1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan diartikan sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Siagian, 1994). Pengertian pembangunan ini banyak diartikan oleh para ahli dari berbagai sudut pandang berbeda-beda dari satu orang dengan orang lain, namun secara umum dapat disimpulkan bahwa pembangunan merupakan suatu proses untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik melalui suatu upaya yang dilakukan secara terencana (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2004). Pembangunan adalah suatu proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pembangunan nasional dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial, dan budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah yang diinginkan. Dijelaskan lebih lengkap transformasi dalam ekonomi seperti pada peningkatan atau pertumbuhan sektor ekonomi yang cepat dalam kontribusinya terhadap pendapatan nasional sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Transformasi dalam sosial dicontohkan
melalui
pemerataan
pembangunan,
kemakmuran
atau
kesejahteraan masyarakat, serta perolehan akses terhadap sumberdaya sosial ekonomi. Sedangkan transformasi budaya terkait pada perubahan nilai dan norma masyarakat, peningkatan sumber daya manusia, serta kelembagaan. Dengan demikian, proses pembangunan dapat terjadi di segala aspek kehidupan masyarakat seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lain sebagainya, yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro (community/group).
Adanya
kemajuan
atau
perbaikan
(progress),
pertumbuhan, dan diversifikasi merupakan suatu hal yang penting dan menjadi penciri dari suatu pembangunan.
2
Tujuan pembangunan mencakup aspek pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek-aspek sosial ekonomi wilayah (Anwar, 2005). Perkembangan yang terjadi pada perubahan strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi,
pemerataan
pembangunan
dan
pelestarian
lingkungan untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi yang maksimal dan menjamin kesinambungan. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan pendapatan per kapita masyarakat sebagai upaya untuk menciptakan kondisi yang lebih baik dalam waktu dan periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tolok ukur utama perbandingan pembangunan antara suatu negara dengan negara lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mengindikasikan tingginya pembangunan di suatu negara menjadi lebih maju dan berkembang. Berdasarkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Perencanaan Pembanguna Nasional, disebutkan salah satu arah kebijakan RPJMN 2015-2019 dan strategi bidang kawasan strategis dalam pengembangan Kawasan Strategis Nasional (KSN) yaitu untuk peningkatan pemerataan pembangunan antar wilayah dalam mendukung pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Kerangka pembangunan nasional di Indonesia dalam Garis Besar Haluan Negara 1993 menyatakan bahwa pembangunan daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan pemerataan pembangunan perlu melihat sektor ekonomi yang berkembang.
Hasil
penelitian
terhadap
pertumbuhan,
percepatan
pertumbuhan dan kemiskinan di Indonesia antara wilayah dengan sektor pertambangan dan wilayah dengan sektor non pertambangan dapat diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi pada wilayah dengan sektor non pertambangan dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan yang ada di wilayahnya, sedangkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di sektor pertambangan
3
menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan masyarakat di wilayahnya. Pertumbuhan ekonomi pada sektor non pertambangan khususnya pertanian, industri, dan jasa dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan masyarakat. Selain itu pertumbuhan ekonomi pada sektor pertanian, industri, dan jasa menjadi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Bhattacharyya, 2014). Brundtland
Report
dari
PBB,
1987
menyatakan
bahwa
pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan baik itu pembangunan pada aspek lahan, kota, bisnis, masyarakat, dan lain sebagainya, yang berprinsip pada pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan
pemenuhan
kebutuhan
generasi
masa
depan.
Arti
keberlanjutan disini merupakan suatu upaya berkesinambungan dari generasi sekarang sampai generasi masa depan. Menurut Perman et al., 1996 dalam Fauzi, 2004 disebutkan bahwa terdapat tiga alasan dasar pembangunan berkelanjutan. Pertama, alasan moral bagi generasi kini dalam menikmati sumberdaya alam dan lingkungan harus berkewajiban moral untuk menyisakan sumberdaya alam tersebut untuk generasi mendatang, serta agar tidak mengekplorasi sumberdaya alam secara besar-besaran yang berakibat pada kerusakan lingkungan. Kedua, alasan ekologi seperti keanekaragaman hayati yang memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi sehingga aktivitas ekonomi semestinya tidak diarahkan pada hal yang mengancam fungsi ekologi tersebut. Ketiga, alasan ekonomi yang terkait dengan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat agar dapat terus berkelanjutan dari generasi ke generasi selanjutnya. Namun fenomena permasalahan yang banyak terjadi di setiap wilayah yakni tujuan pembangunan untuk pemerataan dan keberlanjutan kurang tercapai. Pembangunan dalam pertumbuhan ekonomi kian meningkat dengan banyaknya upaya dan strategi pemerintah daerah yang terintegrasi dengan berbagai stakeholder. Tujuan pertumbuhan ekonomi ini berhasil melaju dengan kencangnya tanpa melihat pada tujuan-tujuan pembangunan lain. Pertumbuhan ekonomi yang dilakukan dengan berlandaskan pada
4
eksploitasi sumberdaya alam atau potensi alam yang dimiliki untuk terus memproduksi sesuatu yang dapat menghasilkan ekonomi yang tinggi. Eksploitasi
sumberdaya
alam
besar-besaran
dengan
mengacuhkan
pelestarian lingkungan akan semakin membuat tujuan keberlanjutan pembangunan semakin pupus. Sehingga ketiga tujuan pembangunan ini tidak akan berjalan secara seimbang. Telah banyak bukti yang menjadi indikasi Indonesia belum melaksanakan tujuan pembangunan secara berkelanjutan. Salah satu bukti yang dilihat secara kasat mata dapat diamati yaitu kerusakan hutan yang menjadi salah satu indikasinya. Eksploitasi kekayaan hutan secara besar-besaran tanpa memperhatikan kepentingan generasi mendatang terjadi dengan ataupun tanpa disadari oleh kita sehingga aspek keberlanjutan baik ekonomi, ekologis serta sosial sudah tidak terjamin lagi. Permasalahan pembangunan juga terjadi pada tujuan pemerataan pembangunan. Pemerataan pembangunan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Menurut data World Development Report, menyatakan bahwa pada tahun 1996 penduduk Indonesia sebesar 15,7% berada di bawah garis kemiskinan. Kemudian pada tahun 1999 meningkat menjadi 27,1% jumlah penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Sungguh
angka
yang
tidak
kecil
bagi
bangsa
Indonesia.
Data
ketidakmerataan ini juga ditunjukkan melalui Indeks Gini. Indeks Gini merupakan ukuran tingkat penyimpangan distribusi penghasilan dengan menghitung area antara kurva Lorenz dengan garis hipotesis pemerataan absolut. Berdasarkan perhitungan Indeks Gini, pemerataan penghasilan Indonesia sebesar 0,34 yang menunjukkan bahwa terdapat ketidakmerataan penghasilan yang cukup besar di Indonesia. Sedangkan perhitungan lain dari Indeks Gini yaitu untuk pemerataan kepemilikan tanah di Indonesia yang mencapai 0,46 yang menunjukkan adanya ketidakmerataan kepemilikan tanah yang cukup besar di Indonesia. Hasil perhitungan Indeks Gini untuk pemerataan pendidikan di Indonesia mencapai 0,32 yang menunjukkan adanya ketidakmerataan pendidikan. Semakin rendahnya tingkat pendidikan masyarakat maka tingkat produktifitas dari masyarakat semakin rendah, dan
5
berakibat pula pada rendahnya tingkat pendapatan masyarakat. Sehingga kesenjangan
tingkat
pendidikan
ini
dapat
mengakibatkan
adanya
kesenjangan tingkat pendapatan yang semakin besar. Realitanya permasalahan ketimpangan pembangunan yang menjadi masalah dunia terjadi antar wilayah dan antar sektor. Ketimpangan antar wilayah sangat jelas apabila dilihat pada wilayah perdesaan dan perkotaan. Sedangkan ketimpangan antar sektor sangat jelas apabila dilihat pada wilayah pertanian dengan wilayah non-pertanian. Wilayah perkotaan yang berkembang
pada
sektor
non-pertanian
akan
terus
berkembang
meninggalkan wilayah perdesaan yang didominasi oleh sektor pertanian. Pihak pemerintah daerah maupun pihak investor swasta akan memfokuskan diri dalam pengembangan sektor yang dapat menguntungkan wilayah dan memberikan kontribusi pendapatan lebih kepada wilayah. Wilayah perdesaan yang belum tereksplorasi dan terkelola potensi alamnya dengan baik akan menjadi wilayah tertinggal. Padahal apabila potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh setiap wilayah dapat tereksplorasi, terkelola, dan dikembangkan niscaya akan memberikan keuntungan tersendiri bagi wilayah tersebut, terutama untuk pembangunan daerah dengan kekayaan potensi alam yang dimiliki. Selain itu, adanya permasalahan di wilayah perdesaan yang belum dapat teratasi karena berbagai keterbatasan di wilayah perdesaan ini akan membuat keadaan di perdesaan semakin terpuruk. Belum adanya eksplorasi dan pengembangan sumberdaya alam masing-masing daerah ini berdampak pada tingginya angka kemiskinan dan pengangguran pada daerah yang belum berkembang (daerah tertinggal). Kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam mengatasi segala permasalahan wilayah di daerah ini pula menyebabkannya menjadi daerah tertinggal. Dari sinilah muncul permasalahan ketimpangan atau kesenjangan wilayah sehingga tujuan pembangunan dalam pemerataan pembangunan wilayah belum berhasil tercapai dan masih banyaknya wilayah-wilayah yang tertinggal. Kabupaten Klaten merupakan kabupaten yang memiliki 26 kecamatan. Kabupaten Klaten diapit oleh daerah-daerah maju dan
6
berkembang yakni Kabupaten Surakarta, Kabupaten Semarang, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Klaten merupakan jalur penghubung antara Yogyakarta dengan Surakarta. Kecamatan-kecamatan yang dilalui jalur utama penghubung Yogya-Solo ini berkembang dengan sendirinya seiring tingginya mobilitas yang terjadi. Hal ini memberikan berbagai dampak terhadap pertumbuhan Kabupaten Klaten baik dari sisi ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kependudukan, maupun aspek lainnya, terutama pada kecamatan-kecamatan yang dilalui jalur utama penghubung Yogya-Solo. Sedangkan kecamatan-kecataman lain yang berada jauh dari jangkauan perkembangan wilayah akan semakin tertinggal, seperti pada Kecamatan Kemalang, Kecamatan Karangnongko, Kecamatan Gantiwarno, dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena belum adanya eksplorasi, pengelolaan, dan pengembangan potensi sumberdaya alam yang ada, penyelesaian segala permasalahan wilayah yang ada, serta perhatian khusus dari pemerintah terhadap kecamatan-kecamatan tersebut. Sehingga tidak menampik kemungkinan adanya ketidakmerataan pembangunan di Kabupaten Klaten yang menimbulkan masih banyaknya wilayah-wilayah tertinggal di Kabupaten Klaten. Penelitian terhadap wilayah-wilayah tertinggal di Kabupaten Klaten ini dilakukan sebagai salah satu upaya pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga dalam penelitian ini akan dikaji mengenai penggalian potensi dan permasalahan wilayah-wilayah tertinggal di Kabupaten Klaten guna menyusun strategi pengembangan wilayah tertinggal.
1.2. Perumusan Masalah Salah satu cara pandang suatu proses pembangunan daerah yaitu perencanaan pembangunan daerah sebagai suatu instrumen bagi penentuan alokasi sumberdaya pembangunan dan lokasi kegiatan di daerah yang telah
7
direncanakan terpusat yang berguna untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi antar wilayah (Kartasasmita, 1997: 37 – 38). Kesenjangan wilayah yang terjadi semakin besar karena suatu proses pembangunan yang dilakukan selalu dimulai pada suatu wilayah yang telah maju sebelumnya dengan memiliki potensi daya tarik wilayah tersendiri, seperti ketersediaan infrastruktur, pasar, dukungan finansial, fasilitas transportasi, dan lain sebagainya (Muta’ali, 2011). Suatu wilayah yang terbelakang pada umumnya merupakan suatu wilayah yang belum dapat memobilisasi potensi sumberdaya
alam,
potensi
sumberdaya
manusia,
dan
potensi
kelembagaannya yang sebenarnya menjadi suatu potensi tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan wilayah tersebut (Stohr, 1981: 43 dalam Muta’ali, 2011). Potensi dan permasalahan yang dimiliki oleh setiap wilayah sangat berbeda-beda baik yang telah terkelola dan telah teratasi permasalahan wilayahnya sehingga dapat menjadi wilayah berkembang maupun yang dimiliki oleh suatu wilayah yang belum dapat terkelola dan belum dapat teratasi permasalahan wilayahnya karena berbagai macam keterbatasan sehingga menjadi wilayah yang tertinggal. Beberapa kecamatan di daerah pinggiran Kabupaten Klaten belum terperhatikan dengan baik oleh pemerintahan daerah dengan indikasi tingkat perkembangan yang relatif masih rendah, memiliki potensi yang belum termanfaatkan secara optimal dan maksimal serta memiliki permasalahan yang masih belum teratasi sehingga menjadikannya sebagai wilayah tertinggal. Pengidentifikasian dan analisis potensi permasalahan yang ada di wilayah tertinggal Kabupaten Klaten ini perlu dilakukan untuk pengembangan wilayah tertinggal sebagai upaya pemerataan pembangunan. Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan maka permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana identifikasi wilayah tertinggal dan pola perkembangan wilayah di Kabupaten Klaten ?
8
2. Bagaimana potensi dan permasalahan yang dimiliki wilayah tertinggal di Kabupaten Klaten ? 3. Bagaimana strategi kebijakan pengembangan wilayah-wilayah tertinggal Kabupaten Klaten ?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Merujuk pada perumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi
wilayah-wilayah
tertinggal
dan
pola
perkembangan wilayah di Kabupaten Klaten. 2. Menganalisis potensi dan permasalahan yang dimiliki wilayah tertinggal di Kabupaten Klaten. 3. Menyusun strategi kebijakan pengembangan wilayah-wilayah tertinggal di Kabupaten Klaten.
1.3.2. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian terkait analisis potensi dan permasalahan yang dimiliki oleh wilayah tertinggal di Kabupaten Klaten ini sebagai upaya untuk
pengembangan
wilayah
tertinggal
guna
pemerataan
pembangunan di Kabupaten Klaten ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat kegunaan, antara lain : 1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, khususnya mengenai hal-hal yang menjadi topik atau fokus penelitian dan juga dapat dijadikan gambaran untuk penelitian-penelitian yang memiliki tujuan dan fokus yang sama. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan
masukan
bagi
pemerintah
setempat
dalam
pengelolaan potensi dan permasalahan di wilayah tertinggal untuk pengembangan wilayah tertinggal guna pemerataan pembangunan.
9
1.4. Keaslian Penelitian Penelitian ini menggunakan referensi dari karya tulis lainnya seperti skripsi, thesis, dan jurnal yang dipublikasikan secara nasional sebagai acuan dalam penelitian ini. Penelitian-penelitian terdahulu cenderung memfokuskan pada pengkajian kemiskinan wilayah berdasarkan pada zonasi fisiografi yang berbeda, kajian topografi serta hanya terfokus pada potensi yang dimiliki wilayah tertinggal. Penelitian yang akan dilakukan ini memiliki perbedaan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini menitikberatkan pada penggalian potensi dan pemecahan permasalahan wilayah tertinggal yang disusun dalam suatu analisis SWOT untuk strategi pengembangan wilayah tertinggal. Potensi yang belum termanfaatkan secara optimal serta permasalahan wilayah yang menjadi akar penyebab ketertinggalan sangat penting untuk dipecahkan guna pengembangan wilayah yang lebih baik. Penentuan daerah tertinggal ini pula dilakukan pada unit terkecil desa melalui proses skoring terhadap variabel-variabel penentuan daerah tertinggal. Analisis perumusan strategi pengembangan wilayah tertinggal dalam penelitian ini didasarkan pada sumber data yang kuat hasil indepth interview dengan stakeholders terkait. Tabel matrik yang menunjukkan keaslian penelitian ditunjukkan sebagai berikut dibawah ini :
10
Tabel 1.1. Keaslian Penelitian No. Judul Penelitian Nama Penulis 1. Strategi Febroza Belda Penghidupan (2012) Nelayan dalam Peningkatan Ekonomi Masyarakat Kecamatan Sasak dan Sungai Beremas
Tujuan Penelitian - Mengetahui hubungan antara aset, akses, aktivitas, dengan ekonomi masyarakat - Mengetahui penyebab rendahnya ekonomi masyarakat sedangkan potensi yang dimiliki cukup besar - Mengetahui strategi penghidupan masyarakat agar dapat memanfaatkan sumber daya alam secara optimal untuk meningkatkan perekonomian masyarakat
Analisis Data - Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu metode survey dengan menggunakan wawancara tidak terstruktur, indepth interview, dan observasi.
Hasil Penelitian - Kondisi aset, akses, dan aktivitas di dua kecamatan tersebut berbeda. Kecamatan Sungai Beremas lebih maju baik itu dari segi aset maupun akses serta didukung oleh aktivitas nelayannya. - Penyebab perekonomian di dua kecamatan sebagian besar berbeda yaitu tergantung pada kepemilikan aset, alat tangkap tradisional, pola peminjaman mingguan, aktivitas perempuan yang santai, produksi hasil tangkapan, SDM yang rendah, modal terbatas, etos kerja, serta perilaku masyarakat yang konsumtif. - Strategi penghidupan nelayan adalah strategi survival oleh nelayan buruh, strategi konsolidasi oleh nelayan pemilik sumberdaya, dan strategi akumulasi oleh juragan.
11
2.
Identifikasi Potensi dan Pengembangan Desa Tertinggal di Provinsi DIY
Luthfi Muta’ali, S.Si (1994/1995)
- Mengidentifikasi potensi dan permasalahan desa tertinggal, yang relatif rendah perkembangannya di Provinsi DIY. - Mempelajari besarnya pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi variasi potensi wilayah desa tertinggal. - Mempelajari perbedaan terhadap keberadaan potensi wilayah desa tertinggal pada tipe desa lahan kering pada fisiografi dataran tinggi dan tipe desa lahan basah pada fisiografi dataran rendah. - Mempelajari perbedaan terhadap keberadaan potensi wilayah desa tertinggal pada tipe desa urban dan desa rural.
- Analisis data sekunder - Analisis korelasi sederhana - Analisis korelasi regresi berganda
- Terdapat 111 desa tersebar pada desa tipe urban dan rural serta desa tipe lahan basah dan lahan kering, yang terdapat di Kabupaten Gunungkidul, Bantul, dan Kulon Progo. - Terdapat tiga faktor yang berpengaruh sangat kuat meliputi, infrastruktur, sumberdaya alam dan, sumberdaya manusia. - Prioritas pembangunan desa tertinggal hendaknya diarahkan pada desa-desa yang tersebar di Kabupaten Gunungkidul dan Kulon Progo. - Desa tertinggal di Provinsi DIY baik pada tipe wilayah urban-rural maupun desa lahan basah dan lahan kering menunjukkan adanya perbedaan potensi wilayah secara meyakinkan.
12
3.
Distribusi Ibrahim (2008) Keruangan DesaDesa Tertinggal di Kabupaten Sumbawa Barat
- Menentukan skala prioritas penanganan dan pengembangan area desa tertinggal terpilih yang perlu digarap untuk mengupayakan agar tingkat perkembangan dapat tumbuh lebih tinggi. - Mengidentifikasi karakteristik geografis desa tertinggal. - Mengkaji distribusi keruangan desa tertinggal. - Mempelajari faktorfaktor penentu dan besarnya pengaruh faktor tersebut terhadap desa tertinggal di Kabupaten Sumbawa Barat.
- Menggunakan metode survei - Metode analiss data sekunder - Analisis tabulasi silang - Analisis statistik regresi berganda
- Karakteristik desa tertinggal di Kabupaten Sumbawa bervariasi menurut karakteristik topografi meliputi topografi berbukit dengan jumlah desa tertinggal yang lebih banyak daripada di daerah dataran. - Faktor penentu desa tertinggal meliputi faktor topografi, aksesibilitas, dan prasarana sosial ekonomi. - Faktor yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap desa tertinggal yaitu sarana prasarana sosial ekonomi.
13
4.
Pengembangan Wilayah Tertinggal di Kabupaten Klaten
Happy Okysari (2015)
- Mengidentifikasi wilayah-wilayah tertinggal di Kabupaten Klaten. - Menganalisis potensi dan permasalahan yang dimiliki wilayah tertinggal. - Menganalisis strategi kebijakan pengembangan wilayah tertinggal di Kabupaten Klaten.
- Menggunakan sistem Scoring berdasarkan indikator wilayah tertinggal per desa. - Menggunakan metode RRA dan analisis observasi. - Menggunakan analisis SWOT dengan Indepth Interview.
14
1.5. Tinjauan Pustaka Pembangunan
daerah
diarahkan
untuk
memacu
pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu. Salah satu tujuan wilayah linier yaitu pemerataan (equity). Fenomena pengembangan wlayah yang terkonsentrasi pada pertumbuhan ekonomi yang hanya dapat dinikmati oleh sekelompok orang atau golongan tertentu menyebabkan pemerataan ini menjadi penting. Pemerataan sebagai upaya mendistribusikan hasil-hasil pembangunan secara merata baik dalam dimensi sosial maupun regional. Pemerataan ini pula berkaitan dengan pembagian manfaat hasil pembangunan secara adil dan merata sehingga setiap masyarakat atau lapisan masyarakat yang terlibat memiliki hak untuk memperoleh pembagian hasil yang memadai secara adil. Upaya pemerataan ini diupayakan agar hasil pembangunan terdistribusi secara merata ke seluruh wilayah dan semakin mempersempit kesenjangan antar wilayah dan pembangunan lebih adil (Muta’ali, 2014). Ketimpangan Wilayah Gunawan Sumodiningrat (1995) dalam Muta’ali, 2014 menyebutkan bahwa terdapat tiga bentuk ketimpangan pembangunan, meliputi : a. Ketimpangan antar golongan penduduk : Ketimpangan
antar
golongan
penduduk
merupakan
suatu
ketidakmerataan antar golongan penduduk yang terlihat dari masih banyaknya penduduk miskin baik itu yang ada di perkotaan maupun yang ada di perdesaan. Meskipun terjadi penurunan namun penurunan tersebut tidaklah sebanding dengan peningkatan hasil pembangunan yang dapat dinikmati oleh golongan masyarakat yang tidak miskin.
15
b. Ketimpangan antar sektor : Ketimpangan antar sektor ditunjukkan pada penurunan peran dan produktifitas dari sektor pertanian, namun sektor pertanian ini menampung tenaga kerja yang cukup banyak. Sedangkan sektor industri cenderung capital intensive dengan daya serap tenaga kerja yang rendah namun memberikan kontribusi yang semakin meningkat. Terjadi pula pada sektor jasa dan perdagangan yang semakin jauh meninggalkan sektor pertanian. c. Ketimpangan antar wilayah Ketimpangan antar wilayah banyak terjadi karena ketidakmerataan demografis dan sumberdaya alam serta kebijakan pemerintahnya cukup besar memberikan andil dalam ketimpangan wilayah. Seperti pada Dikotomi Jawa (pusat) dan luar Jawa (pinggiran), Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia, antara perdesaan dan perkotaan. Wilayah Tertinggal Wilayah merupakan suatu ruang kesatuan geografis dengan segenap unsur-unsur yang terkait di dalamnya, yang dibatasi oleh lingkup pengamatan tertentu. Suatu wilayah pada dasarnya bukan hanya sekedar areal dengan batas-batas tertentu saja melainkan suatu area yang memiliki arti (meaningful) tertentu karena adanya masalah-masalah yang ada di dalamnya sehingga terdapat suatu interest
tertentu dalam menangani
masalah tersebut, terutama permasalahan yang menyangkut aspek sosialekonomi (Isard, 1975 dalam Muta’ali, 2014). Blair (1991) dalam Muta’ali, 2014 dijelaskan bahwa terdapat tiga konsep wilayah yang dikenal selama ini, meliputi : 1. Wilayah Homogen (uniform atau homogeneous region) 2. Wilayah Sistem/Fungsional 3. Wilayah Perencanaan/Pengelolaan
16
Wilayah perencanaan atau pengelolaan merupakan suatu wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut baik yang bersifat ilmiah maupun yang bersifat non-ilmiah sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Penetapan batas wilayah perencanaan didasarkan pada tujuan dan kepentingan perencanaan atau program. Misalnya bertujuan untuk pengembangan daerah yang masih miskin dan tertinggal maka dapat digunakan wilayah perencanaan pembangunan daerah tertinggal. Menurut Sabari Yunus (1991) menyebutkan tiga konsepsi wilayah, meliputi : 1. Konsepsi wilayah berdasarkan tipenya, 2. Konsepsi wilayah berdasarkan rank/hirarkinya, 3. Konsepsi wilayah berdasarkan kategorinya
Tabel 1.2 Konsepsi Wilayah Berdasarkan Kategori No. Jenis 1. Single Topic Region (wilayah bertopik tunggal) 2. Combined Topic Region (wilayah bertopik gabungan) 3.
4.
5.
Definisi/Kriteria Wilayah yang eksistensinya didasarkan pada satu macam topik atau kriteria saja. Wilayah yang eksistensinya didasarkan pada gabungan (lebih dari satu) macam kriteria (topik masih sama). Multiple Topic Wilayah yang eksistensinya Region (wilayah didasarkan pada beberapa bertopik banyak) topik yang berbeda satu sama lain.
Keterangan/Contoh Wilayah curah hujan, Wilayah geologi.
Wilayah iklim (gabungan dari curah hujan, temperatur, tekanan udara, angin) Wilayah pertanian (gabungan dari topik fisik = tanah, hidrologi, dan topik tanaman. Wilayah ekonomi. wilayah Wilayah administrasi Total Region Delimitasi (wilayah total) menggunakan semua unsur desa, kecamatan, wilayah. Bersifat klasik, kabupaten, provinsi. kesatuan administrasi sebagai dasar. Tidak didasarkan pada Semacam wilayah Compage Region banyak sedikitnya topik perencaaan. Wilayah tetapi aktivitas manusia yang miskin, wilayah menonjol. bencana, dan lain-lain. Sumber : Sabari Yunus (1991)
17
Pewilayahan (regionalization) merupakan suatu proses membagi-bagi wilayah
di
permukaan
bumi.
Istilah
regionalisasi
merujuk
pada
pengelompokkan daerah berdasarkan karakteristik tertentu yang sama. Menurut John Glasson, regionalisasi merupakan suatu proses penentuan batas daerah yang bentuknya tergantung pada tujuan pengelompokkan, kriteria yang digunakan serta ketersediaan data. Menurut Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal (KPDT) menjabarkan bahwa Daerah Tertinggal merupakan daerah Kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain: 1. Geografis. Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/ pegunungan, kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi. 2. Sumberdaya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumberdaya alam, daerah yang memiliki sumberdaya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan. 3. Sumberdaya Manusia. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang. 4. Prasarana dan Sarana. Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.
18
5. Daerah Terisolasi, Rawan Konflik dan Rawan Bencana. Daerah tertinggal secara fisik lokasinya amat terisolasi, suatu daerah mengalami konflik sosial bencana alam seperti gempa bumi, kekeringan dan banjir, dan dapat menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi. Penetapan kriteria daerah tertinggal berdasarkan pada perhitungan enam (6) kriteria dasar dan 27 indikator utama yaitu : Tabel 1.3. Indikator Daerah Tertinggal menurut Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal (KPDT) No. Kriteria Dasar Indikator Utama Variabel Pengukur 1. Perekonomian - Persentase keluarga miskin - Jumlah Penduduk, Keluarga, Masyarakat - Konsumsi perkapita Penduduk Miskin, dan Keluarga Prasejahtera dan Sejahtera 1 - PDRB, Persentase Kedalaman Kemiskinan, dan IKK 2. Sumberdaya - Angka harapan hidup - Jumlah Penduduk, Persentase Manusia - Rata-rata lama sekolah Angkatan Kerja, dan Persentase - Angka melek huruf Pengangguran - Angka Melek Huruf, Angka Partisipasi Sekolah, dan IPM - Jumlah Desa, Persentase Desa yang Memiliki Fasilitas Kesehatan > 5 km dan Fasilitas Pendidikan > 3 km - Jumlah Desa, Puskesmas, dan Poliklinik Desa - Rata-rata Jarak Desa Tanpa Fasilitas Pendidikan ke Fasilitas Pendidikan Terdekat 3. Prasarana atau - Jumlah jalan dengan permukaan - Jumlah Desa Menurut Kabupaten Infrastruktur terluas aspal/beton, jalan Derah Tertinggal dan Jarak diperkeras, jalan tanah, dan jalan Fasilitas Pasar lainnya. - Jumlah Desa Menurut Kabupaten - Persentase pengguna listrik, Derah Tertinggal dan Jenis Pasar telepon dan air bersih. - Persentase Rumah Tangga - Jumlah desa dengan pasar tanpa Pengguna Listrik dan Telepon bangunan permanen. - Jumlah Penduduk, Dokter, dan - Jumlah prasarana Dokter/1000 Penduduk kesehatan/1000 penduduk - Jumlah Desa Menurut Kabupaten - Jumlah dokter/1000 penduduk Daerah Tertinggal dan Jenis - Jumlah SD-SMP/1000 penduduk Permukaan Jalan Utama
19
Tabel 1.3. Lanjutan 4. Kapasitas Daerah 5. Aksesibilitas
6.
- Celah fiskal - Rata-rata jarak dari desa ke kota
- Besarnya PAD - Besarnya Celah Fiskal - Rata-Rata Jarak dan Waktu Tempuh dari Kantor Desa/Kelurahan ke Kantor Kabupaten yang Membawahi
kabupaten - Jarak ke pelayanan pendidikan - Jumlah desa dengan akses pelayanan kesehatan lebih besar dari 5 km Karakteristik - Persentase desa rawan gempa - Persentase Desa Berdasarkan Daerah bumi, tanah longsor, banjir, dan Kabupaten dan Karakteristik bencana lainnya. Daerah - Persentase desa di kawasan lindung, desa berlahan kritis, dan desa rawan konflik satu tahun terakhir. Sumber : Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal
Selain indikator-indikator daerah tertinggal oleh Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal tersebut diatas, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengeluarkan variabel-variabel dalam menilai dan menentukan desa tertinggal. Variabel-variabel penentuan desa tertinggal menurut Badan Pusat Statistik tersebut terbagi menjadi potensi desa, perumahan dan permukiman, keadaan penduduk, serta terdapat tambahan variabel untuk daerah perdesaan. Pada variabel-variabel yang disusun oleh Badan Pusat Statistik ini telah diklasifikasikan dan diberikan skor pembobotan pada masng-masing variabelnya secara lebih lengkap. Selanjutnya penentuan garis ketertinggalan yang diukur dari nilai satu standar deviasi dibawah angka ratarata. Tabel 1.4. Variabel Penentuan Daerah Tertinggal menurut Biro Pusat Statistik (BPS) No Variabel Klasifikasi Skor Potensi Desa Tipe 3 3 1 Tipe LKMD (atau yang setara) Tipe 1 atau 2 2 Tipe 0 1 Aspal 3 2 Jalan Utama Diperkeras 2 Tanah 1
20
Tabel 1.4. Lanjutan 3
Sebagian besar penduduk bergantung pada potensi
4
Rata-rata tanah pertanian yang diusahakan per rumahtangga tani untuk pertanian
5
Jarak dari desa/kelurahan ke ibukota kecamatan
6
Fasilitas pendidikan
7
Fasilitas Kesehatan
8
Tenaga kesehatan
9
Sarana Komunikasi
10
Pasar
Jasa, perdagangan, dll Industri/kerajinan Pertanian 1 Ha 0,5 – 1 Ha < 0,5 Ha 0 – 5 Km 6 – 9 Km > 10 Km s/d SLTA ke atas s/d SLTP ke atas s/d SD Poliklinik ke atas Puskesmas Puskesmas Pembantu Dokter Paramedis Dukun bayi Telepon Kartu Pos Tidak ada sarana Bangunan pasar permanen/setengah permanen Kios/pertokoan Tanpa bangunan
3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1
0 – 200 jiwa/km2 201 – 299 jiwa/km2 >300 jiwa/km2 PAM, pompa listrik Sumur pompa/mata air Air hujan Tidak ada wabah Selain muntaber/demam berdarah Demam berdarah/muntaber Listrik/gas Minyak tanah Kayu bakar Tempat sampah Ke dalam lubag Ke sungai
3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1
3 2 1
Perumahan dan Lingkungan 11
Kepadatan penduduk
12
Sumber air minum
13
Wabah penyakit selama setahun
14
Bahan bakar
15
Pembuangan sampah
21
Tabel 1.4. Lanjutan 16
Jamban
17
Penerangan listrik
18
Rasio banyaknya tempat ibadah per 1000 penduduk
Sendiri Bersama-sama Bukan jamban Listrik PLN Listrik Non-PLN Lainnya/tidak ada >5/1000 (2-4)/1000 <1/1000
3 2 1 3 2 1 3 2 1
Keadaan Penduduk >5 ekor 19 2 – 4 ekor < 1 ekor >29 Persentase rumah tangga yang 20 5 – 29 memiliki TV <5 <9% Persentase rumah tangga yang 21 5–9% memiliki telepon <5% Tambahan variabel untuk daerah perdesaan <15% 22 Rumah tangga pertanian 16 – 29 % >30% Sumber : Badan Pusat Statistik (1999)
3 2 1 3 2 1 3 2 1
Rata-rata banyaknya ternak per rumah tangga ternak
3 2 1
Setiap wilayah memiliki potensi dan permasalahan masing-masing sesuai dengan karakteristik dan kondisi wilayahnya. Potensi wilayah pada hakekatnya merupakan fungsi dari sumberdaya manusia, sumberdaya alam, infrastruktur, daya dukung lingkungan, dan struktur produksi sebagai muara dari aktifitas sosial-ekonomi. Penilaian potensi wilayah sangat penting untuk dilakukan
karena
sebagai
upaya
pengembangan
wilayah.
Potensi
pembangunan merupakan keseluruhan keadaan yang dapat digunakan sebagai titik tolak pengembangan wilayah (Muta’ali, 1994/1995). Keberagaman potensi dan karakteristik setiap wilayah dapat dikelompok-kelompokkan berdaarkan karakteristik yang sama antar wilayah kedalam satu tipologi wilayah yang sama. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan menjelaskan bahwa Tipologi Desa/Kelurahan
22
merupakan suatu kondisi yang spesifik dari keunggulan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, potensi kelembagaan, serta potensi sarana prasarana dalam menentukan arah pengembangan dan pembinaan masyarakat yang didasarkan pada karakteristik keunggulan komparatif dan kompetitif dari setiap desa dan kelurahan. Tipologi wilayah perdesaan ini juga dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pengelompokkan desa-desa yang didasarkan pada kesamaan dari ciri-ciri wilayah dan masyarakatnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan melihat pada tipologi desa yang memiliki potensi dan permasalahan yang berbeda-beda maka dapat dijadikan sebagai arahan pembangunan desa yang bervariasi pula (Muta’ali, 2013).
Tipologi Desa Berdasar Aspek Lingkungan Fisik
Tipologi Desa Pegunung an Tipologi Desa dan Kelurahan Perbukitan Tipologi Desa dan Kelurahan Dataran Tipologi Desa dan Kelurahan Pesisir/Pa ntai
Tabel 1.5. Lanjutan
Tabel 1.5. Tipologi Wilayah Perdesaan Kemiringan lereng > 40% dan ketinggian > 500 meter dpal. Daerah hulu, konservasi dan daerah tangkapan hujan (catchment area). Curah hujan tinggi dan potensi sumberdaya air yang melimpah. Potensi tanaman perkebunan dan holtikultura yang potensial. Pengembangan peternakan khususnya sapi perah. Pertambangan pasir dan batu atau jenis bahan galian tambang lainnya. Potensi sebagai kawasan rawan bencana erupsi. Pola permukiman terpencar dan kepadatan penduduk yang rendah. Bukit bergelombang dengan kemiringan lereng 30-40% dan ketinggian antara 75-500 meter dpal. Tergantung dari struktur geologi dan material dasar pembentuknya. Potensi kayu-kayuan dan tanaman tahunan serta perkebunan. Potensi bahan galian pertambangan. Merupakan daerah penyangga dan kawasan resapan air. Ketinggian rendah pada kemiringan lereng < 15%. Banyak ditinggali penduduk dengan kepadatan yang tinggi. Daerah hilir dan berasosiasi dengan sungai sebagai sumber kehidupan. Sebagian besar untuk pengembangan fungsi kawasan budidaya. Banyak ditemukan sawah baik irigasi maupun tadah hujan. Sebagian besar desa bercirikan perkotaan atau kelurahan. Daerah yang keberadaannya sangat dipengaruhi oleh ekologi laut. Berbatasan langsung dengan laut dan masih dipengaruhi laut. Morfologi datar dengan kemiringan lereng < 5%. Banyaknya permukiman kota yang berada di zona pesisir. Rawan bencana banjir.
23
Tipologi Desa PulauPulau Kecil Tipologi Desa dan Kelurahan di Kota (Urban)
Tipologi Desa Berdasar Aspek Posisi Geografis Terhadap Pusat Pertumbuha n (Kota)
Tipologi Desa dan Kelurahan di Pinggiran Kota Tipologi Desa dan Kelurahan di Koridor Antar Kota
Tipologi Desa dan Kelurahan di Perdesaan Tipologi Desa dan Kelurahan Terisolasi dari Pusat Perkemba ngan
Umumnya terpencil dan terpisah dari dataran luas oleh lautan luas. Kegiatan ekonomi potensial adalah perikanan, kelautan dan pariwisata. Memiliki masalah keterisolasian dan biaya-biaya tambahan yang timbul akibat kondisi geografis sehingga memiliki potensi yang cukup besar namun sulit berkembang. Kepadatan penduduk yang tinggi dan permukiman yang padat. Areal terbangun, gedung perkantoran dan perdagangan besar Ketersediaan sarana prasarana lengkap. > 80% penduduk bekerja di sektor non pertanian. Desa-desa tipe ini lebih sering disebut dengan kelurahan. Bersifat peralihan antara ciri desa dengan ciri kota. Jumlah penduduk dan perkembangan permukiman tinggi akibat perluasan kota. Kegiatan non pertanian semakin berkembang. Sangat potensial untuk terjadinya perubahan dari status desa menjadi status kelurahan. Terletak di areal sepanjang koridor jalur transportasi darat antar kota. Perkembangan wilayahnya yang semakin kekotaan karena keberadaan akses transportasi jalan yang berpotensi berkembang lebih cepat. Menjadi penghubung ekonomi antara kota dan desa. Memiliki hubungan atau aksesibilitas yang baik antara desa-kota. Sebagai hinterland dari kota, khususnya supply komoditas pertanian dan mobilitas penduduk. Kepadatan penduduk rendah namun memiliki hubungan sosial masyarakat yang erat. Penduduk bekerja dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Ketersediaan sarana prasarana yang masih terbatas. Aksesibilitas yang buruk terhadap pusat-pusat pertumbuhan. Lingkungan alam yang masih asli dengan budaya utama bercocok tanam, berkebun, dan beternak. Intensitas pembangunan dan ketersediaan sarana prasarana dasar sangat terbatas sehingga tingkat pendidikan dan pendapatan rendah. Sumber : Muta’ali (2013)
Dengan melihat pada penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan di daerah-daerah tertinggal, penelitian tersebut telah terfokuskan pada penggalian potensi-potensi yang dimiliki oleh wilayah tertinggal tersebut dan dapat dikembangkan di wilayah tertinggal. Penggalian potensi ini dibedakan berdasarkan tipe zona fisiografinya pada setiap wilayah
24
tertinggal. Berdasarkan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dengan zona fisiografi yang berbeda maka potensi yang ada di wilayah tertinggal dan yang dapat dikembangkan di wlayah tertinggal juga berbeda jenisnya. Sehingga strategi dalam pengembangan wilayah tertinggal yang dapat disusun dan dilakukan juga akan berbeda menyesuaikan pada potensi yang ada. Penggalian keberagaman potensi-potensi yang dimiliki masingmasing wilayah dapat dilakukan dengan menyusun profil desa atau kelurahan. Penyusunan profil desa atau kelurahan ini dilakukan dengan menggambarkan secara menyeluruh dan lengkap tentang karakteristik desa dan kelurahan yang meliputi data dasar keluarga, potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya
kelembagaan,
sarana
prasarana,
serta
kemajuan
dan
permasalahan yang dihadapi oleh desa dan kelurahan tersebut. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan, telah dirumuskan beberapa indikator potensi desa yang dapat dijadikan acuan daftar dalam penyusunan profil desa dan kelurahan. Secara umum indikator potensi desa berdasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan meliputi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya kelembagaan, dan sarana prasarana. Dengan mengacu dan menggunakan pada daftar indikator potensi desa ini maka profil desa dan kelurahan dapat disusun untuk kemudian profil desa dan kelurahan tersebut dianalisis peluang pengembangan potensi desa dan strateginya pengembangan potensi desa dan kelurahannya. Berikut dibawah ini daftar indikator potensi desa dalam penyusunan profil desa atau kelurahan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan.
No.
Potensi Desa
Tabel 1.6. Indikator Potensi Desa Indikator
25
1.
2.
3.
4.
Sumberdaya Alam
-
Potensi umum yang meliputi batas dan luas wilayah, iklim, jenis dan kesuburan tanah, bentangan wilayah dan letak - Pertanian - Perkebunan - Kehutanan - Peternakan - Perikanan - Bahan galian - Sumber daya air - Kualitas lingkungan - Ruang publik/taman, dan - Wisata Sumberdaya - Jumlah Manusia - Usia - Pendidikan - Mata pencaharian pokok - Agama dan aliran kepercayaan - Kewargananegaraan - Etnis/suku bangsa - Cacat fisik dan mental, serta - Tenaga kerja Sumberdaya - Lembaga pemerintahan desa dan kelurahan Kelembagaan - Lembaga kemasyarakatan desa dan kelurahan - Lembaga sosial kemasyarakatan - Organisasi profesi - Partai politik - Lembaga perekonomian - Lembaga pendidikan - Lembaga adat, dan - Lembaga keamanan dan ketertiban Sarana dan - Transportasi Prasarana - Informasi dan komunikasi - Prasarana air bersih dan sanitasi - Prasarana dan kondisi irigasi - Prasarana dan sarana pemerintahan - Prasarana dan sarana lembaga kemsyarakatan - Prasarana peribadatan - Prasarana olahraga - Prasarana dan sarana kesehatan - Prasarana dan sarana pendidikan - Prasarana dan sarana energi dan penerangan - Prasarana dan sarana hiburan dan wisata, serta - Prasarana dan sarana kebersihan Sumber : Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007
26
Dalam setiap fenomena wilayah yang terjadi pasti ada suatu sebab akibat yang mendasarinya, begitu pula dengan wilayah tertinggal. Suatu wilayah tertinggal memiliki penilaian terhadap indikator-indikator yang sangat rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Keterbatasan atau kekurangan pada indikator-indikator menjadi penyebab permasalahan dari suatu wilayah tertinggal. Permasalahan wilayah tertinggal akan terus menjamur dan menjadi penyakit di wilayah tertinggal apabila tidak segera terpecahkan. Untuk dapat menyelesaikan permasalahan di wilayah tertingal tersebut maka perlu adanya suatu studi atau kajian yang terfokus pada analisis permasalahan wilayah tertinggal sehingga kemudian dapat disusunlah suatu analisis strategi pengembangan wilayah tertinggal. Dengan adanya kajian ini diharapkan dapat mengisi kekosongan atau kelangkaan tersebut. Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan analisis yang meliputi Strength, Weakness, Opportunity, dan Threat, yang digunakan untuk memahami kondisi internal berupa kekuatan dan kelemahan, serta kondisi eksternal berupa peluag dan hambatan, sehingga dapat diperoleh posisi suatu wilayah. Faktor internal adaah faktor-faktor yang berkaitan dengan elemen-elemen yang dimiliki oleh suatu wilayah baik itu sumberdaya, sumber dana, maupun manusianya. Faktor eksternal merupakan faktor yang tidak dimiliki oleh suatu wilayah berujud peluang dan tantangan dari luar wilayah (Hax dan Majluf, 1991; Hill dan Jones, 1992; Rangkuti, 1999; dalam Baiquni, 2004). Analisis SWOT memerlukan serangkaian data/informasi dan analisis lainnya yang secara kualitatif dan kuantitatif saling mendukung untuk melihat kondisi internal dan situasi eksternal dari wilayah (Kaufman, 1992 dalam Baiquni, 2004).
Tabel 1.7. Matrik Elemen SWOT dan Pertanyaannya
27
S (Strength) Apa kekuatan utama wilayah ini secara internal? (dari dulu sampai sekarang)
W (Weakness) Apa kelemahan utama wilayah ini secara internal? (dari dulu sampai sekarang)
O (Opportunity) Apa kesempatan eksternal yang dapat diraih wlayah ini? (mulai sekarang sampai masa datang)
T (Threat) Apa ancaman eksternal terhadap wilayah ini? (mulai sekarang sampai masa datang)
Sumber : Baiquni (1994); Freddy (1999) Dalam faktor internal maupun faktor eksternal dari analisis SWOT terdapat maisng-masing elemen-elemen di dalamnya. Elemen-elemen faktor internal meliputi, potensi sumberdaya yang dimiliki suatu wilayah baik kuantitas maupun kualitasnya, sumberdaya manusia, kelembagaan, dan lain sebagainya. Sedangkan elemen-elemen faktor eksternal meliputi, PEST (Politik, Ekonomi, Sosial, Teknologi), lingkungan politik desentralisasi sebagai peluang, kondisi politik dan keamanan yang tidak stabil sebagai ancaman, globalisasi ekonomi sebagai peluang maupun ancaman bagi wilayah tersebut, perkembangan teknologi sebagai peluang sekaligus ancaman. Strategi Pengembangan Wilayah Tertinggal Pengembangan wilayah merupakan suatu usaha-usaha tertentu yang dilakukan untuk merubah kondisi yang ada sekarang menjadi suatu kondisi yang lebih baik lagi. Friedman dan Allonso, 1978 menjelaskan bahwa pengembangan wilayah merupakan suatu strategi memanfaatkan dan mengkombinasikan faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor-faktor eksternal (peluang dan tantangan) yang ada sebagai suatu potensi dan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi wilayah akan barang dan jasa yang merupakan fungsi dari kebutuhan baik secara internal maupun eksternal wilayah (Muta’ali, 2014).
28
Pengembangan wilayah tertinggal yang terjadi seperti pada wilayah terbelakang di perbatasan, pulau-pulau kecil, daerah pedalaman maupun terisolir, dalam pengembangan wilayahnya memiliki beberapa arah kebijakan, seperti : a. Mengembangkan wilayah-wilayah yang sangat tertinggal baik di pedalaman maupun di pulau-pulau kecil. b. Mengembangkan wilayah perbatasan antar negara dengan meningkatkan kondisi fisik lingkungan dan kesejahteraan masyarakatnya. c. Merehabilitasi wilayah-wilayah yang rusak akibat konflik sehingga kehidupan sosial ekonomi dapat pulih kembali. d. Memfasilitasi pemerintah daerah untuk mengembangkan wilayah-wilayah perbatasan antar negara. e. Mengembangkan prasarana dan sarana dengan kualitas yang tidak jauh berbeda dengan negara tetangga. f. Mendeklarasikan garis perbatasan antar negara, mengamankan wilayah perbatasan dari kegiatan ilegal. Dalam kebijakan pembangunan daerah di Indonesia terdapat beberapa tujuan pembangunan daerah meliputi : a. Mengurangi disparitas atau ketimpangan pembangunan antar daerah dan antar sub daerah serta antar warga masyarakat (pemerataan dan keadilan). b. Memberdayakan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan. c. Menciptakan atau menambah lapangan kerja. d. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. e. Mempertahankan atau menjaga kelestarian sumberdaya alam dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
29
1.6. Kerangka Pemikiran Salah satu tujuan pembangunan wilayah selain peningkatan pertumbuhan ekonomi yang kian meningkat, tujuan pembangunan wilayah juga untuk pemerataan pembangunan. Pemerataan pembangunan ini dilakukan sebagai antisipasi terhadap adanya kesenjangan wilayah yang dapat berdampak negatif bagi wilayah yang tertinggal atau terbelakang. Pemerataan pembangunan ini juga dilakukan untuk meminimalisir adanya kesenjangan wilayah yang menyebabkan munculnya perbedaan atau gap antara wilayah maju, wilayah berkembang, dan wilayah tertinggal. Terdapatnya kesenjangan wilayah ini selain menyebabkan perbedaan atau gap antara wilayah maju, wilayah berkembang, dan wilayah tertinggal, kesenjangan wilayah juga menyebabkan munculnya perbedaan atau gap antara masyarakat maju atau berkembang dengan masyarakat miskin. Fenomena kesenjangan wilayah ini dapat menimbulkan suatu kecemburuan sosial diantara wilayah-wilayah tersebut dan juga menimbulkan beban mental bagi masyarakat yang berada di daerah tertinggal terutama masyarakat miskin. Sebagai upaya pemerataan pembangunan ini perlu adanya suatu pembangunan yang terfokus di wilayah tertinggal. Tidak cukup hanya dengan cara penggalian potensi sumberdaya yang dimiliki oleh wilayah tertinggal tersebut, namun perlu analisis permasalahan yang terjadi di wilayah tertinggal, maupun kebijakan pembangunan daerah tertinggal. Melihat pada potensi yang dapat dikembangkan di wilayah tertinggal dan permasalahan yang menjadi penyebab ketertinggalan wilayah tersebut dapat disusun kedalam suatu analisis SWOT yang selanjutnya dapat digunakan untuk merumuskan strategi kebijakan pengembangan wilayah tertinggal. Adanya strategi pengembangan wilayah tertinggal ini dapat meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah tertinggal serta meminimalisir terjadinya kesenjangan wilayah.
30
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran
31
1.7. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan, didapatkan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana identifikasi wilayah-wilayah tertinggal di Kabupaten Klaten ? 1.1. Dimana sajakah desa yang tergolong daerah tertinggal berdasarkan indikator tersebut ? 1.2. Bagaimana karakteristik wilayah tertinggal di Kabupaten Klaten berdasarkan indikator wilayah tertinggal tersebut ? 2. Bagaimana potensi dan permasalahan yang dimiliki wilayah tertinggal di Kabupaten Klaten ? 2.1. Apa sajakah potensi sumberdaya yang dimiliki oleh desa tertinggal Kabupaten Klaten ? 2.2. Apa sajakah permasalahan wilayah yang dihadapi di desa tertinggal Kabupaten Klaten ? 3. Bagaimana strategi kebijakan pengembangan wilayah-wilayah tertinggal Kabupaten Klaten ? 3.1. Apa faktor penyebab ketertinggalan wilayah di desa tertinggal Kabupaten Klaten ? 3.2. Apa potensi yang dapat dikembangkan oleh desa tertinggal Kabupaten Klaten ? 3.3. Bagaimana strategi pengembangan wilayah tertinggal Kabupaten Klaten berdasar analisis SWOT ?