BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan seiring dengan pesatnya arus urbanisasi mengakibatkan daerah perkotaan mengalami peningkatan angkatan kerja dalam jumlah yang besar. Peningkatan angkatan kerja seringkali tidak diimbangi dengan lapangan kerja yang memadai pada sektor formal, sehingga mengakibatkan angkatan kerja terpaksa beralih ke sektor informal yang lebih menjanjikan. Sektor informal masih dianggap sebagai satu-satunya sektor yang mampu menampung angkatan kerja dengan sedikit modal, ketrampilan terbatas dan pendidikan yang rendah. Di banyak negara Asia, munculnya sektor informal disebabkan oleh faktor urbanisasi yang tinggi dari desa ke kota dan adanya peralihan dari sektor formal ke sektor informal akibat penutupan industri pasca krisis global yang menyebabkan tingginya angka
pengangguran (Bhowmik,
2005). Kehadiran sektor informal di Indonesia berhubungan erat dengan besarnya populasi penduduk dan angkatan kerja serta ketidakseimbangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa yang mempengaruhi distribusi penduduk (Hidayat, 1978). Sektor perdagangan menjadi salah satu sektor terpenting dalam roda perekonomian di Kota Mojokerto. Kota Mojokerto merupakan kota kecil di provinsi Jawa Timur yang memiliki kepadatan penduduk sebesar 69 jiwa/ha. Kota Mojokerto hanya mempunyai luas wilayah administratif yang lebih kecil dibandingkan dengan Kota Jakarta yaitu 1.646,5 Ha dengan jumlah penduduk sekitar 112.547 jiwa. Sektor perdagangan termasuk juga didalamnya sektor informal terutama pada kelompok Pedagang Kaki Lima (PKL) memiliki dua sisi yaitu sisi positif dan sisi negatif. Pada sisi negatif, PKL menyebabkan berbagai masalah perkotaan karena kegiatan yang mereka lakukan berada diatas trotoar, badan jalan dan ruang publik yang dari awal bukan dialokasikan untuk kegitan sektor informal (Akharuzzaman dan Deguchi, 2010). Selain itu, PKL
1
menyebabkan penurunan kualitas perkotaan dengan pandangan kota yang kumuh dan menambah kemacetan pada pusat-pusat keramaian kota. Bukan tanpa alasan para PKL menempati lokasi yang strategis di kota untuk memenuhi kebutuhan warga kota dengan menjual barang murah yang cenderung bergerak mendekati konsumen. Selama ini tidak ada batas-batas lokasi yang diperkenankan bagi PKL untuk beroperasi sehingga mereka masih saja dianggap ilegal. Pada sisi positif, PKL dapat berkontribusi dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan mengurangi tingkat pengangguran. Hal ini terbukti dengan adanya kasus PKL di negaranegara Asia pada saat krisis global yang menampung banyak angkatan kerja yang terancam menjadi pengganguran (Bhowmik, 2005). Setidaknya meskipun dengan penghasilan yang tidak pasti tetapi sektor informal mampu menjadi alternatif pekerjaan dalam bertahan hidup di kota. Pemindahan atau relokasi PKL ke lokasi yang lebih kondusif untuk menciptakan lingkungan yang nyaman perkotaan menjadi salah satu kebijakan yang dilakukan oleh hampir beberapa kota besar yang mengalami masalah dengan PKL, termasuk juga diantaranya kota kecil seperti Mojokerto. Wacana pemerintah daerah Kota Mojokerto untuk merelokasi PKL muncul disaat kebutuhan akan ruang publik di perkotaan yang semakin berkurang dan ketertiban lalu lintas yang kurang baik akibat kegiatan perdagangan yang dilakukan di badan jalan. Kesadaran untuk memenuhi kebutuhan akan ruang publik perkotaan menjadi mimpi besar kota Mojokerto yang semakin hari mengalami penurunan kualitas lingkungan. Relokasi PKL merupakan kebijakan untuk menjadikan ruang-ruang publik berfungsi sebagaimana mestinya seperti trotoar, badan jalan, dan taman kota. Kebijakan tersebut diambil karena adanya inisiatif pemerintah daerah untuk bersikap tegas dalam menentukan lokasi bagi sektor informal PKL yang tertib dan nyaman. Pada kenyataanya, kehadiran PKL di ruang-ruang publik kota telah ada sejak lama yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah dan akhirnya membentuk aliansi kelompok PKL. Penataan PKL di Kota Mojokerto telah diatur dalam sumber hukum berupa peraturan daerah nomor 5 tahun 2005 tentang penataan dan pembinaan kegiatan PKL.
2
Relokasi pedagang yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota Mojokerto menitikberatkan pada PKL yang berasal dari Jalan Joko Sambang dan Alun-alun. Kedua jenis PKL tersebut direlokasi karena telah menganggu fungsi kota dan termasuk memiliki jumlah PKL yang cukup banyak. Tempat yang dijadikan relokasi PKL adalah Kawasan Benteng Pancasila. Pada akhir tahun 2012, relokasi diawali dengan pemindahan PKL yang berasal dari Jalan Joko Sambang terlebih dahulu. Kurang lebih sekitar 125 PKL Jalan Joko Sambang akan menempati lapak dan tenda sementara yang disediakan oleh pemerintah daerah dikawasan Benteng Pancasila. Secara bertahap, 248 PKL Alun-alun juga dipindahkan ke Kawasan Benteng Pancasila. Pada awalnya, wacana relokasi sebenarnya sudah ada sejak tahun 2010, namun wacana ini selalu mendapat penolakan oleh PKL yang tidak menyetujui pemindahan tersebut. Perpindahan lokasi PKL bukanlah menjadi hal yang mudah diterima begitu saja oleh PKL. Berbagai upaya penolakan kebijakan ini dilakukan oleh PKL sampai pada akhirnya dibutuhkan waktu yang cukup lama dalam memperoleh kesepakatan bersama untuk dipindahkan ke lokasi yang baru. Tempat yang dijadikan relokasi PKL diharapkan oleh pemerintah daerah setempat dapat menjadi sentra aktivitas sektor informal yang dapat menjadi daya tarik perdagangan berbasis lokal. Sehingga dapat mengangkat perekonomian di kota Mojokerto melalui kegiatan ekonomi skala kecil oleh para PKL. Maka dengan demikian, diperlukan evaluasi penataan PKL Kawasan Benteng Pancasila guna menilai perubahan kondisi PKL antara sebelum dan sesudah relokasi yang dapat menjadi penentu keberhasilan penataan ruang jika terjadi kesesuaian rencana dengan kenyataan dilapangan. Disamping itu juga diperlukan kajian mengenai keterkaitan antara kondisi perubahan yang dialami oleh PKL dengan keberlanjutan pengembangan sentra aktivitas sektor informal Kota Mojokerto yang berada di Kawasan Benteng Pancasila untuk mengakomodasi kebutuhan para pedagang setelah dilakukannya relokasi.
3
1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Bagaimana perubahan kondisi PKL Joko Sambang dan Alun-alun antara sebelum dan sesudah direlokasi ke Kawasan Benteng Pancasila? 2. Bagaimana evaluasi kebijakan penataan PKL Joko Sambang dan Alunalun di Kawasan relokasi Benteng Pancasila sebagai sentra aktivitas sektor informal? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut. 1. Mengkaji perubahan kondisi PKL Joko Sambang dan Alun-alun antara sebelum dan sesudah direlokasi ke Kawasan Benteng Pancasila. 2. Mengevaluasi kebijakan penataan PKL Joko Sambang dan Alun-alun di Kawasan relokasi Benteng Pancasila sebagai sentra aktivitas sektor informal. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Sebagai bahan masukan maupun pertimbangan dalam pengambilan keputusan terhadap pengembangan sektor informal di daerah perkotaan. 2. Untuk menambah pengetahuan dalam menyelesaikan permasalahan perkotaan yang utamanya berkaitan dengan pedagang kaki lima. 1.5. Pengertian Evaluasi Evaluasi mempunyai arti berhubungan, masing-masing merujuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program (Dunn, 1998). Pada evaluasi memuat kesimpulan, klasifikasi, kritik, penyesuaian dan perumusan masalah kembali. Evaluasi adalah kegiatan untuk menilai tingkat kinerja suatu kebijakan. Evaluasi baru dapat dilakukan jika suatu kebijakan sudah berjalan cukup waktu. Tidak ada batasan waktu yang pasti, tetapi untuk dapat mengetahui 4
outcome dan dampak suatu kebijakan diperlukan waktu tertentu. Jika terlalu dini evaluasi dilakukan, maka outcome dan dampak dari kebijakan masih belum tampak. Semakin strategis kebijakan diperlukan tenggang waktu yang lebih panjang untuk melakukan evaluasi. Sebaliknya, semakin teknis sifat dari kebijakan atau program maka evaluasi dapat dilakukan dalam kurun waktu relatif lebih cepat. Evaluasi kebijakan didefinisikan sebagai suatu kegiatan mengenai estimasi ataupun penilaian terhadap kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak yang terjadi (Anderson, 1975). Evaluasi kebijakan dilakukan bukan hanya pada tahap akhir saja melainkan pada semua proses kebijakan yang membuat evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Evaluasi kebijakan dapat dirumuskan ke dalam dua tugas yang berbeda yaitu untuk menentukan konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dengan mengambarkan dampaknya dan menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan dengan standart atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Terdapat enam langkah dalam evaluasi kebijakan menurut Edward A. Schuman antra lain : 1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi. 2. Analisis terhadap masalah. 3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan 4. Pengukuran terhadap tingkat perubahan yang terjadi. 5. Menentukan perubahan sebagai akibat dari kegiatan yang dilakukan. 6. Indikator untuk menentukan dampak. 1.6. Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Pedagang kaki lima merupakan salah satu pelaku aktif yang menjalankan kegiatan usaha pada sektor informal. Menurut, Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) pada tahun 2012, tercatat terdapat 23,4 juta PKL di seluruh
5
penjuru Indonesia. Peningkatan PKL pada setiap tahunnya menimbulkan respon dari pemerintah melalui adanya kebijakan. Kebijakan tentang penataan pedagang kaki lima muncul mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Hal ini didukung oleh adanya Peraturan Presiden No. 125 tahun 2012 dan ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 41 tahun 2012. Salah satu amanat yang terdapat pada Mendagri menyebutkan bahwa pemerintah daerah menetapkan lokasi atau kawasan yang diperuntukkan sebagai lokasi kegiatan usaha pedagang kaki lima. Penetapan lokasi tersebut dengan memperhatikan umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan dan kesesuaian dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pada tingkat pemerintah daerah, penataan dan pembinaan PKL juga dapat dilihat pada Peraturan Daerah Kota Mojokerto No. 5 tahun 2005. Selain itu, pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Mojokerto tahun 2012-2032 terdapat kebijakan penataan ruang dalam mengembangkan aktivitas sektor informal yang terpusat pada lokasi yang strategis dan dekat dengan kawasan fungsional yang tidak menganggu lalu lintas maupun pejalan kaki. Penataan PKL juga mencakup pada pemberdayaan yang meliputi meningkatkatkan kemampuan usaha, memberikan akses kemudahan dalam permodalan, memfasilitasi bantuan sarana dagang, penguatan kelembagaan, peningkatan produksi, pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi serta pembinaan dan bimbingan teknis. Implementasi kebijakan penataan PKL ditandai dengan penerapan kebersihan, ketertiban dan keindahan oleh PKL. Ukuran keberhasilan penataan PKL resmi adalah mengelola usaha PKL agar dapat meningkat yang secara tidak langsung dapat mengangkat perekonomian suatu daerah tertentu. Pada ukuran keberhasilan PKL ilegal adalah tidak berdagang di tempat yang dilarang yang mana mereka tidak begitu saja dihilangkan melainkan dipindahkan ke lokasi yang diperuntukkan oleh pemerintah (ayeti, 2012).
6
1.7. Konsep Sektor Ekonomi Informal Pandangan tentang sektor informal berawal dari gagasan Keith Hart yang dimasukkan kedalam struktur pekerjaan pada wilayah perkotaan di negara dunia ketiga. Hart menggemukakan tentang adanya perbedaan kesempatan memperoleh penghasilan antara sektor formal dan informal pada pokoknya yang didasarkan atas perbedaan antara pendapatan dari gaji dan pendapatan dari usahanya sendiri. Semenjak konsep sektor informal pertama kali diperkenalkan pada tahun 1973, telah banyak dilakukan penelitian dan kebijakan yang mulai menyoroti kesempatan kerja kaum miskin di kota secara khusus dalam memperoleh penghasilan di kota yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu formal, informal sah dan tidak sah (Hart, 1971 dalam Manning, 1985). Masing-masing kelompok itu dibedakan dalam berbagai kategori yang didasarkan pada kegiatan yang dilakukan individu, jumlah pendapatan dan pengeluaran yang mengalir dalam perekonomian kota. Selain itu, pembeda antara sektor informal dan informal dilihat dari keteraturan cara kerja, hubungan dengan perusahaan, curahan waktu dan status hukum terhadap kegiatan yang dilakukan. Sektor informal perkotaan dapat ditandai dengan batasan tentang ciri-ciri kegiatan ekonominya (Wirosardjono, 1985). Ciri-ciri kegiatan sektor informal diturunkan dari kondisi nyata dari beberapa kegiatan dengan sejumlah tenaga kerja yang umumnya berpendidikan rendah, tidak mempunyai ketrampilan dan bekerja disektor ekonomi marginal atau informal. Kebanyakan kegiatan sektor informal sifatnya masih subsistem (Sethuraman, 1981). Oleh karena itu sektor informal diartikan sebagai unit-unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan. Kendala yang dihadapi dalam sektor informal umumnya seperti modal fisik, faktor pengetahuan dan ketrampilan yang masih terbatas. Masalah pokok sektor informal terdiri dari 2 macam yaitu masalah internal dari pelaku sektor informal dan masalah eksternal dari kebijakan pemerintah. Kehadiran sektor informal diberbagai kota besar, pada dasarnya merupakan salah satu bentuk respon migran dan masyarakat miskin di kota
7
terhadap pembangunan antar daerah yang tidak merata, urbanisasi, meluasnya tingkat pengganguran dan merebaknya tekanan kemiskinan (Tjiptoherijanto, 1997 dalam Mustafa, 2008). Secara lebih terperinci, beberapa kondisi yang menyebabkan kehadiran sektor informal diperkotaan terus bertambah meluas (Alisjahbana, 2003). Pertama, terjadinya konsentrasi investasi diperkotaan yang mendorong orang melakukan urbanisasi, namun jumlahnya melebihi lapangan pekerjaan yang tersedia sehingga melahirkan pengganguran yang pada akhirnya terserap di sektor informal kota yang bersifat ilegal, marginal dan berskala kecil. Kedua, perkembangan sektor informal tidak lepas dan proses daya tarik kota untuk dapat memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang tidak diserap disektor pertanian karena rendahnya pendapatan disektor tersebut. Ketiga, faktor pendorong dari desa yang miskin dan keempat, akibat minimnya sumberdaya alam dan material yang mampu dieksploitasi oleh penduduk pedesaan. 1.8. Pedagang Kaki Lima Sebagai Salah Satu Bagian Sektor Informal 1.8.1. Pengertian Pedagang Kaki Lima Pedagang kaki lima didefinisikan sebagai orang yang menawarkan barang untuk dijual ke umum tanpa memiliki struktur bangunan yang permanen (Bhowmik, 2005). Sebenarnya istilah pedagang kaki lima atau PKL merupakan sebutan bagi para pedagang yang menjual daganganya dengan gerobak karena saat mereka mendorong gerobak maka roda yang digunakan berjumlah lima dimana roda gerobak yang berjumlah tiga ditambah dengan kaki para pedagang yang menjajakannya. Saat ini pedagang kaki lima digunakan untuk para penjual dijalanan pada umumnya. Secara umum pedagang kaki lima dibedakan menjadi 2 macam yaitu pedagang kaki lima yang tetap dan pedagang kaki lima yang tidak tetap. Pedagang kaki lima yang tetap dalam arti bahwa mereka menempati ruang ditrotoar, badan jalan dan ruang publik lainnya atau ruang milik swasta. Pedagang kaki lima yang tidak tetap dalam arti bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menjual dagangan mereka dengan gerobak dorong ataupun dengan keranjang yang diletakkan diatas kepala mereka. Terdapat tiga pola ruang
8
aktivitas pedagang kaki lima yaitu berkluster sekitar toko besar di Central Bussines District (CBD), berada disepanjang jalur pejalan kaki dan dicelah-celah ruang publik kota (Ayeh et al., 2011). Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977) jenis dagangan yang dijual oleh pedagang kaki lima dipengaruhi oleh aktivitas yang ada dikawasan yang digunakan dalam beroperasi menjual dagangan. Adapun jenis dagangan yang ditawarkan oleh pedagang kaki lima dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu : 1. Makanan yang mentah atau belum diproses seperti daging, sayuran dan buah-buahan. 2. Makanan yang siap disajikan seperti nasi, lauk pauk serta minuman. 3. Barang yang bukan makan seperti pakaian sampai obat-obatan. 4. Jasa dari beragam aktivitas seperti tukang potong rambut dan lain sebagainya. 1.8.2. Pola Penyebaran Pedagang Kaki Lima Berdasarkan pola penyebarannya, aktivitas pedagang kaki lima menurut Mc. Gee dan Yeung (1977) dapat dikelompokkan dalam 2 pola yaitu : 1. Pola Mengelompok (Focus Aglomeration) Pedagang informal jenis ini umumnya selalu memanfaatkan aktivitas sektor formal yang berada pada pusat perbelanjaan yang menjadi salah satu daya tarik lokasi sektor informal untuk menarik konsumen. Selain itu pada ujung jalan, ruang terbuka, sekitar pasar, tempat parkir, taman dan lain sebagainya merupakan lokasi yang diminati oleh sektor ini. Pola Penyebaran seperti ini banyak dipengaruhi adanya pertimbangan aglomerasi yaitu pemusatan atau pengelompokan pedagang sejenis atau yang menjual komoditas yang sama seperti pada pedagang makanan dan minuman. 2. Pola Memanjang (Linier Concentration)
9
Pola ini terjadi di sepanjang atau pinggir jalan utama maupun pada jalan yang menghubungkan jalan utama. Pola kegiatan lebih banyak dipengaruhi pertimbangan aksesibilitas yang tinggi pada lokasi yang bersangkutan. Di lihat dari segi pedagang, hal ini cukup menguntungkan sebab dengan menempati lokasi yang mempunyai aksesibilitas tinggi maka kesempatan untuk memperoleh konsumen juga tinggi. Jenis dagangan yang diperdagangkan antara lain pakaian, buah-buahan, obat-obatan dan lain sebagainya. 1.8.3. Pola Pelayanan Aktivitas Pedagang Kaki Lima Pola pelayanan menurut Mc. Gee dan Yeung (1977) adalah cara berlokasi aktivitas PKL dalam memanfaatkan ruang kegiatan sebagai tempat usaha. Berdasarkan pola pelayanan ini, aktivitas PKL dapat ditinjau dari aspek sifat dan golongan pengguna jasa .
Berdasarka sifat pelayanannya, pedagang kaki lima menurut Mc. Gee dan
yeung (1977) dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu : 1. Pedagang Menetap (static) Pedagang Menetap adalah suatu bentuk layanan yang mempunyai cara atau sifat menetap pada suatu lokasi tertentu. Dalam hal ini setiap pembeli atau konsumen harus datang sendiri ke tempat dimana ia berada. Sarana fisik berdagang dengan sifat seperti biasanya berupa kios atau gerobak beratap. 2. Pedagang Semi Menetap ( Semi Static) Pedagang Semi Menetap merupakan suatu pelayanan pedagang yang mempunyai sifat menetap sementara yaitu hanya pada saat tertentu saja. Dalam hal ini PKL akan menetap bila ada kemungkinan datangnya pembeli yang cukup besar. Bila tidak ada maka mereka cenderung berjualan dengan berkeliling. Dengan kata lain ciri utama PKL yang memilih pola pelayanan seperti ini adalah adanya pergerakan PKL yang menetap pada suatu lokasi dengan periode tertentu, setelah waktu
10
berjualan selesai yaitu sore atau malam hari. Adapun sarana fisik yang digunakan adalah kios beroda. 3. Pedagang Keliling (Mobile) Pedagang keliling yaitu suatu bentuk layanan pedagang yang melayani konsumennya dengan sifat mendatangi atau mengejar konsumen. Biasanya terjadi pada pedagang yang mempunyai volume dagangan yang kecil. Aktivitas PKL dalam kondisi ini ditunjukkan dengan sarana fisik perdagangan yang mudah dibawa sehingga dicirikan dengan pergerakan dari satu tempat ke tempat yang lain menggunakan gerobak dorong, pikulan atau keranjang. Golongan pengguna jasa pedagang kaki lima umumnya berasal dari golongan bawah dengan pendapatan yang minim serta pendidikan yang rendah. Hal ini karena daya beli yang rendah dengan kemampuan memenuhi kebutuhan barang dan jasa dengan biaya yang murah. Sebaliknya golongan tinggi yang memiliki kemampuan membeli barang yang cukup cenderung untuk memilih sektor formal dengan harga dan kualitas yang lebih bagus dari pada sektor informal. sehingga dapat dikatakan bahwa pekerja sektor informal dibutuhakan oleh kaum miskin kota. Hal ini juga berpengaruh pada skala pelayanan yang dilayani adalah skala pelayanan kecil karena modal yang kecil dan jenis usaha perorangan. 1.8.4. Indikator dalam Penataan PKL Indikator dalam pola penataan PKL ideal yang digunakan dalam konsep sutrisno et. al, 2007 berdasarkan pada aspek ekonomi, sosial dan hukum, keterkaitan usaha PKL dengan lingkungan dan pembeli serta rencana pembelian. Keterangan selengkapnya sebagai berikut : Aspek ekonomi : 1. Memberdayakan usaha sektor informal PKL dengan jaminan perlindungan, pembinaan dan pengaturan usaha agar lebih berdaya
11
guna dan berhasil serta meningkatkan kesejahteraan PKL khususnya dan masyarakat pada umumnya. 2. Pemerintah Kota dan elemen masyarakat mendukung usaha PKL dengan menciptakan kondisi yang kondusif, dan pembinaan serta upaya mengembangkan kemampuan manajerial, agar usaha PKL lebih berkembang. 3. Pemerintah
Kota
dan
stakeholders
kota
bekerjasama
dalam
permodalan, dan kemitraan usaha yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Indikator aspek ekonomi : perlindungan dan pembinaan PKL. Aspek sosial : 1. Penyuluhan waktu, tempat dan sarana usaha yang menjamin keindahan dan keamanan yang mendukung program Pemerintah Kota. 2. Penyuluhan sadar hukum sebagai pembinaan non fisik agar dapat menjalin hubungan dengan lingkungan tempat usaha dan tidak ada yang dirugikan. 3. Penyuluhan sadar hukum sebagai pembinaan non fisik agar PKL bertanggung jawab atas kebersihan, ketertiban, keamanan dan keindahan tempat usaha. 4. Pengaturan tempat usaha yang dapat menunjang program kota ssebagai kota budaya, pariwisata dan olahraga. Indikator aspek sosial : Kondisi yang kondusif oleh masyarakat, kemampuan managerial PKL, kerjasama permodalan, kemitraan pemerintah dan stakeholders. Penyuluhan waktu, tempat dan sarana usaha, penyuluhan non fisik dan pengaturan atas ketertiban, kebersihan, keindahan, keamanan tempat usaha.
12
Aspek hukum : 1. Program legalisasi usaha dan penempatan lokasi tanah kekayaan negara dengan menerbitkan ijin. 2. Menyusun Peraturan daerah dan peraturan mengenai penataan PKL. Indikator aspek hukum : Legalisasi usaha dan ijin usaha dari pemerintah, peraturan daerah penataan PKL. Tingkat keterkaitan usaha dengan lingkungan dan pembeli Tinggi : Dekat dengan pembeli, jam sesuai lingkungan dan pembeli, lahan sesuai jenis dan besar usaha, bangunan permanen, listrik, toilet, parkir, konsep kawasan menyebar dan modal tinggi. Contoh : Jasa fotocopi, rental komputer, penjilidan dan warung makan tidak terkenal. Tidak Tinggi : Tidak harus berdekatan dengan lokasi pembeli, sebagian butuh tempat strategis, jam sesuai keinginan PKL, luas lahan variatif, bangunan permanen dan non-permanen, parkir dan sebagian butuh modal besar. Contoh : warung makan terkenal, rokok, kios bensin dan tambal ban. Penataan PKL menurut rencana pembelian Tidak Terencana : lokasi strategis, sarana gerobak dorong, jam sesuai keinginan PKL, tidak ada parkir khusus, dan pembinaan managerial usaha. Contoh : tambal ban, bengkel, kios bengsin, warung makan, dan kios pakaian.
13
Terencana : lokasi usaha mudah diakses, jam sesuai PKL, luas lahan usaha disesuaikan kebutuhan, sarana dan prasarana pendukung, dan pembinaan managerial usaha serta kesadaran lingkungan. Contoh : PKL yang memiliki spesifikasi produk seperti reparasi, pedagang kemasan, fotocopy dan rental komputer. 1.9. Sektor Informal dalam Kajian Ilmu Geografi Ilmu geografi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan kausal gejalagejala muka bumi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka bumi, baik yang bersifat fisik maupun yang menyangkut makhluk hidup beserta permasalahannya melalui pendekatan keruangan, ekologi dan regional untuk kepentingan program, proses dan keberhasilan pembangunan (Bintarto, 1981 dalam Yunus, 2007). Ilmu geografi terbagi menjadi dua macam yaitu aspek fisik dan aspek sosial. Sektor informal termasuk dalam cabang ilmu geografi aspek sosial yang termasuk dalam geografi ekonomi yang mempelajari tentang hubungan timbal balik manusia dengan lingkungannya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup untuk mencapai kesejahteraan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi sektor informal berhubungan erat dengan ruang yang ada di muka bumi dalam menjalankan usahanya. Pedagang kaki lima juga subyek yang mengantungkan hidup dari usaha sektor informal kota untuk bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Sehingga pada kajian mengenai pedagang kaki lima di sektor informal dapat menjadi bagian kajian geografi.
Sumber : Wardiatmoko dan Bintarto, 2004 Gambar 1.1 Cabang ilmu Goegrafi
14
Pendekatan utama dalam kajian geografi terdiri dari 3 pendekatan yaitu pendekatan keruangan (spatial approach), pendekatan ecological (ecological approach) dan pendekatan kompleks wilayah (regional complex approach). Pada kajian tentang pedagang kaki lima sektor informal pendekatan geografi cenderung menggunakan pendekatan ekologis karena menekankan hubungan antara manusia dengan lingkungan biotik, abiotik maupun linkungan sosial ekonomi dan kulturalnya (Dangana dan Tropp, 1995). Pada konteks prilaku manusia yang direlokasi sebagai human behavior yang dapat mempengaruhi terjadinya perubahan lingkungan dari lokasi yang ditinggalkan maupun lokasi yang baru akibat dari adanya interaksi lingkungan (environment interaction). Prilaku manusia baik berupa prilaku sosial, prilaku ekonomi, prilaku kultural dan bahkan prilaku politik yang dilakukan seseorang atau komunitas tertentu. Pedagang kaki lima yang telah direlokasi termasuk dalam fenomena geografi berupa proses, interaksi antar pelaku kegiatan ekonomi dan organisasi dalam sistem keruangan yang terdapat pada lokasi kajian yang berada di kota. 1.10. Penelitian Sebelumnya Tabel 1.1 berikut adalah sejumlah penelitian mengenai sektor informal yang pernah dilakukan oleh peneliti pada kota-kota di Indonesia dari tahun 2003 2014. Penelitian kebijakan PKL dipusat Kota Manado (Tontey, 2003) menunjukkan masih belum ada pertimbangan karakteristik PKL yang sulit memahami kebijakan daerah dan berakibat pada belum adanya respon positif terhadap ketaatan peraturan tersebut. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara perencanaan dengan fakta yang terjadi dilapangan. Selain itu, penelitian serupa juga ditemukan bahwa penataan reforma PKL buah di kota Padang termasuk buruk yang dinilai dari aspek sosial, ekonomi, hukum serta faktor internal dan eksternal PKL. Pada penelitian sebelumnya tentang PKL di Kota Mojokerto lebih memfokuskan pada kajian pola interaksi tim relokasi terhadap implikasi kebijakan relokasi PKL ke Benteng Pancasila yang menunjukkan pola interaksi asosiatif yang belum sempurna karena adanya kesalahan pendataan jumah PKL. Penelitian lainnya yang mengangkat tema yang hampir sama yaitu evaluasi program PKL di
15
Kabupaten Tegal menunjukkan adanya dampak positif dan negatif kepada pemerintah maupun PKL serta terdapat hambatan pada pelaksanaan program dengan adanya penolakan dan belum adanya tempat relokasi yang ideal bagi PKL. Penelitian sebelumnya tentang pedagang kaki lima sektor informal memiliki fokus kajian yang berbeda sesuai dengan sudut pandang masing-masing peneliti. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dapat memberikan informasi hasil temuan yang berguna untuk menjadi bahan pertimbangan dalam mengkaji masalah pedagang kaki lima saat ini. Dimana memungkinkan terjadinya perubahan kondisi dari waktu ke waktu yang menjadikan variasi temuan penelitian dengan tema pedagang kaki lima agar terus berkembang. Oleh karena itu, pada penelitian ini memasukkan unsur perubahan kondisi PKL pasca relokasi dengan keberlanjutan pengembangan sektor informal. Berikut Tabel 1.1. terkait penelitian sebelumnya pada kegiatan sektor informal.
16
Tabel 1.1 Penelitian tentang Pedagang Kaki Lima Sektor Informal No
Penulis
Judul
Metode
Hasil Temuan
1.
Joksen Thomas Tontey (2003)
Kajian kebijakan penataan aktivitas pedagang kaki lima dipusat Kota Manado
Analisis deskriptif kuantitatif dan distribusi frekuensi serta analisis deskriptif kualitatif
Penataan PKL dipusat kota Manado belum memperhitungkan karakteristik PKL yang sulit untuk memahami kebijakan, adanya kesenjangan antara perencanaan dan fakta dilapangan, dan belum ada respon positif terhadap ketaatan peraturan dalam kebijakan penataan.
2.
Astri Ayeti Syafardi (2012)
Penata kelolaan PKL buah Kota Padang
Analisis deskriptif dengan pendekatan studi kasus
Reforma penataan PKL buah pada kondisi buruk yang dinilai dari aspek sosial ekonomi dan hukum. Faktor internal yang mempengaruhi kondisi PKL buah meliputi komunikasi, sumberdaya, prilaku, kecenderungan menghadapi masalah dan perubahan implementasi kebijakan. Faktor eksternal yaitu premanisme, sikap masyarakat dan kondisi perekonomian negara.
3.
Nur Khanifah (2014)
Pola interaksi antara tim relokasi Mojokerto dengan PKL dalam implikasi kebijakan relokasi ke Benteng Pancasila
Deskriptif Kualitatif
Pola interaksi tim relokasi yaitu interaksi assosiatif yang mencakup kerjsama dan akomodasi. Tahapan yang dilakukan dengan sosialisasi, diskusi dan kesepakatan bersama. Interaksi tidak sempurna karena ada kesalahan pendataan jumlah PKL.
4.
Arlinda Miranti, Dyah Lituhayu (2012)
Evaluasi program penataan PKL di Kabupaten Tegal
Deskriptif Kualitatif
Program penataan pedagang kaki lima menghasilkan dampak positif yang lebih dirasakan oleh pihak pemerintah daerah setempat dan dampak negatif yang dirasakan oleh pedagang kaki lima. Muncul berbagai hambatan dalam pelaksanaan program penataan, seperti penolakan dari kelompok sasaran yaitu pedagang kaki lima sampai belum adanya tempat relokasi yang memenuhi keinginan dari pedagang kaki lima yaitu tempat yang strategis dan banyak pembeli.
1.11. Kerangka Pemikiran Pesatnya pertumbuhan penduduk di kota, menyebabkan pemenuhan akan kesempatan kerja secara terbatas pada sektor formal. Sektor informal merupakan sektor yang dianggap mampu menampung kesempatan kerja yang tinggi.
17
Munculnya sektor informal disebabkan oleh dua faktor yaitu kemiskinan di pedesaan yang kurang menyediakan pekerjaan, mendorong perpindahan penduduk dari desa ke kota dimana mereka tidak memiliki ketrampilan dan pendidikan yang cukup untuk bekerja di sektor formal sehingga mereka hanya bisa menjangkau sektor informal. Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor informal yang menjadi masalah yang turun temurun di kota. Hal ini karena tempat yang digunakan oleh para pedagang kaki lima berada diatas trotoar, badan jalan maupun ruang publik kota yang dianggap tidak legal. Untuk itu pemerintah melakukan penataan dan pembinaan pedagang kaki lima melalui kegiatan relokasi. Masalah pedagang kaki lima Kota Mojokerto juga menjadi perhatian utama pemerintah daerah seiring dengan munculnya kebijakan relokasi. Relokasi tidak hanya sekedar pemindahan fisik saja, tetapi juga pemindahan aktivitas sektor informal untuk membentuk satu aktivitas perdagangan yang baru dan manarik hati masyarakat. Permasalahan pedagang kaki lima juga tidak dapat berhenti dan teratasi hanya dengan relokasi karena masalah pedagang kaki lima juga dapat muncul setelah relokasi. Setiap permasalahan pedagang kaki lima di berbagai kota memiliki tindakan dan perlakuan yang berbeda tergantung pada karakter dan masalah dari pedagang kaki lima di wilayah tersebut. Relokasi menyebabkan berbagai jenis pedagang kaki lima dalam jumlah yang cukup besar berkumpul menjadi satu kawasan perdagangan. Hal ini merupakan salah satu potensi yang dapat digunakan untuk menggerakkan roda perekonomian usaha kecil. Berkumpulnya pedagang kaki lima dalam satu tempat akan membentuk sebuah sentra atau pusat aktivitas sektor informal yang dapat mendukung pengembangan wilayah. Sehingga, perlu dilakukan evaluasi penataan pedagang kaki lima kawasan Benteng Pancasila dengan memperhatikan pada kondisi perubahan pedagang kaki lima pasca relokasi dan keberlanjutan dari pengembangan sentra aktivitas sektor informal. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat ditunjukkan pada Gambar 1.2. berikut.
18
Kebijakan Relokasi Pedagang Kaki Lima ke Kawasan Benteng Pancasila
Perubahan Kondisi PKL Pasca Relokasi
Aspek Ekonomi mi
Aspek Sosial
Aspek Lingkungan
Keberlanjutan Pengembangan Sentra Aktivitas Sektor Informal
Kebutuhan Sarana Prasarana PKL
Keterkaitan kondisi PKL dengan keberlanjutan pengembangan sektor informal
Evaluasi Penataan PKL Kawasan Benteng Pancasila
Kesimpulan dan Rekomendasi
Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran Penelitian
19
Sistem Pengelolaan PKL
1.12. Pertanyaan Penelitian Relokasi pedagang kaki lima ke Kawasan Benteng Pancasila menjadi bagian dari penataan ruang yang dilakukan untuk menempatkan kegiatan sektor informal pada satu kawasan yang telah diperuntukkan.
Seiring telah
dilaksanakannya relokasi, di satu sisi menimbulkan perubahan kondisi pedagang kaki lima di tempat yang baru. Berkumpulnya berbagai jenis pedagang kaki lima pada satu kawasan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sentra aktivitas sektor informal. Di sisi lain, masih dibutuhkan suatu evaluasi dalam penilai penataan pedagang kaki lima di kawasan Benteng Pancasila. Berdasarkan uraian tersebut, diperoleh pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Perubahan kondisi pedagang kaki lima pasca relokasi 1) Bagaimana perubahan kondisi PKL Joko Sambang dan Alun-alun yang ditinjau dari aspek ekonomi? 2) Bagaimana perubahan kondisi PKL Joko Sambang dan Alun-alun yang ditinjau dari aspek sosial? 3) Bagaimana perubahan kondisi PKL Joko Sambang dan Alun-alun yang ditinjau dari aspek lingkungan? 2. Evaluasi kebijakan penataan pedagang kaki lima kawasan Benteng Pancasila sebagai sentra aktivitas sektor informal 1) Bagaimana kebutuhan sarana dan prasarana penunjang aktivitas PKL Joko Sambang dan Alun-alun di Kawasan relokasi Benteng Pancasila? 2) Bagaimana sistem pengelolaan PKL Joko Sambang dan Alun-alun di kawasan relokasi Benteng Pancasila? 3) Bagaimana keterkaitan antara perubahan kondisi PKL Joko Sambang dan Alun-alun dengan keberlanjutan pengembangan sentra aktivitas sektor informal ?
20