BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran pertumbuhan kawasan perkotaan sangat besar dalam persebaran dan pergerakan penduduk. Keberadaan berbagai kegiatan ekonomi sekunder dan tersier di bagian wilayah tersebut serta fungsi pelayanan menjadi daya tarik bagi penduduk. Di sisi lain, pemusatan kegiatan, fasilitas, penduduk dan berbagai keputusan yang menyangkut publik juga merupakan faktor-faktor yang menarik bagi kegiatan ekonomi. Pertumbuhan kawasan perkotaan Indonesia ditandai dengan laju pertumbuhan penduduknya yang mencapai 4,60% pertahun selama periode tahun 2000-2010. Laju pertumbuhan penduduk tingkat nasional dan wilayah perdesaan sementara itu masih di bawah 2%. Laju pertumbuhan penduduk perkotaan ini kurang lebih dua setengah kali laju pertumbuhan penduduk total Indonesia (BPS, 2010). Proses urbanisasi sebagai salah satu proses perkembangan wilayah yang semakin menonjol akan semakin berpengaruh nyata dalam proses penataan ruang di sekitar wilayah perkotaan. Urbanisasi dari dimensi fisik keruangan, dapat dipandang sebagai akar terjadinya urban sprawl yang tidak terkendali (Marwasta, 2010). Perkotaan Yogyakarta dalam kurun waktu 30 tahun (1970-2000) merambah 47,8 Km2 lahan yang sebagian besar merupakan sawah produktif di wilayah administratif kota maupun kabupaten-kabupaten disekitarnya. Sepanjang tahun 1990-2000, lahan padi seluas 18,7 Km2 hilang dan dirubah menjadi lahan terbangun (Marwasta, 2010). Dinamika perubahan penggunaan lahan di periurban menyebabkan berkurangnya keberlanjutan lingkungan pertanian sehingga produksi pertanian tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan pangan masyarakat setempat (Kurniawan dan Sriyanto, 2008). Wilayah pinggiran Kota Yogyakarta mengalami perubahan dari kawasan pertanian menjadi kawasan perdagangan, pendidikan dan perumahan dalam skala kecil maupun besar. Kemunculan perumahan-perumahan skala besar yang dihuni
1
oleh golongan menengah ke atas diikuti oleh pembangunan kawasan komersial untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat perumahan tersebut. Hal ini membutuhkan jalan luas dan lokasi-lokasi strategis yang dalam prosesnya selalu diiringi dengan konversi lahan-lahan pertanian produktif, terutama lahan sawah. Di sisi lain, Kota Yogyakarta sebenarnya memiliki latar belakang tata ruang yang terkonsep dengan kearifan lokal. Unit-unit kegiatan kota pada awalnya diletakkan di daerah pusat kota berdasarkan pola berlapis sebagai konsep kosmogoni kota agar tercapai keselarasan, keselamatan, ketentraman dan kemakmuran (RPJPD Kota Yogyakarta 2005-2025). Hal ini mirip dengan konsep smart growth dalam perencanaan perkotaan dan teori transportasi yang memusatkan pertumbuhan di pusat kota untuk menghindari urban sprawl. Smart growth mengutamakan keberlanjutan wilayah jangka panjang dan bertujuan mencapai
kesan
yang
unik
dari
masyarakat
dan
tempat
(http://en.wikipedia.org/wiki). Oleh sebab itu, Kota Yogyakarta dikenal dengan banyak predikat; kota budaya, kota perjuangan, kota pendidikan dan kota pariwisata (RPJPD Kota Yogyakarta 2005-2025). Kota Yogyakarta sebagai kota dengan berbagai predikat hendaknya selalu dapat memenuhi kriteria-kriteria yang membentuknya dan berkembang dengan tetap memiliki nuansa jiwa sejarah budaya warisan (RPJPD Kota Yogyakarta 2005-2025). Namun, Kota Yogyakarta dan wilayah perkembangannya cenderung berkembang secara anti-smart growth (Marwasta, 2010). Perkembangan tersebut menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji lebih mendalam tentang bagaimana dinamika proses urbanisasi yang terjadi di Perkotaan Yogyakarta serta faktorfaktor penentunya. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan rumusan pengelolaan perkotaan yang selaras dan serasi sehingga karakter kehidupan dan wujud kota tetap dapat dilestarikan.
2
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dan untuk memperjelas masalah yang ada dalam penelitian ini, maka disusun beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1.
apa saja faktor yang berpengaruh terhadap dinamika urbanisasi di Perkotaan Yogyakarta dan bagaimana hubungan-hubungan yang ada di dalamnya?
2.
bagaimana tingkat, perkembangan dan dinamika urbanisasi di Perkotaan Yogyakarta secara spasial?
3.
bagaimana strategi pengelolaan yang bisa diterapkan pada urbanisasi Perkotaan Yogyakarta?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengkaji secara mendalam tentang dinamika urbanisasi di Perkotaan Yogyakarta. Operasional penelitian ini secara rinci bertujuan untuk: 1. menganalisis faktor-faktor penentu tingkat urbanisasi di perkotaan Yogyakarta. 2. mengidentifikasi tingkat, perkembangan dan dinamika spasial urbanisasi di perkotaan Yogyakarta. 3. merumuskan usulan strategi bagi pengelolaan urbanisasi perkotaan Yogyakarta.
1.4. Kegunaan Penelitian Beberapa faedah yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain untuk kepentingan akademik (teoritik) dan praktis (aplikatif), yaitu: 1.
bagi ilmu pengetahuan, khususnya pengembangan wilayah, penelitian ini sebagai pengembangan teori-teori yang ada dan mengisi kajian meso regional, khususnya yang mendalami tentang proses dinamika urbanisasi.
2.
bagi kepentingan pembangunan: a. bagi
Pemerintah,
sebagai
sarana
untuk
mengukur
dan
merencanakan secara lebih awal dan cepat perkembangan
3
Perkotaan Yogyakarta, khususnya penataan distribusi penduduk beserta sarana dan prasarana pendukungnya. b. sebagai bahan masukan bagi penyusunan dan operasionalisasi konsep pengembangan Perkotaan Yogyakarta, khususnya langkahlangkah kebijakan yang harus ditempuh untuk meningkatkan kenyamanan tinggal di perkotaan.
1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Migrasi, Urbanisasi dan Suburbanisasi Migrasi merupakan proses berpindahnya penduduk dari suatu tempat lain melewati batas wilayah tertentu yang dilalui dalam perpindahan tersebut. Perpindahan yang melewati batas desa/kelurahan di sebut sebagai migrasi antar desa/kelurahan. Perpindahan yang melewati batas kecamatan di sebut migrasi antar kecamatan, yang melewati batas kabupaten/kodya disebut migrasi antar kabupaten/kodya dan yang melewati batas propinsi di sebut migrasi antar propinsi. Penduduk yang melakukan perpindahan tersebut di sebut dengan migran (BPS, 1995). Urbanisasi mengacu pada peningkatan proporsi jumlah penduduk pedesaan yang tinggal di pusat-pusat kota (Abercombie, Hill and Turner, 1988 dalam Rustiadi, 1999). Urbanisasi diartikan bukan saja secara demografis tetapi juga sebagai perkembangan kegiatan sosial-ekonomi yang terkait dengan pengertian urbanisasi secara demografis itu (Firman, 1997). Urbanisasi dapat diartikan sebagai proses yang menyertai transformasi struktural ekonomi pada suatu wilayah/daerah sehingga terjadi perubahan pola hidup akan kebutuhan sarana, prasarana dan jasa pelayanan serta perubahan orientasi manusia dari tradisi pedesaan ke arah kehidupan yang modern. Suburbanisasi adalah proses pengembangan pemukiman dan kadangkadang disertai dengan pengembangan industri di pinggiran kota (Mayhew, 1997; Jackson, 1985 dalam Rustiadi 1999). Perkembangan urbanisasi di pinggiran kota dipengaruhi oleh faktor pendorong dari dalam kota dan juga sistem pengembangan transportasi yang menghubungkan daerah tersebut dengan wilayah
4
kota. Faktor pendorong dari perkotaan adalah ukuran pcrtumbuhan kota yang berdampak pada peningkatan permintaan lahan pemukiman, industri dan komersil di sekeliling kota (Rustiadi, 1996). Proses suburbanisasi adalah salah satu proses pengembangan wilayah yang semakin menonjol dan akan semakin berpengaruh nyata di dalam proses penataan ruang di sekitar wilayah perkotaan. Di satu sisi, proses ini dipandang sebagai perluasan wilayah urban ke wilayah pinggiran kota yang berdampak meluasnya skala manajemen wilayah urban secara nil. Dilain pihak, proses ini sering dinilai sebagai proses yang kontraproduktif mengingat prosesnya yang selalu diiringi dengan proses konversi lahan-lahan pertanian yang sangat produktif (Rustiadi, 1999). Suburbanisasi telah melahirkan fenomena yang kompleks di wilayah suburban, yaitu akulturasi budaya, konversi lahan pertanian, spekulasi lahan, dan lain-lain. Di Indonesia, suburbanisasi memiiiki beberapa kemiripan dengan proses yang terjadi di negara-negara Asia berbasis pertanian beras tetapi sangat berbeda dengan negara-negara maju di Eropa Barat dan Amerika (Rustiadi dan Panuju,1999). Winoto (1998) mengatakan bahwa urbanisasi dapat ditinjau dari perspektif teori modernisasi yang mengasumsikannya sebagai proses alamiah yang tidak dapat dihindari sebagai hasil dari industrialisasi dan modernisasi dalam perekonomian nasional dan antar wilayah. Van den Berg, Kausen, Moile dan Paelinck (1981) dalam Rustiadi (1999) mengidentifikasi empat tahapan proses urbanisasi : (1) tahap urbanisasi, migrasi penduduk dari desa ke kota; (2) tahap suburbanisasi, kota semakin berkembang dan mempengaruhi penduduk daerah pinggiran untuk mendapatkan akses terhadap pelayanan kota; (3) tahap disurbanisasi, penurunan jumlah penduduk perkotaan diikuti oleh penurunan aktivitas ekonomi, disebabkan oleh kehilangan kesempatan keija dan lapangan usaha; (4) tahap reurbanisasi, dibangunnya pusatpusat kegiatan baru dengan tingkat aglomerasi yang lebih rendah pada beberapa lokasi.
5
1.5.2. Perkembangan Perkotaan di Indonesia Perkembangan kota-kota di Indonesia pada dewasa ini ditandai dengan proses restrukturisasi internal pada kota-kota itu, baik secara sosial-ekonomi maupun fisik. Proses restrukturisasi secara fisik ditandai dengan perubahan penggunaan lahan, baik di kota inti (core) maupun di pinggiran. Kawasan pusat kota mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat intensif dari kawasan tempat tinggal menjadi kawasan bisnis, perkantoran, perhotelan dan sebagainya. Perkembangan penduduk kota terjadi dengan laju dan jumlah yang lebih tinggi di wilayah pinggir kota-kota besar, ketimbang di pusatnya (core), sementara lahan pertanian yang subur di pinggiran kota beralih penggunaannya menjadi kawasan perkotaan, khususnya kawasan permukiman berskala besar dan kawasan industri (Firman, 1997). Struktur penggunaan lahan merupakan refleksi dari struktur perekonomian dan preferensi masyarakat (Saefulhakim, 1994). Oleh karena struktur perekonomian dan preferensi masyarakat ini bersifat dinamis sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan, maka struktur penggunaan lahan pun dinamis. Sampai batas-batas tertentu proses alih guna lahan merupakan hal yang tidak bisa dihindari (Saefulhakim, 1996). Davis (1976) dalam Rustiadi (1996) menyatakan, beberapa isu pokok tentang penggunaan lahan, salah satu masalahnya yaitu persaingan penggunaan lahan untuk aktivitas perkotaan dan pertanian di pinggiran kota dan pedesaan. Persaingan ini terjadi akibat proses urbanisasi dan industri yang begitu pesat, sehingga lahan yang yang baik dengan produktivitas yang tinggi terkonversi ke penggunaan aktivitas urban. Lahan yang terkonversi juga tersebar secara tidak merata di pedesaan. Menurut Kustiwan (1997), alih guna lahan pertanian dalam prosesnya senantiasa berkaitan erat dengan ekspansi atau perluasan kawasan perkotaan sebagai wujud fisik dari proses urbanisasi.
6
1.5.3. Perkembangan Perkotaan Yogyakarta Wilayah Perkotaan Yogyakarta telah ditetapkan dalam Yogyakarta Urban Development Project tahun 1990 dengan pedoman dari National Urban Development Strategy (NUDS) 1985, antara lain: 1.
bisa dicapai dalam waktu 15 menit dengan mobil, 60 menit dengan bersepeda atau 120 menit dengan berjalan kaki.
2.
berada pada radius 10 kilometer dari pusat kota.
Luasan wilayah tersebut diperhitungkan dapat menampung proyeksi pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa dekade. Jumlah kelurahan/desa yang tercakup meliputi 45 kelurahan di Kota Yogyakarta, 24 desa di Kabupaten Sleman dan 16 desa di Kabupaten Bantul (Suwarno, 2001). Kota yogyakarta pada tahun 1970s, setengahnya merupakan area tidak terbangun. Tahun 1980s, kota yogyakarta menampakkan pertumbuhan secara fisik, tetapi areanya masih lebih kecil dari batas administratif. Tahun 1990s, Kota Yogyakarta berangsur-angsur menjadi under-bounded city. Hingga tahun 2000, total area terbangun mencapai 63.5 km persegi. Hal ini menunjukkan bahwa kota yogyakarta dalam jangka 10 tahun menggandakan jumlah total area terbangunnya (Marwasta, 2010). Andri dan Sriyanto (2008)
menemukan bahwa urbanisasi pinggiran
Perkotaan Yogyakarta terjadi di bagian timur, utara dan barat. Lahan terbangun dan karakteristik kekotaan berkembang akibat tekanan sentrifugal dan dipengaruhi oleh keberadaan jalan-jalan utama Yogyakarta-Kaliurang, Yogyakarta-Wates dan Yogyakarta-Solo. Dinamika urbanisasi di pinggiran Perkotaan Yogyakarta ditandai dengan konversi lahan dari pertanian menjadi non pertanian serta peningkatan fungsi dan keberlangsungan pelayanan di kawasan tersebut. Sebagian besar wilayah di pinggiran Perkotaan Yogyakarta ini merupakan kawasan tumbuh cepat (Suwarno, 2001). Perkembangan Perkotaan Yogyakarta ke arah utara sebagai perkembangan kawasan permukiman dikonfirmasi dalam penelitian Soetomo, dkk (2009). Perkembangan permukiman pada koridor Jalan Kaliurang memiliki dua tipe yaitu kategori
perkembangan
kelompok
permukiman
7
teratur
dan
kategori
perkembangan kelompok tidak teratur. Faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap perkembangan kelompok permukiman adalah faktor pertumbuhan penduduk, faktor hak-hak kepemilikan lahan dan faktor persaingan memperoleh lahan (Soetomo, dkk; 2009). Kawasan tumbuh cepat Perkotaan Yogyakarta di dalam kota maupun di pinggiran kota diindikasikan memiliki aspek-aspek yang spesifik (Suwarno, 2001). Aspek pertama adalah aksesibilitas terkait dengan letak serta ketersediaan sarana dan prasarana transportasi. Aspek kedua adalah ketersediaan prasarana sosial yaitu mengenai ketersediaan fasilitas pendidikan yang memicu kegiatan ekonomi lainnya dan keberadaan fasilitas kesehatan. Aspek ketiga adalah pengembangan permukiman yang memanfaatkan lokasi strategis sehingga menambah minat masyarakat untuk tinggal di kawasan tersebut. Aspek keempat adalah ekonomi yaitu keberadaan pusat kegiatan perdagangan dan jasa serta keberadaan lokasi industri yang keduanya mampu menyerap tenaga kerja.
1.6. Keaslian Penelitian Penelitian ini sebenarnya merupakan modifikasi dari penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Muta’ali (2000). Sama dengan penelitian tersebut, sifat dari penelitian ini adalah terapan dari teori urbanisasi terkait dengan pengembangan wilayah. Begitu juga dengan perluasan aspek terapannya adalah pada penggunaan hasil analisis karakter kekotaan untuk mengidentifikasi aglomerasi yang terjadi hingga pengindikasian desa-desa pusat pertumbuhan. Hal yang berbeda pada penelitian ini adalah wilayah penelitian yang lebih sempit, yaitu Kota Yogyakarta dan daerah aglomerasi perkotaannya di sebagian wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Selain itu, data pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang lebih baru, yaitu data Potensi Desa tahun 2000 dan 2010. Telah banyak penelitian mengenai aglomerasi perkotaan Yogyakarta yang lebih berfokus pada perubahan penggunaan lahan atau perambatan sifat kekotaan secara fisik. Namun, titik berat penelitian ini lebih pada pengukuran tingkat kekotaan desa-desa berdasarkan variabel-variabel yang lain.
8
Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian Sebelumnya No
Judul Penelitian
1.
Pola Perkembangan Karakteristik Kekotaan pada Desa-desa di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Peneliti dan Tahun Luthfi Muta’ali, S.Si.,MSP 2000
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Unit Analisis
1. Mengkaji karakteristik kekotaan pada desa-desa di Propinsi DIY
Analisis faktor Analisis deskriminan Analisis Shift-Share Pemetaan
Desa
2. Menganalisis pola perubahan tingkat kekotaan dan variasi keruangan pada desadesa di Propinsi DIY 3. Menentukan tipologi desa-desa di Provinsi DIY berdasarkan karakteristik kekotaan dan perubahannya. 4. Mengembangkan beberapa usulan tentang pengembangan sistem perkotaan di Provinsi DIY
9
Hasil Penelitian 1.Profil tingkat kekotaan daerah pedesaan 2. Pola perubahan dan variasi keruangan karakter kekotaan pada daerah pedesaan 3. Tipologi desa berdasarkan karakter kekotaan 4. Rumusan usulan bagi kebijakan manajemen sistem perkotaan
Lanjutan Tabel 1.1. No
Judul Penelitian
2.
Komparasi Perubahan Penggunaan Lahan di Sekitar Jalan Lingkar Utara dan Jalan Lingkar Selatan Kota Yogyakarta
Peneliti dan Tahun Angga Budi Kusuma 2011
Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi bentuk, luas, laju dan pola lokasi perubahan penggunaan lahan. 2. Membandingkan perubahan penggunaan lahan. 3. Mengidentifikasi pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap perkembangan wilayah di sekitar Jalan Lingkar Utara dan Jalan Lingkar Selatan. 4. Menyusun implementasi kebijakan.
10
Metode Penelitian Analisis peta Analisis tabulasi silang dengan chisquare Analisis tetangga terdekat Analisis korelasi Analisis varian Analisis T-test
Unit Analisis
Hasil Penelitian
Desa
1. Peta-peta penggunaan lahan 2. Pengujian hipotesis-hipotesis
Lanjutan Tabel 1.1. No 3.
Judul Penelitian Dinamika Urbanisasi Perkotaan Yogyakarta Tahun 2000-2010
Peneliti dan Tahun Achilleus Lintang Lasuardi 2014
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Unit Analisis
Hasil Penelitian
1. Menganalisis faktorfaktor penentu tingkat urbanisasi di perkotaan Yogyakarta.
Analisis Deskriptif Pemetaan
Desa
Hasil yang diharapkan : 1. Deskripsi tingkat, pola spasial dan perkembangan kekotaan desa-desa di perkotaan Yogyakarta.
2. Mengidentifikasi tingkat, perkembangan dan dinamika spasial urbanisasi di perkotaan Yogyakarta. 3. Merumuskan usulan strategi bagi pengelolaan urbanisasi perkotaan Yogyakarta.
11
2. Peta-peta karakter kekotaan perkotaan Yogyakarta. 3. Identifikasi faktorfaktor pengaruh. 4. Rumusan usulan strategi bagi pengelolaan urbanisasi perkotaan Yogyakarta
1.7. Kerangka Pemikiran Pembangunan sarana, prasarana dan fasilitas pelayanan kota memacu pemusatan penduduk di wilayah tersebut. Pemusatan penduduk diikuti dengan pemusatan kegiatan, keduanya membutuhkan ruang akomodasi sehingga wilayah perkotaan tumbuh secara spasial maupun non spasial. Pertumbuhan wilayah perkotaan ini merupakan suatu proses yang disebut urbanisasi. Urbanisasi ditandai dengan ciri-ciri perkotaan yang dapat dilihat dari faktor-faktor: kependudukan yakni kepadatan penduduk dan pertumbuhan penduduk; penutupan lahan oleh lahan terbangun; karakter dan kegiatan penduduk yakni penduduk non pertanian; serta keberadaan fasilitas sosial dan ekonomi. Pertumbuhan wilayah perkotaan perlu dikelola agar dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk secara berkelanjutan. Suatu strategi dapat disusun untuk mengendalikan ciri-ciri perkotaan yang telah disebutkan di atas. Namun, penyusunan strategi yang tepat perlu memperhitungkan tingkat, pola dan dinamika spasial urbanisasi di setiap sub-sub wilayah yang ada. Tingkat urbanisasi merupakan ukuran ciri-ciri perkotaan pada suatu waktu. Penelitian ini berasumsi bahwa tingkat urbanisasi memiliki hubungan positif dengan kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, pangsa lahan terbangun, pangsa penduduk non pertanian serta keberadaan fasilitas sosial dan ekonomi. Pola spasial urbanisasi akan ditunjukkan oleh tingkat urbanisasi yang berbeda antara desa-desa di kota dan desa-desa di pinggiran kota. Dinamika spasial urbanisasi dapat dilihat dari perubahan rangking urbanisasi yang dialami setiap desa dari waktu ke waktu. Desa-desa dapat dikelompokkan dengan tipologi berdasarkan tingkat dan dinamika urbanisasi yang dialaminya. Strategi pengelolaan wilayah perkotaan yang tepat dapat disusun sesuai tipologi tersebut dan dengan memperhatikan hubungan antar faktor-faktor yang menjadi ciri-ciri wilayah perkotaan. Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan dengan diagram alir Gambar 1.1.
12
Pembangunan Wilayah
Urbanisasi Ciri-ciri Perkotaan, Faktor-faktor: Kepadatan Penduduk Pertumbuhan Penduduk Lahan Terbangun Penduduk Non Pertanian Fasilitas Sosial Ekonomi
Tingkat Urbanisasi
Kota
Perkembangan Urbanisasi
Pinggiran
2000
Dinamika
Tipologi
Strategi Gambar 1.1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
13
2010