BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
1.1.1. Kondisi dan Potensi Komik Saat Ini Saat ini, komik asing di Indonesia lebih mudah ditemui daripada komik lokal. Khususnya komik asing dari Jepang yang biasa disebut manga. Padahal dulu ketika komik lokal pertama Put On terbit pada tahun 1930 mampu mengalahkan kepopuleran komik Flippie Flink dan Flash Gordon yang terlebih dulu beredar dalam media masa Belanda. Tak hanya itu, di tahun 1940-an, masuknya komik-komik Amerika dan Disney seperti Tarzan, Rip Kirby, Phantom, serta Johnny Hazard masih mampu disaingi komik lokal, begitu pula di tahun 1970-1980 dengan masuknya komik Eropa seperti Tintin, Lucky Luke, dan Asterix malahan menjadi masa keemasan komik lokal. Sampai akhirnya tahun 1990 komik Jepang masuk, bahkan sampai menguasai pasar. Banyaknya ragam genre cerita, tebalnya halaman sebuah manga, dan format komik yang hitam putih sehingga modal mencetak bisa lebih murah serta industrinya yang terjaga merupakan kekuatan manga sehingga membuat penerbit lebih meliriknya. Selain itu, memang kondisi komik lokal sedang menurun dengan tidak adanya penerus komikuskomikus muda serta adanya peralihan metode distribusi dari taman baca ke toko buku Gramedia. Sampai di tahun 2013 ini, komikus terus berupaya mengangkat komik lokal untuk dapat kembali diterima masyarakat. Dukungan dan tanggapan positif pun mulai bermunculan. Seperti misalnya, dari pihak komikus sendiri semakin bergairah dalam berkarya, terlihat bertambahnya peserta Kompetisi Komik Indonesia (KKI) yang digagas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) hingga 216 komikus dari berbagai pulau di Indonesia. Komikus Indonesia bahkan telah meraih 9 penghargaan pada International Silent Manga Audition dari majalah Zenon, Jepang. Di era digital online ini banyak memberikan kemudahan dan terobosan baru. Kemudahan dalam berproduksi dan mudahnya
berbagi informasi membuat dunia komik makin terhubung satu sama lain. Artist-artist lokal bahkan bisa menikmati cipratan kemajuan industri komik dunia, terutama komik Amerika, dengan menjadi bagian dari produksi mereka sebagai pekerja outsource atau bahkan komikus utama. Di antaranya Ardian Syaf, Vivian Wijaya, serta Chris Lie dan temantemannya di Caravan Studio. Potensi artist-artist tersebut telah diakui memenuhi standar kualitas dunia. Pemerintah pun telah menyadari akan potensi komik. Sejak tahun 1998, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) telah menyelenggarakan acara Pekan Komik dan Animasi Nasional yang berlangsung dua tahunan sampai 2009. Kemudian dilanjutkan oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang menyelenggarakan Kompetisi Komik Indonesia (KKI). Selain kompetisi komik pada umumnya, KKI juga melakukan acara roadshow dan workshop ke lima kota berbeda di setiap tahunnya, demi menemukan bakat-bakat yang ada di tanah air. Ditambah
dari
penerbit,
saat
ini
semakin
terbuka,
bersedia
menerbitkan komik lokal sehingga banyak karya komikus dalam negeri dapat diterbitkan. Terlihat dari data di tahun 2008, penerbit Elex Media Komputindo setiap bulannya mencetak komik dengan perbandingan 52 komik Jepang, 7 komik Korea, dan hanya 1 komik Indonesia. Di tahun yang sama M&C sebulannya mencetak 40 judul dengan 28 judul komik Jepang, sisanya diisi komik Hongkong, Amerika, Eropa, Korea, Mandarin, dan Indonesia. Kemudian data terakhir di tahun 2013, produksi penerbitan komik lokal bertambah hingga menerbitkan 115 judul yang dijual melalui toko buku. Bila ditambah dengan distribusi komik non-toko buku, baik secara online, booth pameran, kedai/resto, toko, indomaret, distro, atau penjualan digital mencapai 150 judul.
Gambar 1. 1. Peningkatan Penerbitan Komik Lokal Sumber: Analisis penulis
Di antaranya seperti penerbit Koloni, Gagasmedia, Psycho, Cendana Art Media, Gradien Mediatama, Media Pressindo, Penerbit Andi, Gerai Comics (Grup Mediakom), Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Mizan, Elex Media Komputindo, Kelompok Penggemar Gina, Balai Pustaka, Terrant Books, Pustaka Delaprasta, Galang Press, Baris Baru dan Oxfam GB, Nirmana, Arus Kata Press, kemudian Makko sebagai penerbit komik online, serta Pluz+, penerbit sekaligus toko yang menerbitkan kembali (remaster) komik-komik lokal masa lalu. Walaupun masih belum dapat menyaingi jumlah manga yang terus bertambah namun komik-komik lokal yang terbit tersebut sudah memenuhi berbagai segmen pembaca dari anak-anak hingga dewasa meski belum merata, serta terdapatnya keragaman topik/genre yang diangkat. 1.1.2. Keinginan Komunitas Dalam perkembangannya, komunitas komik memilih tiga kota sebagai pusat informasi database komik lokal di daerah sekitarnya. Ketiga kota tersebut adalah Jakarta, Yogyakarta, dan Malang. Keputusan ini diambil saat acara Pekan Komik Indonesia ketiga di Malang. Dan sebagai perwakilan daerah Yogyakarta, komunitas komik indie Komikaze bersama dengan komunitas Daging Tumbuh telah memelopori dibuatnya Rumah Komik sebagai inisiatif langkah awal aktivitas dokumentasi perkomikan nasional.
Gambar 1. 2. 3 Kota Pusat Informasi dan Dokumentasi daerah sekitarnya Sumber: Analisis penulis
Untuk mampu meningkatkan persaingan komik lokal dengan komik asing khususnya manga, komunitas komik perlu dikembangkan. Industri komik perlu diperkuat dengan adanya kantor editorial yang dapat menjaga konsistensi kerja komikus atau komunitas sekaligus menjaga standar hasil komik nantinya, khususnya dalam hal cerita. Selain itu kegiatan workshop, sharing session, dan pameran perlu ditambah sehingga komikus dapat belajar dari pengalaman komikus lain. Sehingga diperlukan sebuah area galeri sebagai tempat untuk pameran serta mengoleksi karya komik lokal. Wawasan komikus juga dapat diperluas dengan adanya taman baca sebagai unit referensi. Karena di Jepang sana komik mimiliki cerita yang berbobot sebab melalui berbagai riset terlebih dahulu, walaupun itu menyangkut suatu hal sepele atau kebiasaan saja. Dalam industri komik juga tidak berhenti begitu saja pada terbitnya buku komik. Kesuksesan suatu judul terkadang menarik minat investasi pihak swasta untuk mengadaptasi cerita komik tersebut ke dalam media lain, begitu juga sebaliknya. Sehingga pusat komunitas ini bisa menjadi pusat informasi bagi kedua pihak. Beberapa media yang biasanya berhubungan dengan komik di antaranya film, sinetron, layar lebar, animasi, game, mainan (action figur), mainan kertas (papercraft),
costume play (cosplay), merchandise, artwork/fanart yang bisa diterapkan pada desain kaos, perangko, mug, kartu pos, kartu ucapan, dll. Dari film dan sinetron kemudian membutuhkan aktor peraga dan musik pengiring. Dalam animasi dan game dibutuhkan lagi pengisi suara dan pengiring musik juga. Keragaman profesi pelaku kreatif ini saling berpengaruh satu sama lain sehingga terjalin simbiosis mutualisme.
Gambar 1. 3. Berbagai Sinergi Antarpelaku Kreatif Sumber: Analisis penulis
Bila dibandingkan dengan buku-buku jenis lainnya, komik merupakan buku yang selalu laku terjual di toko buku. Sebagai gambaran, dari data penjualan jaringan toko buku Gramedia dan Kharisma di bulan Mei 2005, yang dihimpun Kompas menunjukkan penjualan terbesar satu judul komik sebanyak 6.815 eksemplar, untuk buku fiksi sebanyak 974 eksemplar, sementara untuk buku nonfiksi 453 eksemplar.1 Data lain pada tahun 2008, 52% penjualan buku anak dan remaja di Toko Buku Gramedia Matraman Jakarta, adalah komik, sisanya buku fiksi anak. Setiap bulannya penjualan komik bisa mencapai 12.000-32.000 1
Kompas, Pasar Buku Nonfiksi, dari http://titikbalic.blogspot.com/2006/08/pasar-buku-nonfiksi.html
eksemplar.2 Komik, buku entertainment, dan buku motivasi selalu masuk dalam 10 buku paling laku di toko buku. Kondisi itu tak berubah dari tahun ke tahun, hingga bulan November 2013.3
Gambar 1. 4. Penjualan Komik Sumber: Analisa penulis
Sayangnya, sebagian besar komik yang hadir mengisi rak-rak toko buku merupakan komik luar, khususnya manga yang penjualannya bisa laku hingga delapan belas kali lipat komik lokal. Dari data penjualan penerbit Mizan di tahun 2004, rata-rata komik lokal terjual 5.000 eksemplar setiap judul, tetapi manga bisa mencapai 90.000 eksemplar.4
Gambar 1. 5. Perbandingan Penjualan Komik Lokal dengan Manga Sumber: Analisis penulis
2
Kulsum, 2008: 1 dalam www.kompas.com, dari http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:tfDDdF9XISYJ:file. upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BHS._DAN_SASTRA_INDONESIA /SUCI_SUNDUSIAH/artikel_ilmiah/untuk_HISKI.pdf+fakta+komik+laris+d i+toko+buku&cd=13&hl=id&ct=clnk&gl=id 3 Kristanto, Tri Agung. 2013. Buku Bagus Belum Tentu Laku. Dari http://edukasi.kompas.com/read/2013/11/29/1958571/Buku.Bagus.Belum .Tentu.Laku. Kompas: Jakarta 4 Kompas. Sabtu, 20 Maret 2004. Komikus Lokal Menyiasati Dominasi Komik Jepang
Ditambah lagi persaingan posisi komik lokal di rak toko buku sangatlah ketat. Rak khusus untuk komik lokal hanya ada di beberapa toko buku saja. Sisanya bercampur dengan komik lainnya, diletakkan di rak bawah, atau malah memang belum diberi tempat sama sekali. Beberapa toko buku juga menyiasati dengan meletakkan komik lokal di rak bukan komik, melainkan di rak humor, hobi, politik, atau budaya dengan alasan lebih banyak terjual. Hal tersebut membuat pembaca sering kali bingung ketika mencarinya. Perlu usaha lebih untuk menemukannya. Sehingga hanya orang yang mencarinya yang mungkin akan menemukannya, kemungkinan munculnya pembaca-pembaca baru yang belum pernah membaca komik lokal menjadi berkurang. Untuk itu nantinya bisa disediakan fasilitas toko buku khusus untuk komik lokal sehingga dapat menambah kemungkinan meningkatnya pembacapembaca baru sekaligus sebagai salah satu roda penggerak ekonomi pusat komunitas nantinya. Banyaknya fasilitas yang ada perlu direncanakan secara fleksibel sehingga pusat komunitas nantinya bisa melayani lebih efektif dan efisien, khususnya dalam hal fungsi bangunan.
Gambar 1. 6. Kebutuhan akan Fasilitas Sumber: Penulis
1.2.
Permasalahan
1.2.1. Permasalahan Umum Kondisi komik lokal saat ini masih kalah saing dengan komik asing. Untuk bisa memperkuat keadaan komik lokal, komunitas perlu dipersiapkan ke arah industri komik. 1.2.2. Permasalahan Khusus 1. Dominasi komik asing dan peletakan komik lokal bukan rak komik di toko buku membuat komik lokal cukup sulit ditemui. 2. Komunitas komik di Indonesia merupakan kumpulan beberapa orang namun banyak. Untuk itu perlu adanya badan kantor editorial yang menghubungkan antara komunitas dan penerbit sehingga dapat menjaga konsistensi dan kualitas karya. 3. Yogyakarta sebagai pusat informasi database komik lokal di sekitarnya memerlukan fasilitas untuk berkumpul dan berbagi sebagai pengembangan masyarakat atau komunitas 4. Perlunya fasilitas fungsi pameran dan penjualan komunitas sebagai komunikasi serta promosi komik lokal dengan pencapaian yang mudah dan menarik kepada masyarakat.
1.3.
Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum 1. Mempersiapkan komunitas komik menuju dunia industri komik yang lebih profesional 2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang potensi komik Indonesia yang dapat dijadikan sarana pendidikan efektif, sekaligus wawasan masyarakat khususnya komikus muda akan kekayaan komik Indonesia di masa lalu hingga dapat dijadikan referensi untuk memunculkan ide baru 3. Sebagai tempat berkumpulnya komunitas komik yang berada di sekitar Yogyakarta serta dilaksanakannya acara-acara bertema komik, khususnya ketika diadakan di Yogyakarta 4. Sebagai
jembatan
antara
komikus
dan
pembaca,
sehingga
mempersingkat jalur distribusi serta menjadi salah satu jaringan penerbit untuk memasarkan komik Indonesia terbitannya. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mempelajari dan mendefinisikan kebutuhan fungsi dan ruang komunitas yang spesifik, dalam hal ini komunitas komik 2. Mempelajari standar dalam fasilitas galeri pamer dan taman baca sebagai fasilitas pendukung kegiatan komunitas komik 3. Mempelajari pola perilaku pengguna fasilitas yang beragam dan mengintegrasikannya
sehingga
diperoleh
fungsi
fasilitas
yang
fleksibel
1.4.
Sasaran 1. Komunitas komik khususnya di daerah Yogyakarta dan sekitarnya 2. Masyarakat
luas
yang
ingin
tahu
tentang
komik
lokal
dan
mempelajarinya 3. Para pelaku industri komik dan industri kreatif lain yang berhubungan dengan komik
1.5.
Lingkup Penulisan Penulisan dibatasi pada permasalahan arsitektural yang menyangkut fungsi, hubungan, dan fleksibilitas ruang dalam fasilitas komunitas komik, serta masalah lain yang dianggap mendukung pemecahan masalah dalam topik penulisan, seperti aspek komik yang mempengaruhi persepsi publik.
1.6.
Metode Penulisan 1. Metode Deskriptif, yaitu penjelasan data dan informasi yang berkaitan dengan latar belakang, permasalahan, dan tujuan penulisan. 2. Metode Studi Literatur, dilakukan untuk mencari dan mempelajari data-data mengenai persyaratan, regulasi, standar fungsi, kebutuhan ruang, serta fisik bangunan komunitas melalui studi pustaka, browsing internet, serta meminta data dari otoritas terkait. 3. Metode Studi Kasus, yaitu mempelajari contoh-contoh fasilitas serupa kemudian membandingkannya sehingga dapat diketahui sisi positif dan negatif dari contoh-contoh yang didapat, baik melalui studi literatur, maupun survey lapangan
1.7.
Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Berisi Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan, Sasaran, Lingkup Penulisan, Metode Penulisan, Sistematika Penulisan, dan Kerangka Berpikir. Bab II Tinjauan Pustaka Berisi tinjauan umum tentang bangunan pusat komunitas dan mengenai komik. Serta analisa perbandingan kelebihan dan kekurangan beberapa referensi bangunan yang berkaitan dengan komik sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam mendesain ke depannya. Bab III Tinjauan dan Analisa Tapak Membahas pertimbangan pemilihan lokasi tapak, serta kondisi tapak terpilih. Bab IV Analisa Pendekatan serta Konsep Perencanaan dan Perancangan
Berisi berbagai alternatif konsep perancangan desain yang akan menjadi pertimbangan pada desain akhir dan arah perancangan desain. Bab V Konsep Perencanaan dan Perancangan Berisi
tentang
konsep
dan
arah
perancangan
desain,
serta
menghasilkan sebuah konsep skematik yang menjadi dasar perancangan.
1.8.
Keaslian Penulisan Berikut beberapa kajian tentang komik yang telah dibuat: 1. Wijayanto, Punto. Galeri Apotek Komik. Tugas Akhir Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (tidak dipublikasikan): Yogyakarta. 2. Suherna, Dadang. 2001. Studio Komik dan Animasi di Yogyakarta. Tugas Akhir Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (tidak dipublikasikan): Yogyakarta. Memfokuskan pada studio komik dan animasi kartun dengan mewadahi kegiatan proses pembuatan dan display hasil karya. Pendekatan konsep yang digunakan yaitu transformasi karakter studio komik dan animasi sebagai perwujudan ekspresi kreatif imajinatif (pelepasan khayalan mimpi) dan interaktif. 3. Wahyudi. 2002. Galeri Seni Komik dan Animasi di Yogyakarta. Tugas Akhir Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (tidak dipublikasikan): Yogyakarta. Memfokuskan pada galeri untuk pameran, pelatihan, studio, penjualan karya seni komik lokal, dan sebagainya. Perencanaan konsep berupa penyajian ruang pamer dan pelayanan yang menarik, interaktif, nyaman, dan aksesibel terhadap pengunjung segala usia. 4. Aulia I, Helmy. 2005. Pusat Komik di Yogyakarta. Tugas Akhir Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (tidak dipublikasikan): Yogyakarta. Menfokuskan pada studio, galeri pamer, dan edukasi segala tentang komik. Pendekatan konsep sirkulasi sebagai ruang publik, sebuah sarana rekreatif dan kreatif dengan filosofi analogi komik
1.9.
Kerangka Pola Pikir
Gambar 1. 7. Kerangka Berpikir Sumber: Analisis penulis