BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan dan tuntutan masyarakat modern (Ferryardianto, 2013). Salah satu ciri masyarakat modern adalah selalu ingin terjadi adanya perubahan yang lebih baik (improvement oriented). Hal ini tentu saja menyangkut berbagai bidang, tidak terkecuali bidang pendidikan. Komponen yang melekat pada pendidikan diantaranya adalah kurikulum, guru, dan siswa (Situmorang, I. M., 2014). Pembangunan sumber daya manusia (SDM) berkualitas sangat diperlukan dalam menghadapi persaingan di berbagai bidang kehidupan, terutama dapat berkompetisi dalam penguasaan dan pengembangan IPTEK.. Pendidikan sains sebagai salah satu aspek pendidikan memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan khususnya di dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu manusia yang mampu berpikir kritis, kreatif, mampu dalam mengambil keputusan, dan mampu memecahkan masalah serta mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan dalam kehidupan untuk kesejahteraan umat manusia (Ida,dkk,2013). Pendidikan kimia pada umumnya mempunyai peranan yang sangat penting, karena kimia merupakan ilmu dasar untuk tumbuh kembangnya teknologi. Kimia merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa, sehingga siswa kurang tertarik untuk mempelajarinya. Kesulitan tersebut terkait dengan karakter ilmu kimia, seperti konsep, materi dan perhitungan. Selain itu siswa cenderung menganggap belajar itu sebagai suatu beban, bukan suatu kegemaran. Oleh karena itu pembelajaran kimia harus dirancang sedemikian rupa agar menjadi lebih efektif dan inovatif (Marpaung, 2013).
1
2
Pembelajaran
kimia pada umumnya hanya terbatas pada penggunaan
bahan ajar berupa buku teks dan Lembar Kerja sehingga peserta didik kurang dapat memahami konsep mikroskopik. Lemahnya interaksi antara guru dengan siswa serta kecakapan belajar siswa yang seringkali dianggap sama juga merupakan kendala dalam pembelajaran
kimia, maka dari itu usaha-usaha
peningkatan kualitas pembelajaran kimia saat ini terus dilakukan, termasuk peningkatan kualitas bahan ajar dan diversifikasi media pembelajaran. Peningkatan kualitas bahan ajar dan diversifikasi media pembelajaran diharapkan mampu mengakomodir kebutuhan mahasiswa dalam menghadapi era teknologi informasi dan komunikasi dengan tidak meninggalkan faktor pemahaman dan keterampilan mahasiswa dalam proses pembelajaran kimia (Sitepu, 2008). Menurut Soegiranto (2010) bahan ajar adalah bahan atau materi yang disusun oleh guru secara sistematis yang digunakan peserta didik dalam pembelajaran. Bahan ajar dapat dikemas dalam bentuk cetak dan dapat bersifat visual auditif. Bahan ajar yang disusun dalam buku ajar pendidik dapat berbentuk modul. Pengembangan modul pembelajaran kimia inovatif untuk pengajaran kimia perlu dilakukan memenuhi bahan ajar berkualitas baik yang dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia menghadapi persaingan global. Modul pembelajaran kimia Sekolah Menengah Atas (SMA) yang baik akan dapat menolong siswa di dalam pembelajaran untuk mencapai kompetensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah melalui pengadaan materi pelajaran bermutu, dan dapat dimulai dari penyediaan modul pembelajaran. Modul pembelajaran yang baik harus mampu menyajikan materi ajar sesuai dengan tuntutan kurikulum, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan dapat menjembatani pembelajaran agar kompetensi yang telah ditetapkan dapat tercapai. Materi kimia di dalam bahan ajar harus tuntas, sistematik, mudah dimengerti, menarik, memotivasi belajar mandiri, dan memiliki materi tambahan sebagai pengayaan sesuai dengan karakteristik pelajar (Situmorang, M. dan Situmorang, A.A., 2014). Dalam
penelitian sebelumnya, penggunaan
modul
inovatif
yang
merupakan salah satu jenis bahan ajar dalam pembelajaran, telah terbukti
3
memberikan hasil yang baik dalam meningkatkan prestasi pelajar. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Situmorang (2013) mengenai Pengembangan Buku Ajar Kimia SMA Melalui Inovasi Pembelajaran Dan Integrasi Pendidikan Karakter Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa, menunjukkan bahwa buku ajar kimia hasil inovasi dapat menolong pelajar di dalam pembelajaran untuk mencapai kompetensi sesuai tuntutan kurikulum. Pelajar sangat tertarik menggunakan buku ajar hasil inovasi dalam pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan pencapaian hasil belajar pelajar, yaitu kelompok eksperimen memiliki hasil rata-rata 84,44±8,33, sedangkan kelompok kontrol 75,28±11,62), dan keduanya berbeda nyata (ttest 7,964 > ttabel 1,662). Penelitian yang terkait dengan pengembangan bahan ajar yang dilakukan oleh Suharyadi, dkk (2013) yang berjudul Pengembangan Buku Ajar Berbasis Kontekstual Pada Pokok Bahasan Asam dan Basa, menyatakan bahwa guru menilai buku ajar telah memenuhi aspek keterbacaan yang baik dengan persentase rata-rata 80%. Sedangkan respon dari siswa, dengan menggunakan buku ajar yang telah dibuat, 56% siswa dapat mengerjakan soal dengan baik. Demikian halnya dengan hasil penelitian Cahyono (2014) yang berjudul Pengembangan Modul Pembelajaran Inovatif Stoikiometri Sesuai Kurikulum 2013 Berbasis PBL, penilaian modul diperoleh 3,35 dan dapat meningkatkan pencapaian hasil belajar siswa, yaitu kelompok eksperimen memiliki persen peningkatan 53,50%, sedangkan kelompok kontrol 50,12%, dan keduanya berbeda nyata (thitung 8,23 > ttabel 1,319). Selain bahan ajar yang kurang menarik, alasan lain yang menyebabkan kurang dimengerti mata pelajaran kimia adalah kurang tepatnya model pembelajaran yang diterapkan. Menurut Ratri, dkk (2013), pelajaran kimia merupakan salah satu cabang IPA yang menitikberatkan proses pembelajaran pada proses penemuan (inquiry), salah satu model pembelajaran yang cocok dengan karakteristik pelajaran kimia adalah model CTL. Pada model pembelajaran kontekstual siswa dilibatkan pada proses pembelajaran, siswa diajak untuk mengaitkan pelajaran dengan keadaan di dunia nyata dan juga memudahkan guru untuk mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi di dunia nyata.
4
Pembelajaran kontekstual memiliki beberapa asas yang harus dipenuhi untuk memperdalam pemahaman siswa. Penerapan strategi kontekstual dalam pembelajaran memiliki 7 asas antara lain konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, permodelan, refleksi, dan penilaian nyata. Ketujuh asas dalam pembelajaran kontekstual hendaknya muncul semua dalam pembelajaran meskipun tidak semuanya dapat dimunculkan dalam satu kali pertemuan di kelas (Putri, 2014). Penelitian yang terkait dengan model pembelajaran kontekstual adalah penelitian yang dilakukan oleh Kristiyani (2009) yang berjudul Penerapan Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Laporan Siswa Kelas VIII SMP menunjukkan bahwa pada siklus I, nilai yang diperoleh siswa menunjukkan suatu peningkatan yang bertahap. Nilai pretest sebesar 56,12, dan nilai rata-rata posttest sebesar 65,50, dengan presentase kenaikan sebesar 7,71%. Sedangkan pada siklus II, nilai rata-rata posttest sebesar 78,50 dengan presentase kenaikan sebesar 9,03%. Salah satu materi yang ada dalam pelajaran kimia SMA adalah koloid. Pada materi koloid terdapat sub materi mengenai sistem koloid, sifat-sifat koloid, peranan koloid dan cara membuat koloid.. Penyampaian materi oleh guru terkadang hanya disampaikan dengan ceramah dan siswa hanya mendengarkan saja. sehingga peserta didik menjadi bosan dan pasif. Padahal seharusnya materi koloid dapat dipergunakan oleh siswa untuk mengembangkan pengetahuannya melalui karena materi ini sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu materi ini akan lebih mudah dipahami jika tersedia bahan ajar inovatif yang diintegrasikan dengan media dan metode pembelajaran yang ada. Berdasarkan uraian diatas peneliti telah melakukan penelitian dengan judul “Pengembangan Bahan Ajar Modul Berbasis Kontekstual pada Materi Koloid di Sekolah Menengah Atas” 1.2 Ruang Lingkup Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka yang menjadi ruang lingkup masalah dalam penelitian ini adalah pengembangan bahan ajar modul berbasis kontekstual pada materi koloid.
5
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah bahan ajar yang dikembangkan memenuhi kriteria Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)? 2. Apakah hasil belajar siswa yang menggunakan bahan ajar modul berbasis kontekstual lebih tinggi dari nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)? 1.4. Batasan Masalah Untuk menghindari meluasnya permasalahan pada penelitian ini, maka diperlukan batasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengembangkan modul pembelajaran dengan mengintegrasikan pembelajaran berbasis kontekstual
pada pengajaran koloid yang sesuai dengan kriteria
BSNP. 2. Hasil belajar siswa yang diukur adalah aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik siswa melalui lembar kerja siswa yang ada dalam bahan ajar modul. 1.5 Tujuan Penelitian Yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk memperoleh bahan ajar modul berbasis kontekstual pada materi koloid yang sesuai dengan kriteria penilaian BNSP 2. Untuk mengetahui hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan bahan ajar modul berbasis kontekstual. 1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bagi Peneliti, bahan ajar yang dibuat dapat memberikan tambahan wawasan ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam membuat sumber belajar serta meningkatkan kompetensinya sebagai calon guru. 2. Bagi Guru, memberi informasi pada guru agar menyampaikan materi ajar dengan bahan ajar yang sesuai untuk siswa dan menyampaikannya dengan lebih menarik dan mudah dipahami oleh siswa.
6
3. Bagi Siswa, menambah wawasan dan pengetahuan baru, serta memungkinkan siswa lebih mengerti belajar kimia sehingga semakin memajukan pendidikan di Indonesia. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya, memberi informasi dalam penelitian selanjutnya untuk peningkatan kualitas proses pembelajaran khusunya proses pembelajaran kimia. 1.7 Definisi Operasional Untuk menghindari penafsiran yang berbeda dalam memahami setiap variabel yang ada pada penelitian ini, maka perlu diberi definisi operasional untuk mengklarifikasi hal tersebut. Adapun definisi operasional dari penelitian adalah : 1.
Modul berbasis kontekstual adalah bahan ajar yang dirancang untuk dapat dipelajari oleh peserta didik dengan pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks, dan di dalam kegiatan pembelajarannya menggunakan aktivitas mandiri yang meletakkan peserta didik dalam sebuah peran aktif sehingga dapat mengaitkan materi dengan kehidupan nyata.
2.
Pembelajaran kontekstual (CTL) merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
3.
Hasil belajar merupakan kemampuan siswa dalam memenuhi suatu tahapan pencapaian pengalaman belajar dalam satu kompetensi dasar yang bisa berbentuk pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Hasil belajar dinyatakan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru.
4.
Materi koloid meliputi sistem koloid, sifat koloid, pembuatan koloid serta peranan koloid dalam kehidupan sehari-hari dan industri.