BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Pertumbuhan perekonomian yang cukup signifikan, anggaran militer yang meningkat, sektor industri yang begerak maju dan penguasaan pasar, adalah hal-hal yang sesuai untuk menggambarkan kondisi Cina saat ini. Dikenal dengan new emerging country, Cina tumbuh menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Kebangkitan dan kejayaan memang menjadi tujuan kebijakan pembangunan yang dicanangkan Cina sejak reformasi dimulai pada tahun 1978. Cina mencoba menata kembali tatanan kehidupan dan melakukan reformasi di berbagai sektor vital pembangunan negara, khususnya perekonomian dan pertahanan. Reformasi ini menunjukkan hasil yang cukup nyata dengan perkembangan Cina dalam bidang ekonomi dan militer. Perkembangan Cina menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia memberikan kepada ia kepercayaan diri yang lebih besar dalam memainkan kekuatan ekonomi dan politiknya di kawasan, khususnya Asia Tenggara. Ini ditunjukkan dengan keterlibatan Cina dalam berbagai forum dan kegiatan yang berhubungan langsung dengan Association of South East Asian Nations (ASEAN), seperti ASEAN Regional Forum, ASEAN+3 dan forum kerja sama lainnya dengan negara-negara Asia Tenggara. Salah satu bentuk keterlibatan Cina dalam membangun komunikasi dengan negara-negara Asia Tenggara adalah dengan menginisiasi pembangunan jalur kereta api penghubung yang melewati beberapa negara Indocina, yang dikenal dengan nama The Pan Asian Railway Network (PARN). Proyek PARN merupakan bagian dari The Trans-Asian Railway Network yang ditandatangani pada 10 November 2006 dan pembangunannya dimulai sejak Juni 2014. Jalur kereta api ini melewati tujuh negara ASEAN: Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Kamboja, Vietnam, dan Laos (lihat Gambar 1). Proyek besar pembangunan jalur kereta api penghubung ini menunjukkan kapabilitas Cina dalam penguasaan teknologi. PARN tentunya membutuhkan aplikasi teknologi tinggi dan presisi yang akurat. Proyek ini juga memperlihatkan bahwa Cina memiliki kapasitas kapital yang memadai. Cina menjadi investor utama dalam proyek besar tersebut. Kekuatan Cina dalam bidang permodalan ini semakin kentara ketika ia juga menginisiasi pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). AIIB, yang pembentukannya ditandatangani pada 24 Oktober 2014, dapat dilihat sebagai 1
alternatif bagi institusi keuangan yang telah mendominasi cukup lama, seperti Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB).1 Gambar 1. Peta Proyek The Pan Asian Railway Network2
Penguasaan teknologi serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi menjadi faktorfaktor pendorong bagi Cina untuk lebih percaya diri dalam menginisiasi kerja sama dengan negara-negara kawasan. Di samping itu, faktor yang tidak kalah penting adalah komunikasi yang dibangun Cina dengan negara-negara kawasan. Kekuatan diplomasi dan politik Cina tidak diragukan mengingat kekuatan ekonomi dan militer yang ia miliki. Ini menjadi salah satu pertimbangan mendasar bagi negara-negara kawasan untuk memposisikan diri mereka terhadap Cina. Pembangunan PARN memiliki dimensi politis dan ekonomis yang cukup besar. Bagi Cina, investasi besar dalam
1
Z. Keck, „Under US Pressure, Major Countries Snub China‟s New Regional Bank,‟ The Diplomat.com, 23 October 2014,
, diakses pada 1 Desember 2014. 2 „China Completes Railway Link to ASEAN Countries,‟ China Daily, 16 August 2012,
, diakses pada 1 Desember 2014.
2
proyek ini tentunya diharapkan menghasilkan pengaruh politik dan sumber daya ekonomi yang menguntungkan. Kepentingan atas stabilitas kawasan menjadi salah satu tujuan utama Cina dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi saat ini.3 Stabilitas keamanan kawasan menjadi salah satu penentu lancarnya pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kawasan Asia Tenggara juga menjadi salah satu pasar strategis bagi produk-produk Cina. Asia Tenggara merupakan kawasan terdekat Cina yang memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Proyeksi jumlah penduduk ASEAN pada tahun 2020 yang mencapai 650 juta jiwa4 dan nilai perdagangan antarnegara kawasan yang mencapai $4,5 trilyun5 menjadi daya tarik tersendiri bagi negara-negara industri luar kawasan, khususnya Cina. Tambahan lagi, negara-negara Asia Tenggara berencana membentuk ASEAN Economic Community (AEC) sebagai wujud baru integrasi ekonomi kawasan. The Pan Asia Railway Network merupakan salah satu proyek infrastruktur Cina yang akan menghubungkan Cina dengan negara-negara Asia Tenggara. Alasan Cina menginisiasi pembangunan jalur darat ini menarik untuk dikaji. Ini bukan saja karena Cina memainkan kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang cukup besar di kawasan, tetapi juga karena terdapat rivalitas antara Cina, Jepang dan Amerika Serikat di kawasan dalam perebutan pengaruh secara ekonomi dan politik. Manuver Cina dalam memanfaatkan PARN sebagai alat untuk mendapatkan kepentingan nasional juga menarik mengingat soft power Cina patut diperhitungkan di kawasan.
1.2 Pertanyaan penelitian Mengapa Cina menginisiasi pembangunan proyek The Pan Asian Railway Network? Kepentingan-kepentingan strategis apa saja yang ingin dicapai Cina dengan pembangunan proyek tersebut?
1.3 Reviu literatur Kajian terkait dengan politik luar negeri Cina dan manuver-manuver Cina dalam membangun kerangka kerja sama di kawasan cukup banyak dilakukan oleh beberapa 3
N.R. Yuliantoro, Menuju Kekuatan Utama Dunia, Institute of International Studies, Yogyakarta, 2012, p. 106. 4 „ASEAN Ministerial Meeting On Environment (AMME),‟ ASEAN, , diakses pada 20 Juni 2014. 5 S. Dogra & Jun Jie Woo, „Asia‟s Leaders and Economic Soft Power,‟ The Diplomat.com, , diakses pada 23 Juli 2014.
3
peneliti. Nur Rachmat Yuliantoro dalam bukunya tentang politik luar negeri Cina mengulas kebijakan Cina terhadap kawasan Asia. Sikap Cina terhadap kawasan Asia tercermin dalam politik luar negeri Cina yang memandang kawasan Asia sebagai daerah strategis, di mana stabilitas kawasan menjadi salah satu kepentingan vital Cina. Yuliantoro menjelaskan bahwa Cina dalam lima belas tahun terakhir telah mengimplementasikan kebijakan kemitraan dan hubungan bertetangga yang baik dengan negara-negara kawasan seperti Asia Selatan, Asia Tengah, Asia Tenggara dan Asia Timur. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk menjaga stabilitas kawasan tersebut tetap aman dan mencegah adanya gesekan internal yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kondisi dalam negeri Cina. Selain itu, hubungan Cina dengan negara kawasan penting untuk terus dibangun mengingat keberadaan gerakan separatis yang dapat mengganggu integritas wilayahnya. Cina juga ingin mencegah munculnya blok-blok yang menghambat keleluasan ia dalam memainkan instrumen ekonominya.6 Dinamika hubungan dengan negara-negara kawasan memang menjadi tantangan Cina dalam merangkul negara kawasan dan menjaga stabilitas keamanannya. Mengingat Asia Tenggara adalah kawasan strategis, Cina harus membuka diri dan mencoba merespon keinginan negara-negara kawasan – sikap ini kemudian dikenal sebagai strategi “Dahulukan Asia (Asia First).” Mengacu pada strategi ini, Cina harus memfokuskan politik luar negerinya pada negara tetangga dan wilayah pengaruh terdekatnya. Kebijakan Cina dalam menjaga kawasan bukan tanpa alasan kuat; stabilitas Asia dan kawasan pengaruh Cina menjadi prioritas yang harus tetap stabil karena gejolak yang terjadi di kawasan akan berimplikasi langsung terhadap kondisi dalam negeri Cina.7 Cina menjalankan diplomasi bertetangganya dengan proaktif dan kooperatif di kawasan Asia Tenggara, dalam payung prinsip “bersikap baiklah dengan tetanggamu, jadikan tetanggamu sebagai mitra” (yu lin wei shan, yi lin wei ban). Diplomasi ini setidaknya dijalankan melalui tiga agenda dasar, yaitu “bentuk sikap bertetangga yang baik” (mulin), “buatlah tetangga menjadi makmur” (fulin) dan “buatlah tetangga merasa aman” (anlin). Cina juga menempatkan dirinya sebagai “seekor gajah yang bersahabat” (youhao de daxiang).8 Prinsip-prinsip ini menunjukkan adanya niat baik
6
Yuliantoro, p. 105. Yuliantoro, p. 107. 8 Yuliantoro, p. 108 7
4
Cina dalam membangun kerja sama dengan negara-negara kawasan. Kebijakan untuk memfokuskan kebijakan luar negeri terhadap Asia dapat dilihat dari berbagai kerja sama yang dibangun Cina dengan negara kawasan. Hubungan Cina dengan negara Asia Tenggara bergerak ke arah yang lebih positif. Cina mulai diterima di negara-negara Asia seiring dengan berakhirnya Perang Dingin. Sebelum itu, penarikan diri Uni Soviet dari Vietnam dan Amerika Serikat dari Filipina mengubah peta hubungan antarnegara serta memberikan ruang bagi Cina untuk meningkatkan kerja sama dengan kawasan. Asia Tenggara segera dihadapkan pada pertumbuhan Cina di bidang ekonomi dan militer yang cukup signifikan. Upaya Cina dalam membuka diri terhadap Negara-negara Asia Tenggara ditandai dengan penandatanganan pernyataan persahabatan dengan para anggota ASEAN dan peningkatan hubungan perdagangan. 9 Hubungan Cina dengan negara Asia Tenggara bersifat kompleks dan sangat dinamis. Di antara persoalan yang perlu diselsaikan adalah kedudukan etnis Cina di Asia Tenggara. Setiap negara Asia Tenggara memiliki warga negara keturanan Cina yang kerap kali mendapat diskriminasi; hampir setiap negara Asia tercatat pernah melakukan tindakan yang mendiskreditkan masyarakat keturunan Cina dengan kebijakan-kebijakan mereka.10 Seiring dengan perubahan yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, Cina memainkan peranan yang cukup dominan. Di tengah-tengah kerja sama antarnegara Asia Tenggara, Cina hadir dalam kerangka kerja sama kawasan, yaitu ASEAN. Kerja sama ekonomi Cina dengan ASEAN menunjukkan perkembangan yang positif. Cina menjadi mitra dagang terbesar keempat ASEAN setelah Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat, dengan total perdagangan yang meningkat signifikan mencapai 20% per tahun dari tahun 1997 hingga 2004, menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dari 2,1% ke 7%.11 Tahun 1997, Cina berhasil mendapatkan kepercayaan ASEAN dengan menunjukkan peran yang baik dalam proses pemulihan krisis ekonomi yang melanda Asia, yaitu menyediakan bantuan kepada Thailand dan tidak melakukan devaluasi terhadap nilai mata uang Yuan. Kebijakan Cina ini mendapat pujian dari Perdana Menteri Malaysia saat itu, Mahatir Muhammad.12
9
J.F. Kornberg & J.R. Faust, China In World Politic, Lynne Rienner Publisher, Colorado, 2005, p. 168. Kornberg & Faust, p. 169. 11 R.S. Inayati, „Tata Politik dan Ekonomi ASEAN-China‟, dalam Rahadhian T Akbar (ed), Ekonomi Politik Kemitraan ASEAN: Sebuah Potret Kerja Sama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011, pp. 150-151. 12 Kornberg & Faust, p. 170. 10
5
Pembangunan infrastruktur, khususnya berupa rel kereta api dan jalan bebas hambatan, dilakukan Cina di hampir seluruh kawasan Asia, baik Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan maupun Asia Tengah. Kebijakan ini mengingatkan banyak orang pada Silk Road atau Jalur Sutra yang merupakan jalur perdagangan Cina yang terkenal di masa lalu. Posisi wilayah Cina yang hanya memiliki pantai di bagian timur juga menjadi salah satu tantangan dalam membangun kerja sama ke seluruh kawasan. Menurut John Garven, pembangunan infrastruktur jalur darat berupa rel kereta api dan jalan bebas hambatan merupakan satu-satunya cara yang sangat memungkinkan bagi Cina untuk membuka diri dengan negara-negara kawasan bagian barat dan selatan. Terdapat coastal position yang membedakan Cina dengan Amerika Serikat: Cina tidak memiliki samudera di bagian barat yang dapat menghubungkan ia dengan kawasan barat dan selatan, sehingga jalur darat menjadi pilihan utama.13 Kemampuan Cina dalam mengaplikasikan teknologi transportasi modern menandakan kebangkitan negeri tersebut. Ditulis oleh Garven, setidaknya terdapat dua dimensi mengenai hal ini. Pertama, Cina saat ini sebagai salah satu kekuatan ekonomi, sumber kapital yang memberikan investasi besar dalam bidang teknologi. Pembangunan infrastruktur berteknologi tinggi merupakan proyek mahal, tetapi ia menunjukkan kebangkitan ekonomi Cina. Kedua, jalur transportasi ini akan membawa atau menyebarkan pengaruh Cina di kawasan. Jalur kereta api dan jalan yang baik akan membawa barang-barang Cina, investasi, para pengusaha dan bahkan pengaruh budaya.14 Garven mengulas beberapa proyek ambisius Cina dalam membangun jalur darat yang menghubungkan Cina dengan Asia Selatan, Asia Tengah, bahkan hingga Eropa. Jalur kereta api Cina menuju Asia Tengah dibuka pada tahun 1990 setelah dimulainya pembangunan pada tahun 1984, yang menghubungkan Urumqi, Xinjiang dan Kazakhstan di Asia Tengah. Selanjutnya, proyek ini berkembang menjadi “new eurasia landbridge” yang memungkinkan Cina terhubung dengan Eropa. Proyek pembangunan jalur kereta api ini berkembang lebih luas menuju Kirgistan dan Uzbekistan, walaupun masih dalam proses pengkajian yang telah disepakati pada tahun 2001.15 Pada tahun 1992, menteri perkeretaapian Cina menandatangani nota kesepahaman “establishment of new railway line” dengan Iran. Dalam nota 13
J.W. Garver, „Development of China‟s Overland Transfortation Links with Central, South-west and South Asia,‟ The China Quarterly, no. 185, 2006, pp. 1-2. 14 Garver, p. 3. 15 Garver, pp. 4-5.
6
kesepahaman tersebut, disebutkan bahwa pembangunan jalur kereta api baru ini termasuk 295 kilometer rel yang akan menghubungkan Iran dengan Asia Tengah. Jalur Mashhad-Tejen dibuka pada Mei 1996; upacara peresmiannya dihadiri menteri perkeretaapian Cina yang sekaligus menandatangani kerja sama dengan kementerian transportasi Iran. Jalur Mashhad-Tejen akan menghubungkan Iran dan Pakistan, dengan Pakistan telah terhubung lebih dulu dengan Cina melalui jalur darat. Pada tahun 2001 Cina dan Pakistan menyetujui pembangunan “dry port” di Karakorum dengan tujuan memperlancar arus perdagangan. Selanjutnya, pada tahun 2005 Perdana Menteri Wen Jiabao menandatangani perjanjian transportasi darat dengan Pakistan. Sebelumnya, Pakistan, Kirgistan, dan Uzbekistan telah mengimplementasikan sebuah perjanjian yang mengizinkan truk barang bergerak bebas di antara ketiga negara.16 Upaya Cina dalam memperluas akses tidak hanya sebatas pada kawasan Asia Tengah dan Selatan, tetapi juga mencoba hingga Eropa melalui negara-negara Asia Tengah yang sebelumnya telah terhubung dengan Cina melalui jalur kereta api dan jalan raya. Transportasi Cina yang terhubung dengan Kazakhstan dan Kirgistan akan terhubung dengan transportasi Uni Eropa, yaitu Transport Corridor Europe Caucaus Asia (TRACECA). Disepakati di Brussels pada tahun 1993, TRACECA pada awalnya hanya menghubungkan lima negara Asia Tengah, yaitu Kazakhstan, Kirgistan, Uzbekistan, Tajikistan dan Turkmenistan, dengan tiga negara Kaukasia, yakni Georgia, Azerbaijan dan Armenia. Tujuan dari TRACECA adalah membangun integrasi sistem transportasi yang menghubungkan Eropa dengan Asia Tengah melalui Laut Hitam, Turki, dan wilayah Kaukasia untuk memperkuat kerja sama ekonomi Eropa dengan kawasan. Proyek TRACECA di Kirgistan dan Kazakhstan sebagian besar melingkupi jalur kereta api dan jalan raya yang menghubungkan kedua negara dengan Provinsi Xinjiang, Cina. Artinya, Cina bisa lebih mudah mendistribusikan barang dan jasanya melalui Kirgistan dan Kazakhstan ke pasar Eropa dan secara tidak langsung mengurangi interaksi perdagangan Asia Tengah dengan Rusia. 17 Selain jalur penghubung dengan Asia Tengah dan Selatan, Cina juga membangun jalur penghubung ke kawasan Asia Tenggara. Jalur ini dimulai dari Myanmar sebagai negara pembuka. Jalur Cina-Myanmar yang dikenal sebagai Irrawady Corridor merupakan sebuah kombinasi antara jalan raya, jalur sungai, kereta api dan bahkan pelabuhan menuju samudera. Jalur darat dari Kunming ke Mandalay, 16 17
Garver, p. 6. Garver, p. 7.
7
Myanmar, dibuka pertama kali pada tahun 1939. Pada tahun 1990-an jalan ini dilebarkan, diperbaiki dan pada tahun 2002 diperbaiki secara penuh sehingga ia menjadi penghubung utama Cina dengan Myanmar.18 Kebijakan membangun infrastruktur berupa jalur kereta api dan jalan raya menjadi salah satu bentuk nyata bagaimana politik luar negeri bertetangga baik diterapkan Cina. Penelitian Garver terkait dengan kebijakan Cina dalam membangun jalur penghubung, baik kereta api maupun jalan raya, secara historis dengan melihat proses inisiasi hingga implementasi sebuah kebijakan bersama yang disepakati negaranegara kawasan. Sementara itu, tesis ini berfokus pada aspek ekonomi dan politik dari pembangunan jalur penghubung Cina dengan kawasan Asia Tenggara, dengan menganalisis proyek besar Cina The Pan-Asia Railway Network yang akan menghubungkan Cina dengan negara-negara Asia Tenggara secara langsung, kecuali Indonesia dan Filipina. Tesis ini akan berusaha menunjukkan motivasi Cina dalam membangun jalur penghubung yang melewati tujuh negara Asia Tenggara dengan dana yang tidak sedikit, bagaimana Cina kemudian menggunakan The Pan-Asia Railway Network sebagai katalisator dalam berintegrasi dengan kawasan, dan apa implikasi dari proyek tersebut bagi kekuatan Cina dan stabilitas kawasan.
1.4 Landasan teoritik Untuk membahas tentang alasan Cina menginisiasi PARN, penulis akan menggunakan konsep power. Power merupakan salah satu objek vital dalam studi hubungan internasional. Konsepsi power telah menjadi topik perdebatan panjang, khususnya dalam menentukan atau mengukur power itu sendiri. Sebagai instrumen yang dominan dalam politik internasional, power terus bertransformasi dalam bentuk dan cara yang berbeda. Kekuatan militer dan ancaman menjadi salah satu contoh penggunaan power dalam politik internasional. Konsepsi power sebelumnya sangat didominasi oleh pandangan-padangan klasik yang melihat power sebagai kemampuan ekonomi ataupun militer, bahkan secara sempit power lebih dikenal dalam konteks memerintah (command) dan cara-cara paksaan (coercion).19 Namun, dewasa ini power tidak dapat dipahami hanya sebatas kemampuan dalam memerintah dan menindas. Power juga bisa dimaknai sebagai pengaruh positif dari suatu aktor yang dapat mempengaruhi 18 19
Garver, pp. 11-12. J.S. Nye, Jr, Soft power: The mean to success in world politics, Public Affair, New York, 2004, p. 2.
8
aktor lain untuk melakukan sesuatu tanpa meminta aktor tersebut melakukannya. Fenomena ini disebut oleh Joseph Nye sebagai “the second face of power.”20 Dalam konteks ini, power dipahami sebagai kemampuan untuk mempengaruhi sikap pihak lain guna mendapatkan hasil dari penyebaran kemampuan itu sendiri. Penyebaran pengaruh dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti memaksa dengan memberi ancaman, membujuk dengan memberikan pinjaman, atau memikat dan membuat pihak lain tertarik dan menjadikan ia mengikuti apa yang kita inginkan. Power yang dipahami secara sempit dengan istilah “memaksa dan memerintah” dikenal dengan sebutan hard power, dengan indikator yang digunakan berupa kemampuan ekonomi dan kekuatan militer. Hard power dipahami sebagai kemampuan negara yang diukur dengan tingkat ekonomi dan militer yang mampu mengubah tindakan negara dengan berdasar pada bujukan (carrot) dan ancaman (stick). Ia kerap digunakan dalam politik internasional, di mana negara-negara kuat memanfaatkan kemampuan ekonomi dan militer mereka untuk mendapatkan kepentingan nasional. Dalam hal “the second face of power,” Nye memperkenalkan konsepsi “soft power,” yang ia definisikan sebagai “the ability to get what you want through attraction rather than coercion or payments.”21 Soft power menekankan pada kemampuan untuk membentuk keinginan orang lain dengan kemampuan memikat (attracting) dan rayuan (seduction).22 Menurut Nye, soft power tidak dapat dipahami sama dengan pengaruh. Walaupun pengaruh merupakan bagian penting dari soft power, namun soft power lebih dari pada itu. Soft power lebih dari pada kemampuan persuasi atau mempengaruhi; ia juga merujuk kepada kemampuan untuk menggerakkan persepsi orang dengan argumen. Soft power juga erat kaitannya dengan kemampuan memikat, karena daya pikat sering kali kemudian merujuk pada sebuah persetujuan. Secara sederhana, soft power dapat diistilahkan sebagai sifat “memikat” atau attractive power, di mana sumber soft power sendiri adalah hal yang menghasilkan daya tarik tersebut.23 Daya tarik tersebut dapat bersumber dari berbagai aspek. Perbedaan mendasar antara hard power dan soft power terletak pada cara mendapatkan outcomes atau hasil timbal balik yang diinginkan. Sebuah negara dapat mengajak negara lain untuk melakukan apa yang diinginkan dengan ancaman militer 20
Nye, p. 5. Nye, p. x. 22 Nye, p. 5. 23 Nye, p. 6. 21
9
atau sanksi ekonomi. Bahkan, suatu negara dapat membujuk negara lain untuk melakukan apa yang diinginkan dengan imbalan bantuan ekonomi. Skema memaksa dan membujuk di atas bukanlah instrumen-instrumen pendekatan soft power, namun lebih pada implementasi hard power. Soft power bekerja dengan cara yang berbeda. Ketika sebuah negara dapat dibujuk untuk bergabung dengan tujuan negara lain tanpa adanya ancaman nyata atau sebuah kesepakatan ekonomi, hal tersebut menunjukkan skema kerja soft power.24 Meski terdapat perbedaan ini, pada dasarnya hard power dan soft power saling berhubungan karena saling mempengaruhi perilaku dan atau tindakan pihak lain. Hard power dan soft power memiliki skema kerja yang berbeda, namun kedua macam power ini memiliki tujuan yang sama, yaitu mempengaruhi tindakan aktor/negara lain. Nye menulis bahwa terdapat tiga sumber soft power. Pertama, culture (budaya), khususnya budaya yang memiliki daya tarik bagi pihak lain. Nye menggambarkan budaya sebagai seperangkat nilai dan kebiasaan atau tindakan yang memberikan makna pada masyarakat. Ketika budaya sebuah negara memiliki nilainilai yang universal dan kebijakannya mengedepankan nilai-nilai, sangat mungkin negara tersebut mendapatkan hasil yang diinginkan karena terbentuknya daya tarik bagi pihak lain. Sumber soft power yang kedua adalah kebijakan domestik dan luar negeri sebuah negara. Kebijakan dalam dan luar negeri dapat memberikan pengaruh dalam waktu cepat dan bahkan dalam waktu yang panjang. Dengan kata lain, sebuah kebijakan dapat memberikan dampak dalam kurun waktu singkat dan panjang. Sumber ketiga dari soft power adalah nilai sebuah kebijakan terkait dengan sifatnya di dalam negeri, dalam institusi internasional, dan di dalam politik luar negeri yang secara kuat mempengaruhi pilihan pihak lain. Sifat kebijakan di dalam negeri mengacu pada nilainilai yang diterapkan, dalam institusi internasional sangat erat kaitannya dengan bagaimana sebuah negara berhubungan dengan negara lain, dan dalam politik luar negeri merujuk pada nilai-nilai yang dikedepankan dalam pelaksanaannya. Sebagai contoh, Cina menunjukkan politik luar negeri yang bersahabat sesuai dengan prinsip bertetangga yang baik. Ketiga sumber soft power ini sangat erat kaitannya dengan bagaimana
sebuah negara
bertindak dan menunjukkan diri dalam
politik
internasional.25
24 25
Nye, p. 7. Nye, pp. 11-14.
10
Dalam kerangka konsep soft power, Cina mampu menunjukkan diri sebagai negara yang memiliki daya tarik yang cukup besar. Cina sebagai negara dengan laju pembangunan yang signifikan memiliki soft power yang cukup besar, yang tidak lepas dari nilai-nilai budaya Konfusianisme serta kebijakan-kebijakan yang mengedepankan kerja sama dan pembangunan kawasan. Ini menjadi catatan positif bagi perkembangan soft power Cina, khususnya dalam konteks kebijakan-kebijakan Cina di kawasan Asia Tenggara. Selanjutnya, perlu diketahui bagaimana Cina memahami atau menerjemahkan konsep soft power itu sendiri. Konsepsi Nye dapat diletakkan pada upaya Cina mengidentifikasi konsepsi soft power yang sesuai dengan perkembangan dirinya. Mingjiang Li memberikan beberapa pertanyaan mendasar terkait konsep soft power yang dipaparkan Nye. Menurut Li, hubungan hard power dan soft power memerlukan penjelasan dan pemahaman lebih lanjut. Li mempertanyakan batasan yang jelas antara kedua sifat power tersebut: apakah bantuan ekonomi sebuah negara terhadap negara lain tanpa adanya maksud secara eksplisit maupun implisit meminta imbalan balik dapat dikatakan sebagai soft power? Bukankah soft power merupakan hal-hal yang berkaitan dengan non-material seperti moral masyarakat, citra nasional, stabilitas politik dalam negeri, kepemimpinan dan inovasi? Bagaimana cara mengukur soft power? Bagaimana mengetahui bahwa kebijakan yang ada merupakan hasil penerapan soft power?26 Perdebatan ini mengidentifikasikan bahwa Cina tidak secara penuh menerima konsepsi soft power yang dipaparkan Nye. Zhu Feng berpendapat bahwa soft power merupakan semua yang terkait dengan apakah masyarakat internasional menerima kebijakan nasional dan pilihan strategis sebuah negara dan sejauh mana pilihan kebijakan tersebut selaras dengan kepentingan banyak negara. Peneliti Cina lainnya juga memberikan pendapat yang berbeda terkait dengan soft power, seperti mendefinisikan soft power sebagai sangat tergantung pada konteksnya, beberapa sumber power dapat berasal dari baik hard maupun soft, dan bahwa soft power Cina diilustrasikan sebagai “model Cina” berupa multilateralisme, diplomasi ekonomi, dan kebijakan bertetangga yang baik. 27 Pemikiran lain yang menentang atau mengkritik Nye menggambarkan sumber soft power yang berbeda. Ji Ling dan Chen Shiping menjelaskan bahwa terdapat tiga
26
Mingjiang Li, „Introduction: Soft Power: Nurture Not Nature,‟ dalam Mingjiang Li (ed.), Soft Power: China’s Emerging Strategy in International Politics, Lexington Books, Maryland, 2009, pp. 3-4. 27 Li, p. 4.
11
dimensi sumber soft power: institution power, identifying power dan asimilating power.28 Institution power mengacu pada kemampuan negara dalam mengusulkan, membangun, atau mengubah susunan lembaga internasional. Identifying power terkait dengan kemampuan negara dalam mempengaruhi negara lain melalui pengakuan atas peran kepemimpinannya, dan assimilating power mengacu pada daya pikat dari nilainilai budaya, ideologi dan sistem sosial. Dari paparan di atas terlihat bahwa tidak terdapat bentuk yang jelas dari soft power. Terlihat bahwa Cina menggabungkan hard dan soft power dalam mengejar kepentingan nasionalnya. Pandangan Cina terkait dengan konsep soft power juga digambarkan Joshua Kurlantzick dengan istilah “charm offensive.” Menurut Kurlantzick, Cina memandang soft power sebagai semua unsur yang tidak bersifat militer atau keamanan yang mencakup kekuatan ekonomi, diplomasi publik, dan kerja sama multilateral. Dari sini dapat dipahami bahwa Cina memandang soft power sebagai pendekatan “tongkat dan wortel,” yang dekat dengan penerapan umum dari hard power.29 Merujuk kepada argumen Li dan Kurlantzick, dapat ditarik benang merah bahwa Cina tidak secara penuh menerima konsepsi soft power yang dijelaskan oleh Joseph Nye. Cina mendefinisikan soft power sesuai dengan identitas dan kepentingannya; perpaduan antara soft dan hard power menjadi karakteristik soft power yang diterapkan Cina. Nilai-nilai Konfusianisme Cina yang sangat inspiratif dengan mengajarkan keteladanan dan strategi dalam membangun negara dan berhubungan dengan negara lain. Nilai budaya Cina seperti “menyukai perdamaian (chongsang heping), menekankan pertahanan (zhongshi fangsyu), dan menciptakan persatuan (tuanjie tongyi)”30 mampu memberikan pengaruh dan memperkuat soft power Cina. Selanjutnya, kebijakan-kebijakan pembangunan Cina memberikan pembelajaran bagi negara-negara kawasan lainnya. Perkembangan yang sangat pesat di bidang ekonomi dan militer, yang didukung oleh kebijakan-kebijakan dalam negeri sebagai strategi pembangunan dan kebijakan luar negeri, menunjukkan Cina sebagai negara yang mengedepankan kerja sama dan pembangunan. Dalam kerangka politik luar negeri “kebangkitan damai” (heping jueqi) dan “dunia yang harmonis” (hexie shijie) Cina menunjukkan politik luar negeri yang bersahabat dan tidak mengancam. Strategi “dunia yang harmonis” ditunjukkan Cina dengan peranan yang lebih aktif dalam
28
Li, p. 27. Yuliantoro, p. 51. 30 Yuliantoro, pp. 52-53. 29
12
politik global dengan empat tujuan utama, yaitu multilateralisme, kerja sama yang saling menguntungkan demi kesejahteraan global, semua bangsa hidup berdampingan secara damai, dan dibutuhkannya reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).31 Kebijakan luar negeri yang menggambarkan persahabatan, kerja sama dan pembangunan global tidak lepas juga dari kepentingan strategis Cina. Stabilitas dan perdamaian khususnya empat belas negara-negara yang berbatasan secara langsung dengan Cina menjadi kepentingan besar Cina.32 Karakter kebijakan dan politik luar negeri Cina yang menunjukkan niat baik dan keinginan untuk membangun keuntungan bersama, erat dan relevan dengan sumber soft power yang ketiga menurut Nye. Peran Cina dalam politik global menunjukkan sikap positif, di mana Cina berusaha menyakinkan aktor internasional bahwa ia bukan ancaman, tetapi sebagai peluang bagi tumbuhnya ekonomi global. Mengacu pada soft power sebagai salah satu alat untuk merealisasikan kepentingan nasional dengan menekankan pada kemampuan memikat, bukan pada tekanan, Cina menunjukkan bahwa ia menggunakan kombinasi konsepsi soft power dari Nye dan konsepsinya sendiri dalam memandang soft power, atau lebih dikenal dengan “model Cina.” Uraian kedua konsepsi ini memberikan gambaran bagaimana Cina memandang soft power dan penerapannya. Jika Nye memandang bahwa soft power merupakan kemampuan dalam mendapatkan atau memperoleh kepentingan nasional dengan kemampuan memikat, Cina memandang soft power sebagai perpaduan antara kemampuan itu dan pemberian tekanan. Inilah yang disebut oleh Kurlantzick sebagai charm offensive. Pembangunan proyek The Pan Asian Railway Network (PARN) merupakan bentuk nyata penerapan soft power dengan konsepsi Cina. Konsep soft power Cina yang mengacu pada skema “stick and carrot” mengidentifikasi bahwa Cina memiliki kepentingan besar dalam pembangunan proyek infrastruktur penghubung tersebut. Elaborasi konsep soft power dan hard power memberikan Cina ruang yang lebih luas untuk memainkan kekuatannya di kawasan Asia Tenggara. Secara tidak langsung Cina telah membangun investasi jangka panjang dan memperluas pengaruhnya di negaranegara kawasan. Pembangunan PARN merupakan salah satu cara Cina dalam merealisasikan kepentingan nasional dengan menekankan penggunaan soft power
31
Yuliantoro, pp. 44-48. J. Kurlantzick, Charm Offensive: How China’s Soft Power is Transforming the World, Yale University Press, London, 2007, p.37. 32
13
sebagaimana yang ia pahami. Ini dilakukan tanpa menghilangkan citra Cina sebagai negara yang besar dan kuat. Proyek besar itu merupakan katalisator bagi Cina dalam proses mendapatkan kepentingan nasional dengan penggunaan pendekatan soft power. Pertumbuhan sektor industri yang cukup besar mendorong Cina memperluas pasar dan mengurangi berbagai hambatan, khususnya dalam distribusi produk Cina ke luar maupun ke dalam negeri. PARN menjadi salah satu alat Cina dalam mendorong laju perdagangannya dengan negara kawasan, mengingat soft power Cina memainkan instrumen penting di kawasan. Soft power di kawasan membantu Cina dalam merealisasikan berbagai agenda yang telah dicanangkan dengan tidak melepaskan citra sebagai negara besar dan kuat. PARN sendiri menjadi salah satu skema Cina dalam merealisasikan berbagai kepentingan di kawasan, baik secara politik maupun ekonomi. PARN sebagai salah satu proyek ambisius Cina memiliki nilai yang sangat strategis bagi perkembangan Cina di masa mendatang. Keberadaan PARN menjadi salah satu strategi nyata Cina untuk secara tidak langsung mengontrol negara kawasan dan mobilitas barang/jasa serta menjadi salah satu skema diplomasi Cina ke negara Asia Tenggara. Investasi besar Cina dalam proyek ini juga akan berdampak besar bagi citra Cina di mata negara-negara kawasan sebagai negara besar dan mitra yang menjanjikan. Dominasi Jepang di kawasan sebagai mitra dagang secara tidak langsung dapat berkurang dengan kehadiran Cina. Terlebih, dengan karakteristik baru yang lebih terbuka, Cina mampu mengakomodasi keinginan negara-negara kawasan. Konsepsi soft power memberikan keleluasaan bagi Cina untuk merealisasikan barbagai agenda dan kepentingannya di kawasan Asia Tenggara. Kekuatan Cina yang cukup besar di Asia Tenggara menjadi salah satu indikator bahwa ia mampu memberikan pengaruh bagi kawasan. Di sini, win-win relations merupakan salah satu strategi Cina dalam merealisasikan kepentingannya. 33 Strategi ini memberikan keuntungan bagi negara mitra kerja sama, menjadikan Cina negara yang dapat dipercaya dan memiliki pengaruh positif bagi perkembangan ekonomi mereka. Dari berbagai strategi yang dicanangkan Cina, PARN menjadi salah satu proyek yang dipandang mampu mendatangkan keuntungan bersama bagi negara-negara kawasan. Kepentingan politik Cina mendekatkan diri dengan kawasan dan menggeser posisi Jepang serta kepentingan ekonomi dalam meningkatkan efektifitas mobilitas barang dan jasa dapat didorong dengan proyek PARN.
33
J. Kurlantzick, p. 43.
14
Proses pembangunan PARN juga erat kaitannya dengan skema “stick and carrot”
atau,
dengan
meminjam
argumen
Kurlantzick,
“charm
offensive.”
Pembangunan PARN yang dibingkai dalam sebuah proyek besar dan bantuan revitalisasi sektor perkeretaapian negara-negara yang dilalui merupakan cara-cara penerapan soft power Cina. Terlihat jelas bahwa Cina menggunakan skema tersebut sebagai jalan merealisasikan kepentingan yang lebih besar. PARN memiliki arti penting bagi Cina dalam pembuktian sebagai negara maju dan skema meraih kepentingan nasional.
1.5 Hipotesis Cina menginisiasi pembangunan the pan asian railway network (PARN) karena kepentingan strategis di bidang ekonomi dan politik. PARN dapat memperluas laju perdagangan dengan meningkatkan efektivitas dan efisiensi mobilitas barang dan jasa menuju negara-negara kawasan. Ia juga secara tidak langsung menjadi strategi Cina dalam mendekatkan diri dengan negara-negara kawasan serta menggeser pengaruh Jepang di kawasan Asia Tenggara.
1.6 Sistematika penulisan Tesis ini terdiri dari lima bab. Setelah Bab Pertama ini, Bab Kedua akan memberikan profil proyek The Pan Asia Railway Network, perkembangan kereta api sebagai moda transportasi darat di Cina, dan gambaran pembangunan jalur darat secara umum di kawasan Asia yang mengacu pada proyek-proyek yang didanai oleh Asian Development Bank. Selanjutnya, Bab Ketiga akan memuat kepentingan ekonomi Cina melalui proyek PARN di kawasan Indocina, khususnya terkait dengan bangkitnya industri yang berbanding lurus dengan kepentingan memperluas pasar untuk produk-produk asal Cina. Pada bagian ini penulis juga akan menunjukkan bagaimana PARN akan mendukung distribusi produk Cina di kawasan Indocina dengan lebih efektif dan efisien. Sementara itu, kepentingan politik Cina di kawasan Indocina adalah inti dari Bab Keempat. Bab ini memberikan penjelasan bagaimana proyek PARN akan memberikan dampak yang positif bagi Cina, khususnya dalam menggunakan kekuatan politiknya di kawasan dan pengaruh yang akan diperoleh Cina dalam politik global. Tesis akan ditutup dengan Bab Kelima yang berisikan kesimpulan dan inferens yang diperoleh dari temuan penelitian. 15