BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kelompok minoritas secara umum dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang berada pada kondisi terasing, menderita dan mendapat tekanan dari prasangka, diskriminasi dan eksklusi yang dibentuk dan dilakukan oleh kelompok dominan1. Terjadinya kondisi ini biasanya disebabkan oleh adanya perbedaan di antara kelompok minoritas dan kelompok dominan, yaitu perbedaan yang berdasarkan etnis, ras, bahasa, agama, budaya, atau status. Salah satu kelompok yang tergolong sebagai kelompok minoritas adalah penduduk asli atau indigenous people. Penduduk asli secara umum menyadari dirinya sebagai penduduk asli, dan juga mengalami kondisi yang sama dengan yang dialami oleh kelompok minoritas2. Salah satu contoh dari penduduk asli yang akan menjadi bahasan dalam skripsi ini ialah, suku Ainu dan juga warga keturunan Ainu. Suku Ainu atau utari (utari: kamerad) berdomisili di wilayah Utara Jepang, yaitu Kepulauan Kuril, Sakhalin, dan terutama sekali Hokkaido, yang terpisah dengan pulau utama Jepang yaitu Honshu. Yang dimaksud dengan warga keturunan Ainu adalah para warga Jepang yang memiliki darah keturunan suku Ainu. Warga keturunan Ainu saat ini tidak hanya hidup dan tinggal di Hokkaido, tetapi juga pada beberapa wilayah Jepang lainnya di Honshu bersama masyarakat Jepang pada umumnya. Pada awalnya, masyarakat Jepang atau masyarakat umum Jepanglah yang tinggal di Honshu, dimana mereka juga merupakan mayoritas atau kelompok dominan disana. Masyarakat Jepang mempercayai dan menyebut diri mereka sebagai Wajin atau ‘orang Wa’ (jin: orang), karena berasal dari ras atau keturunan Yamato (wajin dalam huruf China dapat dibaca “yamato no hito”: orang Yamato)3. Sedangkan suku Ainu tidak berasal dari ras atau keturunan Yamato, melainkan berasal dari ras atau keturunan Okhotsk dan Satsumon4, dimana ciri fisik beserta sejarah dari cara dan gaya hidup mereka sangat berbeda dengan
1
F. Banda & Christine Chinkin, Gender, Minorities and Indigenous People, MRG Publisher, London, 2004, p. 5. Ibid, p. 5. 3 D. B. Willis & S. M. Shigematsu (ed.), Transcultural Japan: At the Borderlands of Race, Gender and Identity, Routledge, Oxon, 2007, p. 272. 4 R. M. Siddle, ‘The Ainu Indigenous People in Japan’, in Japan’s Minorities the Illusion of Homogeneity, M. Weiner (ed.), 2nd edn, Routledge, Oxon, 2009, p. 22. 2
1
kelompok dominan. Perbedaan ini didukung dengan adanya konsep nation-building atau bina bangsa di Jepang yang tercermin di dalam ideologi family-state atau ideologi negarakeluarga (kazoku kokka) yang mengedepankan ikatan “ras sebagai keluarga”5 dengan melihat Kaisar sebagai simbol Bapak bagi masyarakat Jepang6. Hal inilah yang menjadi awal mula dari dan terjadinya social exclusion atau eksklusi sosial terhadap suku dan warga keturunan Ainu. Eksklusi sosial terhadap suku dan warga keturunan Ainu sudah lama dimulai sejak masa lampau hingga saat ini, tepatnya dari kebijakan asimilasi legal yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang di era pemerintahan Meiji yang tetap membedakan suku Ainu dan Wajin, dengan melihat Ainu sebagai heimin (heimin: orang awam, yang mengacu pada masyarakat kelas dua7) dan kyudojin (kyudojin: bekas aborigin8/pribumi9). Kemudian diikuti dengan diskriminasi pada suku dan warga keturunan Ainu yang berbentuk kebijakan, seperti Undang-Undang Bekas Aborigin Hokkaido yang mendiskriminasikan pendidikan di antara suku Ainu dan Wajin, dan Undang-Undang Ainu Baru yang tidak merata dan tidak mencakup semua hak dalam mengakui dan menjamin hak-hak dari suku dan warga keturunan Ainu. Diskriminasi ini berlanjut menjadi sejumlah faktor yang menghambat pencapaian livelihoods
atau
mata
pencaharian/penghidupan,
perkembangan
manusia
dan
kewarganegaraan yang setara10 dari suku dan warga keturunan Ainu, khususnya yang berada di daerah Hokkaido. Di antaranya adalah status sosioekonomi dan tingkat kesejahteraan hidup dari suku dan warga keturunan Ainu yang berada pada level menengah ke bawah atau level bawah akibat sebagian besar dari mereka yang merupakan pekerja kerah biru. Kondisi ini di kemudian hari menjadi hambatan ekonomi bagi para pelajar Ainu untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Kemudian adanya social closure11 J. P. Jacobson, ‘Time and the Ainu: Japanese Nation-Building and the Conceptualization of Difference’, Historical Geography, vol. 36, no.8, 2008, p. 172. 6 Ibid, p. 171. 7 Y. Yokoyama, ‘Human Right Issues on the Ainu People in Japan: Their Social and Cultural Development through Overcoming the Social Prejudice and Discrimination’, China.org.cn (online),
, accessed November 19, 2014. 8 N. Godefroy, ‘The Ainu Assimilation Policies During the Meiji Period and the Acculturation of Hokkaido's Indigenous People’, (Presentation Paper), Harvard University, 2011, p. 3. 9 R. M. Siddle, ‘The Ainu Indigenous People in Japan’, p. 28. 10 J. Beall & L. H. Piron, ‘DFID Social Exclusion Review’, (Final Report), the London School of Economics and the Overseas Development Institute, 2005, p. 9. 11 “Social closure dapat diartikan sebagai tindakan yang membatasi akses tertentu, bahkan mencabut dan menghilangkan hak, dari kelompok minoritas beserta kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam aktivitas dan hubungan yang normal, terutama dalam lingkup yang luas, seperti masyarakat umum, yang melibatkan area ekonomi, sosial, budaya, dan politik.” Penjelasan lebih lanjut merujuk pada A. de Haan, Social Exclusion: 5
2
dari Wajin, yang berupa diskriminasi di lingkungan pekerjaan seperti penerimaan calon pekerja dan penempatan posisi pekerjaan yang berdasarkan ras dan mengutamakan Wajin, dan diskriminasi di lingkungan sekolah seperti pemberian nilai yang lebih tinggi pada pelajar Wajin. Hambatan dan diskriminasi inilah yang dapat berpengaruh buruk terhadap kehidupan sehari-hari dari suku dan warga keturunan Ainu. Permasalahan mengenai eksklusi sosial beserta diskriminasi yang dialami oleh suku dan warga keturunan Ainu akan menjadi latar belakang dari penulisan skripsi ini. Dimulai dari penyebab dan awal mula dari terjadinya eksklusi sosial, lingkup dan cakupan dari eksklusi sosial, hingga dampaknya terhadap kehidupan suku dan warga keturunan Ainu. Selain itu, skripsi ini juga akan melihat hubungan di antara suku dan warga keturunan Ainu sebagai kelompok minoritas dengan Wajin sebagai kelompok dominan untuk membantu pemahaman yang lebih dalam mengenai terjadi dan berlangsungnya eksklusi sosial terhadap suku dan warga keturunan Ainu. Pada pembahasan mengenai hubungan di antara suku dan warga keturunan Ainu dengan Wajin, akan digunakan dua elemen yang menandakan sekaligus membangun eksklusi sosial yaitu, labelling dan dua penyebab sktruktural dari muncul dan terjadinya eksklusi sosial (relasi kekuasaan dan ketidaksamarataan). Tindakan labelling merupakan bentuk dari ketidakpercayaan dan penolakan Wajin terhadap suku Ainu serta warga keturunan Ainu atas perbedaan asal ras atau keturunan di antara kedua pihak. Ketidakpercayaan inilah yang menjadi awal mula dari terjadinya eksklusi sosial terhadap suku dan warga keturunan Ainu. Tindakan labelling dari Wajin berupa mendefinisikan suku Ainu sebagai heimin dan kyudojin, dan juga Ainu sebagai emishi (emishi: orang barbar)12, Ainu adalah sinonim dari bodoh, miskin dan pemabuk13, dan Ainu yang dianggap sebagai inu (inu: anjing)14. Melalui labelling, Wajin juga ikut menggolongkan suku dan warga keturunan Ainu sebagai orang Jepang, tetapi bukan sebagai orang Jepang yang sebenarnya15, karena mereka tidak sama atau tidak sederajat dengan Wajin dan tidak berasal dari ras atau keturunan Yamato. Tindakan ini menjadi salah
Towards an Holistic Understanding of Deprivation, Social Development Department, London, 1999, p. 4 dan R. Levitas et.al., ‘The Multi-dimensional Analysis of Social Exclusion’, (Bachelor of Art thesis), University of Bristol, 2007, p. 9. 12 R. M. Siddle, ‘The Ainu Indigenous People in Japan’, p. 22. 13 D. L. Howell, ‘Making “Useful Citizen” of Ainu Subjects in Early Twentieth-Century Japan’, the Journal of Asian Studies, vol. 63, no. 1, 2004, p. 20. 14 S. S. Holtan, ‘”Ainu Hajimeta Bakkari” Just Started Being Ainu’, (Master of Art thesis), Oslo University, 2011, p. 42. 15 J. Lie, Multiethnic Japan, Harvard University Press, Cambridge, 2001, p. 46.
3
satu penyebab dari semakin ditolaknya keberadaan suku dan warga keturunan Ainu untuk bergabung dan menjadi bagian dari komunitas masyarakat Jepang, dikarenakan mereka dianggap berbeda dengan orang “umum” Jepang di masa pra-Meiji16. Selain itu, eksklusi sosial yang terjadi pada suku dan warga keturunan Ainu juga mencerminkan dua hal yaitu, adanya power relation atau relasi kekuasaan yang tidak seimbang di antara kelompok minoritas dan dominan17, dan inequality atau ketidaksamarataan yang dialami oleh suku dan warga keturunan Ainu sebagai kelompok minoritas. Kedua hal ini merupakan penyebab struktural dari muncul dan terjadinya eksklusi sosial. Pada hubungan di antara suku dan warga keturunan Ainu dengan Wajin, tercermin adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang dengan peran Wajin sebagai kelompok dominan yang mampu menekan suku dan warga keturunan Ainu dengan melakukan social closure. Social closure berupa tindakan yang membatasi akses bahkan mencabut dan menghilangkan hak dari suku dan warga keturunan Ainu untuk mendapatkan berbagai hak serta akses sosial, politik dan ekonomi, dan juga kemampuan dari suku dan warga keturunan Ainu untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang normal dan berlingkup luas18. Keadaan ini juga mencerminkan adanya ketidaksamarataan di antara suku dan warga keturunan Ainu dengan Wajin sebagai anggota masyarakat Jepang yang ditandai dengan adanya diskriminasi terhadap suku dan warga keturunan Ainu.
1.2 Pertanyaan Penelitian Suku dan warga keturunan Ainu merupakan bagian dari masyarakat Jepang terlepas dari status mereka yang merupakan kelompok minoritas dan penduduk asli. Tetapi suku dan warga keturunan Ainu tetap menerima perlakuan diskriminatif yang mencerminkan eksklusi sosial dalam kehidupan mereka sehari-hari. Maka dari itu, skripsi ini memiliki pertanyaan penelitian untuk membantu dalam memahami permasalahan eksklusi sosial yang dialami suku oleh dan warga keturunan Ainu yaitu, “apa peran dan respon dari pemerintah Jepang dan Wajin terhadap eksklusi sosial yang dialami oleh suku dan warga keturunan Ainu di Jepang?”
16
J. P. Jacobson, p. 172. The Social Exclusion Knowledge Network (SEKN), ‘Understanding and Tackling Social Exclusion’, 2008, p. 7. 18 R. Levitas et.al., p. 9 17
4
1.3 Landasan Konseptual Pertanyaan penelitian akan dijawab dan dijelaskan dengan menggunakan konsep: 1. Nation-Building Nation-Building atau bina bangsa merupakan sebuah konsep bina bangsa atau pembangunan bangsa yang digerakkan oleh tujuan, aturan dan rasionalisasi dari ideologi yang disebut nasionalisme19, untuk membentuk rasa kebangsaan di antara semua orang di dalam wilayah suatu negara20. Dengan kata lain konsep bina bangsa bertujuan untuk membentuk sebuah negara-bangsa (state-nation) yang bersatu. Dalam proses bina bangsa, untuk membentuk budaya dan identitas nasional dari suatu negara, diperlukan untuk meluruskan atau mengasimilasi atau mengabaikan perbedaan bahasa, hukum dan adatistiadat21 yang ada di negara tersebut. Hal ini tercermin dalam proses bina bangsa di Jepang yang melakukan kebijakan asimilasi di era pemerintahan Meiji yang berupaya men”jepang”kan suku Ainu dengan mengintegrasikan mereka ke dalam heimin, mengganti nama keluarga dari suku Ainu dengan nama keluarga orang Jepang pada umumnya, dan melarang sebagian besar tradisi dan ritual dari suku Ainu. Selain itu, proses bina bangsa di Jepang juga mengacu pada ideologi negara-keluarga yang mengedepankan ikatan “ras sebagai keluarga”22, dan memasukkan rasa kebersamaan dari kekerabatan rasial, turun-temurun dan agama23. Berdasarkan ideologi ini, Kaisar dilihat tidak hanya sebagai simbol dari ketuhanan bagi agama24, tetapi juga sebagai simbol ketuhanan dalam bentuk manusia yang turun dari surga untuk melahirkan orang-orang Jepang25. Dengan kata lain, Kaisar sebagai simbol Bapak bagi masyarakat Jepang. Selain itu, Kaisar dipercaya memiliki peran sebagai pemimpin tertinggi dari pemerintahan Jepang yang bersatu dan berkuasa melalui kerajaan atau kekaisaran Jepang26. Ideologi ini juga melihat bahwa keturunan Kaisarlah yang merupakan orang Jepang yang sebenarnya, yaitu ras atau keturunan Yamato yang dikenal sebagai Wajin. Sedangkan suku Ainu tidak berasal dari ras atau keturunan Yamato, melainkan berasal dari ras atau
E. K. Francis, ‘The Ethnic Factor in Nation-Building’, Social Forces, vol. 46, no. 3, 1968, p. 339. J. D. Eller, From Culture to Ethnicity to Conflict: An Anthropological Perspective on International Ethnic Conflict, The University of Michigan Press, Ann Arbor, 1999, p. 23. 21 Ibid, p. 24. 22 J. P. Jacobson, p. 172. 23 Ibid, p. 171. 24 Ibid, p. 171. 25 Ibid, p. 171. 26 Ibid, p. 172. 19 20
5
keturunan Okhotsk dan Satsumon. Sehingga diskriminasi terhadap suku dan warga keturunan Ainu pun terbentuk, dengan berawal dari tindakan yang membedakan Wajin sebagai orang Jepang yang sebenarnya, dan suku Ainu serta warga keturunan Ainu sebagai orang Jepang, tetapi bukan sebagai orang Jepang yang sebenarnya.
2. Social Exclusion Social Exclusion atau eksklusi sosial aslinya berkembang di Perancis dan dikembangkan oleh sosiolog Perancis. Menurut pemikiran dari Republikan Perancis, eksklusi sosial merujuk pada sebuah proses dari ‘diskualifikasi sosial’ (Paugam, 1993) atau ‘social disaffiliation’ (Castel, 1995)27 yang mengarah pada kerusakan28 dari hubungan antara masyarakat dan individu, maupun hubungan antara masyarakat dengan suatu kelompok. Konsep ini juga dapat diartikan sebagai sebuah proses yang menyebabkan individu atau suatu kelompok berada dalam kondisi yang dirugikan atau kurang beruntung secara sistematik akibat tindakan diskriminasi yang didasari pada etnis, ras, agama, orientasi seksual, kasta, keturunan, jenis kelamin, umur, cacat atau ketidakmampuan, status HIV, dan status migran atau tempat tinggal yang mereka miliki29. Yang dimaksud dengan kondisi yang dirugikan atau kurang beruntung secara sistematik adalah, terbentuk atau bertahannya kemiskinan dan ketidaksamarataan, dan juga terbatasnya partisipasi sosial30 bagi kelompok yang mengalami eksklusi sosial, akibat adanya hambatan dari hubungan sosial dan organisasional yang merupakan bentuk dari eksklusi sosial itu sendiri31. Konsep eksklusi sosial juga menekankan bagaimana proses dari sekelompok orang dicabut haknya atas banyak hal32, yang ditandai dengan adanya relasi kekuasaan yang bersifat hirarkis di dalam komposisi tatanan sosial33. Contohnya pada hubungan di antara dua kelompok, yang salah satunya bersifat dominan (kelompok dominan) dan satunya lagi bersifat lemah (kelompok minoritas), dimana kelompok dominan memiliki akses dan memonopoli banyak hal yang menjadikan mereka unggul dan kuat dibandingkan kelompok
A. Bhalla & Frederic Lapeyre, ‘Social Exclusion: Towards an Analitical and Operational Framework’, Development and Change, vol. 28, no. 3, 1997, p. 414. 28 A. de Haan, p. 6. 29 Department for International Development (DFID), ‘Reducing Poverty by Tackling a Social Exclusion: A DFID Policy Paper’, 2005, p. 3. 30 J. Beall & L. H. Piron, p. 9. 31 Ibid, p. 9. 32 A. de Haan, p. 5. 33 Ibid, p. 4. 27
6
minoritas, dan cenderung bertanggung jawab atas eksklusi pada kelompok minoritas dengan melakukan social closure atau tindakan yang membatasi akses bahkan mencabut dan menghilangkan hak dari kelompok minoritas. Melalui social closure, kelompok dominan tidak hanya membatasi akses bahkan mencabut dan menghilangkan hak dari kelompok minoritas untuk mendapatkan sumber daya, hak, barang dan jasa, tetapi juga membatasi kemampuan dari kelompok minoritas untuk berpartisipasi dalam aktivitas dan hubungan yang normal, terutama dalam lingkup yang luas, seperti masyarakat umum, yang melibatkan area ekonomi, sosial, budaya, dan politik34. Tindakan ini mencerminkan ketidaksamarataan di antara kelompok dominan dan kelompok minoritas. Dalam skripsi ini konsep eksklusi sosial akan digunakan untuk menemukan dan menganalisis eksklusi sosial dalam bentuk diskriminasi di bidang sosial, politik dan ekonomi yang ditemui oleh suku dan warga keturunan Ainu. Selain itu akan dilihat faktor apa saja yang membangun atau mengkonstruksi eksklusi sosial serta diskriminasi yang terjadi pada level masyarakat dan pemerintah, dengan menggunakan dua elemen yang menandakan sekaligus membangun eksklusi sosial yaitu, “labels/names/categories for excluded people; structural causes of exclusion....”35 Pada elemen pertama, yaitu labels/names/categories for excluded people, menjelaskan bahwa di dalam eksklusi sosial terdapat labelling (pemberian label) atau ‘othering’, yang diartikan sebagai tindakan yang mendefinisikan dengan memberikan nama/panggilan, juga menggolongkan dan mengkategorikan suatu kelompok minoritas yang dilakukan oleh kelompok dominan. Labelling digunakan untuk membentuk garis pemisah dan batas yang membedakan antara kelompok dominan dan minoritas. Contohnya dapat dilihat pada labelling terhadap suku Ainu yaitu, stereotip atau anggapan bahwa suku Ainu sebagai heimin dan kyudojin, emishi, inu, dan Ainu sebagai orang bodoh, miskin dan pemabuk, dan juga menggolongkan suku dan warga keturunan Ainu sebagai kategori bukan orang Jepang yang sebenarnya dikarenakan mereka tidak sama atau tidak sederajat dengan Wajin dan tidak berasal dari keturunan Yamato, dan Wajin atau masyarakat Jepang sebagai kategori orang Jepang yang sebenarnya karena berasal dari keturunan Yamato. Elemen kedua, yaitu structural causes of exclusion atau penyebab struktural dari muncul dan terjadinya eksklusi sosial. Penyebab struktural dari eksklusi sosial dapat dilihat
34
R. Levitas et.al, p. 9. R. Peace, ‘Social Exclusion: A Concept in Need of Definition?’, Social Policy Journal of New Zealand, vol. 16, no.2, 2001, 22. 35
7
pada level masyarakat, yang ditandai dengan adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang dan bersifat hirarkis di dalam hubungan di antara Wajin dengan suku dan warga keturunan Ainu. Relasi kekuasaan sendiri memiliki kedekatan dengan konsep kekuasaan atau hegemoni, hal ini tercermin ke dalam hubungan sosial yang menunjukkan adanya pihak yang mendominasi (Wajin) dan pihak yang didominasi (suku dan warga keturunan Ainu). Kata dominasi ini pun dibahas dalam konsep hegemoni yang dikenalkan oleh Antonio Gramsci, yaitu hegemoni sebagai proses dari kelompok-kelompok sosial – apakah mereka progresif, regresif, reformis, dan sebagainya – dalam meraih kekuasaan untuk memimpin atau
mendominasi,
juga
bagaimana
mereka
memperluas
kekuasaannya
dan
mempertahankannya36. Dalam proses tersebut labelling mendukung terbentuknya konstruksi sosial dan berlangsungnya relasi kekuasaan yang tidak seimbang dan bersifat hirarkis di antara kelompok dominan dan minoritas, dimana kelompok dominan sengaja mengeksklusi kelompok minoritas dan menjadikan mereka inferior atau lemah. Adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang dan bersifat hirarkis di antara kelompok dominan dan minoritas, juga menggambarkan adanya ketidaksamarataan yang merupakan bagian dari proses eksklusi sosial. Ketidaksamarataan yang terjadi lebih bersifat horizontal atau disebut juga ketidaksamarataan horizontal, karena lingkupnya di antara kelompok dengan kelompok37 dan melibatkan definisi dan label dari kelompok. Seperti pada Wajin sebagai orang Jepang yang sebenarnya dan suku Ainu bukan sebagai orang Jepang yang sebenarnya. Didukung dengan adanya labelling yang sudah sejak lama ada dan juga menciptakan garis pemisah dan batas di antara kelompok dominan dan kelompok minoritas yang telah berakar di dalam komunitas sosial, yaitu masyarakat umum, menyebabkan ketidakaksamarataan
di
antara
kedua
pihak
menjadi
sulit
untuk
diatasi38.
Ketidaksamarataan yang terjadi juga bersifat luas dan multidimensional, karena mencakup berbagai eksklusi di bidang sosial, ekonomi maupun politik39, seperti diskriminasi pada pengakuan dan penjaminan hak yang tidak merata dan tidak mencakup semua hak dari suku dan warga keturunan Ainu yang didasari pada aturan Undang-Undang Ainu Baru, diskriminasi penempatan posisi pekerjaan yang berdasarkan ras pada lingkungan pekerjaan, dan seterusnya. T. Brown, ‘Gramsci and Hegemony’, Links (online), , accessed July 2 2014. S. Khan, ‘Topic Guide on Social Exclusion’, (Working Paper), University of Birmingham, 2012, p. 16. 38 S. Byrne & Devanshu Chakravarti, ‘Brief No 5 – Inequality, Power and Social Exclusion in India’, (Briefing Note), Intercooperation and the Overseas Development Institute, 2009, p. 1. 39 F. Stewart, ‘Horizontal Inequalities: A Neglected Dimension of Development’, (Working Paper), University of Oxford, 2002, p. 3. 36 37
8
1.4 Argumen Utama Perbedaan ras atau keturunan di antara suku dan warga keturunan Ainu dengan Wajin sepertinya menjadi alasan utama dari pemerintah Jepang dan Wajin untuk melakukan eksklusi sosial terhadap suku dan warga keturunan Ainu. Hal ini dapat dikaitkan dengan sikap penolakan dan tindakan diskriminatif dari pemerintah Jepang dan Wajin saat berhadapan maupun berinteraksi dengan suku dan warga keturunan Ainu. Sikap penolakan dan tindakan diskriminatif ini memiliki hubungan dengan adanya ideologi negara-keluarga yang merupakan bentuk dari konsep bina bangsa di Jepang, dimana ideologi tersebut mendorong pemerintah Jepang untuk mengasimilasi suku Ainu ke dalam masyarakat Jepang. Tetapi upaya asimilasi tersebut sepertinya bersifat diskriminatif dengan adanya kebijakan asimilasi legal yang mengintegrasikan suku Ainu sebagai heimin, tetapi tetap melihat suku Ainu tidak sama atau tidak sederajat dengan Wajin terkait status suku Ainu yang dianggap sebagai bekas aborigin atau bekas pribumi. Selain itu, kebijakan asimilasi legal ini seolah-olah semakin menegaskan perbedaan di antara suku dan warga keturunan Ainu dengan orang Jepang (Wajin). Begitu juga halnya dengan Wajin yang ikut menunjukkan sikap penolakan dan tindakan diskriminatif dengan membatasi maupun mencabut akses dan hak tertentu dari suku dan warga keturunan Ainu (social closure), seperti diskriminasi di lingkungan pekerjaan yaitu penerimaan calon pekerja dan penempatan posisi pekerjaan yang mengutamakan Wajin, juga diskrimiminasi di lingkungan sekolah yaitu perlakuan guru yang memberikan nilai yang lebih tinggi pada pelajar Wajin. Tindakan ini juga seolah-olah mencerminkan adanya dominasi atau kontrol dari Wajin yang ditunjukkan dengan tindakan social closure yang membatasi dan mencabut akses juga hak dari suku dan warga keturunan Ainu pada lingkungan pekerjaan dan sekolah.
1.5 Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan adalah, metode kualitatif yang menggunakan data sekunder seperti buku, jurnal, artikel, website resmi, dan e-book yang memiliki pembahasan mengenai minoritas suku dan warga keturunan Ainu, hubungan di antara suku dan warga keturunan Ainu dengan Wajin dan masyarakat Jepang, juga hubungan dengan pemerintah nasional dan daerah Jepang. Hubungan tersebut tercermin di dalam konstruksi eksklusi sosial terhadap suku dan warga keturunan Ainu dibangun, yang menunjukkan adanya labelling, relasi kekuasaan, ketidaksamarataan, dan juga melalui diskriminasi,
9
social closure, serta hambatan sosial, politik dan ekonomi dalam konteks mata pencaharian/penghidupan, yaitu isu kebutuhan ekonomi dan kesejahteraan, pekerjaan, dan pendidikan formal. Beserta sikap dari suku dan warga keturunan Ainu, Wajin dan masyarakat Jepang, juga pemerintah Jepang terhadap eksklusi sosial.
1.6 Organisasi Penulisan Penulis akan membagi hasil penelitian menjadi empat bab, yaitu: 1. Bab I berisikan latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, landasan konseptual, argumen utama, metode penelitian, dan organisasi penulisan. 2. Bab II berisikan penjelasan mengenai bagaimana konstruksi eksklusi sosial terhadap suku dan warga keturunan Ainu dibangun yaitu, faktor dan penyebab apa saja dari munculnya proses eksklusi sosial yang tercermin dalam diskriminasi dan hambatan sosial, politik dan ekonomi pada konteks mata pencaharian/penghidupan. 3. Bab III berisikan penjelasan mengenai peran dan sikap pemerintah Jepang, baik nasional (pusat) dan pemerintah daerah (lokal), yang mendukung dan menolak eksklusi sosial terhadap suku dan warga keturunan Ainu. 4. Bab IV berisikan penjelasan mengenai peran dan sikap Wajin yang mendukung dan menolak eksklusi sosial terhadap suku dan warga keturunan Ainu. 5. Bab V berisikan kesimpulan dari rangkaian penelitian yang telah dilakukan.
10