BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Film indie pendek menjadi bentuk ekspresi anak muda dalam menyuarakan isu lokal di Kota Palu. Anak muda sebagai filmmaker dapat dilihat sebagai author dan komunikator. Filmmaker sebagai author lebih dilihat pada peran mereka mengkonstruksi bahasa film sedangkan sebagai komunikator dapat dilihat dari dua bentuk yaitu makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hal ini filmmaker melalui film yang diciptakannya dapat menunjukan diri pribadi dan lingkungan sosial budaya tempat tinggalnya. Jika melihat aktifitas sinema di Kota Palu dimana mulai tumbuh sejak tahun 2003 yang diawali dengan diproduksinya film Telunjuk Tak Berjiwa oleh Erwin Sirajudin. Berawal dari film tersebutlah kemudian menjadi pemicu lahirnya sineas-sineas muda lainnya. Tercatat pada tahun 2006 Yusuf Radjamuda membuat film pertamnya yaitu Sahabat dan Harapan. Pada tahun 2009, Eldiansya Latief memproduksi film pendek pertamanya Virginia. Selain film pendek, terdapat juga satu film panjang pertama Mama Sayang Zal, karya Eteng Irsyad yang diproduksi pada tahun 2009. Para pembuat film di Kota Palu terus bermunculan dengan berbagai prestasi. Pada tahun 2010 dua film dokumenter pendek diproduksi oleh sutradara wanita. Kedua sutradara yang melakukan proses produksi tersebut bekerja sama dengan In-docs yang menghasilkan dua film yaitu Tadulako Mild (Nur Soimah Ulfa) dan Serupa Tapi Tak Sama (Dewi Yanti). Kemudian film karya dari Dewi Yanti tersebut berhasil mendapatkan penghargaan khusus juri dalam Festifal Film Indonesia tahun 2011. Pada tahun 2010 film pendek Fullan (Eldiansya Ancha Latief) menjadi film
yang didiskusikan
pada ajang Boemboe Forum
(http://filmindonesia.or.id), yang sebelumnya telah menang sebagai film terbaik runner-up II pada ajang Islamic Movie Day (IMD) (http://www.stepmagz.com). Selanjutnya,
sebuah
film
dengan
judul
Halaman
Belakang
(Yusuf
Radjamuda/2013) menjadi film yang cukup hangat diperbincangkan. Film ini
telah memenangkan beberapa penghargaan antara lain Winner Ladrang Award (Best Shot Film) – Festival Film Solo (FFS) 2013, Best Shot Film pada ajang Apresiasi Film Indonesia 2013, Best Director – Festival Sinema Prancis 2013 (http://www.solopos.com/2013). Lahirnya sineas muda di Kota Palu dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi anak muda dalam merefleksikan diri mereka dan kondisi sosial budaya yang ada disekitar mereka. Film dan anak muda dapat pula dilihat sebagai media yang dapat memberikan hal lain yang tidak dapat dijumpai pada media arus umum (maenstream) yang ada, bahkan dianggap sebagai bentuk upaya revolusi terhadap sistem media yang ada saat ini. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Danny Schechter (2007: 75), bahwa hadirnya film indie dinilai dapat merevolusi sistem media yang selama ini hanya memberikan apa yang kita tonton – atau tidak melihat apa yang penting bagi kita – adalah karena adanya kepentingan-kepentingan yang selama ini tidak pernah terungkap atau disembunyikan. Film pendek juga dapat dilihat sebagai tontonan alternatif yang mampu memberikan gambaran realitas masyarakat yang tidak dapat disaksikan dalam film-film bioskop (Schechter, 2007: 54). Anak muda memiliki sudat pandang sendiri dalam melihat realitas yang ada disekitar mereka, sehingga menjadi penting mengkaji perkembangkan budaya ber-film dari kelompok anak muda dalam suatu masyarakat. Karya sebuah film adalah cerminan dari pembuatnya; dan ketika film itu lahir, ia mewakili pemikiran manusia pada zamannya. Selain itu, lompatan waktu telah memasukan berbagai nuansa warna yang memberikan arti semakin beragam. Film saat ini dinilai telah menjadi salah satu media yang sangat penting dalam melihat suatu masyarakat (Prakosa, 1997: 12-19). Sebab, film yang diproduksi, khususnya film indie pendek dapat dilihat sebagai produk budaya yang bebas pengaruh kepentingan politik dan ekonomi. Sutradara dapat dengan bebas mengekspresikan diri dalam karya sebuah film pendek yang diproduksi secara independen. Dengan demikian sutradara film pendek dapat dilihat sebagai komunikator yang memiliki dua sisi yaitu sebagai makhluk sosial dan juga sebagai makhluk individu (Littlejohn dan Foss, 2011: 123).
2
Pada sebelum orde reformasi masih sangat sedikit film nasional yang bercerita mengenai masyarakat Indonesia timur. Bahkan tidak terdapat film nasional yang diproduksi pada waktu itu. Namun, yang menarik ialah bahwa di Makassar telah ada proses produksi film yang dilakukan secara lokal di era 60-an dengan film pertama berjudul Prajurid Teladan dan Teror menjadi film penanda bahwa produksi film di Kota Makassar dilakukan secara serius. Akan tetapi, pada massa itu film digunakan sebagai alat propadan yang terlihat dari film-film tersebut diprakarsai oleh tentara-tentara yang bergabung dalam jajaran Kodam XIV Hasanuddin (http://revi.us/film-pencitraan-vs-pretasi/). Setelah rezim orde baru jatuh, maka Indonesia memasuki babak baru yang juga berpengaruh terhadap produksi film yang lebih bebas mengangkat lokalitas masyarakat di luar Pula Jawa. Tercatat film pertama mengenai Papua yang diproduksi oleh Garin Nugroho, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002). Selanjutnya, di Indonesia bermunculan film-film panjang seperti Lost in Papua, Cahaya Kumpbang, Denias, Senandung Di Atas Awan, Di Timur Matahari, Serdadu Kumbang, dan Tanah Air Beta yang berseting tempat di Papua dan Ambon. Sedangkan, di Kota Makassar, film indipenden mulai kembali berkembang pada tahun 1998 setelah sebelumnya mati suri akibat krisis. Pada tahun 2008 para senias yang tergabung dalam Forum Film (For Film) Makassar memproduksi antologi film pendek yang kemudian memproduksi Aliguka (2010). Setelah itu sineas Makassar lainnya juga berhasil memproduksi film panjang antara lain Memburu Harimau (Arman Dewarti, 2012), dan Bombe (Syahrir Arsyad Dini, 2014). Sebagai kota dengan perkembangan sinema yang cukup baru, maka sinema di Kota Palu menjadi sangat menarik untuk dikaji secara keilmuan khususnya Ilmu Komunikasi yang mana para sutradara dilihat sebagai komunikator dan author. Selain itu, saat ini sineas di kota berada di era menuju perkembangan sinema yang sangat signifikan. Dari kota yang tidak memiliki akar sejarah sinema, kemudian muncul dan dikenal sebagai kota yang memiliki kontinuitas dalam memproduksi film yang dinilai menawarkan kebaruan dalam film pendek. Sehingga produksi film yang dilakukan di Kota Palu menjadi penting
3
untuk dikaji lebih mendalam dimana anak muda memiliki peran yang besar dalam proses tersebut. Proses produksi film pendek dapat dilihat sebagai proses pembuatan pesan yang dilakukan oleh kelompok anak muda yang terbentuk dari pengaruh diri pribadinya dan juga lingkungannya. Selain itu, dalam proses produksi juga terdapat sejumlah aspek yang tergabung menjadi satu, tidak hanya pengalaman dan sudut padang anak muda sebagai seorang sutradara akan tetapi juga berbagai bentuk bahasa film lainnya yang dapat dilihat dalam bentuk mise-en-scane dan juga bahasa sinematografi. Bahkan mungkin dalam proses produksi film indie pendek tersebut terdapat bentuk “gotong royong” seperti yang dikemukakan oleh Prakosa (2004:39) yang mana pada tahun 1997-1999 dapat dilihat bentuk gotong royong yang pernah dilakukan oleh para pembuat film nasional, dalam hal ini nampaknya hal itu masih berlaku di Kota Palu. Untuk penelitian yang telah dilakukan di Universitas Gadjah Mada mengenai film, peneliti melihat adanya kejenuhan terhadap penelitian teks film. Walaupun kemudian penelitian mengenai film juga bergeser kepada ekonomi politik perfilman di Indonesia. Namun untuk penelitian terhadap sutradara sebagai pelaku komunikasi atau author belum pernah dilakukan, terlebih terhadap film pendek indie pada tingkatan lokal atau provinsi di Indonesia seperti di Kota Palu. Adapun penelitian yang telah dilakukan selama ini difokuskan pada analisis teks seperti penelitian yang dilakukan oleh Novika Purwinda (2010), “Represetasi Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Film (Analisis Semiotik terhadap Film Provoked) dan penelitian yang dilakukan oleh Nurina Yudistianti (2010), “Representasi Ideologi Partiarki dalam Film Indonesia (Analisis Semiotik Roland Barthes Film Indonesia Perempuan Berkalung Sorban Sutradara Hanung Bramantyo). Kemudian terdapat penelitian mengenai proses distribusi dan manajemen seperti yang dilakukan oleh Jufenda Winursito Hayuningtyas (2009), “Ekonomi Politik Distribusi Perfilman Indonesia”. Dari lingkup penelitian terhadap film juga sebatas pada film-film yang diproduksi secara nasional oleh industri film besar. Kemudian terdapat beberapa penelitian yang melihat repsepsi terhadap pesan oleh audiens.
4
Dari sejumlah penelitian tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa penelitian mengenai film pendek tidak atau belum pernah dijadikan sebagai sebuah objek kajian penelitian Ilmu Komunikasi, khsusnya pada Program Studi Ilmu Komunikasi UGM. Penelitian yang dilakukan terhadap sutradara masih sangat jarang dilakukan. Terlebih, film pendek yang diproduksi oleh kelompok anak muda dari wilayah Indonesia Timur, termasuk Kota Palu. Dengan demikian penelitian ini menjadi penting yang mana memfokuskan kepada sutradara pendek indie sebagai pembuat pesan yang mewakili dirinya sendiri dan juga masyarakat serta kebudayaan di tempat asalnya. Penelitian ini sendiri memiliki subjek penelitian ialah tiga sutradara film indie pendek yang ada di Kota Palu. Ketiganya dipilih berdasarkan kriteria yang telah dirumuskan sebelumnya. Sutradara tersebut akan dilihat sebagai komunikator dan juga athhor dengan asumsi dalam film yang mereka hasilkan terdapat pengaruh diri dan lingkungan sosial budaya tempat mereka tinggal serta mereka memiliki kontrol sepenuhnya terhadap film mereka. Dalam hal ini akan dilihat dari bahasa sinematografi yang mereka gunakan. Untuk itu, dalam memperkuat penelitian ini maka akan dilakukan pula pembacaan terhadap teks film yang mereka hasilkan.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang ada, permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana sutradara film independen pendek lokal di Kota Palu membangun dan membentuk bahasa film yang mereka gunakan dalam film yang mereka produksi?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan latar belakang dan rumusan masalah dari penelitian ini, maka diperoleh dua tujuan penelitian yakni untuk mendeskripsikan sutradara film indie pendek di Kota Palu dalam proses konstruksi bahasa film berdasarakan konsep komunikator dan teori author.
5
1.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini mampu memberikan sumbangan secara teoritis terhadap a) teori komunikator khsusunya bagi pembuat film pendek dengan menggunakan konsep komunikator; b) filmmaker indie lokal pendek sebagai author; dan c) proses produksi sebuah film indie pendek. 2. Manfaat Praktisi Para sineas baik yang telah maupun yang baru ingin memproduksi sebuah film dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai salah satu bahan acuan dalam memproduksi film secara independen seta dapat memproduksi film yang dapat mewakili suatu masyarakat lokal di wilayah tertentu. 3. Manfaat Sosial Penelitian ini dapat mendorong masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan film secara indie sebagai media untuk berekspresi dan menjadi media yang dapat menggambarkan kondisi sosial budaya dari sebuah kelompok masyarakat.
1.5. Kerangka Pemikiran 1.5.1. Film Indie Pendek 1) Film Indie Pendek dan Anak Muda Film pendek adalah media pembebasan, mesin yang bisa dipakai untuk mengungkapkan berbagai rasa dari para pembuatnya. Istilah film pendek (saat itu diformulasikan) tidak dibatasi pada format dan panjangnya film, tetapi mengarah pada pencarian bentuk alternatif dari media itu sendiri (Prakosa. 1997: 4). Edwin S. Porter menamakan film sebagai alat bercerita yang mimetis dari alam semesta, sedangkan Goerge Milier menamakan film sebagai eksistensi dari panggung yang penuh dengan trik, ibarat transformasi dari panggung sirkus yang bisa diulangulang menonton. Kelompok lain, John Grierson dan Robert Flaherty, cenderung menamakan film sebagai alat perekam kehidupan empiris suatu masyarakat, nilainya adalah sebagai media naratif yang merekam secara jujur nilai-nilai sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat (Prakosa. 1997: 19-20).
6
Berdasarakan beberapa pengertian film di atas, maka kehadiran film dapat dilihat sebagai media untuk menyampaikan berbagai rasa atau pesan melalui cara bercerita yang mimetis. Di mana pada dasarnya film juga dapat digunakan untuk menyampaikan hal yang bersifat empiris dan juga hal yang bersifat imajinatif atau bahkan dapat menyampaikan kedua hal tersebut secara bersama. Film memiliki konsep dasar yang dilihat dari kedua aspek tersebut. Sedangkan untuk film pendek dapat dilihat sebagai bentuk alternatif dari film itu sendiri. Siegfried Kracauer (1960: 33) mengemukakan konsep dasar dari film yang tidak jauh berbeda dari fotografi. Konsep ini dikembangkannya dari apa yang telah dilakukan oleh dua pioner dalam film yaitu Lumiére dan Méliés. Di mana dalam film terdapat dua konsep dasar yaitu realitic tendency dan normative tendency. Pertama, the realistic tendency merupakan konsep yang melihat film dalam perspektif fotografi yang terdiri dari dua hal yaitu bahwa film digunakan untuk merekam hal yang terjadi secara natural dan bahwa film mungkin lebih mampu menggambarkan realitas fisik (physical reality) dari pada sebuah gambar fotografi. Dalam hal ini, film atau seorang filmmaker memliki kewajiban untuk menunjukan tidak hanya sebuah adegan akan tetapi juga hal yang melingkupi dan berkaitan dengan kejadian itu sebaik mungkin. Perkins (Mast dan Cohen, 1979:46), film menawarkan dua bentuk “magis”, sejak keunggulannya sebagai media yang dapat menampilkan dunia nyata yang berkembang dalam dua arah yang berlawanan. Perkins menyebutnya sebagai the realist theory concentrates, menawarkan kemampuan untuk “memproses” dunia nyata melalui penggambaran dari apa yang tampilkan oleh film. Kemudian yang kedua ialah fokus pada estetika tradisional, membolehkan presentasi dari gambar yang ideal, yang diperintahkan oleh kehendak pembuat film dan imajinasi. Kedua, the formative tendency melihat film terus berkembang. Filmmaker ditawarkan pada kesempatan untuk memperluas cakupan yang bisa mereka peroleh dari film dari pada apa yang tawarkan oleh fotografi. Di mana filmmaker tidak hanya mengeksplor realitas fisik yang terjadi dihadapan kamera mereka akan tetapi juga mampu mempengaruhi bentuk-bentuk dari sejarah dan fantasi.
7
Secara umum hal itu dapat dilihat dari dua bentuk film yaitu film cerita dan bukan film cerita yang kemudian dapat dipecah lagi ke dalam bentuk film ekperimental dan film fakta yang memiliki genre art movie, newsreal, dan dokumenter (Kracauer, 1960: 35-36). Kedua konsep dasar tersebut menjadi landasan bagi para pembuat film, termasuk para pembuat film pendek indie. Sebab, pada dasarnya kedua konsep tersebut menjadi konsep dasar bagi setiap pembuat film. Film pendek indie sendiri merupakan bentuk film pendek yang dikerjakan secara indepensen (indie berasal dari kata independen). Film ini dapat berbentuk film cerita, movie art, dokumenter, animasi, maupun ekperimental. Kehadiran film indie (termasuk kategori film pendek) dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi dan kekuasaan. Film indie dilihat sebagai sebuah bentuk semangat memberontak (Habibi, 2013: 112). Namun film indie juga sebagai produk budaya yang merekam kondisi sosial masyarakat dimana film itu diproduksi. Jim Hiller (Tzioumakis, 2006: 6), menyatakan secara sejarah, independen selalu mengandung makna karya yang berbeda dari dominasi dan arus mainstream, yang keterikatan ini diartikan sebagai hal penting dari syarat ekonomi (produksi dan distribusi) atau dalam aturan estetika maupun gaya tertentu. Kehadiran film pendek indie erat kaitannya dengan anak muda. Di mana anak muda adalah petunjuk alamiah dan niscaya dari usia yang ditentukan secara biologis, suatu pengklasifikasian secara organis terhadap orang-orang yang menempati posisi sosial tertentu akibat perkembangkan usia mereka. Sedangkan Talcott Parsons mengatakan bahwa anak muda bukan dilihat dari kategori universal biologis, melainkan satu konstruksi sosial yang berubah yang muncul pada kurun waktu tertentu dan kondisi yang jelas (Barker, 2013:338). Lebih rinci lagi Cohen (1997: 182; dalam Barger, 2013: 339) memberikan asumsi dan klasifikasi anak muda yang dilihat sebagai agen kontrol sosial. dalam hal ini anak muda adalah kategori yang padu, dengan karakter psikologis dan kebutuhan sosial yang sama pada kelompok umur tertentu. Kemudian anak muda berada pada satu tahap perkembangan yang secara khusus bersifat formatif, di
8
mana sikap dan nilai bersandar pada ideologi dan tetap melekat pada karakter hidup ini. Kelompok usia ini berada pada tahap transisi dari ketergantungan kanak-kanak menuju otonimi orang dewasa biasanya melewati satu fase pemberontakan, yang dengan sendirinya menjadi bagian dari tradisi kultural yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Selain itu, orang-orang muda dalam masyarakat modern mengalami kesulitan dalam menciptakan transisi dengan mulus dan mereka memerlukan kaum profesional, nasehat dan dukungan untuk melakukan hal tersebut.
2) Proses Produksi Film Independen Brodwell dan Thompson (2008: 26), menyatakan dalam produsi sebuah film, terdapat empat fase yang dilakukan hampir keseluruhan filmmaker melakukannya yaitu scriptwritting dan funding, preparation for filming, shooting, dan Assembly. Pertama, scriptwritting dan funding. Ide film dikembangkan dan screenplay ditulis. Filmmaker juga mendapatkan dukungan finansial untuk projek filmnya. Pada tahap ini dua hal yang penting ialah produser dan penulis naskah. Tugas dari produser ialah finansial dan organisasional. Produser mungkin dapat bersifat independen, menggali projek film, dan mencoba meyakinkan perusahaan produksi atau distributor film. Kemudian produser mengembankan projek dalam bentuk proses penulisan naskah, mendapatkan dukungan finansial, dan mengatur upah personel yang akan bekerja pada pembuatan film. Selama proses syuting dan assembly, produser biasanaya bertindak sebagai penghubung antara sutradara atau penulis naskah dan perusahaan yang menjadi pemberi dana. Setelah film selesai, produser akan bertanggung jawab terhadap distribusi, promosi dan marketing, serta memonitoring pendapatan dari dana yang telah diinvestasikan salam produksi berlangsung (Brodwell dan Thompson, 2008: 15). Tugas dari penulis naskah ialah untuk mempersiapkan screenplay (naskah). Suatu waktu penulis naskah dapat mengirimkan naskahnya ke agen yang akan memasukan ke sebuah rumah produksi atau seorang penulis naskah berpengalaman bertemu dengan produser dalam “pitch session” dimana penulis dapat mengajukan ide cerita. Penulis naskah melalui beberapa tahap dalam
9
mematangkan ide dan naska filmnya. Treatmen, sinopsis dari action; satu atau lebih naskah untuk; dan versi final, naskah syuting. Kedua, preparation for filming. Ketika skrip kurang lebih telah rampung dan paling tidak funding telah diyakinkan, filmmaker merencanakan sebuah kegiatan produksi. Persiapan pada film komersil diartikan sebaga pra-produksi. Dalam fase ini sutradara memiliki peranan kunci dan aturan yang kuat. Sutradara mengkoordinir para kru film. Meskipun pada dasarnya otoritas seorang sutradara tidak bersifat absolut, namun sutradara dianggap menjadi orang yang paling bertanggung jawab untuk hasil akhir dari gambar dan suara sebuah film. Kemudian pada fase ini, produser dan sutradara menetapkan kantor sebagai pusat kegiatan administrasi, mencari kru dan menetapkan aturan, dan menentukan lokasi. Mereka juga mempersiapkan jadwal syuting (Brodwell dan Thompson, 2008: 16-17). Ketiga, Shooting. Filmmaker menciptakan gambar dan suara film. Dalam fase ini, setiap kru melaksanakan fungis dan tugasnya masing-masing. Pada proses ini prinsip-prinsip dari fotografi diterapkan dalam proses pengambilan gambar. Selama syuting berlangsung kru yang bertugas dapat terdiri dari supervisor naskah, asisten direstor 1, 2 dan 3, pangarah dialog, dan sutradara unit kedua. Kemudian terdapat pula pemain yang terdiri dari bintang, baik terkenal maupun tidak (Brodwell dan Thompson, 2008: 18). Terdapat pula pekerja spesialisasi pada bidang unit fotografi. Pemimpin pada unit ini disebut sebagai director of photogapher (DOP). Seorang sinematografi ahli dalam bidang proses fotografi, pencahayaan, dan teknik kamera. Selanjutnya pada proses ini, bagian yang tidak kalah penting ialah unit suara (sound unit) yang dikepalai oleh production recordist atau sound mixer (Brodwell dan Thompson, 2008: 19). Keempat, Assembly. Gambar dan suara dikombinasikan dalam draf final. Hal ini melibatkan cutting picture dan suara, mengeksekusi efek, memasukan musik atau dialog tambahan, dan menambahkan title pada bagian akhir. Pada tahap ini juga diketahui sebagai post-produski. Di mana sebelumnya sutradara dan produser telah menentukan atau mempekerjakan seorang editor yang dikenal
10
sebagai supervising edittor. Dalam penelitian ini sendiri akan membatasi pada proses produksi yaitu pada fase pra-produksi dan shoting. Kedua fase tersebut anggap sebagai bagian yang penting dalam melihat bagaimana sutradara berperan dalam menentukan pilihan-pilihan isu dan sinematografi yang digunakan. Melihat subjek penelitian ini merupakan filmmaker lokal yang bergerak secara independen, maka proses produksi yang dilakukannya pun berbeda dari proses produksi film komersial. Dalam hal ini, film yang diproduksi tidak memiliki devisi pekerja yang lengkap dan menggunakan tersedia budget yang besar. Beberapa film yang diproduksi secara independen menggunakan pekerja yang sedikit atau terbatas dan juga budget yang sangat minim, khususnya film independen yang diproduksi oleh komunitas. Bahkan dalam proses produksi film secara independen mengharuskan seorang pekerja memegang dua job sekaligus (Brodwell dan Thompson, 2008: 26). Banyak dari filmmaker independen menemukan berbagai kendala saat melakukan proses produksi. Sehingga mereka mencoba mengebangkan cara mereka sendiri. Salah satunya yaitu dengan cara membuat proses produksi film yang sederhana (Brodwell dan Thompson, 2008: 27).
1.5.2. Sutradara Lokal Indie Pendek 1) Teori Komunikator Film dapat dipandang sebagai sebuah produk komunikasi dan budaya, tentu berkaitan dengan siapa yang menjadi komunikator dari film tersebut. Seorang seniman film menjadi komunikator yang berhasil menghasilkan sebuah film dari ide dan imajinasi yang disatukan lewat kemampuan sinematografi. Dalam hal ini, sutradara sebagai komunikator merupakan orang yang melakukan proses kegiatan komunikasi. Di mana terdapat proses pembentukan pesan dan kemudian pesan tersebut disampaikan melalui bahasa film yang utuh. Filmmaker sebagai komunikator maka dapat dilihat sebagai makhluk pribadi (dirinya sendiri) dan makhluk sosial (bagian dari masyarakat). Dengan demikian pelaku film pendek di Kota Palu dapat dilihat sebagai Individu yang memiliki dua sisi yaitu terdiri atas makhluk sosial (orang) dan makhluk individu (diri sendiri), yang
11
belajar melalui sebuah sejarah interaksi dengan orang lain (Littlejohn dan Foss, 2011: 123). Untuk melihat sutradara sebagai komunikator maka tidak terlepas dari pemikiran Rom Herré (Littlejohn dan Foss, 2005:83-84). Herré adalah salah seorang ilmuan sosial yang membuat teori diri sendiri menjadi penting. Di mana inti dari teori ini adalah gagasan bahwa diri sendiri tersusun oleh sebuah teori pribadi yang mempengaruhi bagaimana kita mendekati dunia. Littlejohn dan Foss menambahkan bahwa seseorang belajar memahami dirinya sendiri dengan menggunakan teori personhood dan teori selfhood. Bagi Herré, seseorang adalah bentuk yang dapat dilihat yang dapat terkarakterisasi oleh sifat-sifat tertentu dan karakteristik yang terbentuk dalam dalam sebuah kelompok sosial dan budaya. Herré menguraikan konsep “diri sendiri” dengan mengunakan tiga elemen yang bentuknya yaitu consciousness, autobiography, dan agency. Pertama, consciousness (kesadaran) diartikan sebagai kemampuan objektivitas yang dimiliki oleh seseorang dalam mengamati dirinya sendiri – untuk keluar dan memikirkan diri sendiri seperti yang diamati oleh orang lain. Kesadaran merupakan dimensi diri sendiri yang sangat berhubungan dengan keadaan saat ini karena ketika kita menyadari diri kita bergerak melalui ruang dan waktu, kita menggunakan persepsi, pengalaman, dan interaksi kita untuk menjalani tempat kita di dunia. Kedua, autobiography (riwayat hidup) terdiri atas ingatan – kenangan, keyakinan, atau pemahaman mengenai apa yang terjadi di masa lalu yang terbiasa menafsirkan pengalaman – pengalaman saat ini dan masa depan. Riwayat hidup atau sejarah seseorang merupakan sebuah susunan sosial, sama seperti kesadaran saat ini mengenai diri sendiri. Ketiga, agency (agensi) lebih berhubungan dengan kejadian di masa depan. Agensi lebih terlihat ketika kita melakukan sesuatu. Hal ini melibatkan sebuah susunan atau hipotesis mengenai kemampuan seseorang, kemungkinan apa yang ada untuk masa depan. Kita mengeluarkan susunan-susunan di masa lalu untuk menunjang ketika kita membuat pemahaman mengenai apa yang kita pikirkan dan rasakan pada saat ini serta kedua hal tersebut memandu pemahaman kita tentang perantara masa depan. Dengan susunan dimensi kesadaran diri, riwayat hidup, dan perantara merupakan
12
susunan yang diciptakan, mempertahankan, serta diubah dalam interaksi dengan diri sendiri dan orang lain (Littlejohn dan Foss, 2005: 84). Herré (Littlejohn dan Foss, 2011: 85), tentang kepribadian juga mengandung sebuah susunan dimensi yang membedakan cara-cara diri sendiri disusun dan dihadirkan. Perbedaan-perbedaan ini dapat digambarkan dan dipandang dengan leluasa dalam dimensi-dimensi display, realization, dan agency. Pertama, display (penampilan) merujuk pada apakah sebuah aspek diri sendiri ditampilkan secara umum atau tetap dianggap sebagai sesuatu yang bersifat pribadi. Hal ini berhubungan dengan kebudayaan yang menganggap bahwa emosi merupakan hal pribadi dan kepribadian sebagai hal yang umum, namun dikebudayaan yang berbeda emosi dapat diartikan hal yang umum. Kedua, realization atau source (realisasi atau sumber) – tingkatan di mana beberapa karakteristik diri diyakini berasal dari dalam diri individu atau dari kelompok di mana diri sendiri menjadi sebuah bagian. Elemen-elemen diri sendiri yang diyakini berasal dari seseorang disebut elemen yang direalisasikan secara individu, sedangkan elemen-elemen yang diyakini berasal dari hubungan seseorang dengan kelompok disebut elemen yang direalisasikan secara kolektif. Ketiga, agency (agensi) merupakan tingkatan kekuatan aktif yang melekat pada diri sendiri. Elemen-elemen yang aktif (“berbicara” atau “mengemudi”) berbeda dengan elemen-elemen pasif (seperti “mendengarkan” atau “mengendarai”). Sekali lagi, tingkatan agensi yang anda lekatkan pada suatu kegiatan akan bergantung pada penggambaran pribadi pada interpretasi-interpretasi kultural. Orang
mengumpulkan,
mengelola,
dan
menyimpan
data
dari
lingkungannya untuk menentukan tempat dirinya berada dan memandu dirinya ke arah tujuan. Sistem kognitif yang sudah maju menjadikan pencapaian lebih pasti dan lebih efisien. Pengamatan-pengamatan serupa telah dilakukan menyangkut signifikansi fungsi bahasa (Austin, 1962; H.H. Clark, 1994; Wittgenstein, 1953 Berger, Roloff, dan Roskos-Ewolsen, 2014: 165). Berdasarkan pemaparan tersebut, maka teori diri sendiri untuk melihat seorang sutradara mereprestasikan dirinya dan lingkungan sosialnya dalam film yang dihasilkan.
13
Sutradara sebagai seorang komunikator harus mempertimbangkan efektif dan efisiensi dari produksi pesan yang dilakukannya. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mereka dalam menyimpulkan dengan relatif akurat tujuan yang tengah dikejar penerima pesan dan rencana yang diterapkan untuk mencapainya (Berger, 2000; Berger, Roloff, dan Roskos-Ewolsen, 2014: 166). Hal tersebut kemudian dikenal dengan asas kerja sama dan aturan percakapan Grice yang didasarkan pada pemikiran kesamaan atas pengetahuan dan kepercayaan penerimaan pesan. Dalam konteks Grice ini para aktor sosial (komunikator), dianggap wajib membuat ujaran yang gamblang, jujur, relevan, sederhana, dan mudah dimengerti dalam pertukaran dengan aktor lain atau audiens. Grice juga mengakui bahwa aturan tersebut dapat dilanggar dalam percakapan sehari-hari (1975; Berger, Roloff, dan Roskos-Ewolsen, 2014: 166). Dalam sebuah film pendek, kejujuran dan aspek bahasa yang lain menjadi hal yang penting. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Prakosa (1997:30), bahwa film pendek secara murni memang dikenal media ungkapan batin yang jujur. Di mana Prakoso mencontohkan bahwa film-film Indonesia sangat diminati para penonton pada ajang South East Asia Film Festival di Negeri Belanda dikarenakan peminat film culture di negeri tersebut ingin mencari kejujuran bangsa Asia Tenggara melalui film yang mereka nonton. Prakoso (1997: 26) juga mengemukakan pada dasarnya film pendek memiliki bahasa yang jauh berbeda dengan film cerita panjang, mengingat masa putarnya yang singkat. Kejujuran yang dimaksud sesuai pula dengan konsep dasar dari film yaitu the realistic tendency. Dalam hal ini film dibuat berdasarkan keadaan yang terjadi secara alami dan apa adanya. Namun Prakoso menambahkan bahwa seharusnya film pendek menjadi alat berekspresi bukan alat bercerita yang salam ini terjadi. Keterkukungan menjadi alat tersebut sehingga membuat film pendek menjadi terbatas, dan film pendek hanya menjadi ekstensi dari film cerita panjang saja (1997:30).
14
2) Teori Author Melihat sutradara sebagai seorang pembuat film, maka dapat dilihat melalui teori author (author theory) yang dikemukakan oleh Andrew Sarris. Ian Cameron dalam artikelnya “Films, Directors, and Critics” dalam Movie (1962) berasumsi bahwa yang menyampaikan semua tulisan dalam film adalah sutradara yang merupakan penulis dari film tersebut. Dalam hal ini sutradara merupakan orang yang menyampaikan pesan dalam berbagai kualitas yang berbeda (Sarris, 1962; dalam Mast dan Cohen, 1979: 661). Sarris kemudian mengemukakan tiga premis mengenai teori author. Pertama, kemampuan teknikal dari seorang sutradara sebagai sebuah kriteria nilai. Sutradara dinilai memiliki pengaruh terhadap film yang dibuatnya. Bagus atau tidaknya film ditentukan oleh siapa yang menyutradarai. Di sini ditekankan, bahwa seorang sutradara setidaknya memiliki kemampuan atau bakat dan pengetahuan dasar tentang sinema. Kedua, personaliti yang berbeda dari sutradara sebagai sebuah kriteria nilai. Sutradara mesti menunjukan karakteristik berulang dari gaya yang dimiliknya dalam menyutradari sebuah film, yang mana menunjukan siapa dirinya. Cara sebuah film dilihat dan bergerak mesti menunjukan hubungan antar cara bagaimana seorang sutradara berfikir dan merasa. Ketiga, premis pamungkas dari teori author adalah dihubungkan dengan interior meaning, hal yang paling agung dari film sebagai sebuah seni. Interior meaning dieksplorasi dari tension antara personaliti seorang sutradara dan material yang dimilikinya. Interior meaning ini berasal dari apa yang disebut oleh Astruc yaitu mise-en-scene. Premis ketiga ini nampaknya bukan sebuah visi dari dunia pekerjaan seorang sutradara bukan pula sikapnya dalam hidup. Hal ini bersifat ambigu, dalam sejumlah literatur, karena bagian dari hal yang terkandung dalam properti dari sinema dan tidak dapat diserahkan pada aturan nonsinematik. Truffaut telah menyebutkan hal tersebut sebagai temperatur dari seorang sutradara pada suatu set, dan hal tersebut dekat dengan aspek profesionalitas (Sarris, 1962; dalam Mast dan Cohen, 1979: 662-663). Ketiga premis dari teori author tersebut jika divisualisasikan dapat dilihat dalam lingkaran yang saling terhubung yaitu lingkaran author sebagai teknik; lingkaran tengah adalah gaya personal, dan lingkaran inner adalah interior
15
meaning. Di mana menurut Sarris bahwa ketiga premis tersebut menjadi aspek yang penting dalam melihat seorang sutradara dan film yang dihasilkannya.
3) Sinematografi: Bahasa Film Pendek Sinematografi mencakup pelakuan sineas terhadap kamera serta stok filmnya. Seorang sineas tidak hanya sekedar merekam sebuah adegan semata namun juga harus mengontrol dan mengatur bagaimana adegan tersebut diambil, seperti jarak, ketinggian, sudut, lama pengambilan, dan sebagainya (Pratista, 2008: 89). Namun sinematografi baru bisa dilakukan saat seluruh aspek mise-enscene telah siap dan sebuah adegan telah siap diambil gambarnya. Pratista (2008: 61) mengemukakan bahwa mise-en-scene terdiri dari setting (latar), kostum dan tata rias wajah (make up), pencahayaan (lighting), dan para pemain dan pergerakannya (acting). Seihingga unsur mise-en-scene menjadi aspek penting dalam melihat bagaimana seorang sutradara membuat makna dalam film mereka. Unsur sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu kamera dan film, framing, serta durasi gambar (Pratista, 2008: 89). Pendapat Prasista tersebut nampaknya diambil dari rumusan David Brodwell dan Kristin Thompson (2008: 162) yang mengemukakan bahwa kualitas sinematografi dapat dilihat dalam tiga aspek yaitu aspek fotografi, framing, dan durasi gambar. Kamera dan film dapat mencakup teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok filmnya, seperti warna, penggunaan lensa, kecepatan gerak gambar dan sebagainya. Framing adalah hubungan kamera dengan obyek yang akan diambil seperti batas wilayah gambar atau frame, jarak, ketinggian, pergerakan kamera, dan seterusnya. Sementara durasi gambar mencakup lamanya sebuah objek diambil gambarnya oleh kamera. Pentingnya media visual menjadi aspek utama yang perlu diperhatikan oleh filmmaker. Media visual sendiri merupakan segala sesuatu yang diinfomarikan oleh mata dengan demikian unsur mise-en-scane dan sinematografi termasuk di dalamnya. Biran (2006: 31), mengemukakan bahwa unsur-unsur media visual dalam rangka penyajian cerita adalah pelaku (aktor), set (tempat kejadian), properti, dan cahaya. Dalam hal ini, keempat unsur tersebut menjadi
16
media informasi yang bisa memberikan pemahaman kepada penonton. Sedangkan media audio diartikan sebagai media informasi yang berbentuk suara, yang diterima oleh penonton dengan indra telinganya (Biran, 2006: 45).
1.6. Model Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka peneliti mencoba merumuskan model penelitian yang didasarkan pada analisis kualitatif. Gambar 1.1 Model Penelitian Studi Etnografi
Premis 1 Kemampaun Teknis Teori Pelaku Komunikasi -
Consciousness Autobiography Display Realization Agency
Fase PraProduksi dan Produksi Sutradara Lokal Indie Kota Palu
Teori Author
Mise-en-scene Fotografi Framing Durasi gambar
Premis 2 Personaliti
Premis 3 Interior Meaning
Film Pendek
17
1.7. Metodologi 1.7.1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan konstruktivisme yang memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial (social meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial yang membangun realitasnya sendiri. Konstruktivisme berpegang teguh pada pandangan apa yang kita pahami sebagai pengetahuan dan kebenaran objektif merupakan hasil perspektif. Pengetahuan dan kebenaran diciptakan, tidak ditemukan oleh pikiran (Denzin dan Lincoln, 2009: 157). Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah etnografi. Hampir secara keseluruhan peneliti etnografi, baik secara implisit maupun eksplisit, menggunakan salah satu dari dua jenis teori yaitu identional dan materialistic. Teori identional mengarahkan pada perubahan fundamental adalah hasil dari aktivitas mental – pikiran dan ide. Materialistic percaya bahwa kondisi material – sumber ekologikal, uang, dan alat produksi – adalah penggerak utama (Fetterman, 2010:6). Sedangkan tugas peneliti etnografi tidak hanya mengumpulkan informasi berdasarkan perspektif dari diri seseorang (subjek penelitian), akan tetapi juga membuat semuanya data dapat diperoleh dari perspektif ekternal subjek penelitian (Fetterman, 2010:11).
1.7.2. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini terdiri dari tiga orang anak muda yang merupakan filmmaker di Kota Palu. Ketiga orang tersebut ialah Yusuf Radjamuda, Eldiansya Ancha Latief, dan Charles Edwan. Penentuan ketiga orang subjek penelitian tersebut berdasarkan aktifitas produksi dan sinematografi yang mereka lakukan secara berkelanjutan setiap tahunnya. Selain itu, film hasil produksi tersebut juga diikutkan ke berbagai ajang festival baik nasional maupun internasional yang cukup mendapatkan apresiasi dengan baik. Selian ketiga subjek penelitian tersebut sebagai narasumber utama dalam penelitian ini, peneliti juga akan mengumpulkan data berdasarkan pada beberapa orang narasumber lainnya
18
yang ikut terlibat dalam film yang mereka produksi yaitu music composer, seniman, budayawan, animator, dan kelompok pemuda.
1.7.3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Palu, Sulawesi Tengah yang mana merupakan tempat domisili ketiga sutradara yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Pemilihan Palu sebagai lokasi penelitian dalam konteks film ialah bahwa perkembangan film di kota ini masih tergolong baru namun telah memiliki standar tersendiri dalam setiap film yang dihasilkan oleh para filmmaker. Kota ini tidak memiliki akar sejarah film pendek yang panjang, namun saat ini untuk melihat perkembangan film di wilayah Indonesia Timur, maka Palu menjadi salah satu kota yang dijadikan rujukan. Sejumlah film yang diproduksi di Kota Palu dianggap dapat mewakili masyarakat baik itu Indonesia Timur secara umum maupun masyarakat Sulawesi Tengah.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Data 1) Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian dengan melakukan wawancara mendalam (in-depth interview), observasi dan juga pembacaan terhadap teks film. Teknik wawancara yang digunakan ialah dengan teknik wawancara tak-terstruktur yang bertujuan untuk meraih keakuratan data dari karakteristik yang dapat di-kode-kan untuk menjelaskan berbagai perilaku dalam berbagai kategori yang telah ditetapkan sebelumnya (pre-established categories) (Denzin, dan Lincoln, 2009: 508). Sedangkan untuk teknik obeservasi yang digunakan ialah teknik etnometodologi yang bertujuan untuk mengetahui penjelasan tentang cara anggota masyarakat membangun kehidupan sosial mereka. Peneliti akan menjadi pengamat langsung dengan cara ikut berproses dalam produksi dan kegiatan ketiga filmmaker yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Sedangkan, pembacaan akan teks film dilakukan dengan melakukan deskripsi sederhana terhadap film yang telah diproduksi oleh subjek. Adapun gambaran muatan pertanyaan dalam penelitian ini ialah:
19
a) Mengenai diri subjek penelitian: latar belakang kehidupan, pengalaman, motivasi membuat film. b) Bahasa sinematografi: pilihan-pilihan tema film, unsur mise-en-scene, kamera dan film yang digunakan, teknik framing yang diterapkan, dan pilihan durasi gambar. 2) Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Dalam hal ini berupa data-data yang mendukung penelitian ini baik berupa teori maupun informasi dengan melakukan studi kepustakaan dan dokumentasi. Data-data ini diperoleh dari buku-buku literatur, jurnal, dan internet, yang mampu membantu penelitian dan relevan dengan masalah yang diteliti.
1.7.5. Durasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan secara intensif selama tiga bulan yakni dari Bulan Februari sampai dengan bulan April 2015. Namun lebih dari itu peneliti merupakan bagian dari komunitas filmmaker di Kota Palu sejak tahun 2009. Dengan keterlibatan aktif peneliti dalam proses produksi film pendek independen di Kota Palu, peneliti secara tidak langsung telah menjadi observer dan sekaligus sebagai partisipan. Kemudian peneliti juga memposisikan diri dalam peneliti ini selain sebagai observer partisipan juga menjaga jarak dengan tetap mengutamakan objektifitas dengan cara melakukan validasi data.
1.7.6. Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam melakukan analisis terhadap data yang diperoleh. Teknik analisis data dalam penelitian ini mengadopsi dengan modifikasi dari teknik penelitian data seperti yang dijelaskan oleh Miles dan Huberman (Denzin dan Lincoln, 2009: 591). Dalam hal ini peneliti melakukan empat tahap dalam menganalisis data yaitu reduksi data, penyajian data, pemaknaan dan kesimpulan, serta verifikasi.
20
1.7.7. Validitas Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan mengenai validitas dalam penelitian ini, oleh peneliti dilakukan teknik triangulasi, dan member checks. Teknik triangulasi (data dan metode) dipakai untuk memastikan bahwa data yang telah dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari berbagai jenis data dan berbagai sumber informasi sehingga dapat mendukung argumen-argumen penelitian dan dapat menampilkan kebenaran objektif. Pada member checks, peneliti mengecek kembali hasil dari proses pengumpulan dan analisa data kepada narasumber guna menghindari terjadinya kesalahan oleh peneliti. 1.7.8. Limitasi Penelitian Penelitian ini hanya melihat proses produksi dan sinematografi yang merupakan salah satu bagian dari proses keseluruhan film lainnya seperti regulasi, distribusi dan promosi. Penelitian ini juga hanya dilakukan kepada filmmaker yang telah sejak lama memproduksi film dan memiliki kontinuitas serta keterlibatan dalam festival dan penghargaan atas karya mereka. Kenyataanya di Kota Palu terdapat sejumlah filmmaker yang tidak masuk dalam kategori tersebut yang tidak dijadikan narasumber dalam penelitian ini.
21