BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archiphelagic state). Lebih
dari 17.500 baik pulau kecil maupun pulau besar tersebar di Indonesia. Seluruh provinsi di Indonesia memiliki kawasan pantai. Garis pantai yang membentang di Indonesia mencapai 81.000 kilometer (Dahuri, 2001). Selain itu, Indonesia juga dikarunia 15 formasi hutan alam yang membentang dari ujung barat di Sabang sampai ujung timur di Merauke. Formasi hutan alam tersebut merupakan habitat utama berbagai jenis flora dan fauna. Salah satu habitat flora dan fauna tersebut adalah formasi hutan pantai. Hutan pantai merupakan bagian dari ekosistem pesisir dan laut yang menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, penghasil obat-obatan yang bernilai ekonomi tinggi, tambang mineral dan energi, maupun kawasan rekreasi atau pariwisata pantai serta penemuan produk biochemical (Tuheteru dan Mahfudz, 2012). Banyak masyarakat menjadikan kawasan pesisir sebagai tempat tinggal mereka. Edgreen pada tahun 1993 memperkirakan bahwa sekitar 5070% dari 5,3 milyar penduduk bumi tinggal di kawasan pesisir (Kay dan Adler, 1999). Hal tersebut menunjukkan bahwa kawasan pesisir merupakan daerah yang berarti bagi kehidupan manusia. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan ekonomi masyarakat yang tinggi, desakan terhadap hutan pantai sangat mengkhawatirkan. Data menunjukan bahwa luas vegetasi pantai dari tahun ke tahun cenderung menurun, jika pada tahun 1996 luas vegetasi pantai mencapai 180.000 ha sampai tahun 2004 hanya tersisa 78.000 ha (Tuheteru dan Mahfudz, 2012). Dalam
konteks
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development), dunia memiliki kepedulian terhadap kawasan pesisir khususnya dalam bidang lingkungan. Hal tersebut ditunjukkan dalam Pertemuan Johannesburg yang diselenggarakan oleh PBB pada tahun 2002.
1
Salah satu agenda dalam Pertemuan Johannesburg menyebutkan bahwa wilayah pesisir merupakan sumberdaya alam yang perlu dilindungi dan dikelola berlandaskan pada pembangunan ekonomi dan sosial (Dartoyo, 2004). Sebagai konsekuensi negara kepulauan, Indonesia mimiliki tanggung jawab yang besar dalam pembangunan kawasan pesisir. Pembangunan kawasan pesisir tidak dapat lepas dari pembangunan kawasan pantai. Hal tersebut dikarenakan kawasan pantai merupakan bagian penting dari kawasan pesisir. Indonesia melalui Kementerian Kehutanan selama ini telah banyak melakukan proyek pembangunan kawasan pesisir. Proyek tersebut berupa rekontruksi kawasan pantai dampak bencana alam dan rehabilitasi kawasan pantai kritis. Pembangunan kawasan pantai tidak dapat lepas dari aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, serta hukum dan kelembagaan yang berlaku di masyarakat sekitar. Semakin terdesaknya lahan pesisir oleh penduduk, maka pelibatan masyarakat sekitar dalam pembangunan kawasan pesisir menjadi penting dan harus diutamakan. Rehabilitasi harus sinergi dengan potensi lokal, sehingga kearifan lokal tetap berkembang dan terjaga dengan baik. Masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam kegiatan rehabilitasi tersebut, dengan terlebih dahulu diberikan petunjuk teknis tanam yang tepat dan pengawasan langsung oleh tenaga ahli (Nugroho, 2009). Hal ini sejalan dengan perkembangan pengelolaan hutan yang sedang dikembangkan oleh para ahli kehutanan, yaitu paradigma kehutanan sosial. Bergulirnya demokrasi di Indonesia meningkatkan tuntutan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Masyarakat tidak bisa lagi dianggap sebagai “penonton” dalam proses pengelolaan sumberdaya hutan, tetapi harus menjadi bagian penting untuk mencapai kemakmuran (Santoso, 2004). Kesalahan pengalaman kegagalan masa lalu dalam mengelola sektor kehutanan telah terbukti sama sekali tidak memberdayakan masyarakat lokal.
2
Kabupaten Kebumen merupakan bagian dari bentangan kawasan Pesisir Selatan Jawa. Pesisir Selatan Jawa tergolong kawasan pantai yang kritis dan kawasan rawan bencana, sehingga perlu penanganan serius dalam pembangunan kawasan pesisirnya. Pada kenyataannya daerah pantai di Kabupaten Kebumen yang panas, tandus, dan gersang ternyata dapat dihijaukan dengan baik. Proyek rehabilitasi tersebut berhasil menghijaukan kawasan seluas 360 hektar (Supriyanto, 2010). Pada tahun 2007, di Kabupaten Kebumen telah dilaksanakan program rehabilitasi kawasan pantai. Kawasan pantai tersebut berada di dalam tujuh desa di Kabupaten Kebumen. Satu desa masuk ke dalam wilayah Kecamatan Petanahan, sedangkan enam desa yang lain masuk ke dalam Kecamatan Ambal. Keenam desa yang masuk Kecamatan Ambal yaitu Desa Sumberjati, Desa Kaibon, Desa Petangkuran, Desa Entak, Desa Kenoyojayan, dan Desa Ambalresmi. Satu desa yang masuk ke dalam Kecamatan Petanahan yaitu Desa Karang Gadung (Supriyanto, 2010). Pada hari Sabtu tanggal 18 Desember 2010, Menteri Kehutanan Indonesia Zulkifli Hasan, S.E., M.M. meresmikan kawasan rehabilitasi pantai di Kabupaten Kebumen menjadi hutan penelitian dan wisata alam Wanagama III Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Hal ini menandakan keseriusan dan titik awal beberapa stakeholder, diantaranya pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta akademisi dalam hal kepedulian terhadap kawasan pantai (Satria, 2010). Setiap stakeholder tersebut memegang perannya masing-masing, sebagai bentuk aktualisasi perannya sebagai stakeholder. Peran stakeholder tersebut dipengaruhi oleh adanya manfaat yang diambil, keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat, dan adanya kesadaran serta kepedulian. Peran stakeholder juga dipengaruhi oleh adanya kewajiban mengemban tugas. Masing-masing stakeholder ini memiliki kepentingan dan membawa pengaruh bagi berlangsungnya program rehabilitasi kawasan pesisir. Fenomena ini menarik penulis untuk
3
melakukan penelitian mengenai analisis stakeholder dalam rehabilitasi kawasan pesisir di Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen. Faktor fisik menjadi alasan utama pemilihan lokasi penelitian di Kecamatan Ambal. Faktor fisik Kecamatan Ambal tersebut dilihat dari segi luasan kawasan rehabilitasinya. Dalam program rehabilitasi kawasan pesisir di Kabupaten Kebumen tahun 2007 tersebut, Kecamatan Ambal dipilih sebagai lokasi terluas pelaksanaan program dibandingkan kecamatan yang lain. Hal ini yang menarik penulis untuk melakukan penelitian di Kecamatan Ambal.
1.2
Perumusan Masalah Program rehabilitasi kawasan pesisir di Kecamatan Ambal
Kabupaten Kebumen melibatkan beberapa stakeholder. Keterlibatan setiap stakeholder menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan program rehabilitasi kawasan pesisir di Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen. Setiap stakeholder dalam program tersebut menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Peran dan keterlibatan tersebut dipengaruhi juga oleh kepentingan masing-masing stakeholder. Dari penjabaran di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut, yaitu: 1. Bagaimana sejarah rehabilitasi kawasan pesisir di Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen? 2. Siapa saja stakeholder dalam rehabilitasi kawasan pesisir di Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen? 3. Bagaimana peran dan kepentingan stakeholder dalam rehabilitasi kawasan pesisir di Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen? 4. Bagaimana kekuatan dan pengaruh stakeholder dalam rehabilitasi kawasan pesisir di Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen? 5. Bagaimana interaksi antar stakeholder dalam rehabilitasi kawasan pesisir di Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen?
4
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui sejarah rehabilitasi kawasan pesisir di Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen. 2. Mengetahui stakeholder dalam rehabilitasi kawasan pesisir di Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen. 3. Mengetahui peran dan kepentingan stakeholder dalam rehabilitasi kawasan pesisir di Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen. 4. Mengetahui
kekuatan
dan
pengaruh
stakeholder
dalam
rehabilitasi kawasan pesisir di Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen. 5. Menggambarkan proses interaksi antar stakeholder dalam rehabilitasi kawasan pesisir di Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain,
yaitu: 1. Menjadi input bagi stakeholder untuk penentuan strategi dalam pengelolaan rehabilitasi kawasan pesisir. 2. Secara akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya mengenai dinamika pembangunan kehutanan di bidang rehabilitasi kawasan pesisir. 3. Secara pribadi, penelitian ini diharapkan dapat menambah kemampuan peneliti dalam memahami dinamika di lapangan mengenai proses rehabilitasi kawasan pesisir.
5