BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dengan segala kekayaan dan potensi yang tersimpan didalamnya terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang selalu bergerak dinamis sehingga memungkinkan saling bertumbukan diantaranya. Akibat dari tumbukan tersebut adalah terbentuknya jalur gunungapi/vulkanik di Indonesia. Keberadaan jalur gunung api di wilayah Indonesia menyebabkan beberapa wilayah Indonesia memiliki bentuk lahan pegunungan dan perbukitan yang memiliki lereng yang landai hingga terjal. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia memiliki berbagai potensi bencana seperti letusan gunung api (dengan adanya jalur gunung api dimana gunung api tersebut ada yang masih aktif), gempabumi (tumbukan lempeng) yang dapat diikuti dengan tsunami (jika gempa berpusat di laut), banjir (kondisi daerah dengan lereng datar dengan kondisi fisik tertentu), dan longsorlahan (dipengaruhi oleh faktor geologi, geomorfologi, dan meteorologi). Longsorlahan merupakan jenis bencana alam yang sering terjadi di Indonesia selain banjir. Kerugian dan korban jiwa yang ditimbulkan oleh bencana longsor memang tidak sedramatis ketika terjadi bencana tsunami ataupun gempabumi. Akan tetapi frekuensi kejadiannya mulai dari longsorlahan kecil sampai yang besar jauh lebih sering, sehingga jika kejadian tersebut diakumulasikan jumlahnya tidaklah sedikit. Kerugian materi yang ditimbulkan oleh bencana longsorlahan diperkirakan mencapai 800 miliar rupiah setiap tahunnya. Berbagai cara sendiri telah ditempuh untuk meminimalisir kerugian harta benda yang diakibatkan oleh bencana longsorlahan.Salah satunya yaitu dengan kegiatan mitigasi bencana untuk penanggulangan terjadinya longsor. Akan tetapi kegiatan mitigasi bencana longsorlahan belum dapat memberikan kepastian atau setidaknya kapan terjadinya longsorlahan. Upaya mitigasi bencana masih belum terlaksana dengan baik, dan yang dilakukan selama ini bukanlah upaya mitigasi sebelum terjadi longsorlahan untuk memberi peringatan kepada warga 1
masyarakat, melainkan penanggulangan pasca kejadian longsorlahan (bencana alam lainnya). Sebagian besar peristiwa longsorlahan terjadi di daerah pegunungan yang memiliki kelerengan curam dan juga curah hujan yang tinggi. Keberadaan daerah rawan longsorlahan selalu menjadi ancaman bagi kehidupan di sekitarnya, terutama masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan. Dengan kondisi yang seperti ini, tidak sedikit pula masyarakat yang memilih untuk tinggal di daerah pegunungan karena potensi alam yang dimilikinya. Daerah Kabupaten Kulon Progo merupakan daerah dengan jumlah perbukitan dan pegunungan yang banyak yang telah terbentuk jutaan tahun yang lalu. Kabupaten Kulon Progo memiliki topografi yang bervariasi dengan ketinggian antara 0 - 1000 meter di atas permukaan air laut, yang terbagi menjadi 3 wilayah yaitu wilayah bagian utara, tengah dan selatan. Wilayah bagian utara merupakan dataran perbukitan tinggi /perbukitan Menoreh dengan ketinggian antara 500 - 1000 meter di atas permukaan air laut. Terdapat empat kecamatan di Kulonprogo yang daerahnya masuk wilyah Perbukitan Menoreh bagian utara dengan kategori daerah rawan longsor, diantarannya yaitu Kecamatan Samigaluh yang sebagian besar wilayahnya memiliki relief yang berbukit. Dengan kriteria wilayah ini penggunaan tanah diperuntukkan sebagai kawasan budidaya konservasi dan merupakan kawasan rawan bencana tanah longsor. Intensitas hujan yang tinggi ataupun kejadian gempa mampu memicu kejadian longsor di daerah rawan longsor. Upaya antisipasi perlu dilakukan untuk mengurangi risiko akibat bencana longsor yang terjadi khususnya di Kecamatan Samigaluh. Pemetaan terhadap daerah rawan ataupun rentan longsor di Kecamatan Samigaluh penting dilakukan agar mampu memberikan wawasan terhadap masyarakat yang tinggal di lokasi rawan dan rentan longsor. Identifikasi kerawanan longsorlahan sangat diperlukan sebagai langkah awal untuk perencanaan tata ruang di masa mendatang. Keberadaan kawasan rawan longsorlahan harus menjadi pertimbangan dalam proses penyusunan rencana tata ruang. Identifikasi kerentanan longsorlahan akan lebih mudah diketahui dengan menggunakan citra penginderaan jauh dimana citra ini mampu menampilkan 2
rekaman kondisi permukaan bumi yang didapat tanpa adanya kontak langsung. Disamping citra penginderaan jauh, proses identifikasi akan lebih mudah dan cepat dengan menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografis). Selain itu, juga lebih mudah untuk dilakukan suatu perubahan apabila terdapat pembaruan data, sehingga dapat dihasilkan informasi yang lebih akurat. Data penginderaan jauh yang digunakan untuk memperoleh parameterparameter penentu longsor yaitu sumber data citra ALOS (Advanced Land Observing Satellite) AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2). Penggunaan citra ALOS AVNIR-2 dengan mempertimbangkan keunggulannya untuk mengamati lahan darat dan lainnya. Dan didasarkan pada misi utama citra ALOS, yaitu 1) Kartografi, 2) Pengamatan Regional, 3) Pemantauan Bencana Alam, 4) Penelitian Sumber Daya Alam, 5) Pengembangan Teknologi. Dengan adanya dasar tersebut maka dapat digunakan untuk penelitian daerah rawan bencana seperti longsor, selain itu penggunaan citra ALOS AVNIR2 belum banyak digunakan untuk penelitian daerah rawan longsor, dengan keunggulannya tersebut maka ALOS AVNIR-2 dapat digunakan untuk memperoleh parameter lahan sebagai penentu daerah rawan longsor. Penggunaan data pengindraan jauh sangat diperlukan untuk membantu menyadap, mengidentifikasi, menginterpretasi, dan menyajikan informasi yang dibutuhkan untuk berbagai fenomena yang terjadi diatas permukaan bumi ini. Penelitian longsorlahan dengan menggunakan citra ALOS AVNIR -2 merupakan alternative lain selain menggunakan bantuan citra pengindraan jauh lainnya seperti citra Landsat 7 ETM+ dan citra ASTER. Penggunaan citra ALOS AVNIR2 sebagai data masukan pengindraan jauh untuk penelitian longsorlahan dikarenakan juga resolusi spasial pada citra ALOS AVNIR-2 ini yang lebih baik mencapai 10 meter dibandingkan citra satelit landsat 7 ETM+ dengan resolusi spasial 30 meter dan citra ASTER dengan resolusi spasial 15 meter. Dengan resolusi spasial yang mencapai 10 meter pada citra ALOS AVNIR-2 berpeluang untuk memperoleh parameter penentu longsor dengan akurasi yang tinggi. Teknologi penginderaan jauh dan system informasi geografis diharapkan sebagai sarana untuk kegiatan memetakan bencana dan kegiatan lain dalam 3
menunjang kebutuhan peta rawan bencana. Penggunaan teknologi pengindraan jauh ini sangat bermanfaat, diakarenakan keunggulannya dapat menyadap informasi tanpa harus dilakukan kontak langsung dengan medan ataupun daerah penelitian, bandingkan jika harus dilakukan kajian kebencanaan secara terrestrial yang dapat memakan biaya dan tenaga yang banyak. Untuk upaya mitigasi bencana alam diperlukan data- data yang diperoleh dengan cepat, yang tidak dapat dilakukan secara terrestrial karena memerlukan waktu dan biaya dan tenaga yang sangat besar. Data penginderaan jauh bersama dengan Sistem informasi geografis (SIG) dapat digunakan sebagai sarana dan alat bantu untuk memperoleh dan menganalisis data secara cepat teknologi pengindraan jauh diharapkan dapat mempercepat kegiatan deteksi dan pemantauan tersebut dengan hasil yang akurat, mencakup daerah yang luas dan dapat dilakukan secara kontinyu sehingga dapat diperoleh data- data terbaru untuk memberi peringatan dini. Penggunaan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis karena penginderaan jauh sebagai alat untuk memperoleh data parameter lahan, sedangkan sistem informasi geografis dapat digunakan untuk pengolahan data parameter lahan untuk memperoleh zonasi tingkat kerawanan longsor. Suatu wilayah tidak bisa terlepas dari adanya potensi bencana alam tersebut terlebih lagi Indonesia yang memiliki kondisi fisik yang cukup kompleks yang mendukung terjadinya bencana. Bencana yang kerap terjadi tiap tahunnya di Indonesia adalah bencana longsorlahan yang dikarenakan sekitar 45% luas lahan di Indonesia adalah lahan pegunungan berlereng yang peka terhadap longsorlahan dan
erosi.
Secara
umum
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
terjadinya
longsorlahan dan erosi adalah faktor alam (geologi, geomorfologi, dan meteorologi) dan faktor manusia. Faktor alam yang utama adalah kemiringan lereng, tekstur tanah, bentuk lereng, kerapatan kekar ,curah hujan, tingkat pelapukan batuan, kedalaman pelapukan, struktur perlapisan batuan. Sedangkan faktor manusia adalah semua tindakan manusia yang dapat mempercepat terjadinya erosi dan longsorlahan misalnya perubahan fungsi dan tata guna lahan yang dilakukan manusia membawa pengaruh yang besar sebagai penyebab longsorlahan. 4
Gambar 1.1 Kejadian tanah longsor di tiap provinsi Tahun 2001- 2003 Data kejadian longsorlahan tiap propinsi tahun 2001 – 2003 menyebutkan bahwa kejadian longsorlahan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, sebagian besar kejadian longsorlahan terdapat di propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah.
5
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dirmuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah Citra ALOS AVNIR-2 dapat digunakan untuk mengkaji dan mengidentifikasi parameter lahan penentu longsorlahan?
2.
Bagaimanakah zonasi tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Samigaluh?
3.
Bagaimanakah tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Samigaluh? Berdasarkan permasalahan tersebut akan dilakukan penelitian dengan judul : “Pemanfaatan Citra Alos Avnir -2 Untuk Analisis Tingkat Kerawanan
Longsor Lahan (Studi Kasus di Kecamatan Samigaluh Daerah Perbukitan Menoreh Kabupaten Kulon Progo)
1.3. Tujuan Penelitian 1.
Mengkaji kemampuan citra ALOS AVNIR-2 untuk memperoleh parameter lahan yang digunakan untuk menentukan longsorlahan.
2.
Menyusun dan menentukan zonasi tingkat kerawanan longsor di Kecamatan Samigaluh
3.
Mengkaji tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Samigaluh
1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini merupakan penerapan teknik pengindraan jauh dan system informasi geografis di bidang bencana alam yang hasilnya berupa peta kerentanan longsorlahan dan dapat diketahui faktor atau parameter yang mempengaruhi terjadinya longsorlahan sebagai antisipasi masyarakat dan penanggulangannya. Diharapkan dapat dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi dan mencakup daerah yang lebih luas dengan memanfaatkan teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografis sebagai dasar penyusunan system peringatan dini bencana longsorlahan (Early Warning System).
6
Selain itu hasil penelitian yang berupa informasi spasial keerentanan longsorlahan ini diharapkan dapat berguna bagi pembangunan khususnya pengembangan wilayah Kabupaten Kulon Progo yang berwawasan lingkungan. 1.5. Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya 1.5.1. Telaah Pustaka A.
Penginderaan Jauh untuk Studi Longsorlahan
1.
Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Dalam sistem penginderaan jauh terdapat dua proses atau elemen yang saling berkaitan (Lillesand dan Kiefer, 1990), yaitu pengumpulan data dan analisis data. Elemen atau proses pengumpulan data meliputi: a. Sumber energi b. Perjalanan energi melalui atmosfer c. Interaksi antara energi dengan kenampakan di muka bumi d. Sensor wahana pesawat terbang dan/atau satelit e. Hasil pembentukan data dalam bentuk piktorial dan/atau bentuk numerik f. Proses analisa data meliputi pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk menganalisis data piktorial, dan/atau komputer untuk menganalisa data sensor numerik g. Informasi disajikan dalam bentuk peta, tabel, dan suatu bahasan tertulis atau laporan h. Informasi dapat dimanfaatkan untuk proses pengambilan keputusan Penginderaan jauh pada saat ini telah banyak digunakan dalam berbagai bidang terutama dalam perolehan data. Penginderaan jauh merupakan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh data dan informasi yang menggambarkan objek, daerah, dan kenyataan yang ada di permukaan bumi. Data yang diperoleh dapat berupa data digital dan data numerik yang dapat dianalisis dengan menggunakan perangkat komputer dan disimpan dalam format pixel. 7
Analisa data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik dan data lapangan. Hasil analisa yang diperoleh berupa informasi mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi dan kondisi sumberdaya lokasi. Informasi tersebut bagi para pengguna dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan dalam mengembangkan daerah tersebut. Keseluruhan proses mulai dari pengambilan data, analisis data hingga penggunaan data tersebut disebut Sistem Penginderaan Jauh (Purwadhi, 2001). Estes dan Simonett (1975), dalam Sutanto (1992) mengatakan bahwa interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Pengalaman sangat menentukkan hasil interpretasi, karena persepsi pengenalan objek bagi orang2 yang berpengalaman biasanya lebih konstan atau dengan kata lain pengenalan objek yang sama pada berbagai bentuk citra akan selalu sama. Misalkan pada citra A dianggap sebuah pemukiman, maka pada citra B atau C pun tetap bisa dikenal sebagai pemukiman walaupun agak sedikit berbeda dalam penampakannya. 2.
Unsur-Unsur Interpretasi Citra Menurut Estes dan Holz (1984, dalam Sutanto, 1986) menyatakan bahwa
kegiatan interpretasi dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu deteksi, kalsifikasi, analisa, dan penilaian arti penting dari objek yang dikaji, Sedangkan menurut Sutanto (1986), kegiatan interpretasi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah pelaksanaan penyadapan dari foto udara atau citra, bagian kedua adalah penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Pengenalan objek dilakukan dengan cara menyidik karakteristik objek yang tergambar dengan memperhatikan kesembilan unsur, yaitu rona / warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi. a. Rona / Warna Rona merupakan tingkat gelap atau cerah relatif objek pada citra/foto. Rona pada foto pankromatik merupakan atribut bagi objek yang berinteraksi dengan
8
saluran spektrum tampak. Warna adalah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak. b. Ukuran Ukuran ialah atribut objek, antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Karena ukuran objek pada citra merupakan fungsi skala, maka di dalam memanfaatkan ukuran sebagai unsur interpretasi citra harus diingat skalanya. c. Bentuk Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu objek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja. d. Tekstur Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok objek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. Tekstur sering dinyatakan dengan kasar dan halus. e. Pola Pola ialah hubungan susunan spasial objek. Pengulangan bentuk umum tertentu atau hubungan merupakan karakteristik bagi banyak objek alamiah maupun bangunan, dan akan memberikan suatu pola yang membantu penafsir untuk mengenali suatu objek. f.
Bayangan Bayangan bersifat menyembunyikan detil yang berada di daerah gelap. Di
samping menutup objek atau gejala, bayangan sering merupakan kunci pengenalan yang penting seperti pengenalan tinggi objek. g. Situs Situs bukan merupakan ciri objek secara langsung, tetapi lebih berkaitan dengan lingkungan sekitarnya, atau dengan kata lain merupakan letak relatif objek terhadap objek lainnya. h. Asosiasi Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara objek yang satu dengan objek yang lain, karena adanya keterkaitan maka terlihatlah suatu objek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya objek lain. 9
3.
Citra ALOS Satelit ALOS (advanced Land Observing Satellite) yang telah berhasil
diluncurkan pada tanggal 24 januari 2006, mempunyai 5 misi utama yaitu 1) kartografi, 2) pengamatan regional, 3) pemantauan bencana alam, 4) penelitian sumberdaya alam, 5) pengembangan teknologi. Untuk dapat mencapai misi utama ALOS, satelit dilengkapi dengan tiga buah sensor penginderaan jauh dan subsistem pendukung misi. Tiga buah sensor tersebut terdiri dari dua buah sensor optik yaitu sensor PRISM (panchromatic rmote sensing instrument for stereo mapping) dan sensor AVNIR-2 (advanced visible and near infrared radiometer type-2), sebuah sensor gelombang mikro atau radar yaitu PALSAR (phased array type L-band syntetic aperture radar). Citra ALOS yang dilengkapi dengan berbagi sensor dapat digunakan untuk identifikasi permukaan bumi, baik gelombang mikro atau radar maupun gelombang visible dan inframerah dekat. Dengan dilengkapinya berbagi sensor dapat mempermudah untuk indentifikasi objek yang ada, gambar 1.2 merupakan spesifikasi citra ALOS.
AVNIR/ ADEOS adalah sensor optik dengan 4 – kanal spektral, mempunyai resolusi spasial sebesar 16 m untuk pengamatan lahan darat dan zona-zona garis pantai. AVNIR-2/ALOS juga merupakan sensor optik 4 kanal spektral pada daerah spektral tampak dan inframerah dekat yang dirancang untuk menghasilkan resolusi lebih tinggi dari AVNIR/ADEOS untuk pengamatan lahan darat dan 10
zona-zona garis pantai. Sensor AVNIR-2 melakukan scanning dengan metode push broom dengan 1 buah CCD untuk masing-masing kanal spektral. Sensor AVNIR-2 mempunyai sistem optik dan konfigurasi yang hampir sama dengan AVNIR/ADEOS. Bagian modifikasi yang utama adalah detektor-detektor dan elektronik yang mengikutinya. Perubahan-perubahan ini diberikan sehingga AVNIR-2 menghasilkan citra dengan resolusi spasial 10 meter. Dengan lebar liputan satuan citra sebesar 70 km. Modifikasi lain adalah kemampuan pengarahan titik (pointing) AVNIR-2, yaitu (+/- 440) dari nadir dalam arah menyilang terhadap lintasan satelit (cross track). Dengan kemampuan pandangan menyilang jejak satelit tersebut diatas, dapat diperoleh daerah pengamatan yang lebih lebar sampai dengan 1500 km (lebar pointing maksimum dari AVNIR-2). Tujuan utama AVNIR-2 untuk pemantauan bencana alam dan pemetaan penutup lahan, direalisasikan dengan kemampuan pandangan menyilang jejak satelit (cross-track). Dengan kemampuan tersebut, pengamatan daerah-daerah bencana alam dalam waktu pengulangan 2 hari dapat dilakukan. Kemampuan side-looking juga memungkinkan pengamatan AVNIR-2 secara serentak dengan PALSAR, sehingga dapat dilakukan kontribusi terhadap aplikasi fusi data optik (AVNIR-2) dengan gelombang mikro (PALSAR). Citra hasil pengamatan AVNIR-2 akan digunakan untuk menghasilkan peta-peta liputan lahan dan petapeta klasifikasi tata guna lahan untuk pemantauan lingkungan regiolnal. Di dalam tabel 1.2. menunjukkan karakteristik teknis sensor dan data citra AVNIR-2.
11
4.
Pengindraan jauh untuk studi longsorlahan Menurut Hardiyatmo (2006), gerakan massa tanah (mass movement) atau
sering disebut tanah longsor (landslide) merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah perbukitan di daerah tropis basah. Daerah rawan longsor (landslide susceptibility) adalah kondisi bio-fisik wilayah seperti lereng, jenis penggunaan lahan, curah hujan dan litologi yang memicu terjadinya longsor sehingga membayakan aktivitas kehidupan di sekitarnya (Wahyunto dkk, 2007). Kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan massa tersebut tidak hanya kerusakan secara langsung seperti rusaknya fasilitas umum, lahan pertanian, ataupun adanya korban manusia, akan tetapi juga kerusakan secara tidak langsung yang melumpuhkan kegiatan pembangunan dan aktivitas ekonomi di daerah bencana dan sekitarnya. Bencana alam gerakan massa tersebut cenderung semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas manusia. Identifikasi kerawanan longsorlahan sangat diperlukan sebagai langkah awal untuk perencanaan tata ruang di masa mendatang. Keberadaan kawasan rawan longsorlahan harus menjadi pertimbangan dalam proses penyusunan rencana tata ruang. Identifikasi kerentanan longsorlahan akan lebih mudah diketahui dengan menggunakan citra penginderaan jauh dimana citra ini mampu menampilkan
12
rekaman kondisi permukaan bumi yang didapat tanpa adanya kontak langsung. Penggunaan data pengindraan jauh sangat diperlukan untuk membantu menyadap, mengidentifikasi,menginterpretasi, dan menyajikan informasi yang dibutuhkan untuk berbagai fenomena yang terjadi diatas permukaan bumi ini. Penelitian longsorlahan dengan menggunakan citra ALOS AVNIR -2 merupakan alternative lain selain menggunakan bantuan citra pengindraan jauh lainnya seperti citra Landsat 7 ETM+ dan citra ASTER. Data digital ALOS AVNIR-2 yang merupakan produk dari teknik penginderaan jauh memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan produk terdahulu. Salah satu kelebihan dari citra penginderaan jauh adalah mampu memberikan gambaran permukaan bumi dengan cakupan daerah yang cukup luas dan dengan resolusi spasial yang lebih tinggi dibandingkan citra yang lainnya yang sering digunakan, mampu menyadap informasi ataupun parameterparameter penentu longsorlahan dengan lebih baik dan akurat. Teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan data satelit diharapkan dapat mempercepat kegiatan deteksi dan pemantauan tersebut dengan hasil yang akurat mencakup areal yang cukup luas dan dapat dilakukan secara kontinyu. Kemampuan penginderaan jauh lainnya adalah kemampuan untuk melakukan manipulasi data sehingga dapat diperoleh jenis informasi yang lain. Tujuan utama AVNIR-2 untuk pemantauan bencana alam dan pemetaan penutup lahan, direalisasikan dengan kemampuan pandangan menyilang jejak satelit (cross-track). Dengan kemampuan tersebut, pengamatan daerah-daerah bencana alam dalam waktu pengulangan 2 hari dapat dilakukan. Kemampuan side-looking juga memungkinkan pengamatan AVNIR-2 secara serentak dengan PALSAR, sehingga dapat dilakukan kontribusi terhadap aplikasi fusi data optik (AVNIR-2) dengan gelombang mikro (PALSAR). Salah satu aplikasi penginderaan jauh dalam bidang kebencanaan, seperti yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu pemetaan kerentanan longsorlahan. Pada studi longsorlahan yang dilakukan, digunakan beberapa parameter untuk menentukan daerah yang mengalami kerentanan longsorlahan. Parameter tersebut meliputi: 1). kemiringan lereng 2. tekstur tanah,3. kedalaman solum tanah, 4. 13
bentuk lereng, 5.kerapatan kekar , 6.intensitas hujan, 7.permeabilitas, 8. tingkat pelapukan batuan, 9. kedalaman pelapukan, 10. struktur perlapisan batuan, 11. penggunaan lahan. Sebelum dilakukan survey lapangan, sebelumnya dilakukan pembuatan peta-peta parameter tersebut yang sebagian darinya disadap secara langsung dari citra penginderan jauh. Informasi struktur geologi yang ditunjukkan oleh adanya struktur patahan, lipatan, dan diskontinuitas secara langsung dapat dilihat secara langsung dari citra penginderaan jauh. B.
Sistem Informasi Geografis (SIG) Pengertian SIG saat ini lebih sering diterapkan untuk teknologi informasi
spasial atau geografi yang berorientasi pada penggunaan teknologi komputer. Arronoff (1989) mendefiniskan SIG sebagai sistem berbasis komputer yang memiliki kemampuan dalam menangani data berreferensi geografi yaitu pemasukkan data, manajemen data, manipulasi dan analisis data, dan keluaran sebagai hasil akhir (output). Sedangkan Burrough (1986, dalam Prabawani 2010) mendefinisikan SIG (sistem informasi geografi) sebagai sistem berbasis komputer yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, mengelola, menganalisis dan mengaktifkan kembali data yang mempunyai referensi keruangan untuk berbagai tujuan yang berkaitan dengan pemetaan dan perencanaan. Pada tahap selanjutnya, SIG membentuk dan menyimpannya dalam tabel-tabel rasional sekaligus menghubungkan unsur-unsur tersebut beserta atributnya. Dengan demikian atribut-atribut dapat diakses melalui lokasi unsur-unsur peta, dan sebaliknya unsur-unsur peta dapat diakses berdasarkan atributnya (Prahasta, 2002, dalam Prabawani, 2010). ESRI (1990) mendefinisikan SIG sebagai suatu kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personil yang dirancang
secara
efisien
untuk
memperoleh,
menyimpan,
mengupdate,
memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang berreferensi geografi. SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang berreferensi spasial atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem 14
basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang berreferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperenagkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000, dalam Prabawani, 2010). SIG juiga dapat menggabungkan data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalampengambilan keputusan dalam masalah yang berhubungan dengan geografi
(As-Syakur, 2007, dalam Prabawani, 2010).
Definisi-definisi diatas maka SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem, yaitu: a.
Input Input data merupakan proses identifikasi dan pengumpulan data yang
dibutuhkan untuk aplikasi tertentu. Proses ini terdiri dari pengumpulan data, pemformatan ulang, georeferensi, kompilasi dan dokumentasi data. Komponen masukan data mengubah dari data mentah atau bentuk asli ke suatu bentuk yang dapat digunakan SIG. Data yang diperlukan untuk suatu kegiatan umumnya tersedia dalam berbagai bentuk yang berbeda seperti: peta analog, tabel, grafik/diagram, set data digital asli, peta, foto udara, citra satelit, hasil pengukuran lapangan dan format digital dari sumber lain. Keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan SIG adalah efisiensi dari integrasi dengan lingkup yang luas dari berbagai sumber informasi menjadi format yang kompatibel. b.
Manipulasi Penyesuaian terhadap data masukan untuk proses lebih lanjut, misalnya,
penyamaan skala, pengubahan sistem proyeksi, generalisasi dan sebagainya. c.
Managemen data Menggunakan Database Management System (DBMS) untuk mebantu
menyimpan, mengorganisasikan, dan mengelola data. d.
Query Yaitu penelusuran data menggunakan lebih dari satu layer dapat
memberikan informasi untuk analisis dan memperoleh data yang diinginkan. e.
Analisis Kemampuan untuk analisis data spasial untuk memperoleh informasi baru. 15
Dengan pembuatan model skenario “What If”. Salah satu fasilitas yang banyak dipakai adalah analisis tumpangsusun peta (overlay). f.
Visualisasi Penyajian hasil berupa informasi baru atau basisdata yang baik dalam
bentuk softcopy atau hardcopy seperti dalam bentuk: peta, tabel, grafik, dan lainlain.
Gambar 1.3. Aplikasi SIG 1.5.2. Penelitian Sebelumnya Nugroho, Sukojo, Sari (2003) Penelitiannya tentang Pemetaan daerah rawan longsor dengan pengindraan jauh dan sitem informasi geografis di kabupaten Mojokerto. Tujaun penelitian yaitu melakukan pengolahan dan analisis data dari citra satelit SPOT 4 dan data-data pendukung lainnya yang digunakan untuk menentukan lokasi daerah rawan
longsor di Kawasan Hutan Lindung
Kabupatenn Mojokerto. Adapun metode yang digunakan dalam analisa ini adalah melakukan proses tumpang susun (overlay), yaitu dengan meng-overlay beberapa peta parameter (peta jenis tanah, peta curah hujan, peta tutupan lahan, peta kemiringan, peta ketinggian) dan memberikan pengharkatan (skor) pada masingmasing kriteria dari peta parameter tersebut Hasil dari penelitian ini memperlihatkan kawasan hutan lindung Kabupaten Mojokerto memiliki tingkat 16
kerawanan longsor rendah (13,28 Ha) kerawanan longsor sedang (177,24 Ha) dan kerawanan longsor tinggi (427,15 Ha.). Noviartha (2009) melakukan penelitian longsor di suatu DAS. Penelitian yang dilakukan adalah tingkat kerentanan longsor di DAS Celeng Kabupaten Bantul DIY. Tujuan penelitian ini adalah membuat peta tingkat kerentanan longsor untuk mengkaji faktor dominan yang mempengaruhi tingkat kerentanan longsor di DAS Celeng. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Analisis yang digunakan yaitu analisis diskriptif kualitatif dari tabel tingkat kerentanan longsor untuk mengetahui keterkaitan antara tingkat kerentanan longsor dan faktor pemberat yang dominan mempengaruhi terjadinya longsor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAS Celeng didominasi oleh tingkat kerentanan longsor sedang mencapai 61,23% dari luas DAS dengan faktor dominan berupa susut lereng. Khasanah (2008) melakukan penelitian tentang tingkat kerentanan longsor pada lokasi permukiman di Perbukitan Menoreh Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran permukiman pada daerah rawan longsor. Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan metode survey berdasarkan satuan medan. Ceking lapangan dilakukan untuk mengetahui karakteristik tanah seperti tekstur, struktur, ketebalan solum, kerapatan kekar dan sebagainya sebagai informasi pendukung penyebab longsor. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar permukiman penduduk berada pada daerah yang rawan longsor. Aris (2010) dengan judul distribusi spasial tingkat kerentanan longsor dan kejadian longsor aktual di kecamatan gedangsari kabupaten gunungkidul. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui distribusi tingkat kerentanan longsor, kejadian longsor aktual serta mengetahui tingkat kerentanan longsor pada lokasi permukiman. Metode yang digunakan yaitu metode survei dengan teknik pengambilan sampel secara stratified berdasarkan satuan medan. Penentuan tingkat kerentanan longsor ditentukan dengan metode pengharkatan, dan untuk mengetahui lokasi permukiman digunakan metode overlaying. 17
Hasil penelitan menunjukkan bahwa terdapat tiga tingkat kerentanan longsor di Kecamatan Gedangsari, yaitu tingkat kerentanan longsor rendah sedang dan tinggi. Tingkat kerentanan longsor rendah seluas 1735,9 ha (24,47%), tingkat kerentanan longsor sedang seluas 3112,7 ha (45,68%) dan tingkat kerentanan longsor tinggi seluas 1965,6 ha atau (28,86%). Kawasan permukiman seluas 39,1 ha (6,43%) berada pada tingkat kerentanan longsor tinggi. Ningsih (2005) dengan judul tingkat kerentanan longsor di Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung. Tujuan penelitian yaitu membuat peta satuan medan untuk mengkaji tingkat kerentanan longsor dan untuk mengkaji keterkaitan antara tingkat kerentanan longsor dan bentuk penggunaan lahan di Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung. Metode yang digunakan adalah metode survei. Tingkat kerentanan longsor di setiap satuan medan diketahui dari hasil perhitungan faktorfaktor alami penyebab longsor yang diberikan bobot pada setiap faktor. Faktor alami curah hujan tidak dipertimbangkan dalam penelitian karena wilayah penelitian yang relative sempit dianggap memiliki karakteristik curah hujan yang sama. Hasil penelitiannya adalah terdapat tiga (3) tingkat kerentanan yaitu sangat rendah sebesar 56,34%, rendah sebesar 33,06%, dan sedang sebesar 10,6% dari total luas daerah penelitian.
18
Tabel 1.3. Perbandingan Penelitian Terdahulu Dengan Penelitian Yang Penulis Lakukan Nama Peneliti Nugroho, Sukojo, Sari (2003)
Lokasi Kawasan Hutan Lindung Kabupaten Mojokerto
Noviartha (2009)
DAS Celeng Kabupaten Bantul DIY
Khasanah (2008)
Perbukitan Menoreh Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul
Aris (2010)
Tujuan Penelitian melakukan pengolahan dan analisis data dari citra satelit SPOT 4 dan datadata pendukung lainnya yang digunakan untuk menentukan lokasi daerah rawan longsor di Kawasan Hutan Lindung Kabupaten Mojokerto membuat peta tingkat kerentanan longsor untuk mengkaji faktor dominan yang mempengaruhi tingkat kerentanan longsor di DAS Celeng mengetahui sebaran permukiman pada daerah rawan longsor
Metode Penelitian melakukan proses tumpang susun (overlay), yaitu dengan meng-overlay beberapa peta parameter (peta jenis tanah, peta curah hujan, peta tutupan lahan, peta kemiringan, peta ketinggian) dan memberikan pengharkatan (skor) pada masingmasing kriteria dari peta parameter
Hasil Peta Rawan longsor
metode survey
Peta Kerentanan Longsor
metode survey berdasarkan satuan medan
Peta Rawan Longsor
mengetahui distribusi tingkat kerentanan longsor, kejadian longsor aktual serta mengetahui tingkat kerentanan longsor pada lokasi permukiman
metode survei dengan teknik pengambilan sampel secara stratified berdasarkan satuan medan
Peta Kerentanan Longsor
19
Ningsih(2005)
Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung
Fahru Saleh Adam (2013)
Kecamatan Samigaluh kabupaten Kulonprogo
membuat peta satuan medan untuk mengkaji tingkat kerentanan longsor dan untuk mengkaji keterkaitan antara tingkat kerentanan longsor dan bentuk penggunaan lahan di Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung Mengkaji kemampuan citra ALOS AVNIR-2 untuk memperoleh parameter lahan yang digunakan untuk penentu longsorlahan, Mengkaji Tingkat Kerawanan Longsorlahan di Kecamatan Samigaluh, Menyusun dan menentukan zonasi tingkat kerentanan longsor di kecamatan Samigaluh
20
Metode yang digunakan adalah metode survey dengan tingkat kerentanan longsor di setiap satuan medan diketahui dari hasil perhitungan faktor-faktor alami penyebab longsor yang diberikan bobot pada setiap faktor
peta satuan medan untuk mengkaji tingkat kerentanan longsor dan untuk mengkaji keterkaitan antara tingkat kerentanan longsor dan bentuk penggunaan lahan
PJ dan SIG dan metode survey dengan teknik pengambilan sampel secara stratified berdasarkan satuan medan
Peta zonasi tingkat kerawanan longsor
1.6. Kerangka Pemikiran Longsor terjadi akibat adanya gaya gravitasi yang bekerja pada lereng dan menyebabkan penurunan material baik secara cepat atau lambat. Kestabilan lereng merupakan hal yang harus diketahui untuk penanganan bencana longsor. Perubahan penggunaan lahan, pemotongan lereng sangat mempengaruhi kestabilan lereng. Berkurangnya kestabilan lereng dari kondisi alaminya maka akan meningkatkan potensi longsor akibat kondisi batuan atau tanah yang mudah tergelincir. Satuan medan merupakan unit analisis yang digunakan untuk menilai kestabilan lereng secara alami. Gaya yang bekerja pada proses terjadinya longsor ada dua yaitu gaya gaya tekanan geser dan gaya hambatan geser. Gaya hambatan geser merupakan gaya yang sifatnya meredam terjadinya longsor seperti adanya akar tanaman yang mampu mencegah longsor. Gaya tekanan geser gaya yang menyebabkan terjadinya longsor misalnya saja terdapat jalan yang menambah gaya tekanan geser ini. Adanya lapisan lempung juga mempengaruhi sebab akan menimbulkan zona gelincir. Longsor terjadi secara tiba-tiba sehingga kebanyakan dari penduduk tidak sempat untuk menyelamatkan harta benda bahkan nyawanya. Risiko ini harus diminimalkan sehingga diperlukan suatu pemetaan daerah rawan longsor sebagai peringatan dini. Pemanfaatan teknologi pengindraan jauh sangat dibutuhkan untuk meneliti daerah rentan ataupun rawan longsor. Karena dengan memanfaatkan data pengindraan jauh mampu menyadap informasi yang dibutuhkan tanpa harus menuju daerah penelitian terlebih dahulu. Citra ALOS AVNIR-2 dimanfaatkan sebagai sumber data utama untuk penelitian daerah rawan longsor di kecamatan Samigaluh. Digunakan citra ALOS AVNIR sebagai sumber data utama karena dengan pertimbangan bahwa citra tersebut memiliki resolusi spasial yang baik dan cocok untuk menyadap parameter-parameter penentu daerah rawan longsor. yang dapat disadap dari citra ALOS AVNIR-2 yaitu bentuklahan, penggunaan lahan, dan kerapatan vegetasi. Berdasarkan parameter yang disadap tersebut beserta peta jenis tanah kemudian dilakukan tumpang susun untuk menghasilkan peta satuan medan. Satuan medan yang diperoleh berdasarkan tumpang susun ini digunakan 21
sebagai dasar dalam pengambilan sampel. Penentuan sampel yang dilakukan yaitu dengan cara stratified random sampling. Pengambilan sampel dilakukan pada saat survey lapangan untuk memperoleh parameter-parameter penentu rawan longsor yang tidak dapat disadap dari citra ALOS AVNIR-2. Parameter-parameter yang diperoleh dari kegiatan survey lapangan ini yaitu tekstur tanah, permeabilitas tanah, kemiringan lereng, bentuk lereng, kedalaman solum tanah, struktur perlapisan batuan, tingkat pelapukan batuan, dan kerapatan kekar. Kegiatan survey lapangan ini dilakukan dengan cara pengukuran dan pengamatan pada setiap sampel yang telah ditentukan. Kerja lapangan yang telah dilakukan menghasilkan keseluruhan parameter penentu rawan longsor. Parameter-parameter yang telah dihasilkan ini kemudian dilakukan analisis dengan cara analisis scoring yaitu pemberian skor pada setiap parameter penentu rawan longsor. Setelah dilakukan scoring pada setiap parameter kemudian dilakukan penjumlahan skor-skor pada semua parameter pada setiap satuan medan untuk menghasilkan skor total pada setiap satuan medan. Skor total pada satuan medan terdiri dari skor total tertinggi dan skor total terendah. Skor total tertinggi dan terendah ini digunakan untuk penentuan jarak interval pada setiap kelas kerawanan longsor. Kelas tingkat kerawanan longsor yang ditentukan dalam penelitian ini yaitu sebanyak 3 kelas tingkat kerawanan longsor yaitu tingkat kerawanan rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat kerawanan longsor yang diperoleh kemudian dibuat zonasi tingkat kerawanan longsor dalam bentuk peta zonasi tingkat kerawanan longsor. Dengan dihasilkannya peta zonasi tingkat kerawanan longsor ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi kepada masyarakat agar masyarakat dapat lebih mengetahui daerah yang rawan terjadi longsor sehingga dapat dijadikan sebagai antisipasi dan penanggulangan terhadap kejadian longsor. Dari uraian diatas, kemudian dibuat diagram kerangka pemikiran dalam penelitian tentang rawan longsor, tersaji pada Gambar 1.3. di bawah ini.
22
Kondisi fisik wilayah Kecamatan Samigaluh : Bentuklahan, Lereng, Tanah, dan Iklim
Permasalahan : Kerawanan Bencana Longsor
Pendekatan Geofisik
Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh dan SIG menggunakan Citra ALOS AVNIR-2
Parameter Penentu Kerawawan Longsor :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kemiringan Lereng Tekstur Tanah Permeabilitas Tanah Kedalaman Solum Tanah Kerapatan Kekar Struktur Perlapisan Batuan Kerapatan Vegetasi Penggunaan Lahan Bentuk Lereng Tingkat Pelapukan Batuan
Analisis dan Pengolahan Data Menggunakan Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis
Zonasi Tingkat Kerawanan Longsor di Kecamatan Samigaluh
Tingkat Kerawanan Longsor di Kecamatan Samigaluh Gambar 1.4. Diagram Kerangka Pemikiran 23
1.7. Batasan Istilah Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Dalam sistem penginderaan jauh terdapat dua proses atau elemen yang saling berkaitan (Lillesand dan Kiefer, 1990) Interpretasi citra adalah perbuatan mengkaji citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti penting objek tersebut (Sutanto, 1986). SIG adalah sistem berbasis komputer yang memiliki kemampuan dalam menangani data berreferensi geografi yaitu pemasukkan data, manajemen data, manipulasi dan analisis data, dan keluaran sebagai hasil akhir (output) Arronoff (1989). Gerakan massa tanah (mass movement) atau sering disebut tanah longsor (landslide) merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah perbukitan di daerah tropis basah Hardiyatmo (2006). Rawan Longsor (landslide susceptibility) adalah kondisi bio-fisik wilayah seperti lereng, jenis penggunaan lahan, curah hujan dan litologi yang memicu terjadinya longsor sehingga membayakan aktivitas kehidupan di sekitarnya (Wahyunto dkk, 2007). Bentuklahan (landform) adalah bentukan dari permukaan bumi akibat prosesproses geomorfologi yang bekerja (proses endogen dan atau eksogen) menyebabkan perubahan bentuk permukaan bumi serta tenaga geomorfologi yang menyebabkan perubahan baik secara fisik maupun kimia permukaan bumi (Dibyosaputro, 2001).
24