BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah dan permukiman sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia tidak akan berhenti menjadi sumber masalah dalam kehidupan manusia. Sejak zaman manusia purba hidup dalam gua-gua sampai saat ini dimana manusia hidup dalam gedung-gedung pencakar langit ataupun rumah-rumah susun, permasalahan selalu muncul dan cenderung semakin kompleks. Keberadaan rumah selain sebagai tempat berlindung, juga merupakan privasi dan jatidiri/identitas penghuninya. Tuntutan kebutuhan manusia yang tidak pernah terpuaskan inilah yang menjadi salah satu sebab munculnya masalah-masalah baru dalam proses pengadaan rumah. Rumah sebagai bangunan fisik, dipandang dari segi kegunaan memiliki arti sebagai tempat perlindungan yang mempunyai dinding dan atap, baik tetap ataupun sementara yang digunakan untuk tempat tinggal maupun bukan tempat tinggal (BPS, 1980 dalam Lukisari, 2006). Seiring dengan kemajuan zaman, kebutuhan rumah yang lengkap baik dari fasilitas maupun aksesbilitas semakin dibutuhkan manusia. Indonesia sebagai negara berkembang berpenduduk kurang lebih 230 juta tentu saja memiliki kebutuhan rumah yang sangat besar. Kebutuhan rumah mengalami peningkatan pula seiring pertambahan jumlah penduduk. Hasil survey BPS pada tahun 2010 menunjukkan tingkat kebutuhan rumah di Indonesia mencapai 8 juta unit, belum termasuk kebutuhan rumah akibat pertambahan jumlah penduduk yang mencapai 800.000 – 900.000 unit per tahun. Jumlah ini tidak sebanding dengan pembangunan perumahan pada tahun 2010 yang hanya mencapai 10.000 unit. Turner (1976 dalam Lukisari, 2006) menyebutkan ada tiga pihak yang dalam pembangunan perumahan yaitu pemerintah (public service), swasta (private service), dan masyarakat (comunity sector). Pemerintah sebagai pihak yang berwenang mengatur kebijakan pembangunan termasuk sektor perumahan seharusnya mampu berperan sebagai penghasil (provider) sekaligus sebagai pemberi bantuan atau dorongan. Selain itu pemerintah juga harus mampu mengkoordinasikan pembangunan perumahan yang dilakukan oleh swasta atau masyarakat, melalui peraturan-peraturan, sehingga pembangunan lebih terarah. 1
Namun kenyataannya, pada saat ini pembangunan perumahan lebih banyak dilakukan oleh pengembang swasta dan masyarakat. Pembangunan oleh masyarakat biasanya dilakukan secara pribadi pada lahan sendiri sehingga sering mengabaikan fasilitas
umum
penunjang
perumahan,
sedangkan
pengembang
swasta
lebih
menitikberatkan pada keuntungan sehingga perumahan yang dibangun kadang tidak memenuhi standar rumah huni dan tidak memperhatikan kondisi lingkungan. Untuk mewadahi pengembang swasta di Indonesia dibentuklah Persatuan Pengusaha Real Estate Indonesia (REI), agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat antar pengembang swasta dan sebagai jembatan komunikasi antara pengembang swasta dengan pemerintah. Daerah yang sering dijadikan sasaran pengembang swasta sebagai tempat pembangunan perumahan baru adalah kawasan pinggiran kota (sub urban), dikarenakan lahan yang tersedia masih luas, harga lahan yang relatif lebih rendah daripada kawasan dalam kota, aksesibilitas yang cukup baik, serta kondisi sosial kemasyarakatan yang cenderung lebih bersahabat. Banyaknya pembangunan perumahan baru yang tidak terencana dengan baik sering menimbulkan berbagai masalah, baik masalah lingkungan ataupun sosial. Permasalahan lingkungan terutama diakibatkan oleh perubahan penggunaan lahan, biasanya dari lahan pertanian menjadi lahan terbangun, sehingga menyebabkan turunnya produktifitas pangan di daerah tersebut. Sedangkan masalah sosial lebih diakibatkan oleh proses adaptasi dan akulturasi yang tidak lancar antara warga sekitar dengan penghuni baru perumahan. Kecamatan Banguntapan merupakan wilayah Kabupaten Bantul yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta. Sebagai wilayah yang memiliki interaksi langsung dengan Kota Yogyakarta, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantul, Kecamatan Banguntapan dimasukkan dalam Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) II bersama Kecamatan Sewon dan Kasihan, yang arahan utama pembangunannya untuk pengembangan kawasan permukiman dan pelayanan yang berorientasi perkotaan. Dengan luas wilayah 28,48 km2 dan jumlah penduduk 120.123 jiwa, Kecamatan Banguntapan merupakan wilayah terpadat di Kabupaten Bantul (BPS Kabupaten Bantul, 2010). Dengan aksesibilitas yang baik dan kondisi fisik dan sosial yang mendukung, tidak heran jika Kecamatan Banguntapan menjadi salah satu wilayah yang mengalami pertumbuhan perumahan baru relatif tinggi. 2
Pembangunan perumahan yang tidak terancana pada akhirnya akan menjadi masalah di kemudian hari. Oleh karena itu dalam proses pemilihan letak untuk pembangunan perumahan perlu mempertimbangkan kondisi lahan, serta kesesuaian dengan tata ruang yang telah dibuat pemerintah, yang diwujudkan dengan evaluasi lahan. Pada dasarnya, evaluasi lahan merupakan proses pendugaan kemampuan lahan untuk berbagai penggunaan lahan, sehingga dalam prosesnya perlu mempertimbangkan beberapa kemungkinan penggunaan serta faktor pembatas lahan yang nantinya dapat digunankan sebagai dasar penilaian apakah lahan tersebut memiliki potensi atau kemampuan yang dapat mendukung keberadaan penggunaan lahan di atasnya. Dalam hal ini, digunakan untuk pendugaan apakah lahan tersebut cocok digunakan untuk pembangunan perumahan atau tidak. Tekhnik penginderaan jauh dapat diterapkan dalam penentuan letak perumahan karena menyediakan informasi yang lengkap, akurat, dan cepat dengan tingkat ketelitian yang tinggi sehingga dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya (Sutanto, 1992). Informasi yang dimaksudkan adalah data fisik lahan yang akan digunakan sebagai masukan dalam proses evaluasi kesesuaian lahan untuk penentuan letak perumahan. Semakin lengkap dan akurat informasi fisik lahan yang diekstraksi dari hasil penginderaan jauh, maka akan semakin akurat pula hasil evaluasi kesesuaian lahan yang dilakukan. Citra Quickbird adalah salah satu hasil penginderaan jauh sistem satelit mutakhir yang memiliki resolusi spasial dan temporal yang tinggi, sehingga sangat baik digunakan sebagai sumber data untuk meyajikan informasi fisik lahan yang dibutuhkan. Kemampuan teknik penginderaan jauh untuk penentuan letak perumahan dapat juga dipermudah dengan adanya suatu basis sistem informasi yang cocok untuk analisis masalah keruangan yang disebut Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG merupakan sarana pengolah data berbasis digital yang cepat, mampu menampung data dalam jumlah banyak, mudah memperbaharui dan memanggil kembali serta menyajikannya dalam format yang baik sesuai dengan kebutuhan.
3
1.2. Perumusan Masalah Perkembangan wilayah dan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi akan menyebabkan tekanan kepada lahan semakin besar, terutama sebagai pemenuhan tempat tinggal dan sarana beraktifitas. Luas lahan yang statis pada akhirnya tidak akan mampu mengimbangi jumlah penduduk yang cenderung bertambah, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari non permukiman menjadi permukiman untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kecamatan Banguntapan merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Bantul yang mengalami perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan permukiman dan tempat usaha yang paling besar. Salah satu faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan tersebut adalah maraknya pembangunan perumahan baru yang dilakukan pengembang swasta, baik yang masuk dalam anggota REI ataupun pengembang yang bersifat perorangan. Pembangunan perumahan baru di Kecamatan Banguntapan dalam kurun waktu 1995-2013 tercatat sebanyak 62 perumahan, salah satu yang terbanyak dibandingkan kecamatan di Kabupaten Bantul lainnya. Tabel 1.1. Perumahan yang Dibangun di Kecamatan Banguntapan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Nama Perumahan Asana Mutiara 3 Baturetno Permai Bona Topaz Residence Bumi Citra Asri Bumi Citra Lestari Bumi Raya Indah Citra Pesona Mandiri Dalem Giri Permai Dalem Kotagede Asri Graha Mulya Grahatama Permai 2 Griya Abimana 1 Griya Abimana 2 Griya Amartha Griya Gilang Asri Griya Harmoni Pratama II Griya Harmoni Pratama IV Griya Mahakam Permai 4
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59
Griya Mutiara Griya Romansa Griya Taman Karinda Griya Tamanan Asri Griya Wirokerten Pratama Janti Buana Asri Janti Graha Yasa Janti Residence Jogja Elegance Mutiara Tamanan Permata Garden Regency Perum Bumi Mandiri Wirokerten Perum Griya Kunden Astini Perum Griya Wirokerten Indah Perum Pemda Propinsi Perum Pesona Banguntapan Hijau I Perum Pesona Banguntapan Hijau IV Perumahan Azzafira Perumahan Banguntapan Asri Perumahan Graha Banguntapan Perumahan Griya Mulya Sari Perumahan Pesona Tamanan Asri Perumahan Puri Wirokerten Asri Perumahan Tiara Mas 1 Pesanggrahan Wirokerten Pesona Alam Pondok Indah Banguntapan Pondok Permai Banguntapan Pondok Permai Blok O Potorono Residence Puri Maheswari Puri Sakinah Puri Sakinah 2 Puri Tamanan Indah Purimas Tamansari Purimas Tamansari 2 Samara Regency Taman Hijau Residence The Green Leaves Tiara Mas Blok O Villa Banguntapan Asri 3 5
60 Villa Cemara 61 Villa Harmony Banguntapan 62 Wiyoro The Residence Sumber: Survei lapangan (2013) Pesatnya pertumbuhan perumahan baru di Kecamatan Banguntapan didorong oleh aksesibilitas yang baik, terutama dengan keberadaan Jalan Lingkar Selatan yang melewati Kecamatan Banguntapan dan Terminal Induk Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemudahan transportasi akan menyebabkan konsumen lebih berminat membeli unit perumahan di Kecamatan Banguntapan, selain harga rumah yang relatif lebih murah dibandingkan perumahan di dalam Kota Yogyakarta. Pertumbuhan perumahan baru dipercepat pula oleh munculnya pengembang perorangan yang memiliki modal terbatas. Hal ini mengakibatkan terjadinya pembangunan perumahan baru pada lahan sempit dan tidak terencana dengan baik, sehingga menimbulkan masalah terutama ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan perumahan Studi mengenai penentuan lokasi perumahan di kawasan pinggiran kota perlu dilakukan, mengingat selama ini pembangunan perumahan baru yang telah ada di kawasan tersebut cenderung dilakukan tak terencana, terutama berkaitan dengan lingkungan dan keruangannya. Penentuan lokasi perumahan sebaiknya dilakukan dengan komperhensif dengan mempertimbangkan faktor kesesuaian lahan secara fisik dan aksesibilitas, sehingga pengembang dapat menentukan lokasi perumahan yang menguntungkan secara ekonomi namun tidak pula mengesampingkan lingkungan dan tata ruang yang telah dibuat pemerintah. Salah satu teknik untuk penentuan lokasi perumahan yang efektif dan efisien tetepi belum banyak digunakan adalah dengan memanfaatkan citra penginderaan jauh. Penelitian ini menggunakan citra Qiuckbird sebagai masukan data utama karena memiliki resolusi spasial dan temporal yang baik. Citra Quickbird memiliki resolusi spasial mencapai 0,6 m (pankromatik) dan 2,4 m (multispektral), sehingga mempunyai gambaran piktorial yang baik dan sangat mungkin diterapkan untuk kajian keruangan skala detail. Selain itu Citra Quickbird relatif mudah didapatkan dan dapat diunduh gratis melalui aplikasi Google Earth. Dalam penentuan lokasi perumahan, citra Quickbird akan
6
digunakan sebagai sumber data keruangan, yaitu untuk menentukan kondisi fisik lahan dan aksesibilitas. Berdasarkan uraian di atas, beberapa pertanyaan penelitian yang melatarbelakangi penelitian ini yaitu : 1. Bagaimana kemampuan citra Quickbird untuk menyadap parameter fisik dan aksesibilitas lahan dalam penentuan perumahan di Kecamatan Banguntapan? 2. Bagaimana kesesuaian lahan untuk perumahan di Kecamatan Banguntapan bersadarkan parameter fisik dan aksesibilitas lahan? 3. Dimana prioritas lokasi yang sesuai untuk pembangunan perumahan di Kecamatan Banguntapan? Beradasarkan pertanyaan penelitian tersebut, penulis akan melakukan penelitian dengan judul : ”Penggunaan Citra Satelit Quickbird Untuk Penentuan Prioritas Lokasi Perumahan di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul”.
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengkaji kemampuan citra Quickbird untuk menyadap parameter fisik dan aksesibilitas dalam penentuan perumahan di Kecamatan Banguntapan. 2. Mengkaji kesesuaian lahan untuk perumahan di Kecamatan Banguntapan berdasarkan parameter fisik dan aksesibilitas. 3. Menyusun rekomendasi prioritas lokasi dalam pembangunan perumahan di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul
1.4. Sasaran Penelitian 1. Peta Penggunaan Lahan, Peta Kelas Kemiringan Lereng, Peta Kerawanan Banjir 2. Peta Jarak Terhadap Jalan Utama, Peta Jarak Terhadap Jaringan Listrik, Peta Jarak Terhadap Jaringan Air Minum, Peta Jarak Terhadap Fasilitas Umum 3. Peta Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter Fisik Lahan dan Peta Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter Aksesibilitas 4. Peta Prioritas Lokasi Perumahan
7
1.5. Kegunaan Penelitian 1. Mengembangkan konsep perpaduan penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam penentuan lokasi untuk perumahan. 2. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan dalam pembangunan perumahan dan permukiman. 3. Sebagai bahan pertimbangan pengembang swasta untuk pemilihan lokasi pembangunan perumahan di daerah penelitian.
1.6. Tinjauan Pustaka 1.6.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah upaya untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena tersebut. Informasi didapatkan dengan sebuah sistem penginderaan yang terdiri dari berbagai komponen dan interaksi antar komponen (Sutanto, 1994). Gambar 1.1 menunjukkan rangkaian komponen tersebut yang meliputi : 1) sumber tenaga, 2) atmosfer, 3) objek, 4) sensor, serta 5) perolehan data dan penggunaan data.
Gambar 1.1. Sistem Penginderaan Jauh (Sutanto, 1994) Sumber tenaga dapat berupa tenaga alami (matahari) maupun buatan yaitu sinyal radio. Tenaga ini berinteraksi dengan objek di permukaan bumi, kemudian dipantulkan ke sensor. Atmosfer berperan sebagai media penghantar tenaga yang berasal dari matahari dan penyampai sinyal yang ditransmisikan atau dipantulkan oleh objek di 8
permukaan bumi. Pengaruh atmosfer bersifat selektif terhadap panjang gelombang. Berdasarkan pengaruh ini akan muncul istilah jendela atmosfer, yaitu spektrum elektromagnetik yang dapat melalui atmosfer dan mencapai permukaan bumi. Setiap kenampakan di permukaan bumi dapat dilacak informasinya karena setiap objek memiliki karateristik spektral tersendiri dalam interaksinya dengan tenaga yang mengenainya, sehingga menimbulkan perbedaan jumlah tenaga yang dipantulkan. Sensor yang terpasang pada wahana berfungsi sebagai alat perekam sistem penginderaan jauh. Setiap sensor memiliki resolusi spektral, yaitu kepekaan sensor terhadap bagian spektrum elektromagnetik tertentu, dan resolusi spasial yang berbeda. Perbedaan kedua hal ini sangat berpengaruh pada kualitas citra penginderaan jauh yang dihasilkan. Perolehan data dapat dilakukan secara manual maupun digital menggunakan komputer. Penggunaan data merupakan komponen sangat penting dalam penginderaan jauh karena komponen ini menentukan dapat diterima atau tidaknya hasil penginderaan jauh untuk suatu aplikasi. Semakin pesat perkembangan teknologi penginderaan jauh, semakin luas pula aplikasinya karena data penginderaan jauh dapat diandalkan dalam analisis keruangan serta hemat waktu, tenaga, dan biaya. Meskipun demikian penggunaan data penginderaan jauh harus selalu memperhatikan kerincian data terhadap tujuan dan skala penelitian yang dilakukan. 1.6.2. Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer dengan kemampuan menangani data spasial meliputi: pemasukan (input), pengelolaan (management), manipulasi dan analisis, dan keluaran (output) (Aronoff, 1989). SIG adalah sistem informasi yang berbasis keruangan (spasial). SIG mampu menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut dalam suatu basis data. Basis data disini diartikan sebagai sekumpulan informasi tentang sesuatu beserta hubungan satu dengan yang lainnya (Aronoff, 1989). Pada tahap selanjutnya, SIG membentuk dan menyimpannya dalam tabel-tabel relasional sekaligus menghubungkan unsur-unsur tersebut beserta atributnya. Dengan demikian atribut-atribut dapat diakses melalui lokasi unsur-unsur peta, dan sebaliknya unsur-unsur peta dapat diakses berdasarkan atributnya
9
Basis data merupakan kumpulan dari banyak data yang di dalamnya mampu mengakses data dari satu atau banyak data dengan mudah yang memerlukan bermacammacam struktur atau organisasi (Burrough, 1986). Secara umum basis data terdapat dua data yang berbeda, yaitu data geometrik atau data spasial dan data non-geometrik atau sering disebut sebagai data atribut. Data geometrik disebut sebagai data grafis, memiliki keterangan, lokasi, ukuran dan dimensi yang dapat dipresentasikan ke dalam sistem koordinat. Sistem Informasi Geografis (SIG) terdiri dari tiga komponen dasar yang dapat digunakan untuk memasukkan data, proses manipulasi / analisa data, dan keluaran data. Secara garis besar ketiga komponen dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Masukan Data Input data pada SIG adalah data dasar yang dipakai sebagai data yang bersifat spasial dimana data ini digunakan sebagai data mentah dalam analisis selanjutnya. Data-data tersebut dapat berupa peta analog, peta digital, peta hasil interpretasi foto udara atau citra satelit sebagai data grafis, serta data tabel sebagai data atribut. Data masukan ini memegang peranan yang
sangat penting, karena analisis dan manipulasi data
selanjutnya sangat tergantung dari keakuratan data ini. 2. Proses Manipulasi dan Analisis Data Sistem ini berfungsi untuk membedakan data yang akan diproses dalam SIG dan digunakan untuk merubah format data, memanipulasi data, dan menganalisa data. Pemrosesan data yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan SIG antara lain adalah : pengubahan format data, pengukuran jarak dan luas, tumpangsusun dan sebagainya. Berbagai proses tersebut selalu disesuaikan dengan tujuan serta informasi yang ingin dihasilkan. Pemrosesan data dalam SIG dapat dilakukan baik terhadap data grafis maupun data atributnya. Data grafis yang merupakan data yang berbentuk peta dalam format digital dapat dilakukan berbagai pemrosesan yang diharapkan dapat menghasilkan informasi baru yang digunakan sebagai dasar analisis dalam penelitian, sedangkan pemrosesan data tabuler dilakukan dengan menggunakan dasar perhitungan matematis.
10
3. Keluaran Data Keluaran data adalah suatu prosedur penyajian informasi yang dihasilkan oleh SIG dalam bentuk yang sesuai dengan para pengguna (Aronoff,1989). Sistem keluaran berfungsi untuk menayangkan informasi ataupun hasil analisis data geografis secara kualitatif ataupun kuantitatif. Keluaran ini dapat berupa softcopy yang berupa tabel, peta, ataupun arsip elektronik (electronic file), dan dalam bentuk hardcopy yang berupa peta-peta. 1.6.3. Citra Satelit Quickbird Citra Satelit Quickbird adalah citra satelit dengan resolusi spasial yang tinggi berpotensi untuk aplikasi dalam bidang pemetaan, manajemen sumberdaya, perencanaan kota,
telekomunikasi,
pertanian
dan
aplikasi
pembangunan
lainnya.
(http://
www.digitalglobe.com/quickbird.html. Januari 2010). Satelit Quickbird diluncurkan oleh roket Boeing Delta II di Pangkalan Angkatan Udara Vandenberg, California, USA
pada tanggal 18 Oktober 2002. Satelit ini
mempunyai orbit sunsynchronous pada ketinggian 450 km dari permukaan laut dengan sudut inklinasi sebesar 97,20. Satelit Quickbird bergerak melintasi bumi sebanyak 14 kali dalam sehari atau memerlukan 93,4 menit untuk sekali lintasan dengan kecepatan 7 km/detik atau 25.560 km/jam. Dengan orbit ini, satelit akan melintasi equator pada waktu yang tetap yaitu pukul 10.30. Hal ini memungkinkan melakukan perekaman di setiap daerah equator pada siang hari. Dengan kemampuan 11 bit per piksel (2048 gray scale) berarti mempunyai kualitas cita yang lebih baik karena gradasi keabuan mengalami peningkatan 8 kali dibandingkan tipe 8 bit (256 gray scale) yang telah dimiliki sebagian besar citra satelit yang ada saat ini. Resolusi temporalnya citra satelit ini kurang lebih tiga hari, sehingga sangat mudah untuk memperbarui data untuk cakupan daerah seluas 16,5 km x 16,5 km dalam waktu 4 detik. (http://www.digitalglobe.com/quickbird.html.. Januari 2010). Resolusi spasial Quickbird yang bervariasi ini memungkinkan untuk dilakukan proses fusi (data fusion) untuk mendapatkan citra baru dengan kualitas visual lebih detail. Data digital satelit Quickbird yang dikeluarkan oleh vendor Digital Globe telah terkoreksi secara geometrik, artinya data citra Quickbird mempunyai kedudukan koordinat yang 11
tepat pada permukaan bumi, sehingga memungkinkan digunakan sebagai data untuk pemetaan. Tabel 1.2. Karateristik Sensor Satelit Quickbird Tanggal peluncuran
18 Oktober 2001
Awak peluncur
Boeing Delta II
Lokasi peluncuran
Vandenberg Air Force Base, California, USA
Orbit Altitude
450 Km
Orbit Inclination
97.2º, sun-synchronous
Kecepatan
7.1 Km/second - 25,560 Km/hour
Waktu melintas Equator
10:30 a.m. (descending node)
Waktu orbit
93.5 minutes
Waktu pengulangan
1-3.5 days depending on Latitude (30º off-nadir)
Lebar sapuan
16.5 Km x 16.5 Km at nadir
Metric Accuracy
23-meter horizontal (CE90%)
Digitization
11 bits Pan: 61 cm (nadir) to 72 cm (25º off-
Resolusi spasial
nadir) MS: 2.44 m (nadir) to 2.88 m (25º offnadir)
Resolusi spektral
Pan:
450 - 900 nm
Blue:
450 - 520 nm
Green: 520 - 600 nm Red:
630 - 690 nm
Near IR 760 - 900 nm Sumber : http://www.digitalglobe.com/quickbird.html (Januari 2010) 12
1.6.4 Unsur-Unsur Interpretasi citra Menurut Estes dan Holz (1984, dalam Sutanto, 1986) menyatakan bahwa kegiatan interpretasi dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu deteksi, klasifikasi, analisa, dan penilaian arti penting dari objek yang dikaji. Sedangkan menurut Sutanto (1986), kegiatan interpretasi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah pelaksanaan penyadapan dari foto udara atau citra, bagian kedua adalah penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Pengenalan objek dilakukan dengan cara menyidik karakteristik objek yang tergambar dengan memperhatikan kesembilan unsur, yaitu rona / warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi. 1. Rona / Warna Rona merupakan tingkat gelap atau cerah relatif objek pada citra/foto. Rona pada foto pankromatik merupakan atribut bagi objek yang berinteraksi dengan saluran spektrum tampak. Warna adalah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak. 2. Ukuran Ukuran ialah atribut objek, antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Karena ukuran objek pada citra merupakan fungsi skala, maka di dalam memanfaatkan ukuran sebagai unsur interpretasi citra harus diingat skalanya. 3. Bentuk Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu objek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja. 4. Tekstur Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok objek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. Tekstur sering dinyatakan dengan kasar dan halus.
13
5. Pola Pola ialah hubungan susunan spasial objek. Pengulangan bentuk umum tertentu atau hubungan merupakan karakteristik bagi banyak objek alamiah maupun bangunan, dan akan memberikan suatu pola yang membantu penafsir untuk mengenali suatu objek. 6. Bayangan Bayangan bersifat menyembunyikan detil yang berada di daerah gelap. Di samping menutup objek atau gejala, bayangan sering merupakan kunci pengenalan yang penting seperti pengenalan tinggi objek. 7. Situs Situs bukan merupakan ciri objek secara langsung, tetapi lebih berkaitan dengan lingkungan sekitarnya, atau dengan kata lain merupakan letak relatif objek terhadap objek lainnya. 8. Asosiasi Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara objek yang satu dengan objek yang lain, karena adanya keterkaitan maka terlihatlah suatu objek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya objek lain.
1.6.5. Perumahan dan Permukiman Menurut UU No. 4 Tahun 1992, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Perumahan adalah sekelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan hidup. Sedangkan permukiman diartikan sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Yunus (1987, dalam Lukisari, 2006) menekankan pemaknaan perumahan dan permukiman dari lingkup skala bahasan maupun dari segi skala wilayah. Secara luas 14
permukiman diartikan sebegai semua bentukan buatan maupun alami dengan segala perlengkapannya, yang diperlukan manusia baik secara individu maupun kelompok, untuk bertempat tinggal sementara maupun menetap, dalam rangka menyelenggarakan kehidupannya. Perumahan dimaknai sebagai kelompok bangunan rumah dengan segala kelengkapannya, yang digunakan manusia sebegai tempat tinggal secara menetap maupun sementara, dalam rangka menyelenggarakan kehidupannya. Yunus (2007) menggunakan skala relatif mengenai besar kecilnya ujud permukiman, yaitu skala permukiman mikro, meso dan makro. Skala permukiman makro meliputi sistem kota atau sistem kota-kota dalam wilayah yang relatif luas, pembahasan dapat dilakukan dalam teritori yang luas sampai ke kota-kota secara individual. Dalam skala permukiman meso meliputi bagian tertentu dari kota-kota secara individual yang betul-betul digunakan untuk tempat tinggal penduduk misalnya kampung, blok, komplek perumahan. Kemudian dalam skala permukiman mikro lebih memusatkan perhatiannya pada bangunan-bangunan yang digunakan penduduk untuk tempat tinggal sehari-hari atau rumah-rumah penduduk. Dalam penelitian ini skala permukiman yang digunakan adalah skala permukiman meso. Permukiman skala meso, sebagai suatu ruang yang dipergunakan oleh manusia untuk bertempat tinggal, terbentuk dari unsur-unsur yang mendukung terciptanya suatu keadaan yang memungkinkan manusia untuk menyelenggarakan kehidupannya. Menurut Yunus (2007) terdapat lima macam unsur pendukung skala permukiman meso, yaitu pertama adalah tempat/kesempatan kerja dengan segala sarana dan prasarananya (working opportunities), kedua adalah jalur transportasi dengan segala sarana dan prasarananya (circulation), ketiga adalah perumahan dengan segala kelengkapan dan fasilitasnya (housing), keempat adalah hiburan/sejenisnya dengan segala sarana dan prasarananya (recreation) dan kelima adalah hal-hal yang tidak termasuk ke dalam empat unsur sebelumnya tetapi mutlak diperlukan dalam kehidupan masyarakat modern (perfecting elements) contohnya fasilitas pendidikan, keagamaan, kesehatan dan jaringan utilitas umum.
15
1.6.6 Evaluasi Kesesuaian Lahan Sitorus (1985) mengemukakan tujuan evaluasi lahan adalah memberikan pengertian tentag hubungan-hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil. Hasil akhir dari evaluasi lahan adalah kepuasan bagi pengguna lahan yang optimum, baik dalam bentuk usaha pribadi atau untuk keperluan umum. Menurut FAO, kegiatan utama dalam evaluasi lahan meliputi : 1. Konsultasi pendahuluan yang meliputi penetapan yang jelas tentang tujuan evaluasi, jenis data yang digunakan, asumsi yang digunakan dalam evaluasi, daerah penelitian, serta intensitas dan skala survei. 2. Penjabaran dari jenis penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan dan persyaratan-persayaratan yang diperlukan. 3. Deskripsi peta satuan lahan dan kualitas lahan berdasarkan persyaratan yang diperlukan untuk penggunaan lahan tertentu dan pembatas-pembatasnya. 4. Membandingkan jenis penggunaan lahan dengan tipe-tipe lahan yang ada 5. Penyajian hasil evaluasi
1.7. Penelitian Sebelumnya Dibyosaputro dan Sunarto (1990), melakukan penelitian evaluasi lahan untuk perkembangan permukiman Kota Wates, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman dengan pendekatan geomorfologis. Data parameter geomorfologis didapat dari interpretasi foto udara dan kegiatan lapangan. Parameter geomorfologis yang digunakan untuk evaluasi kesesuaian lahan permukiman adalah: kemiringan lereng, kerapatan dan kedalaman alur, proses geomorfologis dan material penyususn, dan penggunaan lahan. Metode yang digunakan adalah kuantitatif empiris, dengan memberikan nilai harkat pada setiap parameter geomorfologis dalam setiap satuan lahan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa foto udara dapat digunakan untuk menyadap data parameter geomorfologis lahan yang diperlukan dalam evaluasi
16
kesesuaian lahan permukiman, dan sebagain besar Kota Wates terletak pada kelas sangat sesuai dan sebagian kecil pada kelas sesuai. Handoko (2003), melakukan penelitian evaluasi kesesuaian lahan untuk pemilihan lokasi perumahan di sebagian Kabupaten Sleman bagian Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian bertujuan untuk menentukan lokasi pembangunan perumahan berdasarkan aspek fisik dan non fisik lahan. Aspek fisik dan non fisik lahan disadap dari foto udara, cek lapangan, dan data sekunder, yaitu: penggunaan lahan, kemiringan lereng, kerentanan gerak massa batuan, drainase tanah, daya dukung tanah, kedalaman muka air tanah dangkal, jarak dari jalan utama, jarak dari jaringan telepon, dan jarak dari jaringan listrik. Metode yang digunakan adalah kuantitatif empiris dengan pengharkatan tiap-tiap parameter lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar daerah Kabupaten Sleman bagian timur sangat sesuai untuk lokasi pembangunan perumahan. Mustakim (2003), melakukan penelitian evaluasi kesesuaian lahan untuk penentuan prioritas lokasi perumahan menengah di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Penelitian bertujuan untuk menentukan prioritas lokasi perumahan dengan parameter fisik lahan, jarak, dan tata ruang kota. Parameter yang digunakan diperoleh dari hasil ekstraksi foto udara, survey lapangan, dan data sekunder. Parameter yang digunakan untuk penilaian adalah: kemiringan lereng, kerawanan banjir, daya dukung tanah, drainase tanah, kedalaman air tanah, kualitas air tanah, jarak dari jalan utama, ketersediaan air minum, jarak dari jaringan listrik, jarak dari jaringan telepon, dan jarak dari fasilitas umum. Metode yang digunakan adalah kuantitatif empiris dengan permberian nilai harkat pada tiap paremeter lahan yang digunakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa foto udara memiliki kemampuan yang baik dalam menyadap paramater-parameter fisik perkotaan, dan Kota Pekalongan sebagian besar sesuai untuk lokasi perumahan menengah. Lukisari (2006), melakukan penelitian evaluasi kesesuaian lahan di Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi lahan untuk penentuan lokasi perumahan dengan pertimbangan kondisi fisik lahan dan aksesibilitas. Data diperoleh dari interpretasi citra Ikonos, survey lapangan, dan data sekunder. Parameter yang digunakan untuk evaluasi kesesuaian lahan 17
yaitu: kemiringan lereng, kembang kerut tanah, daya dukung tanah, kedalaman air tanah, kerawanan banjir, jarak dari jalan utama, jarak dari jaringan listrik, jarak dari jaringan telepon, jarak dari jaringan air minum, jarak dari sarana umum, dan jarak dari saluran drainase. Metode yang digunakan kuantitatif empiris dengan pengharkatan parameter fisik dan aksesibilitas lahan. Hasil penelitian menunjukkan citra Ikonos memiliki kemampuan yang sangat baik untuk sumber ekstraksi data parameter lahan untuk studi perumahan, dan penentuan lokasi prioritas perumahan di Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Tabel 1.3. Perbandingan Dengan Penelitian Sebelumnya Peneliti
Tahun
Lokasi
Tujuan
Metode
Hasil Penelitian
Interpretasi foto udara, kuantitatif empiris dengan pengharkatan parameter geomorfologi setiap saruan lahan Interpretasi foto udara, pengharkatan terhadap perameter lahan fisik dan non fisik Interpretasi foto udara, pengharkatan parameter fisik lahan dan parameter jarak
Peta kelas kesesuaian lahan untuk permukiman
Interpretasi citra Ikonos, pengharkatan perameter fisik lahan dan parameter aksesibilitas Interpretasi citra Quickbird, pengharkatan parameter fisik dan aksesibilitas lahan
Peta prioritas lokasi perumahan
Suprapto Dibyosaputro dan Sunarto
1990
Kota Wates, Kabupaten Kulonprogo
Evaluasi kesesuaian lahan permukiman dengan pendekatan geomorfologis
Albertus Dwi Handoko
2003
Kabupaten Sleman, DIY
Penentuan lokasi pengembangan perumahan berdasarkan aspek fisik dan non fisik
Mustakim
2003
Kota Pekalongan, Jawa Tengah
Bambina Lukisari
2006
Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang
Resta Gunawan
2013
Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul
Penentuan prioritas lokasi perumahan menengah berdasarkan parameter fisik lahan, jarak, dan tata ruang kota Evaluasi kesesuaian lahan dalam penentuan lokasi perumahan dengan pertimbangan kondisi fisik lahan dan aksesibilitas Penentuan prioritas lokasi perumahan berdasarkan parameter fisk dan aksesibilitas lahan
Sumber: Telaah pustaka tahun 2013
18
Peta kelas kesesuaian lahan untuk lokasi perumahan
Peta prioritas lokasi perumahan menengah
Hasil yang diharapkan: Peta prioritas lokasi perumahan
1.8. Kerangka Pemikiran Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat pada akhirnya akan meningkatkan tekanan tekanan pada lahan yang ditempatinya. Hal ini terjadi karena lahan yang tersedia semakin lama semakin tidak mampu menampung jumlah penduduk yang meningkat cepat. Tekanan yang berlebihan pada lahan akan menyebabkan terjadinya masalah lahan, terutama menyangkut perubahan penggunaan lahan akibat peningkatan kebutuhan penduduk terhadap perumahan. Untuk menghindari tekanan yang berlebihan diperlukan perencanaan, baik dalam pengendalian jumlah penduduk maupun dalam pembangunan perumahan. Pembangunan perumahan pada lokasi yang tepat akan menghindari efek buruk dari perubahan penggunaan lahan. Pemilihan lokasi perumahan memerlukan beberapa masukan untuk bahan pertimbangan agar lokasi yang dipilih sesuai dengan kebutuhan, baik dari kondisi fisik maupun non fisik. Beberapa pertimbangan yang digunakan untuk penentuan lokasi perumahan adalah kesesuaian lahan berdasarkan aspek fisik dan akesibilitas, pertimbangan penggunaan lahan yang telah ada, dan tata ruang wilayah yang dikaji. Sumber data yang tepat dan akurat diperlukan dalam ekstraksi parameter yang mempengaruhi penilaian kesesuaian lahan untuk lokasi perumahan. Sumber data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Quickbird dilengkapi oleh data sekunder maupun data lapangan. Citra Quickbird digunakan untuk menghasilkan informasi keruangan berupa penggunaan lahan, bentuklahan, jarak dari jalan utama dan jarak dari fasilitas umum. Peta Rupa Bumi Indonesia digunakan untuk mengetahui batas administrasi wilayah maupun informasi kelas lereng melalui analisis kontur. Peta-peta tematik digunakan untuk memperoleh informasi jaringan listrik, air minum, dan kerawanan banjir. Sedangkan kegiatan lapangan dilakukan untuk uji interpretasi dengan kondisi sebenarnya. Proses penentuan lokasi perumahan dilakukan dengan pengharkatan masingmasing parameter lahan secara bertingkat untuk mendapatkan kekesuaian lahan berdasarkan aspek fisik lahan maupun aksesibilitas. Peta rekomendasi akhir prioritas lokasi perumahan didapatkan dari penapisan peta kesesuaian lahan beradasarkan aspek fisik dan aksesibilitas dengan penggunaan lahan yang telah ada saat ini dan luas minimal lahan yang diperbolehkan untuk pembangunan perumahan. 19
Kebutuhan perumahan
Informasi lokasi pembangunan perumahan
Parameter penentu lokasi pembangunan perumahan
Kondisi fisik lahan
Kondisi aksesibilitas
Penginderaan jauh untuk menyadap data
Kesesuaian lahan berdasarkan faktor fisik
Kesesuaian lahan berdasarkan faktor jarak
Pengolahan data dengan Sistem Informasi Geografis
Prioritas lokasi perumahan
Gambar 1.2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran 20
1.9. Batasan Istilah Aksesibilitas adalah kemudahan bergerak dari satu tempat ke tempat lain dalam satu wilayah yang erat sangkut pautnya dengan jarak (Bintarto, 1979) Bentuklahan adalah bentuk dan sifat dari kenampakan tertentu pada permukaan bumi (Suharsono, 1988) Citra adalah gambaran rekaman suatu obyek yang dibuahkan dengan cara optik, elektrooptik, optik-mekanik, atau elektronik. Pada umumnya ia digunakan bila radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan
dari suatu obyek tidak
langsung direkam pada film (Sutanto,1985) Evaluasi sumber daya lahan adalah proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan (Sitorus, 1985) Interpretasi citra adalah kegiatan mengkaji foto udara atau citra satelit dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar pada citra atau foto tersebut (Sutanto, 1994) Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu (Sitorus, 1985) Klasifikasi adalah penggolongan obyek-obyek ke dalam kelas-kelas dengan adanya persamaan sifat, atau ada kaitan antar obyek-obyek (Bintarto, 1987) Klasifikasi kesesuaian lahan adalah penafsiran dan pengelompokan atau proses penilaian dan pengelompokan lahan yang mempunyai tipe khusus dalam kesesuainnya secara mutlak atau relatif untuk suatu jenis tanaman atau penggunaan tertantu (FAO, 1976) Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, vegetasi, serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976) Penggunaan lahan adalah segela bentuk campur tangan manusia baik secara permanen maupun secara sekilas terhadap sumberdaya buatan yang secara keseluruahan disebut lahan dengan tujuan mencukupi segala kebutuhan baik material maupun spiritual maupun keduanya (Malingreau, 1981) Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan 21
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU No.4 Th. 1992) Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempal tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan (UU No.4 Th. 1992) Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya (UU No.4 Th. 1992) Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga (UU No.4 Th. 1992) Sarana lingkungan adalah fasililas penunjang, yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan penqembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya Sistem Informasi Geografis adalah suatu sistem berbasis komputer dengan kemampuan menangani data spasial meliputi pemasukan / input, pengelolaan (management), manipulasi dan analisis, dan keluaran / output (Aronoff, 1989)
22