BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Hubungan antara Indonesia dan Australia adalah sebuah hal yang menarik untuk dikaji. Meskipun berstatus sebagai negara bertetangga, kedua negara ini memiliki banyak sekali perbedaan, baik itu dari segi kultur, agama yang dominan, maupun sistem politik. Oleh Gareth Evans, hal ini disebut sebagai fenomena strange neighbors. Di satu sisi, hal ini menimbulkan beban tersendiri bagi keduanya, di mana diperlukan kerja ekstra untuk memunculkan kesepahaman di antara keduanya—tak hanya dalam level pemerintahan, namun juga dalam tataran masyarakat. Di sisi lain, terdapat komitmen yang serupa antara kedua negara ini, khususnya mengenai keamanan
maupun
berkelanjutan—dan
stabilitas bersifat
ekonomi
kawasan.
in-depth—sangatlah
Sehingga,
diperlukan
upaya
demi
yang
menjamin
keberlangsungan hubungan kedua negara ini. Kemudian, pemahaman yang bersifat in-depth ini sangat diperlukan dalam kajian internasional kontemporer. Pada saat ini, telah terjadi pergeseran tren dalam politik internasional. Apabila sebelumnya negara adalah aktor utama dalam diplomasi, kini aktor-aktor non-negara mulai mendapatkan porsi. Hal ini sejalan dengan pemikiran Joseph Nye, yang menyatakan bahwa kita hidup di era hibrid, di mana kemunculan aktor transnasional mulai mengaburkan konsepsi kedaulatan tradisional.1 Peranan aktor-aktor non-negara adalah sesuatu yang tak dapat diabaikan. Di antara aktor-aktor tersebut, terdapat pemerintah sub-negara, di antaranya adalah negara bagian, provinsi, kabupaten, maupun kota. Aktor-aktor ini mulai memberi warna terhadap hubungan internasional, di mana mereka mentransformasi kegiatan diplomatik dan proses perumusan kebijakan. Hal ini disebut sebagai fenomena paradiplomacy. Salah satu wujud transformasi hubungan ini adalah dengan adanya relasi sister province atau provinsi kembar. Secara legal, upaya ini telah diatur di dalam undangundang nomor 24 tahun 2000 mengenai kerjasama internasional. Dalam undangundang ini, dijelaskan bahwa “perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk
1
B.W. Nugroho dan H. Rais (eds.), Theory Talks: Perbincangan Pakar Sedunia tentang Teori Hubungan Internasional Abad Ke-21, PPSK dan LP3M UMY, Yogyakarta, 2012.
1
nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.” Selain itu, sebelumnya ternyata telah terdapat pula peraturan yang mengatur kerjasama internasional yang dilakukan daerah, yakni undang-undang nomor 37 tahun 1999 mengenai hubungan luar negeri—di mana terdapat pula tata cara bagi daerah untuk melakukan kerjasama internasional.2 Penelitian tentang sister province saat ini menjadi relevan. Selain karena tren internasional yang kian mendukungnya, saat ini praktik sister province—dan variannya, seperti sister city—dikritik karena tidak memiliki kepentingan yang jelas. Kerjasama dalam bentuk ini dinilai hanya membuang-buang anggaran daerah, tanpa memiliki hasil yang nyata. Apabila kita kembali menilik antara hubungan antara Indonesia dan Australia, maka akan kita temui bahwa terdapat relasi sub-negara di antara kedua negara ini, salah satu contohnya yakni kerjasama sister province antara Jawa Timur dan Australia Barat. Kerjasama ini telah berlangsung sejak 21 Agustus 1990, ditandai oleh adanya memorandum kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Pemerintah Australia Barat. Kerjasama ini meliputi: (a) pengembangan sumber daya manusia; (b) meningkatkan laju pertukaran barang dan jasa; (c) mengorganisasi program-program pertukaran.3 Bagi Australia Barat, Jawa Timur adalah mitra kerjasama yang dinilai tepat. Provinsi dengan luas area sebesar 47.154 km 2 ini merupakan salah satu dari tujuh provinsi yang diproyeksikan menjadi lokomotif pembangunan di dalam Masterplan Percepatan dan Pengembangan Pembangunan Indonesia (MP3I).4 Di sisi lain, Jawa Timur memandang Australia Barat sebagai suatu kawasan percontohan terkait percepatan pembangunan infrastruktur. Keduanya juga diuntungkan lewat letak geografis yang relatif berdekatan. 2
Kementerian Luar Negeri,Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah (daring), 2006, < http://www.kemlu.go.id/Books/Buku%20Panduan%20Umum%20Tata%20Cara%20Hub%20dan%20Kerjasama %20LN%20oleh%20Pemda.pdf>, diakses pada 22 April 2014. 3 Soelarso, State-Provincial Relations Between East Java and Western Australia, dalam Hadi Soesastro dan Tim McDonald (eds.), Indonesia-Australia Relations, Diverse Cultures, Converging Interests, (Jakarta: CSIS, 1995), hal.319. 4 Disnakertransduk Provinsi Jawa Timur, Australia Barat-Jatim Perpanjang Kerjasama (daring), 2010,
, diakses pada 22 April 2014.
2
Dengan pendekatan paradiplomacy, kita kini dapat melihat entitas non-negara sebagai aktor yang juga memiliki kepentingan. Ketika diplomasi bukan lagi menjadi urusan yang serba state-centric, provinsi pun kini mampu mengartikulasikan kepentingannya melalui sebuah kerjasama asing. Hal ini tentu saja menarik untuk dikaji, mengingat pembahasan tentang paradiplomasi mulai menjadi sorotan dalam studi Hubungan Internasional. Melalui karya tulis ini, penulis tertarik untuk melihat dari sisi Indonesia—atau Jawa Timur untuk lebih spesifiknya—tentang kepentingan yang dicari dalam kerjasama sister province ini.
1.2
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis mengajukan dua buah pertanyaan penelitian: (1) apakah kepentingan Jawa Timur di dalam kerjasama sister province tersebut; dan (2) bagaimanakah Jawa Timur memenuhi kepentingankepentingan tersebut, dan sejauh mana pencapaiannya?
1.3
Landasan Konseptual 1.3.1
Multi-layered Diplomacy
Konsep ini menekankan kepada bagaimana diplomasi dalam level sub-negara mulai memainkan peran penting. Selain itu, konsep ini juga membahas bagaimana politik domestik memiliki linkage terhadap politik internasional, sebagai salah satu agen dari globalisasi. Dalam istilah lain, konsep ini disebut sebagai paradiplomasi. Konsep ini berasal dari gagasan Keohane tentang transnasionalisme. Paradiplomasi mengacu kepada kapasitas atau perilaku entitas subnegara untuk melakukan hubungan internasional dengan entitas asing— sebagaimana yang dilakukan oleh negara (oleh karena itu disebut sebagai “parallel”). Korelasi konsep ini dengan gagasan Keohane, adalah bahwa keduanya berangkat dari logika yang sama, yakni de-bordering dari negara yang berujung kepada penyerahan kekuatan pada entitas selainnya, dalam hal ini di bawahnya. Pada era transnasional, pemerintah regional dimungkinkan untuk melakukan kerjasama dengan mitra mereka di negara asing. Dalam jurnalnya yang berjudul Paradiplomacy, Stefan Wolff mencoba untuk menengahi argumen antara kaum realis dengan transformis. Wolff menyatakan, bahwa paradiplomasi mengindikasikan bahwa negara tetap merupakan pemilik kedaulatan dalam bentuk penuh. Namun demikian, konsepsi kedaulatan ini tak lagi hanya dipandang eksklusif 3
dengan melihat doktrin Westphalia secara bulat-bulat. Paradiplomasi, dalam gagasan Wolff, dipandang sebagai sebuah mekanisme bagi negara untuk mensejahterakan masyarakatnya lewat pemanfaatan power. Wolff menganggap bahwa kemunculan aktor-aktor internasional bukanlah ancaman negara, namun sebuah tren di mana negara harus mulai membagi powernya dengan entitas lokal. Sehingga, negara mampu mendapatkan keuntungan yang lebih maksimal, tentu saja apabila dibandingkan dengan diplomasi konvensional yang statecentric. Posisi Wolff yang moderat ini tertulis dalam subbagian jurnalnya tentang Opportunity and Interest Structures: “Having the legal ability to participate in the international arena and actually doing so are, of course, two different things. The degree to which autonomous entities are participating in the international arena depends essentially on how their opportunity and interest structures are shaped.”5 Dari kutipan tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa paradiplomasi dari tiap negara tak dapat disamakan. Hal ini sangat tergantung kepada bagaimana negara yang bersangkutan melakukan sharing of sovereignty kepada entitas lokal di bawahnya. Logika
paradiplomasi
terkait
juga
dengan
konsep
multitrack
diplomacy.
Paradiplomasi berangkat dari anggapan bahwa negara bukan hanya tokoh sentral di dalam hubungan internasional. Unsur multitrack diplomacy bisa kita pinjam untuk melihat aktor manakah yang jadi pencetus di dalam sebuah hubungan kerjasama. Melihat kepada kasus sister province di Jawa Timur, logika yang sama bisa kita gunakan untuk melihat aktor manakah yang menjadi penggerak dari kerjasama sister province. Dalam sebuah paradiplomasi—atau sister province, secara lebih spesifiknya—kerjasama dapat diawali dari baik jalur pemerintah maupun nonpemerintah. Menurut Mochtar Masoed, daerah otonom—pada konteks paradiplomasi—ada pada perpotongan antara urusan dalam negeri dengan urusan luar negeri. Pertautan daerah otonom dalam hubungan internasional adalah pada perannya selaku aktor. Oleh karena itu, arti penting daerah otonom dalam studi hubungan internasional tidak dapat dikesampingkan sama sekali, mengingat daerah otonom dapat secara langsung melakukan hubungan internasional dengan pihak asing—baik pemerintah maupun nonpemerintah. Dengan kata lain, daerah otonom dapat melakukan by pass tanpa harus melalui pemerintah pusat (tentu saja dengan ketentuan dari negara pemberi power yang bersangkutan). Tak hanya entitas subnasional, 5
Stephan W., “Paradiplomacy”, The Bologna Center Journal of International Affairs vol.10 (Spring 2007). Halaman 7.
4
aktor-aktor ini dapat berwujud kelompok masyarakat, suku-suku, kelompok kepentingan ekonomi, maupun perusahaan multinasional.6 Dalam konteks kerjasama sister province, tentu saja aktor yang menjadi rujukan adalah entitas pemerintah subnasional.
1.3.2
Three Layers of Paradiplomacy
Munculnya gagasan paradiplomasi masih menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan yang dimaksud adalah bagaimanakah kita membedakan paradiplomasi satu dengan yang lain, khususnya ketika kita telah mengetahui bahwa ia sangat bergantung pada share of power? Hal ini terkait pula dengan isu sister province yang merupakan salah satu perwujudannya. Dengan berbedanya pendekatan tiap-tiap negara terhadap pembagian power, kajian pun mulai difokuskan kepada sejauh apakah paradiplomasi dilaksanakan, dan sespesifik apakah isu yang dicakup di dalam paradiplomasi. Dalam Political Issues of Paradiplomacy, Andre Lecours memperkenalkan konsep yang dinamakannya three layers of paradiplomacy. Konsep ini menawarkan bahwa terdapat tiga kepentingan dari paradiplomasi, yang dapat kita gunakan untuk membedakan paradiplomasi satu dengan yang lain. Konsep ini bisa kita gunakan untuk kemudian melihat masuk ke dalam lapisan kepentingan keberapakah sister province yang dijalankan oleh Jawa Timur dengan Australia Barat. Pertama-tama, Lecours mengatakan bahwa lapisan paradiplomasi pertama adalah kepentingan ekonomi. Dalam konteks ini, pemerintah subnegara bertujuan untuk membangun kerjasama internasional dengan tujuan untuk menarik investasi asing, mengundang perusahaan internasional, dan menarget pasar untuk ekspor. Lapisan ini tidak memiliki dimensi politik yang eksplisit, serta tak memiliki isu-isu yang menyinggung kebudayaan, Lapisan pertama ini bersifat pragmatis, atau semata-mata hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi. Sister province yang berada pada lapisan ini dapat diidentifikasi dari programprogramnya yang hanya memfokuskan diri pada perdagangan, seperti perjanjian dagang sektoral di bidang agrikultur. Selain itu, perjanjian kerjasama di lapisan ini tidak memiliki ketentuan yang mengatur exchange of knowledge atau kegiatan capacity building di dalam nota kesepahamannya. Lapisan kedua melingkupi kerjasama yang lebih luas, yakni cooperation. Hal yang dimaksud Lecours sebagai cooperation dalam hal ini adalah terdapatnya unsur exchange of 6
T.A Mukti .Paradiplomacy: Kerjasama Luar Negeri oleh Pemda Indonesia, The Phinisi Press, Yogyakarta, 2013. Halaman 40.
5
knowledge dari kedua belah pihak. Dalam konteks ini, paradiplomasi lebih luas dan lebih multidimensional, karena ia tak hanya terfokus pada hal pragmatis seperti keuntungan ekonomi. Menilik pada praktik sister province, kerjasama yang ada pada level ini bisa kita identifikasi melalui adanya komitmen dari kedua belah pihak untuk melakukan programprogram yang melibatkan exchange of knowledge. Program yang dimaksud, sebagai contoh, adalah program pelatihan, pertukaran pelajar, ataupun kunjungan budaya. Hubungan dalam lapisan ini disebut juga dengan decentralized cooperation. Lapisan ketiga paradiplomasi melibatkan pertimbangan politik. Paradiplomasi dalam tahapan ini cenderung untuk melibatkan kepentingan untuk menunjukkan identitas politik yang berbeda dari negara pusat yang memberikan share of power. Tujuan dari paradiplomasi pada lapisan ini bukan lagi sekedar membahas keuntungan ekonomi maupun exchange of knowledge, melainkan lebih pada ekspresi identitas politik. Dengan melakukan paradiplomasi pada lapisan ini, entitas-entitas lokal bertujuan untuk menegaskan otonomi mereka sebagai wilayah yang berbeda dari negara induk mereka. Dalam konteks sister province, kerjasama di lapisan ini melibatkan limpahan wewenang yang lebih besar dari negara induk. Contoh paradiplomasi pada lapisan ini adalah kerjasama yang dilakukan oleh Katalonia di Spanyol. Pada kasus Katalonia, Spanyol memberikan wewenang kepada daerah untuk melakukan kerjasama luar negeri—sesuatu yang tidak lazim ditemui dalam paradiplomasi. Lapisan-lapisan ini, menurut Lecours, bersifat kumulatif. Secara umum, semua paradiplomasi yang dilakukan oleh negara-negara maju selalu menunjukkan fitur ekonomi pada lapisan pertama. Dari sana, terdapat spillover dengan munculnya kerjasama yang beranjak ke level cooperation, sementara yang lain bahkan mampu menembus lapisan ketiga, yakni politis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa paradiplomasi merupakan hal yang multifungsi. Daerah bisa saja memilih untuk mendalami lapisan pertama saja, namun mereka bisa menambah lapisan yang lain seiring waktu berjalan. Bagi masyarakat yang tengah berkembang, paradiplomasi dapat dipandang dengan pendekatan komprehensif dengan banyak tujuan di baliknya. 1.4
Hipotesis Berdasarkan penjabaran di atas, penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut: 1.
Pada kerjasama ini, Jawa Timur memiliki kepentingan untuk mempercepat pembangunannya sebagai sebuah kawasan dari negara berkembang. Penulis beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Jawa Timur ini merupakan sebuah 6
wujud exchange of knowledge ketimbang economic cooperation maupun political considerations. Penulis beralasan bahwa jangka waktu kerjasama yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun tentu saja sudah mengalami spillover, dan lebih memungkinkan kerjasama di bidang yang lebih luas ketimbang ekonomi saja; di sisi lain, penulis merasa bahwa Jawa Timur juga tidak memiliki isu regional yang terlalu relevan untuk dibawa ke ranah kerjasama political considerations seperti halnya di Catalonia maupun Quebec. Selain itu, Indonesia juga memiliki undangundang yang membatasi kerjasama regional dalam beberapa bidang. 2.
Dalam hal ini, tujuan tersebut bisa dicapai melalui tiga hal, yakni (a) memajukan perekonomian melalui kesepakatan perdagangan; (b) melakukan pertukaran informasi melalui sejumlah kegiatan exchange bagi kalangan PNS maupun pelajar; dan (c) kesepakatan pemberian dana pembangunan bagi Jawa Timur untuk melakukan perbaikan infrastruktur.
1.5
Metode Penelitian Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Menurut Miles dan Huberman dalam Analisis Data Kualitatif, metode ini menggunakan data yang diambil dari deskripsi yang luas dan berlandaskan kokoh, serta memuat penjelasan mengenai proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat. Variabel-variabel yang penulis gunakan adalah bentuk-bentuk kerjasama yang terjalin, aspek apa yang tercakup, serta outcome apa saja yang telah didapatkan oleh Jawa Timur sejauh ini. Hal tersebut akan memungkinkan penulis melihat pemenuhan kepentingan Jawa Timur di dalam kerjasama tersebut. Data primer akan penulis peroleh melalui wawancara terstruktur dengan pihak-pihak terkait seperti Bagian Kerjasama Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur,
Dewan
Perwakilan
Daerah
Provinsi
Jawa
Timur,
serta—bila
memungkinkan—Perwakilan Pemerintah Negara Bagian Australia Barat. Sedangkan, data sekunder akan penulis dapatkan melalui studi literatur mengenai MoU sister province yang ditandatangani pada 1990, laporan-laporan evaluasi kinerja, serta segala macam berita terkait dengan kerjasama sister province.
1.6
Organisasi Penulisan 7
Karya ini akan terdiri dari empat bab. Pada bab pertama, penulis akan menyajikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, landasan konseptual, serta hipotesis. Pada bab kedua, penulis akan membahas definisi dari kerjasama sister province, latar belakang Jawa Timur dan Australia Barat, mekanisme pembentukan kerjasama mulai dari penjajakan hingga pelaksanaan kerjasama, serta bagaimanakah kedua negara mengatur mekanisme kerjasama sister province. Selanjutnya, pada bab ketiga, penulis akan menganalisis apakah kepentingan Jawa Timur di dalam kerjasama tersebut, dan bagaimanakah kerjasama tersebut digunakan untuk memenuhi kepentingan. Hal ini akan penulis telaah melalui konsep paradiplomasi Soldatos maupun three layers of paradiplomacy dari Lecours. Bab ini akan menguraikan bagaimanakah dinamika yang terjadi di dalam kerjasama sister province antara Jawa Timur dan Australia Barat, termasuk pula aspek-aspek apa sajakah yang telah dijajaki dalam rangka memenuhi kepentingan Jawa Timur tersebut. Terakhir, pada bab keempat, penulis akan memberikan kesimpulan serta saran yang dapat ditarik dari hasil penelitian.
8