BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Laut Jawa Bagian Timur merupakan bagian dari sistem cekungan busur belakang yang melingkupi Sumatera Utara hingga Sulawesi Tengah. Sistem cekungan tersebut telah dikenal sebagai zona potensial hidrokarbon untuk cekungan berumur Tersier di Indonesia disebabkan nilai gradien geothermal pada jalur magmatic aktif lebih tinggi sehingga tingkat kematangan hidrokarbon lebih tinggi pula secara teoritis (Ryacudu, 2005) . Eksplorasi hidrokarbon di Laut Jawa Bagian Timur sendiri telah dimulai sejak tahun 1967 oleh Cities Service dan menghasilkan 46.295 km data seismik dan 48 data sumur, 3 sumur di antaranya ditemukan minyak, 4 sumur gas, dan 1 minyak dan gas (Mudjiono dan Pireno, 2001). Berdasarkan data-data tersebut, hanya 1 sumur produksi dihasilkan oleh Cities Service di Lapangan Poleng dan hanya beroperasi beberapa tahun kemudian dihentikan karena dianggap kurang menguntungkan secara komersial pada waktu itu. Kebutuhan sumber daya alam fosil (migas) yang semakin tinggi mendorong eksplorasi intensif dan penelaahan ulang lapangan-lapangan migas tua yang dahulu dianggap kurang menguntungkan. Kegagalan yang dianggap sering terjadi pada sumur-sumur eksplorasi terdahulu adalah akibat dari sulitnya memperkirakan persebaran lateral fasies reservoar dan batuan induk. Salah satu cara penelaahan ulah lapangan tua adalah dengan melakukan analisis cekungan sehingga didapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai evolusi cekungan terutama hubungan antara tektonik dan sedimentasi. Metode analisis cekungan yang dilakukan penulis adalah analisis sejarah pemendaman (burial history) yang dikembangkan sekitar tahun 1970-an (Allen dan Allen, 1990). Hasil dari metode ini adalah kurva hubungan waktu dan kedalaman pemendaman sedimen atau paleostratigrafi. Dengan metode ini, penulis mengharapkan pemahaman yang lebih baik mengenai evolusi cekungan, analisis dinamika cekungan, dan sejarah penurunan cekungan (subsidence) untuk Cekungan Laut Jawa Bagian Timur dapat dihasilkan.
1
BAB I - PENDAHULUAN
1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian ini merupakan penelitian Tugas Akhir B (GL-4022) dan bertujuan
untuk
mengetahui
kecepatan
penurunan
cekungan,
kecepatan
pengendapan, dan analisis kuantitatif sejarah sedimentasi. Pendekatannya dilakukan dengan pemodelan komputasi geologi, menggunakan kajian metode rekonstruksi evolusi penampang pada waktu-waktu tertentu (backstripping).
1.3. Lokasi Penelitian Daerah penelitian terletak di lepas pantai Kepulauan Madura, secara administratif termasuk ke dalam Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sumenep (Gambar 1.1, dibatasi poligon merah) dengan luas 50km x 30km. Sedangkan lokasi sumur di daerah penelitian ditunjukan oleh Gambar 1.2.
Gambar 1.1. Peta Provinsi Jawa Timur (www.indonesia.go.id)
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|2
BAB I - PENDAHULUAN
Gambar 1.2. Lokasi sumur di Daerah Penelitian (modifikasi dari KNOC, 2006), daerah penelitian ditunjukan oleh kotak merah.
1.4. Metode Penelitian 1.4.1. Pembuatan Model Sejarah Geologi Metode yang digunakan oleh penulis adalah analisis model sejarah geologi menggunakan teknik stratigrafi kuantitatif sehingga diperoleh sejarah geologi cekungan. Dalam metode ini untuk menentukan penurunan total dasar cekungan (total subsidence) digunakan parameter penurunan tektonik (tectonic subsidence) dan pembebanan sedimen (sedimen load) (Kesumajana, 1997). Tahapan pengerjaan adalah sebagai berikut:
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|3
BAB I - PENDAHULUAN
1.4.1.1. Penentuan Litologi Penentuan
litologi
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
mengkalibrasikan antara data cutting (mud log) dan data log (gamma ray dan density)
menggunakan
program
spreadsheet
“Microsoft
Office
Excel”.
Pengkalibrasian data tersebut dilakukan pada satu sumur yang digunakan sebagai titik acuan (dalam penelitian ini sumur yang dipakai sebagai titik acuan adalah sumur Attiya-1) sehingga bersifat kuantitatif. Data log gamma ray dan density (RHOB) yang tidak diperlukan (bernilai negatif atau null) direduksi kemudian digabungkan dengan data mud log per kedalaman. Dari data log gamma ray kemudian ditentukan nilai cut-off dari setiap sumur menggunakan prinsip statistik. Pada penelitian kali ini nilai cut-off gamma ray berkisar antara 35 – 50. Litologi yang memiliki nilai gamma ray ≥ cut-off adalah serpih. Sedangkan yang memiliki nilai gamma ray < cut-off ditentukan lagi litologinya berdasarkan plot hubungan data log gamma ray dan density. Data log gamma ray dan denstiy ditentukan nilai maksimum dan minimumnya diplot pada grafik untuk setiap jenis litologi. Jika masih ditemukan batas-batas yang tumpang-tindih (overlap) maka dilakukan penentuan batas baru berdasarkan persebaran data litologinya. Setelah ditentukan batas baru untuk log gamma ray dan density, dihitung persen kesalahan data sebelumnya. Jika persen kesalahan terlalu besar maka penentuan batas baru dilakukan ulang.
1.4.1.2. Proses Dekompaksi Proses dekompaksi merupakan suatu proses pengembalian kondisi fisik batuan ke kondisi semula diendapkan secara bertahap dari waktu ke waktu dengan anggapan bahwa: •
Perubahan ketebalan lapisan semata-mata hanyalah efek dari berkurangnya volume pori akibat pembebanan dengan mengabaikan efek perubahan batuan karena faktor-faktor seperti: penyemenan, deformasi, dan overpressure, sedangkan jumlah butiran selalu tetap (Kesumajana, 1997) (gambar 1.3 dan 1.4 bagian atas).
•
Proses pengurangan volume lapisan akibat berkurangnya volume pori akan mengikuti suatu pola kurva asimtotik ke arah yang lebih dalam
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|4
BAB I - PENDAHULUAN
(Kesumajana, 1997) (gambar 1.4 bagian bawah). Salah satu kurva asimtotik yang banyak dianut adalah model kurva eksponensial. Tetapi dalam penelitian ini kurva asimtotik yang sesuai adalah kurva powerlaw. Proses dekompaksi memerlukan data porositas pada saat diendapkan (surface porosity) dan faktor kompaksi dari setiap jenis litologi. Hubungan antara perubahan porositas terhadap kedalaman dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip dasar mekanika batuan. Proses pengurangan porositas batuan akibat pembebanan diatasnya dapat digambarkan sebagai proses perubahan volume batuan atau dalam perkiraan ketebalan batuan dapat dilihat pada gambar 1.3 dan 1.4. Sedimen dengan tekanan normal, variasi perubahan porositas terhadap perubahan kedalaman akan mengikuti kurva powerlaw (Baldwin dan Buttler, 1985 op.cit. Kesumajana, 1997) dengan persamaan empirik yang dianggap mewakili distribusi porositas, dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
z 0 bZ c
(i.i)
dimana Φz = porositas batuan pada kedalaman z Φ0 = porositas batuan pada saat diendapkan (di permukaan) b, c = faktor kompaksi Z = kedalaman batuan (meter) Perhitungan ketebalan sedimen setiap waktu pada waktu lampau dapat dimisalkan dengan menganggap memindahkan lapisan batuan dari bawah keatas (dekompaksi) atau sebaliknya (kompaksi).
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|5
BAB I - PENDAHULUAN
Gambar 1.3. Konsep suksesif dekompaksi Gambar 1.4. Proses dekompaksi (Allen dan Allen, 1990)
(Van Hinte, 1978 op.cit. Allen
dan
Allen, 1990)
Untuk suatu lapisan, ketebalan setiap saat adalah fungsi dari porositas van Hinte (1978 op.cit. Allen dan Allen, 1990) (Gambar 1.4), mengikuti persamaan deterministik : 𝐷𝑛 +𝑇𝑛 (1 𝐷𝑛
− 𝛷𝑛 )𝑑𝑍 =
𝐷0 +𝑇0 𝐷0
1 − 𝛷0 𝑑𝑍
(i.ii)
dimana Φn = porositas pada waktu n (saat ini), Φ0 = porositas pada awal pengendapan (t = 0), Z = kedalaman, Dn = kedalaman pada waktu n (saat ini), Tn = ketebalan pada waktu n (saat ini), D0 = kedalaman pada awal pengendapan (t = 0) T0 = ketebalan pada awal pengendapan (t = 0) Solusi persamaan dekompaksi (i.ii) dengan menggunakan persamaan kompaksi Powerlaw (Baldwin dan Buttler, 1985 op.cit. Kesumajana, 1997) (i.i): D0 T0
1 (
D0
c 0 bZ ) dZ
Dn Tn
1 (
0
bZ c ) dZ
Dn
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|6
BAB I - PENDAHULUAN
Penyelesaian untuk ruas kiri : Do To
1 (0 bZ )dZ c
Do
Do To
doTo
b Z 0 Z c 1 do do
Do To
dz dz b Z dZ c
0
Do
doTo
Do To
Do
Do
doTo
Z c 1 do
( D0 T0 ) D0 0 ( D0 T0 ) D0 T0 0T0
b c 1 ( D0 T0 )c1 D0 c 1
b c1 ( D0 T0 )c1 D0 c 1
Persamaan untuk kedua ruas : T0 0T0
b b c 1 c 1 ( D0 T0 ) c1 D0 Tn 0Tn ( Dn Tn ) c1 Dn c 1 c 1
Solusi :
T0 TN 0TN
b b c1 c1 ( DN TN )c1 DN 0T0 ( D0 T0 )c1 D0 (i.iii) c 1 c 1
dimana T0 = ketebalan pada awal pengendapan (t = 0), TN = ketebalan pada waktu n (saat ini), Φ0 = porositas pada awal pengendapan (t = 0), c, b = faktor kompaksi Dn = kedalaman pada waktu n (saat ini), D0 = kedalaman pada awal pengendapan (t = 0) Solusi persamaan (i.iii) di atas dapat disederhanakan menjadi: (1 n )Tn (1 0 )T0
Sehingga solusi untuk persamaan dekompaksi Powerlaw adalah:
T0
(1 0 bZ nc ) Tn c (1 0 bZ 0 )
(i.iv)
1.4.1.2.1. Perhitungan Porositas Batuan Untuk melakukan perhitungan dekompaksi diperlukan faktor kompaksi powerlaw sesuai dengan persamaan (i.i) dan (i.iii). Faktor kompaksi tersebut ditentukan dengan mencari solusi persamaan secara aritmatik berdasarkan data porositas batuan, yaitu porositas permukaan (surface porosity) dan porositas per Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|7
BAB I - PENDAHULUAN
kedalaman. Data nilai-nilai porositas tersebut selanjutnya ditampilkan dalam bentuk kurva kompaksi porositas per kedalaman untuk mendapatkan faktor kompaksi per litologi, yang tujuan akhirnya adalah mendekompaksi suatu strata. Pada kurva kompaksi normal, perubahan bentuk kurva kompaksi terjadi pada porositas sekitar 38% (Kesumajana, 1997). Dibawah titik ini partikel sedimen sudah saling bersentuhan sehingga adanya pembebanan hanya sedikit saja mengurangi porositas, sehingga pola kurva porositasnya linear. Secara teoritik titik ini berada pada kedalaman 500 m atau 1600 feet yang disebut Depth Inflection Theoritically (DIT). Pada kenyataannya titik porositas 38% ini tidak selalu berada pada kedalaman 500 m atau 1600 feet, hal ini disebabkan oleh adanya erosi atau non kompaksi. Titik ini disebut Depth Inflection point Observed (DIO). Bila DIO
DIT maka telah terjadi non-kompaksi Koesoemadinata (Kesumajana, 1997). Data porositas per kedalaman yang digunakan adalah data log sonik yang diolah menggunakan program spreadsheet “Microsoft Office Excel” sehingga didapatkan nilai porositasnya. Persamaan yang digunakan dalam mengolah data log sonik menjadi data porositas adalah persamaan Raiga-Clemenceau (dalam Issler, 1992), yaitu: Φ = 1 - (Δtma/Δt)(1/x) dimana Φ
(i.v)
= porositas
Δtma = sonic transit time matriks batuan, untuk litologi serpih: 67.05, untuk litologi
batupasir: 55.5 (Kesumajana, 1997)
Δt
= waktu interval rambat gelombang yang dibaca pada log sonik,
x
= faktor formasi = 2.19
Persamaan ini digunakan karena lebih valid untuk porositas lebih dari 37% dibanding persamaan Wyllie et al. (1958 op.cit. Krygowski, 2003) atau RaymerHunt-Gardner (1986 op.cit. Krygowski, 2003).
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|8
BAB I - PENDAHULUAN
1.4.1.2.2. Model Kurva Kompaksi Kompaksi merupakan proses pemampatan lapisan batuan sedimen akibat adanya pembebanan lapisan diatasnya. Efek kompaksi adalah berkurangnya ketebalan lapisan sebagai fungsi dari berkurangnya volume pori lapisan sedimen akibat reorientasi dan reorganisasi butiran sedimen. Kompaksi dapat digambarkan dalam suatu model kurva kompaksi yang menunjukan pengurangan porositas per kedalaman. Hal yang perlu digarisbawahi dalam pembuatan kurva kompaksi adalah perubahan porositas ini dianggap hanya disebabkan oleh faktor mekanis dan stress terjadi secara satu arah (Allen dan Allen, 1990). Pada awalnya model kurva kompaksi yang sering digunakan adalah model eksponensial (Sclater dan Cristie, 1980 op.cit. Allen dan Allen, 1990) (Gambar 1.5), dan model resiprokal (Falvey dan Middleton, 1981 op.cit. Allen dan Allen, 1990). Kemudian dikembangkan beberapa model kurva kompaksi lain (Kesumajana, 1997) yang disesuaikan dengan data yang tersedia, diantaranya: 1. Model kurva linier Issler (1992) : Φz = Φ0 – mZ 2. Model kurva powerlaw Baldwin dan Buttler (1985) (modifikasi Kesumajana, 1997): Φz = Φ0 + bZc 3. Model kurva parabola Liu dan Roaldset (1985) (modifikasi Qivayanti, 1997 op.cit. Kesumajana, 1997): Φz = Φ0 + b1Z + b2Z2 + b3Z0.5 4. Model kurva hiperbola (Koesoemadinata, 1997 op.cit. Kesumajana, 1997): Φz = (Φ0 + b1Z) / (1 + b2Z) dimana Φz = porositas batuan pada kedalaman Z, Φ0 = porositas pada awal pengendapan (t = 0), Z = kedalaman, c, A, m, b1, b2, b3 = konstanta Penulis menggunakan model kurva kompaksi powerlaw Baldwin dan Buttler (1985) (modifikasi Kesumajana, 1997) (Gambar 1.6) dalam penelitian kali ini karena dianggap paling cocok dengan persebaran statistik data sumur yang ada. Untuk mendapatkan parameter kompaksi yang sesuai, terdapat beberapa asumsi, yaitu: •
Proses kompaksi hanya disebabkan oleh pembebanan sedimen diatasnya tanpa memperhitungkan proses-proses lainnya.
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|9
BAB I - PENDAHULUAN
•
Bila terjadi pengangkatan, maka porositas masing-masing lapisan tidak akan berubah (tidak terjadi elastic rebound).
•
Model kurva kompaksi diwakili oleh kurva kompaksi serpih dan batupasir.
Gambar 1.5. Kurva kompaksi (Sclater
Gambar 1.6. Kurva kompaksi
dan Cristie, 1980 op.cit. Kesumajana,
Powerlaw Baldwin dan Buttler
1997)
(Koesoemadinata, 1997 op.cit. Kesumajana, 1997) ditunjukan oleh titik-titik merah.
1.4.1.2.3. Perhitungan Фo Porositas permukaan (Фo) secara garis besar dapat didefinisikan sebagai porositas saat pertama kali sedimen diendapkan. Porositas permukaan dapat ditentukan melalui persamaan kompaksi Powerlaw Baldwin dan Buttler (persamaan i.i) jika faktor kompaksi cekungannya telah diketahui. Pada penelitian ini, faktor kompaksi daerah penelitian tidak diketahui sehingga nilai porositas permukaan (Фo) diambul dari literatur, yaitu 0.63 untuk litologi serpih dan 0.49 untuk litologi batupasir (Allen dan Allen, 1990), sedangkan untuk faktor kompaksinya didapatkan dari kurva kompaksi porositas per litologi.
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 10
BAB I - PENDAHULUAN
1.4.1.2.4. Ketidakselarasan dan Ketebalan Lapisan Tererosi Ketebalan lapisan yang hilang (Eroded Missing Section Thickness, EMST) akibat erosi dapat didekati dari analisis kurva kompaksi serpih (dalam Kesumajana, 1997). •
Analisis Kurva Kompaksi Serpih EMST dapat diperkirakan dari porositas serpih 38% pada masa sekarang (DIO). Secara teori titik ini berada pada kedalaman 500 m atau 1600 feet (DIT) (Kesumajana, 1997). Jika DIO ≠ DIT maka diperkirakan telah terjadi salah satu dari dua kemungkinan yaitu: bila DIODIT maka telah terjadi non-kompaksi. EMST dapat diukur dengan cara mengurangkan DIO terhadap DIT. EMST = DIT – DIO ......................................... (i.vi) dimana: EMST = Eroded Missing Section Thickness (ketebalan yang hilang akibat erosi (meter)). DIT
= Depth Inflection Theoritically (kedalaman porositas 38% secara teori (meter)).
DIO
= Depth Inflection point Observed (kedalaman porositas 38% teramati (meter)).
Dari persamaan diatas diperkenalkan konsep erosi negatif yang juga disebut keadaan non kompaksi (Kesumajana, 1997). Terdapat batasan bila terdapat erosi, ketebalan yang hilang akibat erosi harus ditentukan umur awal erosinya (sebagai acuan dapat digunakan setengah dari umur yang hilang), dan terdiri dari satu litologi saja (Kesumajana, 1997).
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 11
BAB I - PENDAHULUAN
1.4.1.3. Kurva Umur-Kedalaman Kurva umur-kedalaman diperlukan untuk penentuan umur absolut per kedalaman yang nantinya akan digunakan dalam pembuatan model sejarah geologi. Pembuatan kurva umur-kedalaman didasarkan pada data umur relatif masing-masing sumur berdasarkan data fosil. Data fosil yang digunakan oleh penulis adalah data pemunculan awal atau akhir fosil nanno (Martini, 1971 op.cit. KNOC, 2006 dan Inpex, 1993). Hasil penentuan ini akan dipakai sebagai landasan untuk menggambarkan evolusi cekungan pada umur-umur tersebut. Terdapat beberapa asumsi untuk penentuan umur absolut ini, antara lain (Kesumajana, 1997): •
Masing-masing lapisan mempunyai umur absolut paling tidak untuk setiap formasi atau satuan stratigrafinya.
•
Data umur didasarkan pada data umur relatif yang telah ada pada setiap sumur, dan apabila tidak terdapat data pada salah satu sumur, digunakan umur absolut dari masing-masing puncak formasi yang ditentukan dengan asumsi bahwa formasi tersebut memiliki waktu pengendapan yang sama, berdasarkan umur absolut yang diperoleh dari sumur terdekat.
1.4.1.4. Koreksi Paleobatimetri Dalam pemodelan sejarah geologi, posisi lapisan sedimen terhadap muka air laut perlu diketahui mengingat diantara puncak lapisan sedimen dan muka air laut pada saat pengendapan terdapat air (Wu, 1994 op.cit. Kesumajana, 1997). Posisi awal pada saat pengendapan dapat diketahui dengan melakukan koreksi paleobatimetri (Gambar 1.8) menggunakan fosil foraminifera bentonik dan analisis lingkungan pengendapan (paleo-environment) sehingga didapatkan skala numerik per kedalaman yang mengikuti evolusi cekungan. Nilai paleobatimetri yang telah diubah menjadi skala numerik ini akan digunakan untuk mengkoreksi perhitungan dekompaksi.
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 12
BAB I - PENDAHULUAN
Gambar 1.7. Koreksi Paleobatimetri Terhadap Kedalaman (Angevine, dkk., 1972).
1.4.1.5. Model Sejarah Geologi Model sejarah geologi adalah suatu bentuk pemodelan geologi dengan menggunakan teknik stratigrafi kuantitatif sehingga diperoleh keadaan stratigrafi dan struktur dalam kerangka waktu dan kedalaman. Dua kunci dalam pemodelan sejarah geologi adalah evolusi cekungan dan tektonik. Model sejarah geologi terdiri dari model sejarah pemendaman (burial geohistory) dan sejarah termal (thermal geohistory). Model sejarah pemendaman dapat memberikan gambaran kecepatan total penurunan cekungan, kecepatan tektonik subsidence dan kecepatan akumulasi sedimen dari waktu ke waktu (Allen dan Allen, 1990). Analisis model sejarah pemendaman dapat menghasilkan pemahaman mengenai gerak vertikal sejarah penurunan dan pengangkatan suatu horizon stratigrafi dalam suatu cekungan, sedangkan model sejarah termal memberikan gambaran perkembangan geothermal dan alir bahang (heat flow) dalam suatu cekungan. Penulis tidak melakukan analisis model sejarah termal dalam penelitian kali ini.
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 13
BAB I - PENDAHULUAN
1.4.2. Pembuatan Peta Kecepatan Penurunan Cekungan Peta kecepatan penurunan (subsidence) cekungan menggambarkan dinamika dan evolusi cekungan. Tahapan pembuatan peta kecepatan penurunan cekungan adalah sebagai berikut: 1. Pembuatan Kurva Penurunan Cekungan Secara garis besar kurva penurunan cekungan merupakan pencerminan dari kurva sejarah pemendaman. Gambar 1.9 adalah contoh kurva penurunan cekungan. Sumbu x merupakan garis umur waktu (dalam juta tahun). Sumbu y merupakan kedalaman dari sumur (dalam meter). Garisgaris yang memotong kurva merupakan segmentasi kecepatan penurunan cekungan berdasarkan gradien kurva. Semakin terjal kurva maka kecepatan penurunan cekungan semakin tinggi, sebaliknya semakin landai kurva maka kecepatan penurunan cekungan semakin rendah.
Gambar 1.8.
Contoh kurva penurunan cekungan sumur Attiya-1
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 14
BAB I - PENDAHULUAN
2. Pembuatan Peta Kontur Penurunan Cekungan Peta kontur penurunan cekungan dibuat berdasarkan segementasi kecepatan penurunan cekungan yang merupakan gabungan dari semua sumur dan berfungsi sebagai pembagi periode penurunan cekungan. Kecepatan penurunan cekungan per segmen dihitung dari total ketebalan yang diendapkan per umur dibagi dengan selisih umur. Setelah kecepatan penurunan cekungan dihitung, proses selanjutnya adalah pembuatan peta kontur penurunan cekungan.
1.4.3. Analisis Dinamika Cekungan Analisis dinamika cekungan merupakan gabungan beberapa unsur, yaitu: 1. Kurva sejarah pemendaman yang menghasilkan data stratigrafi kuantitatif, sejarah sedimentasi, dan kecepatan penurunan cekungan. 2. Kurva kecepatan penurunan cekungan yang menghasilkan segmentasi sebagai cermin perbedaan kecepatan penurunan cekungan dalam sejarah pembentukan cekungan. 3. Peta kontur kecepatan penurunan cekungan yang dibuat berdasarkan segmentasi kurva penurunan kecepatan cekungan dari waktu ke waktu.
1.5. Diagram Alir Penelitian
Gambar 1.9. Diagram Alir Penelitian
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 15