-negara dengan luas lahan pertanian yang lebih sempit. Data 2005 menunjukkan terjadinya peningkatan volume ekspor pertanian yang diikuti pula dengan kenaikan impor dengan jumlah lebih besar. Meski secara volume defisit akan tetapi dari sisi nilai, neraca komoditas pertanian masih menunjukkan surplus dari waktu ke waktu. Saat ini, volume ekspor karet Indonesia terus mengalami pertumbuhan dan menduduki peringkat ke-2 dunia setelah Thailand. Indonesia juga merupakan negara pengekspor CPO terbesar kedua setelah Malaysia, namun pertumbuhan ekspornya saat ini lebih cepat dari Malaysia. Survei Pemetaan Sektor Ekonomi (SPSE) 2005 menunjukkan terdapat 12 komoditas pertanian unggulan yang menjadi penggerak utama sektor pertanian, memberikan sumbangan lebih dari 80% output sektor pertanian primer dan merupakan komoditas input yang dominan terhadap sektor agro industri. Sementara berdasarkan kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia 2006 telah ditetapkan 5 komoditas unggulan pertanian yaitu kelapa sawit, kopi, karet, coklat, serta ikan dan udang. Peran sektor pertambangan walaupun relatif kecil dalam PDB (10,6% pada 2006) dan cenderung tumbuh lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi (5% pada 2006) namun berperan strategis dalam penyediaan energi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Di samping itu subsektor pertambangan migas masih berperan besar dalam penerimaan APBN. Secara
sektoral,
penyumbang
PDB
terbesar
adalah
sektor
industri
pengolahan (28% pada 2007) namun stok kapital neto tertinggi justru dimiliki oleh sektor jasa (25,3%). Hal ini terkait dengan kebutuhan pemanfaatan teknologi 34
informasi dan komunikasi di era globalisasi di segala bidang, misalnya untuk transaksi keuangan. Secara umum peran sektor industri nonmigas dalam perekonomian nasional masih dominan walaupun sempat mengalami penurunan selama periode krisis. Pada 2007, pangsa sektor industri non migas ini mencapai 22,8% dari total PDB, dibandingkan pangsa industri migas yang hanya 5,2%. Namun sektor ini tetap sensitif terhadap gejolak permintaan eksternal, dan masih dilingkupi persoalan rendahnya daya saing serta rendahnya tingkat investasi.19
Gambar 3.5 Perkembangan Ekspor Non Migas Indonesia
Sumber: Balitbang Kementerian Perdagangan RI
19
Ibid
35
Dilihat dari segi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja maupun pemerataan pembangunan, peran ini masih lebih rendah dibandingkan pada periode pra krisis. Hal ini disebabkan karakteristik industri nonmigas yang dominan dalam melayani pasar domestik tetapi memiliki tingkat ketergantungan impor yang tinggi, sensitivitas sektor industri terhadap gejolak permintaan eksternal yang masih tinggi, rendahnya daya saing, serta minimnya tingkat investasi. Komoditas nonmigas yang memiliki daya saing dan nilai tambah cukup tinggi antara lain Minyak Kelapa Sawit (CPO) serta beberapa komoditas tekstil dan TPT.
36
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Kebijakan Peningkatan Daya Saing Nasional Dalam menghadapi permasalahan pembangunan industri
dan dengan
memperhatikan lingkungan global yang persaingannya semakin ketat serta prospek ekonomi Indonesia yang semakin membaik, maka pembangunan industri perlu dipercepat dan dilakukan secara terintegrasi dengan sektor ekonomi lainnya. Pendekatan dalam pembangunan industri dilakukan melalui: Pertama, konsentrasi lokasi industri dan meningkatkan kemampuan masyarakat di lokasi industri tersebut, sehingga akan memberikan dampak positif bagi pembangunan industri
yang
semakin efisien dan efektif serta memberikan manfaat berganda bagi daerah setempat. Kedua, meningkatkan investasi di sektor industri dan infrastruktur yang dapat dilakukan oleh pihak swasta dan pemerintah. Ketiga, meningkatkan penguasaan pasar baik dalam negeri maupun pasar internasional. Pendekatan dilakukan
yang digunakan dalam mempercepat
dengan
mengkombinasikan
pendekatan
pembangunan industri sektoral
dengan
mengembangkan klaster industri dan pendekatan regional yang berlandaskan pada keunggulan komparatif yang dimiliki oleh daerah. Dalam rangka memperjelas strategi pengembangan industri prioritas di atas, perlu disusun rencana aksi untuk setiap pengembangan industri prioritas.
37
Gambar 4.1 Pertumbuhan Ekonomi dan Industri
Ada sejumlah tujuan industri prioritas, antara lain: • Meningkatkan daya saing industri prioritas • Memperdalam struktur industri nasional dengan mendorong tumbuhnya industri pionir dan industri hilir • Mendorong penyebaran industri manufaktur ke seluruh wilayah Indonesia, khususnya wilayah yang memiliki SDA melimpah Selain itu, ada juga sejumlah kebijakan iklim Usaha Industri yang dapat digambarkan sebagai berikut:
38
Kebijakan Iklim Usaha Industri
1. Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) PMK Nomor 261/2010 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan Untuk Memproduksi Barang Dan/Atau Jasa Guna Kepentingan Umum Dan Peningkatan Daya Saing Industri Sektor Tertentu Untuk Tahun Anggaran 2011. 2. Tax Allowance (Revisi PP Nomor 62/2008) Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal dibidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah – daerah tertentu) Tax Allowance
39
Pemberian Fasilitas Fiskal Dalam Rangka Penanaman Modal a. Pengurangan penghasilan net sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing- masing sebesar 5% (lima persen) per tahun b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat c. Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku d. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun e. Dalam Revisi PP 62/2008, untuk sektor industri telah disepakati : Lampiran I
: 36 Bidang usaha tertentu
Lampiran II
: 38 Bidang usaha tertentu dan daerah tertentu
Industri Petrokimia yang mendapatkan fasilitas Tax Allowance : 1. Industri kimia dasar anorganik lainnya 2. Industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian 3. Industri Kimia Dasar Organik untuk Bahan Baku Zat Warna dan Pigmen 4. Industri Kimia Dasar Organik yang bersumber dari Minyak Bumi, Gas Alam dan Batubara 5. Industri Kimia dasar Organik yang menghasilkan bahan kimia khusus 3. Tax Holiday (Peraturan Menteri Keuangan 130/2011) Fasilitas diberikan kepada industri pionir dengan jumlah minimal investasi sebesar Rp. 1 Triliun dengan bidang usaha : 40
a) Industri logam dasar; b) Industri pengilangan minyak bumi dan/atau industri kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam; c) Industri permesinan; d) Industri di bidang sumber daya alam terbarukan; dan/atau e) Industri peralatan komunikasi Bentuk pemberian fasilitas adalah : a) Pembebasan PPh Badan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun dimulainya produksi komersial dengan nilai investasi sebesar 100 %. b) Pengurangan PPh Badan sebesar 50 % dari PPh Badan terutang selama 2 (dua) tahun pajak setelah berakhirnya pemberian fasilitas pembebasan PPh Badan. 4. Insentif Bea Masuk Penanaman Modal (PMK No.176/2009) Tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang dan Bahan Untuk Pembangunan Atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal. Persyaratannya yaitu hanya berlaku dalam rangka penanaman modal (PMA & PMDN) dan untuk investasi baru dan perluasan sebesar 30% atau lebih. 5. PPN- DTP Pajak Pertambahan Nilai - Ditanggung Pemerintah yaitu Insentif berupa PPN-DTP untuk Sektor Industri. PPN-DTP Tahun 2011
41
6. Revisi PMK 241 Tahun 2010 tentang Perubahan tarif Bea Masuk PMK No. 13 Tahun 2011 Untuk Tarif Bea Masuk Komoditi Pangan dan Bahan Pangan, Bahan Baku Pakan Ternak dan Pupuk Tertentu telah diubah dengan PMK No.13 Tahun 2011, sebanyak 57 pos tarif telah diturunkan menjadi 0 % sampai dengan 31 Desember 2011 dan selanjutnya naik menjadi 5% mulai 1 Januari 2012. PMK No. 80 Tahun 2011 Untuk Tarif Bea Masuk Komoditi Penetapan tarif bea masuk atas barang impor : 1) produk-produk bahan baku dan barang modal industri tertentu 2) produk-produk kapal tertentu 3) produk-produk bahan baku dan peralatan film tertentu Lampiran I terdapat 25 produk yang tariff rate nya
0% berlaku mulai tanggal
diundangkan sampai dengan 31 Desember 2011. Lampiran II terdapat 25 produk yang tariff rate nya 5% mulai 1 Januari 2012 Lampiran III sebanyak 157 post tarif yang 0% dan 8 post tarif yang 10% (makanan), dan berlaku mulai tanggal diundangkan. 7. Pemberian Keringanan Suku Bunga Pemerintah sejak tahun 2007 telah meluncurkan program restrukturisasi permesinan bagi beberapa sektor industri, dengan hasil sebagai berikut : Restrukturisasi Industri
42
4.2 Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) dan Kaitannya dengan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Struktur Kebijakan
INPRES NO. 2 Tahun 2009 1. Pengadaan barang/jasa Pemerintah bertujuan untuk: a) Memaksimalkan penggunaan barang/jasa hasil produksi dalam negeri termasuk rancang bangun dan perekayasaan nasional, serta penggunaan penyedia barang/jasa nasional; b) Memberikan preferensi harga untuk barang produksi dalam penyedia
jasa
pemborongan
nasional
kepada
negeri dan
perusahaan
penyedia
barang/jasa; 2. Pengadaan barang/jasa Pemerintah agar berpedoman dan mengacu pada Pedoman Peningkatan Penggunaan Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian. 3. Kampanye
penggunaan
produksi
dalam
negeri
di
lingkungan
instansi
Pemerintah Pusat/Daerah, BUMN dan BUMD dikoordinasikan oleh Menteri Perdagangan. 4. Dalam melaksanakan tugasnya, Timnas P3DN dapat melakukan kerjasama dengan konsultan, tenaga ahli, akademisi atau pihakpihak lain yang dipandang perlu. 43
5. Timnas P3DN menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Presiden melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian secara berkala setiap 6 (enam) bulan, atau sewaktuwaktu jika diminta Presiden. PERPRES 54 TAHUN 2010 (Perubahan Keppres 80/2003) •
Produk Dalam Negeri wajib digunakan jika terdapat Penyedia Barang/Jasa yang menawarkan Barang/Jasa yang menawarkan Barang/Jasa dengan nilai TKDN minimal 40%; (Ps 97 (2) Perpres 54/2010)
•
TKDN mengacu pada Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri yang diterbitkan oleh Kementerian yang membidangi perindustrian;
•
Preferensi Harga untuk barang/jasa dalam negeri diberlakukan pada Pengadaan Barang/Jasa yang dibiayai rupiah murni tetapi hanya berlaku dalam pengadaan barang/jasa bernilai di atas 5.000.000.000 (lima miliar rupiah); (Ps 98
(2)
Perpres 54/2010) •
Preferensi harga hanya diberikan kepada barang/jasa dalam negeri dengan TKDN lebih besar atau sama dengan 25% (dua puluh lima persen); (Ps 98 (3) Perpres 54/2010)
•
Preferensi harga untuk barang produksi dalam negeri setingi-tinginya 15% (lima belas persen), sedangkan preferensi harga untuk pekerjaan konstruksi yang dikerjakan oleh Kontraktor nasional adalah 7,5% di atas harga penawaran terendah dari Kontraktor asing) ; (Ps 98 (5,6) Perpres 54/2010)
PERMENPERIN No. 49/2009 dan No.102/2009 Untuk mengimplementasikan isi Keppres No. 80 Tahun 2003 dan Inpres No.2 tahun 2009 perubahannya Menteri Perindustrian menerbitkan Peraturan No:102/MIND/PER/9/2009 yang isinya antara lain: 1. Mewajibkan instansi menggunakan produksi dalam negeri yang memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan Bobot Manfaat Perusahaan (BMP) tertentu; 2. Memberikan preferensi harga pada produksi dalam negeri yang memiliki nilai TKDN tertentu pada Tender; 3. Mewajibkan instansi membentuk Tim Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) untuk mendorong Penggunaan Produk Dalam Negeri yang 44
diimplementasikan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan monitoring. Peluang Penggunaan Produk Dalam Negeri – dari Belanja Barang dan Modal Pemerintah Pusat Tahun
2009 (APBN) 2010 (APBN-P) 2011 (APBN)
Belanja Barang
Belanja Modal
Jumlah APBN Pusat
% Peluang Penggunaan Produksi Dalam Negeri
80,7 triliun
75,9 triliun
628,8 triliun
24,9 %
112,6 triliun
95 triliun
781,5 triliun
26,5 %
137,8 triliun
135,8 triliun
836,6triliun
32,7 %
Konsep Preferensi pada Proses Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah terhadap Produk Dalam Negeri Dasar penilaian tingkat komponen dalam negeri barang dan jasa sesuai Keppres No. 80 tahun 2003 serta perubahannya pada Perpres No. 08/2006 % TKDN Barang = Harga Barang Jadi - Harga Komponen Luar Negeri x 100% Harga Barang Jadi % TKDN Jasa
= Harga Jasa - Harga Jasa Luar Negeri x 100% Harga Jasa
45
-
TKDN Pengadaan Barang
Stuktur Harga Barang
46
-
TKDN Pengadaan Barang
Stuktur Biaya Jasa
4.3 Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menciptakan nilai yang berkelanjutan dan untuk meningkatkan standar kehidupan yang tinggi bagi masyarakatnya. Daya saing dapat dibentuk oleh produktivitas termasuk tenaga kerja dan barang modal. Suatu negara berkompetisi dengan negara lainnya dengan menawarkan tenaga kerja yang produktif dan lingkungan kondusif untuk bisnis. Lingkungan tersebut dapat menarik investasi, memacu tumbuhnya perusahaan yang ada, dan juga menciptakan peluang kerja. Tetapi tingginya tingkat produktivitas membutuhkan investasi dan fokus terhadap aktivitas yang terdiferensiasi daripada berkompetisi dalam harga dan penghasilan rendah. Kebijakan makroekonomi, sosial, politik dan hukum dapat menciptakan produktivitas dan kemakmuran yang lebih tinggi serta potensial dengan memberikan 47
akses kepada modal dan pasar internasional. Tetapi, dalam tingkat mikroekonomu melalui penciptaan barang/jasa yang unik dan inovatif dapat memacu permintaan dengan harga tinggi di pasar global.
4.3.1 Diamond Framework Daya saing suatu negara ditentukan oleh daya saing perusahaan-perusahaan yang ada di negara tersebut, termasuk di tiap sektornya. Analisis NCC menggunakan Diamond Framework yang dikembangkan oleh Michael E. Porter, Bishop William Lawrence dari Sekolah Bisnis Harvard, yaitu sebagai berikut:
Kondisi Faktor Merujuk pada ada dan tidak adanya input dari pekerjaan yang membutuhkan keahlian tertentu, ketersediaan bahan mentah, infrastruktur, dan keuangan. Faktor 48
input
bukanlah
sesuatu
yang
statis,
tetapi
dapat
dilanjutkan
dengan
mengembangkannya dan menjadikannya lebih spesifik dari waktu ke waktu, contohnya perusahaan dapat memberikan investasi dalam hal memberikan pelatihan kepada para karyawan untuk memberikan nilai tambah kepada mereka dan juga meningkatkan produktivitas. Konteks Strategi dan Persaingan Hal ini merujuk kepada daya saing antara perusahaan dalam sektor atau industri. Daya saing menyediakan insentif bagi inovasi dan meningkatkan bisnis, maka perusahaan akan berusaha untuk bisa meraih pasar dari para pesaingnya. Untuk menjadikannya lebih kuat, maka kebijakan yang diambil juga harus tepat sehingga dapat menajamkan strategi sekaligus meningkatkan kualitas barang dan jasa untuk bisa meraih pasar yang lebih luas. Permintaan Elemen permintaan melihat kebutuhan pasar dan mengevaluasi keinginan konsumen.
Permintaan
konsumen
menstimulasi
inovasi
dan
meningkatkan
persaingan antarperusahaan. Ada atau tidaknya konsumen dan perlindungan konsumen, dapat menghilangkan barang/jasa impor yang telah ada. Industri Pendukung Hal ini digunakan untuk menghitung formasi bagan. Bagan tersebut terdiri dari industri multiple, industri geografis dan industri interkoneksi, perusahaan dan institusi yang mempunyai tujuan yang sama dan saling melengkapi. Bagan ini meningkatkan produktivitas
dan
daya
saing
dengan
cara
mengimplementasikan
praktik,
menstimulasi inovasi, dan menciptakan peluang bisnis baru. Universitas dan asosiasi
industri
memainkan
peranan
penting
dalam
membangun
dan
mendiseminasi pengetahuan ini.
49
Pemerintah Diamond Framework juga meyakini bahwa pemerintah memiliki peranan penting dalam mempromosikan daya saing. Contohnya, sektor publik dapat mensponsori pendidikan tertent dan program pelatihan atau investasi dalam infrastruktur; menghilangkan hambatan-hambatan terhadap kompetisi lokal melalu deregulasi atau perubahan lingkungan kebijakan; bertindak sebagai konsumen produk dan jasa; dan mengembangkan platform yang mempertemukan industri dan penyedia secara bersama-sama untuk meningkatkan daya saing perekonomian.
Institusi untuk berkolaborasi Institusi untuk berkolaborasi memainkan peranan penting dalam mengkoordinasikan segala bentuk usaha antara sektor publik dan swasta serta akademisi. Dewan, universitas, asosiasi perdagangan, dan kamar dagang merupakan platform yang membawa kebersamaan semua pemangku kepentingan untuk meningkatkan strategi dan agenda daya saing yang sama. Kemitraan tersebut mengembangkan institusi yang ada dalam meningkatkan keterhubungan antara institusi dan individu serta memfasilitasi arus informasi. 4.3.2 Tahapan Pembangunan Ekonomi Kemampuan suatu negara untuk berkompetisi dan prioritasnya dalam pembangunan memiliki tahapan tertentu. Tahapan tersebut dapat dikategorikan seperti gambar di bawah ini:
Factor-driven economies •
Perekonomian berkompetisi terutama dalam harga yang rendah dan sumber daya alam yang ada
•
Perusahaan yang termasuk dalam produksi utama 50
•
Perekonomian secara khusus berfluktuasi dalam siklus ekonomi dunia, harga komoditi, dan nilai tukar.
Investment-driven stage •
Perusahaan memproduksi produk dan jasa yang sesuai standar tertentu
•
Produktivitas dikembangkan melalui peningkatan investasi dalam infrastruktur dan lingkungan bisniis yang baik
•
Perusahaan mengarah pada nilai-nilai manufaktur yaitu desain produk, distribusi dan pemasaran
•
Krisis keuangan dan eksternal, permintaan pada sektor yang spesifik dapat memberikan dampak pada perekonomian
Innovation-driven stage •
Perekonomian dapat menghasilkan barang dan jasa yang unik untuk pasar global, memacu perkembangan teknologi dan metode bisnis
•
Industri jasa memainkan peranan penting dan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap GDP
•
Perekonomian dalam tahap ini bisa berubah-ubah (tidak statis)
51
4.4 The Root of Competitiveness
Cluster and Related Cross Sectoral Activities
52
Keterhubungan antara kebijakan industri di Indonesia dan orientasi ekspornya masih tidak pas. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia merevitalisasi kebijakan dengan memperkenalkan program baru dengan tujuan untuk memperkuat hubungan performa ekspor dalam dinamika pasar global. Tahapan antara kebijakan industrialisasi dan implementasi ekspor perlu untuk diklariifikasi antara kompetensi utama yang dikembangkan dalam wilayah tertentu dan fasilitas yang dapat disediakan oleh pemerintah. Peranan aktif pemerintah daerah untuk membangun daya saing di tiap wilayah juga perlu dikembangkan dengan cara mendukung program pengembangan kapasitas untuk mencapai program ekspor dan kebijakan industrialisasi. 4.5 Assessment Daya Saing Daya saing di berbagai belahan dunia diukur oleh badan internasional yang berbeda-beda juga dengan peringkatnya berbeda dan menggunakan sejumlah kriteria. NCC menggunakan tiga indikator utama dalam menghitung daya saing di Arab Saudi terhadap negara lainnya. Selain itu, indikator ini juga dikembangkan oleh Forum Ekonomi Dunia dan Laporan Investasi Dunia sebagai benchmark dalam daya saing baik pada tingkat makroekonomi maupun mikroekonomi. NCC juga menggunakan laporan International Finance Corporation’s (IFC) “Ease of Doing Business” sebagai benchmark untuk kebijakan dan hukum dalam hal operasi bisnis. Negara-negara yang menduduki peringkat atas memperlihatkan performa yang konsisten baik secara makro maupun mikro: •
Lingkungan makroekonomi: surplus angggaran yang tinggi, tingkat kredit yang kuat dan inflasi rendah
•
Institusi publik dan swasta yang kuat: tidak adanya korupsi, transparansi bisnis
dan
oemerintahan,
independensi
pengadilan,
penegakan
hak
kepemilikan •
Teknologi dan Inovasi: biaya yang tinggi untuk penelitian dan pengembangan, adopsi teknologi barus secara agresif, penelitian industri dan universitas yang dilakukan bersama, penggunaan teknologi secara aktif
•
Pendidikan dan pelatihan: tingkat pendidikan yang tinggi, pengembangan pendidikan yang baik, dan tenaga kerja yang terlatih 53
4.5.1 International Finance Corporation Ease of Doing Business Index The IFC’s Ease of Doing Business Index merupakan pengukuran yang paling komprehensif dari salah satu faktor terpenting dalam menentukan daya saing, yaitu lingkungan bisnis. The IFC mengukur 183 negara dalam hal 10 aspek dalam melakukan bisnis: 1) Memulai bisnis 2) Meminta perijinan 3) Mempekerjakan karyawan 4) Mendaftarkan kepemilikan 5) Mendapatkan pinjaman 6) Melindungi investor 7) Membayar pajak 8) Perdagangan lintas batas 9) Melaksanakan kontrak 10) Menutup bisnis. 4.5.2 The World Economic Forum Global Competitiveness Index (GCI) The WEF’s Global Competitiveness Index (GCI) merupakan pengukuran daya saing yang banyak digunakan dan banyak diketahui, yaitu di 133 negara. Arab Saudi adalah negara yang pertama kali diukur peringkatnya. GCI mengevaluasi 103 parameter, campuran data baik statistik maupun fakta dan manajemen persepsi (melalui
survey),
untuk
mengukur
kualitas
lingkungan
makroekonomi
dan
mikroekonomi. Parameter ini terdiri dari 9 pilar daya saing, yaitu institusi, infrastruktur, kerangka makroekonomi, pendidikan dan kesehatan, pendidikan dan pelatihan yang lebih tinggi, pasar yang efisien, kemampuan untuk memanfaatkan teknologi yang ada, proses produksi yang canggih, dan inovasi. 4.5.3 United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) - World Investment Report The World Investment Report focus pada tren Foreign Direct Investment (FDI) di dunia, baik secara regional maupun negara, untuk mengukur bagaimana kontribusinya dalam pembangunan. Sejumlah isu nya antara lain: 54
Analisis tren FDI pada tahun sebelumnya, dengan penekanan pada implikasi
•
pembangunan •
Peringkat korporasi transnasional terbesar di dunia
•
Analisis mendalam dari topik terpilih yang berhubungan dengan FDI
•
Analisis kebijakan dan rekomendasi
4.5.4 A Comparison of Competitiveness Assessment Tools Tool
Description
Labor Adjusted
Contribution
of Quick
to GNP/percent
GNP
Strengths
Weaknesses
measure
of Does
not
measure
of relative importance and competitiveness
work
force potential
employed in sector
employment factors;
effect
does
directly
not
consider
global
competitors;
assesses
past,
not
potential, importance of sectors Boston
Assesses
local Relatively
Matrix
industry growth and reasonable market
share more
against
global assessment
market share
quick Does proxy
detailed
not
for address
directly factors
tools; influencing
data
can competitiveness;
easily be collected for assessment is based secondary sources
on historical data, not potential
Porter's Five Based
on
five Assessment based on Assessment
Forces and
interacting
factors factors
Porter's
critical
Diamond
industry to become competitiveness;
Framework
and
for
influencing complicated
an industry
and,
where information is
remain assessment location
is
not readily available, it suggest can
of
driving collect
take
time
to
data; 55
competitive
constraints to industry substantial competitiveness
analysis
required
before
industry selection
End Market Interviews
with End markets define the Requires
knowledge
Informants
end- universe
the
end-market
global buyers;
this
highest-value market
market of
buyers opportunities;
regarding trends
of
future buyers
and
are information
their knowledgeable
of
the available
procurement
competition and factors subjective
strategies
and
trends
likely
is
not
in-country;
to
influence the market-information that is critical to
assessing
competitiveness Investor
Maps opportunities, Complementary to value Costly as an industry
Road Maps
constraints
and chain
risks to investment level
analysis, of
with an emphasis identified on
the
on not consider industry
opportunities efficiency
business and constraints
enabling
from
resulting
vertical
and
horizontal
environment,
and
the existence and quality
detail
high selection tool; does
of
infrastructure
coordination; does not consider glob
critical and
services
56
4.6 Pengukuran Daya Saing 4.6.1 Real Effective Exchange Rate Pengukuran dengan menggunakan REER diadopsi oleh Bank Sentral Trinidad dan Tobago pada awal tahun 1980-an untuk mengukur daya saing internasional terhadap produl lokal. Pengukuran ini kemudian lebih jauh digunakan pada pertengahan tahun 1990-an ketika indeks rendah. REER diindakisakan dengan menurunkan indeks NEER (nominal effective exchange rate) dengan indeks harga relatif atau tingkat inflasi efektif (effective inflation rate). NEER menunjukkan nilai mata uang relatif terhadap nilai mata uang dalam hal mitra perdagangan dalam periode tertentu. EIR mengukur tingkat inflasi domestik terhadap mitra perdagangan. Secara matematis, indeks tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
Dimana: Sit - represents the nominal exchange rate index of the home currency at time t in terms of an index of the ith countries currencies. (Relative to the base period) wi - is the appropriate trade weight assigned to currency i. Pit - represents an index of price relatives between Trinidad and Tobago and its i trading partners at time t th. (Relative to the same base period as Sit). REER bisa dihasilkan dari sejumlah perubahan dalam indeks yang kemudian memiliki dua dampak, yaitu exchange rate effect (ER) yang diukur dari indeks NEER dan inflation effect (IR), yang diukur dari indeks EIR. Indeks REER menunjukkan kuat atau tidaknya daya saing. 4.6.2 Unit Labour Cost Bank Sentral telah melakukan ekspansi indikator daya saing termasuk indeks upah buruh di Trinidad dan Tobago yang merupakan pelengkap terhadap pengukuran yang sudah ada. Lebih jauh lagi, indeks upah buruh ini akan menjadi bagian dari landscape statistik Bank dan akan diperhitungkan tiap tiga bulanan. Upah buruh juga menunjukkan indikasi tekanan biaya dalam sejumlah sektor atau 57
perekonomian. Lebih spesifik, upah buruh dapat didefinisikan sebagai rasio kompensasi terhadap produktivitas buruh dan dapat dituliskan seperti di bawah ini: ULCn = Wn / (Q / H) Dimana: Wn = represents the nominal wage rate, Q = represents domestic production H = denotes the number of hours worked (Q / H) is equal to labour productivity (P) Dengan demikian, ULCn secara langsung berhubungan dengan tingkat upah nominal dan juga terhadap produktivitas buruh. 4.6.3 Relative Unit Labour Cost Pergerakan indeks ULC di Trinidad dan Tobago dalam menghitung daya saing internasional hanya terbatas karena daya saing merupakan konsep yang relatif. Maka dari itu pengukuran ULC mencakup upah buruh (sektor manufaktur) mitra perdagangan dan juga menggunakan metode kedua, indeks rata-rata gaji per minggu yang dibagi dengan indeks produktivitas, pengukuran ini disebut dengan Relative Unit Labour Cost (RULC). Tingginya indeks RULC mengindikasikan rendahnya daya saing internasional terhadap mitra perdagangan. Bagi Trinidad dan Tobago, indeks RULC dikalkulasikan sebagai rasio indeks upah buruh terhadap rata-rata bobot upah buruh untuk mitra perdagangan besar.
where the numerator represents the unit labour cost index for Trinidad and Tobago at time t and the denominator represents a geometric weighted average of the unit labour cost indices of the jth partners at time t. Wj is the trade weights assigned to the jth trading partners.
58
Bobot ini sama dengan total bobot perdagangan yang digunakan pada penghitungan REER. Untuk perbandingan upah buruh internasional dalam kasus Trinidad dan Tobago lebih baik dikonversi dalam US dollar, dalam hal indeks nilai tukar. Keterbatasan data merupakan suatu hal yang menjadi tandatangan dalam melakukan perhitungan indeks RULC. Bagi sejumlah negara, data tersebut tidak tersedia, contohnya data yang didapatkan tidak reliabel bagi dua komponen indeks tersebut. Rendahnya data frekuensi (tahunan) dipisahkan menjadi data frekuensi bulanan menggunakan teknis Lisman dan Sandee yang menciptakan serangkaian data tiga bulanan. . 4.6.4 Terms-of-Trade The term-of-trade didefinisikan sebagai rasio harga ekspor terhadap impor, menggunakan definisi konvensional pendekatan net barter. Harga ekspor dan impor untuk Trinidad dan Tobago tidak dihitung secara langsung, maka rata-rata nilai dihitung oleh CSO sebagai yang terwakili. Maka dari itu indeks terms of trade dihitung dengan membagi indeks rata-rata nilai ekspor dengan indeks rata-rata nilai impor. Hal tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
Dimana P
t
x
and P
t
m
represent the index of average unit values of export and imports,
respectively at time t and relative to a base year, (1995). Rasio ini bisa menggambarkan kemungkinan peningkatan dalam kompetisi internasional. Pendekatan net barter mengasumsikan bahwa dampak kondisi pasar yang berubah-ubah dalam suatu negara dipengaruhi tidak hanya oleh harga tetapi juga oleh volume. Pengaruh perubahan volume perdagangan dapat dilihat dari pendekatan pendapatan yang mengalikan indeks terms of trade (net barter) dengan volume perdagangan.
59
4.6.5 Composite Indices Pada beberapa waktu belakangan sejumlah institusi dan negara telah mengembangkan composite indices (indeks gabungan) dengan pengukuran atau penghitungan daya saing nasional yang lebih luas. Penghitungan yang paling populer adalah yang dibuat oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) dan dipublikasikan di Laporan Daya Saing Global. Penghitungan tersebut adalah indeks pertumbuhan daya saing (GCI) dan indeks daya saing mikroekonomi (MIC) atau indeks daya saat ini (CCI) atau indeks kompetitif bisnis (BCI). GCI mengukur kapasitas ekonomi nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan selama jangka menengah. Agregasi GCI terdiri dari tiga komponen utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi untuk jangka menengah dan panjang, yaitu kapasitas teknologi, kualitas institusi publik dan kualitas lingkungan makroekonomi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara survei. Indikator-indikator yang ada memformulasi indeks teknologi termasuk inovasi (anggaran untuk riset dan pengembangan, paten dan karakteristik pendaftaran), transfer teknologi (termasuk investasi asing langsung sebagai sumber teknologi baru) dan teknologi komunikasi informasi (termasuk akses internet di sekolah, penggunaan ICT dikaitkan dengan hukum, sambungan telpon dan selukler per kapita dan jumlah komputer per capita). Indeks kedua, CCI/MIC/BCI dikembangkan oleh Michael Porter dan didasarkan pada diamond framework dalam daya saing. Indeks ini menekankan pada fundamental mikroekonomi dan untuk menghitung kondisi yang menentukan tingkat produktivitas suatu bangsa. Indeks ini juga dikembangkan dengan 2 sub indikator, yaitu indeks pengalaman perusahaan (company sophistication index) dan indeks kualitas lingkungan bisnis. Informasi untuk mendapatkannya adalah dari data survei Executive Opinion Survey. Sejumlah variabel menentukan analisis faktor yang digunakan untuk menghitung indeks yang dirata-rata dari estimasi BCI. Bobotnya ditentukan dengan menggunakan koefisien regresi multiple dari sub indeks pada GDP per kapita.
60
4.7
Daya Saing Nasional Daya saing nasional dari suatu negara sering dikaitkan dengan beberapa
parameter. Misalnya, daya saing nasional dikaitkan dengan nilai tukar mata uang dan tingkat suku bunga yang diberlakukan dan anggran pemerintah. Ada juga yang mengkaitkan daya saing nasional suatu negara dengan jumlah angkatan kerja yang berlimpah dan murah. Lainnya, mengaitkan daya saing nasional dengan kelimpahan dan keragaman sumberdaya alam. Atau juga, mengkaitkan daya saing nasional dengan kebijakan pemerintah dalam pencapaian target ekspor, promosi dagang, proteksi impor dan subsidi eskpor. Bahkan, ada yang mengkaitkan daya saing nasional dengan praktek manajemen perusahaan, termasuk didalamnya relasi antara manajemen dengan pekerja. Singkatnya, terdapat banyak pendekatan yang diterapkan untuk memahami dan mendefinisikan daya saing nasional. Dari hasil riset dan studinya terhadap ekonomi negara-negara di dunia, Michael E. Porter, ekonom kondang dari Harvard University, menyimpulkan bahwa sumber utama peningkatan daya saing adalah produktivitas Kualitas Lingkungan SNI Penguat Daya Saing Bangsa dan rata-rata peningkatan produktivitas. Lebih jauh lagi, Porter menandaskan bahwa sektor industri lah yang menjadi pendorong utama daya saing nasional. Melalui sektor industri, sumberdaya manusia, modal dan kekayaan alam dikelola dan dimanfatkan untuk memproduksi barang/jasa pada tingkat biaya yang efisien dan menjualnya ke pasar secara kompetitif. Menurut Porter, ada tiga faktor penentu yang mempengaruhi daya saing suatu negara lihat
61
Faktor-faktor Penentu Daya Saing
Disimpulkan oleh Porter bahwa kelimpahan sumberdaya alam tidak cukup untuk menciptakan daya saing suatu negara yang berujung pada standar hidup (living
standard)
(macroeconomic
yang
tinggi.
competitiveness)
Sementara, hanya
daya
memberikan
saing
makroekonomi
dukungan
terhadap
produktivitas suatu negara. Bagi Porter, produktivitas sepenuhnya tergantung pada perbaikan kapabilitas mikroekonomi dari suatu negara dan kecanggihan industri lokal. Jadi, sesungguhnya industrilah yang punya kaitan langsung dalam menciptakan lapangan pekerjaan, menambah penghasilan pekerja dan berperan penting dalam mengatasi kemiskinan. Ekonomi suatu negara yang memiliki daya saing adalah ekonomi yang ditopang dan digerakkan oleh industri yang kuat untuk melahirkan dari rahimnya perusahaan-perusahaan kelas dunia, yang tidak hanya mampu menahan gempuran pesaing-pesaing asing di pasar domestik tapi juga 62
mampu melakukan penetrasi dan memenangkan persaingan di pasar-pasar internasional. Perusahaan-perusahaan inilah yang menjadi ujung tombak dari daya saing nasional. Sebab, bagaimanapun yang bersaing secara head-to-head dengan produk asing adalah produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahan ini di manapun produk-produk tersebut dipasarkan baik di pasar domestik maupun di pasar luar negeri. Pada intinya, daya saing nasional sangat tergantung pada produktivitas perusahaan-perusahaan di berbagai industri dalam memproduksi barang secara lebih kompetitif. Akan tetapi, peranan pemerintah dalam menumbuhkan daya saing suatu negara tidak bisa dikesampingkan. Pemerintah memiliki yang peran sangat penting, utamanya dalam mendesain dan mengimplementasikan berbagai kebijakan yang menawarkan lingkungan usaha kondusif kepada dunia bisnis. Pemerintah berperan menciptakan iklim usaha untuk memungkinkan dunia usaha tumbuh kuat dan bergerak lincah dalam berkompetisi dengan produsen asing. Begitu juga, sektor publik dan masyarakat harus memposisikan diri dalam memperkuat sektor industri. Sektor publik
diharapkan
mampu
menyediakan
berbagai
infrastruktur
dan
pengelolaannya serta tingkat pelayanan yang cepat, akurat dan murah kepada sektor industri. Sementara itu, masyarakat berperan menyerap produk yang dihasilkan oleh sektor industri melalui kekuatan
daya beli dan pola konsumsi yang dimiliki.
Masyarakat juga diharapkan menmbangun dan memperkuat aspek budaya (termasuk pendidikan) dan mentalitas/spiritual para warganya agar dapat melahirkan tenaga-tenaga kerja yang trampil, ulet dan berintegritas bagi sektor industri. Dari perspektif ini menjadi jelas bahwa membangun daya saing nasional suatu negara bukanlah persoalan sederhana. Di sana mutlak perlu ditunjang oleh industrial structure yang tangguh. Yakni, suatu
bagunan industri yang digerakan oleh
perusahaan-perusahaan yang kokoh dalam sumber pendanan/keuangan, ditopang oleh sumberdaya manusia kompeten, bergerak lincah dan cepat karena didukung kebijakan
pemerintah
yang
kondusif
terhadap
lingkungan
usaha,
memiliki
kemudahan akses bahan baku, menguasai teknologi secara handal, kuat dalam jaringan distribusi, mampu mengembangkan penelitian dan pengembangan terdepan untuk menelurkan produk inovatif, dan terakhir memiliki kepedulian terhadap kelangsungan lingkungan hidup (sustainable development). 63
Mencermati kondisi Indonesia, dalam presentasi Improving Indonesia’s Competitiveness kepada Presiden RI di Boston pada 28 September 2009, Porter memberi beberapa catatan mengenai kekuatan dan kelemahan lingkungan bisnis Indonesia. Kekuatan Indonesia pertama-tama terletak pada tersedianya jumlah angkatan kerja yang besar dengan tingkat kemampuan dasar yang kuat. Kedua, terlaksananya program reformasi hukum/perundang-undangan dan peraturan yang menciptakan iklim usaha kondusif bagi kalangan dunia usaha. Ketiga, terciptanya sistem keuangan solid yang menjamin ketersedian cadangan devisa memadai untuk menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya mata uang dari negara-negara kuat. Keempat, ketersedian Indonesia untuk terus membuka pasarnya bagi perdagangan bebas dan investasi luar negeri. Kelima, tersedianya ruang gerak yang luas bagi pembangunan cluster, khususnya di sektor- sektor industri berbasis sumberdaya alam yang secara berlimpah dimiliki Indonesia. Hal terakhir ini bisa memberikan keunggulan komparatif (comparative adventage) bagi Indonesia. Sementara itu, Porter mencatat setidaknya ada 10 hal yang harus mendapat perhatian dan segera dibenahi serta diperbaiki oleh Indonesia, yakni: o
Infrastruktur komunikasi dan logistik.
o
Krisis dalam menyediakan pasokan listrik yang andal.
o
Kekakuan pasar tenaga kerja.
o
Keruwetan dan kompleksitas regulasi dan prosedur kepabean.
o
Sistem keuangan yang masih kurang menyentuh sektor riil.
o
Tingkat mutu pendidikan.
o
Kepastian hukum yang kurang memadai bagi investor, khususnya di tingkat provinsi
o
Dominasi kelompok usaha besar (konglomerat) dan BUMN.
o
Pembangunan dan kolaborasi industri cluster yang masih lemah.
o
Kekurangan tenaga kerja di tingkat ahli dan lemahnya pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
64
Dalam
Gambar
Upaya
Perbaikan
Lingkungan
Usaha,
diperlihatkan
bagaimana skema perbaikan lingkungan dunia usaha. Skema ini merupakan pendekatan generik yang ditawarkan Porter untuk memperbaikan lingkungan usaha di Indonesia, khususnya terkait dengan 10 isu yang telah diajukan. Sehubungan dengan hal tersebut, Indonesia
harus mampu memperbaiki lingkungan bisnis
menjadi lebih kondusif bagi investor baik dalam negeri ataupun luar negeri agar terjadi kegiatan riil. Dalam persaingan industri/produk, tiga persyaratan umum harus dipenuhi agar dapat keluar menjadi pemenang persaingan, yaitu: o
Menghasilkan suatu barang atau jasa dengan tetap memperhatikan mutu pada tingkat biaya yang paling efisien sehingga bisa bersaing dalam harga jualnya.
o
Diferensiasi dalam pengertian bahwa produk yang dihasilkan mempunyai keunikan tersendiri dan mampu secara jitu mengkomunikasikan mutu dan harga produk untuk membangun dan menciptakan superior perceived value di benak konsumen.
o
Cluster development dengan fokus
untuk mengerjakan sesuatu bidang atau
produk tertentu yang berbasiskan kelimpahan sumberdaya yang dimiliki yang mempunyai keunggulan komparative ataupun kompetitif sehingga menghasilkan produk yang 65
6. berbeda dan “superior perceived value”. Laporan lengkap daya saing Indonesia menurut GCI lihat Tabel. Indek Kompetitif Global Indonesia 2010-2011.
Kenaikan peringkat daya saing Indonesia ini terutama disebabkan oleh meningkatnya peringkat pada indikator macroeconomic environment (dari peringkat 52 menjadi 34), health and primary education (dari 82 menjadi 62), quality of overall infrastructure (dari 96 menjadi 90), intellectual property protection (dari 67 menjadi 58), national savings rate (dari 40 menjadi 16), effectiveness of anti-monopoly policy 66
(dari 35 menjadi 30), dan extent and effect of taxation (dari 22 menjadi 17). Begitu pula, beberapa indikator pada pilar kepuasan bisnis (business sophistication) juga meningkat, yaitu local supplier quantity (dari 50 menjadi 43), value chain breadth (dari 35 menjadi 26), control of international distribution (dari 39 menjadi 33), dan production process sophistication (dari 60 menjadi 52). Dalam rangka mendorong daya saing nasional, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia) menyimpulkan dalam Roadmap Pembangunan Ekonomi Indonesia 2010-2025 bahwa terdapat sepuluh klaster industri yang akan mampu menjadi industri unggulan Indonesia. Sepuluh klaster tersebut, oleh Kadin dibagi dalam tiga kelompok klaster, yakni empat klaster pertama merupakan kumpulan industri unggulan pendorong pertumbuhan ekonomi. Adapun industri tersebut meliputi industri makanan dan minuman, industri tekstil dan produk tekstil dan alas kaki, industri elektronikadan komponen elektronika, terakhir industri alat angkut dan komponen otomotif. Lantas, pada tiga klaster yang kedua adalah industri unggulan yang masih memerlukan pendalaman pada struktur industrinya, yang meliputi industri alat telekomunikasi dan informatika (industri ICT), industri logam dasar dan mesin dan industri petrokimia. Sementara tiga klaster yang ketiga ialah industri unggulan sumber penerima devisa, yang terdiri dari industri pengolahan hasil pertanian, peternakan dan kehutanan, industri pengolahan hasil laut dan kemaritiman serta industri berbasis tradisi dan budaya. Fokus pada pengembangan dan pembangunan sepuluh klaster industri di atas diharapkan menjadi tulang punggung dan mesin mendorong bagi daya saing nasional. Selain memperkuat daya saing melalui pembangunan kesepuluh klaster industri tersebut, Indonesia juga harus memperhatikan kekuatan dan potensi ekonomi daerah yang memiliki sumberdaya alam berlimpah. Sangat disayangkan, bahwa sejauh ini penggalian dan pemanfatan potensi daerah masih belum digarap secara optimal. Padahal ekonomi daerah menyimpan kekuatan yang luar biasa besar untuk memberikan kontribusi bagi daya saing nasional. Pemanfaatan jagung yang dilakukan oleh Provinsi Gorontalo atau Bali dengan pariwisatanya adalah contoh sukses pengembangan ekonomi berbasiskan daerah. Dalam hal ini, perlu ditingkatkan
sinergi
dan
sinkronisasi
kebijakan
pusat
dan
daerah
dalam
pembangunan dan pengembangan ekonomi daerah. 67
Dukungan pembiayan terhadap industri juga menjadi perhatian dalam peningkatan daya saing. Menurut penilaian pelaku usaha, perhatian perbankan terhadap sektor industri tergolong minim sehinggga pembiayaan untuk revitalisasi permesinan/pabrik sangat sulit diperoleh. Padahal revitalisasi sangat penting dilakukan untuk meningkat daya saing karena banyak diantara industri nasional yang mesin-mesinnya sudah tua. Di sini pihak perbankan perlu lebih memberi prioritas pendanaan untuk permodalan revitalisasi permesinan/pabrik bagi dunia usaha. Perbankan juga perlu didorong untuk lebih aktif membantu dunia usaha dalam hal pembiayaan ekspor. Salah satu pilihan dalam mendukung hal ini adalah pendirian bank khusus industri (contohnya seperti BEI untuk pembiayaan ekspor), yang diharapkan bisa memahami risiko dan kondisi perdagangan ekspor yang dilakukan pelaku industri. Dengan demikian, ada kesamaan persepsi antara perbankan dan pelaku industri. Pembenahan sektor infrastruktur juga menjadi salah satu kunci utama peningkatan daya saing nasional. Dalam konteks ketersedian infrastruktur ini sektor industri banyak dihadapkan pada persoalan yang kompleks, utamanya akses jalan dari/ke pelabuhan dan kawasan industri dan jaminan pasokan listrik. Upaya percepatan realisasi infrastruktur yang sempat tertunda harus segera diselesaikan, misalnya percepatan program pembangunan proyek listrik 10.000MW. Mengarahkan kebijakan energi nasional bagi kepentingan industri domestik juga perlu mendapat penekanan. Biarpun saat ini telah menjadi net importir minyak, namun Indonesia masih memiliki cadangan energi dari batu bara dan gas yang besar. Sayangnya, sebagian besar energi yang masih ada ini belum diarahkanuntuk kepentingan memperkuat industri dalam negeri. Baik batu bara maupun gas bumi lebih banyak diekspor ke luar. Ironisnya, industriindustri asing yang dihidupkan oleh gas dan batu bara dari Indonesia ini memproduksi berbagai produk untuk kemudian menjual produk-produk tersebut ke pasar Indonesia dengan tingkat kompetitif yang tinggi. Di sini dibutuhkan kebijakan energi yang memihak industri nasional dalam kemudahan akses atas ketersedian energi agar dapat memproduksi produk dengan tingkat yang lebih kompetitif dengan produk yang dihasilkan oleh negara importir energi dari Indonesia. Pengelolaan birokrasi, utamanya terkait dengan perizinan dan 68
persetujuan yang dibutuhkan para pelaku industri, juga perlu ditingkatkan efisiensi dan efektivitasnya. Indonesia dikenal memiliki sistem birokrasi dengan tingkatan terbanyak dan terkompleks. Ini menjadi lahan subur bagi praktek korupsi, yang mengakibatkan ekonomi berbiaya tinggi. Meningkatkan kemudahan dan kenyaman pelayanan birokrasi dalam perizinan menjadi concern penting untuk peningkatan daya saing nasional. Pengembangan riset dan teknologi memberi kontribusi signifikan terhadap peningkatan daya saing nasional. Di sini diperlukan sinkronisasi kebijakan dalam pengembangan riset dan teknologi dengan fokus dan arah yang sejalan dengan kebutuhan sektor industri. Perlu juga diberlakukan insentif bagi industri yang melakukan pengembangan riset dan teknologi
guna menarik investasi dengan
teknologi yang lebih maju. Kebijakan insentif ini akan merangsang sektor industri untuk mengakselerasi proses penguasaan teknologi maju baik lewat kerjasama dengan lembaga riset dan teknologi nasional maupun internasional. 4.8. Standar untuk Peningkatan Daya Saing Selain berbagai langkah peningkatan daya saing nasional sebagaiman telah diutarakan di atas, langkah yang dinilai dan dipandang strateggis dalam meningkatkan daya saing
nasional adalah penerapan standar. Sesungguhnya
banyak produk-produk industri nasional berdaya saing cukup bagus, bahkan mampu menembus pasar negara maju.
Namun, mereka sering kehilangan daya saing
akibat tak adanya standardisasi. Bahkan, banyak di antaranya tidak diizinkan masuk ke pasar suatu negara karena tidak menerapkan standar. Contoh kasus mengenai penolakan terhadap produk Indonesia terkait dengan penerapan standar oleh negara tujuan ekspor sudah banyak terjadi. Misalnya saja, penolakan yang terjadi pada produk perikanan yang dianggap belum memenuhi persyaratan kesehatan. Pada bulan Maret 2007, ekspor udang windu dan komoditas perikanan indonesia sebanyak 16,2 ton (sekitar 1,2 M) ditolak oleh Jepang. Lalu, embargo yang dilakukan oleh Uni Eropa dengan CD No7/61/EC sejak tahun 2007 untuk berbagai produk kekerangan dari Indonesia, sehingga menyebabkan potensi kerugian bagi pelaku usaha kekerangan sebanyak 188 Milyar. Kasus terbaru adalah ditolaknya ekspor udang oleh Uni Eropa pada awal Januari 2009. Saat itu, Food 69
Safety Authorithy (FSA) Inggris menuding udang yang diekspor oleh CP Prima (perusahaan nasional yang bergerak di sektor penambakan udang) mengandung antibiotik
jenis
nitrofurans,
chloramphenicol,
malachite
green,
dan
Vibrio
parahaemolyticus. Standar yang dipersyaratkan oleh negara tujuan produk ekspor Indonesia menjadi barrir to entry bagi produk-produk nasional tidak hanya di sektor perikanan sebagaimana disebut di atas, tetapi juga di sektor-sektor lain, seperti coklat, tektil atau pakaian, kerajinan rotan dan sebagainya. Kasus lain adalah penerapan aturan impor barang-barang yang mengandung bahan kimia oleh masyarakat Uni Eropa. Aturan tersebut berupa identifikasi menyangkut Registration, Evaluation, Authorization, and Restriction of Chemical (REACH). Setiap produk ekspor yang masuk ke pasar Eropa harus disertai penjelasan lengkap tentang kandungan bahan kimia ini. Padahal di Indonesia belum ada laboratorium uji melamin dan laboratorium penguji terdekat adanya di Hong Kong. Sedangkan untuk penyediaan infrastruktur laboratorium bahan kimia yang bersertifikat juga sulit. Laboratorium untuk pengujian bahan-bahan kimia harus memiliki sertifikat Good Laboratory Practice dan harus terkoneksi dengan laboratorium bersertifikat sama dengan yang ada di seluruh dunia. Akibatnya, sejumlah produk Indonesia gagal masuk ke Uni Eropa, tepatnya Finlandia, seperti pakaian, tekstil, serta kerajinan tangan. Produk Indonesia tersebut diketahui menggunakan unsur bahan kimia, tetapi tidak memiliki registrasi REACH.
70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Daya saing perekonomian Indonesia akan membaik jika semua indikator makroekonomi menunjukkan kestabilan dan perbaikan, serta adanya keseriusan pemerintah untuk memberikan jalan bagi perbaikan perekonomian Indonesia. Seperti terlihat dari hasil penelitian mengenai daya saing di Indonesia menggunakan variabel yang merupakan variabel makroekonomi. Bahwa masih ada beberapa bagian yang perlu ditingkatkan dan menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Terdapat berbagai cara untuk mengukur daya saing, tetapi perlu dilihat indikator mana saja yang dapat digunakan untuk meneliti daya saing dan ketahanan pada kajian berikutnya. Perlu dibentuk industrial based minded agar pemerintah lebih memperhatikan lingkup mikro, terutama jenis usaha yang diartikan oleh Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010, yang terdiri dari empat jenis yaitu barang, jasa lainnya, konsultansi dan konstruksi. Diperlukan kemandirian fiskal, menciptakan iklim investasi asing yang baik dan perbaikan infrastruktur untuk mengurangi high cost economy dan menciptakan daya saing dan ketahanan sektor – sektor yang disebutkan dalam Peraturan Presiden No. 54 tahun 2010. 5.2 Saran Melalui penulisan laporan kali ini maka dapat diketahui beberapa cara untuk mengukur daya saing, terutama dari beberapa kajian yang telah dilakukan untuk menilai daya saing secara makroekonomi, selain itu juga didapatkan cara untuk melihat daya saing industri di Indonesia. Maka dari itu, timbullah pemikiran berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah, bagaimana kita dapat mengukur daya saing penyedia barang, jasa lainnya, konstruksi serta konsultansi. Dimungkinkan ada variabel atau indikator lainnya yang dapat kita jadikan suatu ukuran dalam menilai daya saing, melalui laporan inilah maka kita bisa melanjutkan kajian yang lebih spesifik mengenai daya saing dan ketahanan sektor barang, sektor jasa lainnya, sektor konstruksi dan sektor konsultansi dengan kaitannya dalam penghadaan di pemerintahan Indonesia. 71
Diperlukan untuk melihat dua sisi yaitu dari sisi mengetahui daya saing penyedia di Indonesia untuk masuk ke pasar pengadaan barang Internasional, dan ketahanan penyedia sendiri dalam menerima gempuran penyedia asing yang ikut serta dalam pengadaan barang/jasa pemerintah Indonesia. Untuk tahun selanjutnya berdasarkan grand design kajian iklim usaha yang telah dipaparkan sebelumnya, maka akan lebih baik difokuskan kepada sektor yang dianggap sudah lebih mampu bersaing dan memiliki ketahanan untuk dikompetisiskan secara global. Maka selanjutnya akan dilakukan kajian dari sektor konstruksi dan juga konsultansi.
72
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Baylis, John and Steve Smith. 2001. The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press Couloumbis, Theodore, James H. Wolfe. 1986. Pengantar Hubungan Internasional: Power and Justice. Bandung: Putra Bardin Curry, Jeffrey Edmund. 2001. Memahami Ekonomi Internasional. Jakarta: Victory Jaya Abadi Djafar, Zainuddin. 2008. Indonesia, ASEAN dan Dinamika Asia Timur: kajian Perspektif Ekonomi-Politik. Jakarta: Pustaka Jaya Dougherty, James E and Robert L. Pfaltzgraff. 1997. Contending Theories of International Relations. United States: Addison-Wesley Educational Publishers Gilpin, Robert. 1987. The Political Economy of International Relations. New Jersey: Princeton University Press Griffiths, Martin and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key Concepts. New York: Routledge Krugman, P. (1994). Competitiveness: A Dangerous Obsession. Foreign Affairs, Vol. 73,No. 2. Perwita, AA. Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Todaro, Michael P.. 1997. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga
Majalah dan Jurnal: Majalah Trust No. 11 tahun VII edisi 11-17 Januari 2010 Outlook Ekonomi Indonesia 2008 – 2012, Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia. Economic Review No. 218 Desember 2009 Asian Development Outlook. (2003). Competitiveness in Developing Asia. Balgobin, R. (2004). Business Climate: An Overview of the Business Climate in Trinidad and Tobago, Draft Copy. Institute of Business. 73
Bennett, K. (2002). Exchange Rate Regimes and International Competitiveness: The Caricom Experience. Clements, Kenneth W. and Yihui Lan (2005). A Stochastic Measure of International Competitiveness. Business School The University of Western Australia. Coker, K. (1998). An Historical Review of the Terms of Trade, 1968-1998 for Trinidad and Tobago. The Balance of Payments of Trinidad and Tobago, 1998. Colthrust, P. (1997). A New Effective Exchange Rate for Trinidad & Tobago. Mimeo. Ellis, L. (2001). Measuring the Real Exchange Rate: Pitfalls and Practicalities. Felipe, J. (2005). A note on Competitiveness, Unit Labor Costs and Growth: Is “Kaldor’s paradox” A figment of Interpretation? CAMA Working Paper 6/2005. Henry, C. (2001). Measuring the Competitiveness of the Jamaican Economy. WorkingPaper. Keyder, N., Saglam, Y. and Ozturk, M. (2004). International Competitiveness and Unit Labor Cost Based Competitiveness Index. Lall, S. (2001). Comparing National Competitive Performance: An Economic Analysis of World Economic Forum’s Competitiveness Index. Working Paper No. 61. Neary, J. Peter (2006). Measurring Competitiveness. University College Dublin and CEPR
Dokumen Resmi: Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Ditjen Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri. 2003. Sekilas WTO
Situs Resmi: http://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gp_gpa_e.htm http://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gproc_e.htm http://www.iie.com
74
75