BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Berbicara tentang konstelasi politik international, tidak hanya membahas mengenai bagaimana berkembangnya sistem ekonomi dan sistem politik internasional yang dijalankan oleh aktor-aktor internasional seperti halnya negara. Banyak faktor lain yang mempengaruhi pola hubungan politik internasional pada masa kini. Salah satu faktor itu adalah faktor kemanan internasional. Tidak dipungkiri dalam proses unuk mencapai sebuah pencapaian yang baik dengan tujuan dapat menciptakan situasi keamanan internasional yang kondusif dan aman, terdapat banyak kendala-kendala yang menjadi tantangan besar yang harus dihadapi bagi terwujudya tujuan tersebut. Perang, kudeta politik, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan transnasional merupakan macam-macam tantangan yang harud dihadapi dan sangat mempengaruhi stabilitas keamanan internasional tersebut. Kejahatan transnasional merupakan salah satu dari tantangan yang memberikan pengaruh besar terhadapat stabilitas keamanan internasional. Praktek terorisme
perdagangan
dan
penyelundupan
senjata,
perdagangan
dan
penyelundupan manusia, pencucian uang serta perdagangan obat-obatan terlarang yang melintasi batas nasional suatu negara merupakan ancaman yang sangat membahayakan dan memberikan efek negatif yang cukup besar serta menimbulkan efek domino yang berimbas ke berbagai pihak dan sektor lainnyadi dalam kerangka stabilitas hubungan politik internasional. Terorisme muncul sebagai ancaman keamanan internasional yang menjadi sarana bagi sekelompok orang dengan tujuan politis tertentu yang menggunakan kekerasan dan teror sebagai alat untuk mencapai kepentingan mereka. Bahaya yang ditimbulkan oleh
1
terorismme dipertegas oleh Director of Central Intelligence George J. Tenet dalam pidato yang dia sampaikan dalamSenate Select Committee on Intelligence on the "Worldwide Threat 2001: National Security in a Changing World". “The threat from terrorism is real, it is immediate, and it is evolving. State sponsored terrorism appears to have declined over the past five years, but transnational groups—with decentralized leadership that makes them harder to identify and disrupt—are emerging. We are seeing fewer centrally controlled operations, and more acts initiated and executed at lower levels.”(Tenet, 2001)
Dalam pidato yang ia sampaikan di dalam forum tersebut, Tenet menyampaikan lebih lanjut akan bahaya yang ditimbulkan dari terorisme. Dalam kutipan pidato yang dia sampaikan dia menjelaskan bagaimana terorisme berrkembang menjadi kejahatan transnasional yang mampu mendorong terjadinya efek domino yang akan berpengruh ke sistem keamanan internasional. Pola kejahatan transnasional sangat sulit untuk diketahui dan dilacak keberadaannya. Pola kejahatan dengan cara yang menyebar juga menjadi hambatan untuk dapat mengatasi masalah terorisme ini dari akarnya. Untuk melancarkan aksinya, teroris tidak segan untuk melakukan praktik kriminal lainnya yang diantara lain adalah perdagangan senjata, penculikan, pencucian uang hingga perdagangan narkotika. Hasil-hasil dari praktik kriminal itulah yang dipergunakan oleh teroris untuk mendanai aksi-aksi teror mereka. Pilihan-pilihan pendanaan aksi teror tersebut juga menjadi alternatif pilihan pendanaan aksi teror yang dilakukan oleh organisasi terorisme yang berlatar belakang gerakan islam radikal. Salah satu metode pendanaan aksi yang mereka pilih adalah perdagangan narkotika yang dikenal dengan istilah narco terorisme. Narco terorisme lebih dahulu dikenal di kawasan Amerika Latin. Mafia obatobatan terlarang di Amerika Latin melakukan aksi tersebut untuk memperoleh keuntungan-keuntungan yang sangat besar dari hasil penjualan obat-obatan terlarang. Dalam perkembangannya aksi teror dilakukan juga dilakukan untuk menekan pemerintah yang pada saat itu sedang mengkampanyekan kebijakan hukum akan perdagangan narkotika tersebut.
2
Narcoterrorism dalam perkembangannya mulai dikenal dan diterapkan oleh organisasi terorisme internasional seperti Al-Qaeda. Bagaimana narcoterrorism dapat menjadi bagian dari organisasi terorisme yang berlatar belakang gerakan islam radikal dapat dijelaskan dari dua faktor. Pertama, berkurangnya dukungan finansial terhadap organisasi terorisme maupun gerakan ekstrimis dari negaranegara yang mensuplai kebutuhan dana mereka paska Perang Dingin.(Berry, Curtis, Hudson, & Kollars, 2002, hal. 2) Kedua,Kelompok Islam radikal dalam upaya untuk memperkuat posisinya dan memberikan berbagai akses yang dapat memberikan mereka perlindungan atau bantuan untuk mempermudah upaya mereka untuk meraih kepentingan mereka, mereka menjalin kerjasama dengan kelompok kriminal lainnya. Hal itu terjadi dalam praktik narco terorisme yang dilakukan oleh gerakan islam radikal dan juga organisasi terorisme dengan latar belakang radikalisme islam tersebut. Bentuk penerapan narco terorisme oleh Kelompok Islam Radikal adalah salah satunya komodifikasi narkotika melalui proses produksi dan distribusi, dimana proses tersebut bekerja sama dengan pihak-pihak tertentu. Penjualan dilakukan oleh pihak tersebut dalam rangka meraup keuntungan semaksimal mungkin. Semakin besarnya kebutuhan mereka akan dana yang menjadi faktor penentu penting dalam eksekusi teror, jenis narkotika yang mereka produksi maupun distribusikan semakin beragam, lebih dari sekadar penjualan shabu (standar penjualan yang paling mudah).Untuk mengatasi isu akan perbedaan paham tersebut diperlukan alat untuk melegitimasi pihak-pihak terlibat untuk dapat tetap menjalankan praktek narcoterrorism ini. Legitimasi ini diperoleh dari adanya fatwa yang dikeluarkan oleh Hezbollah pada pertengahan 1980 mengenai diperbolehkannya penggunaan obat-obatan terlarang sebagai upaya untuk mengumpulkan kekuatan dana untuk
membiayai aksi teror. Fatwa ini yang
kemudian diindikasikan menjadi salah satu hal yang mendasari keputusan mengapa praktik narco terorisme dapat menjadi alternatif pendanaan aksi teror mereka. Fatwa tersebut berbunyi :
3
“We are making these drugs for Satan America and the Jews. If we cannot kill them with guns, so we kill them with drugs.”(Berry, Curtis, Hudson, & Kollars, 2002, hal. 10)
Sadar akan bahaya dan dampak yang dapat dihasilkan oleh praktek narcoterrorism ini. Presiden Bush yang saat itu menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat mengkampanyekan gerakan anti obat-obatan terlarang yang mana dalam pidato kampanyenya yang ia sampaikan di acara Super Bowl tersebut, ia menjelaskan ide mengenai betapa besarnya dampak dari naroterrorism yang dapat menyerang pertahanan dan ketahanan Amerika Serikat. Adapun isi dari kampanye tersebut : “It is so important for Americans to know that the traficking in drugs finances the work of terror, sustaining terrorist. Terrorist use drug profits to fund their cels to commit acts of murder. If you quit drugs, you join the fight againts terror in America.”(Ehrenfeld, 2002)
Selama ini, berbagai analis menyampaikan bahwa terdapat koneksi antara kelompok ekstremis dengan narco trafficking pada negara-negara berikut, dimana masing-masing negara saling berhubungan dalam rangka penyebaran narco terorisme secara cross-border pada regional berikut yang tersebar di seluruh dunia; Amerika Latin: Triborder Region (Argentina, Brazil, dan Paraguay), Kolombia, dan Peru; Timur Tengah: Lebanon; Eropa Selatan: Albania dan Macedonia; Asia Tengah: Kyrgyzstan, Tajikistan, dan Uzbekistan; dan Asia Timur Tenggara: Filipina.(Caruso, The Hidden Financial Flows of Terrorist and Transnational Crime Organization, 2011)Hal ini menjelaskan kaitan antara aktivitas terorisme dengan drug traffickingdalam sirkulasi perdagangan obat (drug trade) dari satu negara ke negara lain hingga memasuki ranah Asia Tenggara, yakni secara spesifik, Filipina.salah satu contoh yang dapat diamati merujuk pada sumber yang sama adalah bahwa ASG juga menjadi salah satu aktor dalam perdagangan opium/obat dengan berbagai criminal enterprises, seperti the Revolutionary Armed Forces of Colombia (FARC) di Kolombia.(Caruso, 2011).
4
Abu Sayyaf Group yang mereformasi diri mereka dari sekelompok pemberontak yang melawan pemerintah, menjadi sebuah kelompok terorisme besar di Asia Tenggara yang berafiliasi dengan kelompok kejahatan transnasional besar. Abu Sayyaf Group dianggap sebagai kelompok radikal yang menggunakan metode narcoterrorism untuk membiayai aksi teror mereka. Ada dua hal yang dipercaya
menjadi
latar
belakang
bagaimana
narcoterrorism
kemudian
berkembang di Asia Tenggara.Hal pertama yang melatarbelakangi ide ini adalah permintaan Osama bin Laden yang mengutus seorang wakilnya untuk merekrut pejuang-pejuang muslim dari Filipina untuk dilatih dan berperang di Afganistan. Hal kedua adalah kedatangan Mohammad Jamal Khalifa yang merupakan wakil dari Osama bin Laden ke Filipina dalam misi untuk mendirikan basis International Islamic Relief Organization (IIRO) di Filipina.1(Berry, Curtis, Hudson, & Kollars, 2002, hal. 9)Hal ini yang memperkuat dukungan Osama bin Laden kepada Abu Sayyaf Group (ASG) dan mempererat ikatan akan Abu Sayyaf Group dengan Al-Qaeda. Menurut Simon Reeve yang merupakan penulis dari The New Jackals : Ramzi Yousef, Osama bin Laden and the Future of Terrorism, pada musim panas di tahun 1991 terjadi pertemuan antara Khalifa, Abdurajak Abu Bakar Janjalani yang merupakan pendiri dari ASG dan Ramzi Ahmed Yousef yang merupakan pelaku peledakan bom di World Trade Center 1993 di Peshawar, Pakistan.(Berry, Curtis, Hudson, & Kollars, 2002, hal. 10)Pertemuan ini disinyalir sebagai forum diskusi diantara ketiga tokoh tersebut untuk membicarakan rencana Khalifa untuk mendelegasikan Yousef ke Filipina untuk memberikan pelatihan militer dan perakitan alat peledak berdayaledak tingggi kepada pejuang Abu Sayyaf Group. Berdasarkan dari peristiwa tersebut hipotesa mengenai masuknya ide dan konsep narcoterorisme dapat terbentuk. Hal ini didasari atasopini bahwa dalam pelatihan 1
IIRO merupakan sebuah lembaga filantropis yang bergerak di bidang kemanusiaan yang dimiliki oleh Osama bin Laden. Didirikan di Filipina oleh tangan kanan yang juga merupakan saudara ipar Laden, Mohammad Jamal Khalifa. Lembaga ini diindikasi sebagai lembaga pendanaan yang mendanai operasi terorisme oleh Abu Sayyaf Group yang dikamuflasekan sebagai lembaga pengumpul dana bantuan untuk membangun masyarakat Muslim.
5
yang diberikan oleh Yousef kepada anggota AbuSayyaf Group dan ikut sertanya Janjalani di dalam perang Afganistan, nilai-nilai radikal dan fatwa mengenai diperbolehkannya produksi obat-obatan terlarang untuk menjadi sumber dana bagi aksi mereka diterima oleh mereka. Penelitian terakhir oleh Peters (2009) juga mendokumentasikan detil koneksi yang kuat antara drug trafficking dan Al Qaeda di Afghanistan dan Pakistan. Paoli et al. (2007) juga menyampaikan hal serupa pada perdagangan opium dan heroin trafficking di Tajikistan. Berdasarkan Hardouin dan Weichhardt (2006), the Islamic Movement of Uzbekistan (IMU) juga telah mengambil banyak keuntungan dari penyelundupan obat atau opium tidak hanya ke Afghanistan tapi juga memasuki wilayah Asia Tengah dan Rusia serta Eropa. Melalui penyampaian ini secara singkat dapat ditarik sebuah koneksi yang erat antara prosesi drug trafficking dengan aktivitas upaya pendanaan beberapa kelompok islam radikal.(Caruso, The Hidden Financial Flows of Terrorist and Transnational Crime Organization, 2011) Berdasarkan dari latar belakang yang penulis jelaskan, penulis berupaya untuk menjelaskan strategi apa yang digunakan oleh ASG dalam menggunakan metodenarcoterorisme sebagai salah satu sumber pendanaan operasi teror dari pergerakan yang mereka lakukan.Menurut pengamatan Penulis sejauh ini, pergerakan tersebut dapat berupa aktivitas pengumpulan dana untuk membiayai operasi ASG yang di mana dana tersebut berasal dari penjualan narkotika.(GMA News, 2008). Kemudian bukti lain adalah ditemukannya sejumlah tanaman mariyuana di daerah yang merupakan wilayah operasi ASG. Selain proses produksi tersebut, aktivitas lain yang mereka jalankan adalah aktivitas distribusi dan strategi perlindungan yang cukup baik dalam praktek narco terorisme.Oleh karena itu, skripsi ini akan mengkaji berberapa faktor. Pertama, sejarah konflik agama dan berkembangnya kelompok pergerakan Muslim di Mindanao serta perkembangan aksi pergerakan dari ASG. Kedua proses ASG menjalankan praktek narcoterrorism untuk menghasilkan dana bagi organisasi mereka. Ketiga,
6
analisa strategi yang mereka gunakan dalam penggunaan narccoterrorism oleh ASG.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah yang penulis ajukan adalah “Strategi apa yang diterapkan oleh ASG dalam aktivitas perdagangan narkotika sebagai sumber pendanaan kelompok mereka?”. Dengan studi kasus Abu Sayyaf Group, penulis akan berusaha untuk menjelaskan pola strategi yang digunakan oleh ASG dalam memanfaatkan perdagangan narkotika sebagai salah satu sumber dana bagi operasi terorisme yang mereka lakukan. 1.3 Landasan Konseptual
1.3.1
Narcoterrorism
Terorisme dewasa ini tidak lagi didefinisikan sebagai teror yang mengancam dan memberikan dampak fisik bagi pihak-pihak yang menjadi objek dari dilakukannya aksi teror tersebut. Sepeti halnya separatism, kidnapping, hijacking dan cyber terror merupakan perluasan bentuk dari definisi dasar terrorisme.(Crenshaw, The Pshycology of Terrorism : An Agenda for 21st Century, 2000) Terrorisme didefinisikan oleh lebih luas dimana oleh C.J.M. Darker terorisme dinilai sebagai ancaman dan serangan dipergunakan untuk melukai fisik. Terorisme juga dapat menyebabkan efek kekhawatiran dan ketakutan yang dirasakan secara psikologis bagi para target atau korban dari aksi terorisme tersebut. (USIP, 2001) Perluasan lain dari definisi dasar terorisme adalah narcoterrorism. Secara sederhana narcoterrorism didefinisikan sebagai aktivitas perdagangan obatobatan terlarang yang dimana tujuan serta hasil yang dihasilkan dari aktivitas narcoterrorism ditujukan untuk mendanai berbagai aktivitas teror. Tidak hanya digunakan untuk mendanai serangkaian aksi teror yang telah
7
direncanakan, narcoterrorism juga dapat memperluas fungsinya sebagai alat untuk mendukung berlangsungnya aktifitas perdagangan maupun pertukaran senjata secara ilegal. Belaúnde Terry yang menjabat sebagai presiden Peru pada tahun 1983 mendefinisikan narcoterrorism sebagai sebuah aksi protes yang dilakukan oleh aktor-akor yang terlibat di dalam perdagangan narkotik. Aktor-aktor tersebut menggunakan power dan kekerasan yang oleh mereka untuk mengintimidasi dan menekan pemerintah yang pada masa tersebut sedang berupaya untuk memerangi perdagangan narkotik ilegal tersebut dengan kebijakan-kebijakan yang ada.(John E. Thomas, 2009, hal. 1885-1886)
Salah satu definisi mengenai narcoterrorism dikembangkanthe Drug Enforcement Agency (DEA). DEA mendefinisikan narcoterrorism sebagai berikut :
“participation of groups or associated individuals in taxing, providing security for, otherwise aiding or abetting drug trafficking endeavors in an effort to further, or fund, terrorist activities. “(Holmberg, 2009)
Definisi narcoterrorism diatas kemudian dijabarkan lebih lanjut sebagai upaya dari pihak-pihak tertentu, baik mereka merupakan individu-individu yang terasosiasikan dengan baik, maupun grup-grup tertentu yang dimana mereka menyediakan akses-akses yang dapat mempermudah usaha-usaha dan aktivitas terorisme dalam memperoleh pendanaan bagi aktivitas terorime tersebut. Pendanaan yang didapatkan dari grup-grup maupun individu-individu yang terasosiasi tersebut diperoleh dari hasil perdagangan obat-obatan terlarang yang dilakukan secara ilegal. Pihak-pihak maupun individu tersebut tidak selalu memiliki peran untuk mendanai aksi teror, mereka juga memiliki peran untuk melakukan kecurangan-kecurangan tertentu di dalam institusi-institusi
8
legal yang mampu mempermudah mereka untuk melakukan aktivitas narcoterrorism tersebut. Narco trafficking dipergunakan sebagai salah satu metode pendanaan aksi teror disebabkan oleh berberapa faktor yang pada dasarnya memberikan keuntungan yang sangat signifikan. Pertama, cost of benefit yang rendah. Obatobatan terlarang dalam proses produksinya tidak memerlukan dana yang sangat besar dan dapat diproduksi secara massal. Hasil yang dihasilkan dari produksi obat-obatan terlarang seperti opium dan ganja dapat diproduksi secara berkelanjutan. Jumlah produksi yang bessar dan dapat dihasilkan secara terus menerus dapat menghasilkan uang yang sangat besar dan terus mengalir ke pundi-pundi pendanaan teroris sehingga sumber pendanaan dari praktik ini dapat dikategorikan lebih stabil dibandingkan dengan praktik pendanaan aktivitas teror lainnya.(Ehrenfeld, 2002) Kedua, praktek narco trafficking yaitu memiliki jalur dan akses distribusi yang luas yang mana hal ini dikarenakan adaya kerjasama dengan organsasi kejahatan transnasional. Dalam praktiknya di lapangan, jalur distribusi yang dipergunakan
untuk
memproses
perdagangan
obat-obatan
terlarang
ini.merupakan jalur perdagangan senjata serta perdagangan manusia yang dimiliki oleh organisasi kriminal transnasional yang mana dalam jalur ini sangat sulit terlacak dikarenakan pola organisasi kejahatan transnasional yang sulit untuk ditebak dan meluas. Kerjasama yang terjalin oleh kelompok teroris dengan organisasi kriminal transnasional akan tetap terjalin meskidalam segi strategi dan tujuan mereka memiliki misi yang berbeda. (Sanderson, 2004) Ketiga, narkotika dipercaya memiliki dampak yang menyerang dua aspek pertahanan. Aspek pertahanan pertama adalah aspek moral. Teroris dengan latar belakang gerakan islam radikal percaya bahwa dalam strategi untuk melemahkan
musuh,
penggunaan
narkotika
oleh
masyarakat
dapat
menyebabkan degradasi moral yang menyebabkan berkurangnya kewaspadaan akan ancaman keamanan yang akan melemahkan pertahanan dari dalam. Aspek
9
pertahanan kedua adalah pertahanan fisik yang mana pertahanan ini sering diserang melalui ancaman-ancaman teror baik yang sifatnya fisik maupun nonfisik yang dimana efeknya menimbulkan rasa takut di pihak musuh. (Ehrenfeld, 2002) 1.3.2
Terorisme Fenomena terorisme hingga saat ini telah banyak ditelaah oleh para
peneliti dari berbagai displin ilmu seperti ilmu sosial politik, hukum hingga disiplin ilmu psikologi. Periode penelitian akan terorisme tidak serta merta baru saja diteliti ketika dua pesawat United Airlines menghatam dua gedung pencakar langit World Trade Center di New York, Amerika Serikat pada 11 September 2001 yang mengawali gerakan “War on Terrorism” di segala penjuru dunia. Definisi mengenai terorisme telah dikembangkan dan dijabarkan sedemikian rupa sejak masa ke masa. Joseph S. Turman dalam bukunya yang berjudulCommunicating Terror memaparkan bahwa terorisme berasal dari bahasa Latin yaitu ‘terrere’ yang berarti ‘to tremble’ dan digabungkan dengan sufiks Perancis yaitu ‘-isme’ yang kemudian secara harfiah terorisme memiliki pengertian yaitu ‘to cause the trembling’, mencipatakan ketakutan(Turman, 2009, hal. 4). Untuk menjelaskan definisi dari terorisme, Turman mengutip definisi terorisme yang disampaikan oleh Alex P. Schmid salah satu penasihat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mendefinisikan terorisme sebagai berikut : “terrorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action,employed by (semi-) clandestine individual, group or state actors, foridiosyncratic, criminal or political reasons, whereby—in contrast toassassination—the direct targets of violence are not the main targets.The immediate human victims of violence are generally chosenrandomly (targets of opportunity) or selectively (representative orsymbolic targets) from a target population, and serve as messagegenerators. Threat- and violencebased communication processesbetween terrorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to manipulate the main target (audience(s)), turningit into a target
10
of terror, a target of demands, or a target of attention,depending on whether intimidation, coercion, or propaganda isprimarily sought.”(Turman, 2009, hal. 23)
Schimd menjelaskan bahwa terorisme adalah metode yang menyebabkan kecemasan atau kekhawatiran yang disebabkan oleh
aksi kekerasan yang
dilakukan berulang kalioleh kelompok maupun individu serta aktor-aktor negara dengan alasan yang jelas. Berbeda dengan aksi kriminal lain, pihak yang menjadi korban langsung bukanlah target utama penyerangan.targettarget yang menjadi korban memiliki keterkaitan atau persamaan dengan lawan dari kelompok maupun individu ini. 1.3.3 Organisasi Terorisme Bagaimana suatu kelompok dapat diklasifikasikan sebagai kelompok terorisme dapat dilihat dari pernyataan yang dikutip dari Parlemen Australia sebagai berikut..
“must be satisfied on reasonable grounds that the organisation is directly or indirectly engaged in, preparing, planning, assisting in or fostering the doing of a terrorist act (whether or not the terrorist act has occurred or will occur)".(The Parliament of the Commonwealth of Australia, 2009, hal. 7)
Parlemen Australia menyebutkan, bahwa untuk menentukan apakah suatu kelompok
merupakan
kelompok
teroris
adalah
dengan
menyimpulkan
berdasarkan atas dasar-dasar bahwa organisasi tersebut terlibat langsung maupun tidak langsung dengan perencanaan, persiapan dan memberikan dukungan maupun bantuan akan aksi terorisme baik yang sudah terjadi ataupun belum terjadi.
11
1.3.4 Strategi Terorisme Strategi merupakan salah satu faktor penting dalam keberadaan organisasi teroris tersebut. Pada dasarnya strategi ini memang merupakan tanggung jawab pemimpin untuk menyusun dan menerapkannya. Namun untuk menentukan sebuah strategi dari sebuah organisasi ada hal-hal penting yang patut diperhatikan. Strategi ini tentunya sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana lokasi organisasi ini beroperasi dan kondisi politik dan sosial lawan. Untuk menentukan sebuah strategi, mereka harus melihat celah yang ada. Strategi ini antara lain, pertama adalah untuk menjelaskan dan menanamkan ide dan tujuan dari apa yang organisasi tersebut akan lakukan kepada anggotanya. Kedua, strategi untuk melihat celah yang ada di pemerintahan. Apabila target terorisme ini adalah pemerintah, hal yang dapat menjadi contoh adalah bagaimana kebijakan pemerintah dalam menangani sebuah isu, bagaimana hukum berlaku dan penerapannya, wilayah cakupan kebijakan dan hukum yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan upaya apa yang akan pemerintah lakukan untuk mengatasi teror yang telah mereka lancarkan. Apabila target yang dihadapi bukanlah pemerintah, mereka dapat melihat isu yang sedang berkembang maupun ancaman utama dari target tersebut. (Crenshaw, Theories of terrorism: Instrumental and organizational approaches, 1987, hal. 17) Tidak hanya strategi politik yang dapat mereka gunakan untuk mensukseskan aksi teror mereka. Untuk keberlangsungan dari organisasi, mereka juga sangat memerlukan analisa wilayah. Mereka dapat menganalisa wilayah dimana mereka berada untuk menganalisa kemungkinan masuknya akses luar seperti militer maupun aparat terkait lainnya dari pihak lawan untuk menyusup ke wilayah mereka. Hal lain adalah untuk mengenali potensi alam yang ada. Potensi alam ini dapat merujuk kepada akses untuk memproduksi narkotika, penyelundupan senjata dan akses penunjang lainnya. Dalam pengaplikasian strategi analisa wilayah ini dapat digunakan oleh organisasi teroris yang menggunakan metode narcoterrorism untuk mendanai aksi mereka. Dalam hal ini stategi ini dipergunakan untuk menentukan wilayah penyebaran personil dan membbanttu
12
mereka untuk lari atau bersebunyi dari lawan mereka.Selain itu, analisis wilayah ini pada dasarnya dapat melindungi personil mereka atau tempat wilayah mereka agar tidak terlacak oleh pihak-pihak yang mengancam eksistensi mereka. Dalam pelaksanaan administrasi dan aktivitas lain di dalam operasi mereka, organisasi atau kelompok teroris tidak membutuhkan anggota yang banyak. Cara kerja mereka adalah dengan membagi-bagi anggota mereka dalam sejumlah kelompok yang akan menjalankan misi mereka sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing misalnya penyedia dana, perekrut anggota, mata-mata dan lain sebagainya. Strategi-strategi ini yang akan menetukan keberhasilan dari aksi teror yang mereka lakukan. Keberhasilan mutlak dari organisasi teroris ini adalah untuk mengubah secara penuh dan secara menyeluruh tatanan politik dan sosial yang ada baik target mereka adalah pemerintah maupun pihak lainnya. 1.4 Argumen Utama Abu Sayyaf Group dapat digolongkan sebagai kelompok atau organisasi teroris berdasarkan berberapa faktor yaitu dari struktur jaringan organisasi ASG dan dilihat dari operasi-operasi rahasia dan operasi teror yang mereka lakukan. Dalam pelaksanaan operasi terorisme yang ASG lakukan diperlukan dana yang cukup besar sehingga ASG perlu untuk memikirkan strategi pendanaan bagi operasi terorisme yang akan mereka lakukan. Berdasarkan dari kebutuhan ASG akan dana pendukung operasi mereka, ASG memilih perdagangan narkotika sebagai salah satu alternatif penghasil dana. Perdagangan Narkotika dipercaya dapat memberi keuntungan materi yang lebih besar kepada organisasi-organisasi terorisme, seperti ASG. ASG menggunakan strategi-strategi tertentu untuk mensukseskan aktifitas perdagangan narkotika dengan strategi-strategi berikut. Pertama, Adanya struktur organisasi yang terstruktur dan memiliki garis kordinasi sesuai dengan peran masing-masing anggota khususnya yang bertanggung jawab dalam proses pengumpulan dana. Strategi kedua adalah dengan menganalisa permintaan kebutuhan dari pasar akan narkotika yang akan memberikan keuntungan terbesar bagi mereka. Ketiga, menyebar anggota ke
13
berbagai daerah berbeda untuk membantu memonitor dan melindungi ladangladang pengahasil mariyuana maupun lokasi-lokasi produksi methampetamine di sekitar wilayah operasional mereka. Strategi keempat, memilih wilayah-wilayah strategis yang jauh dari jangkauan pemerintah dan yang kelima adalah dengan berkompromi dan bekerjasama dengan kelompok kriminal maupun kelompok radikal lainnya untuk membangun jaringan. 1.5 Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis mengaplikasikan metode kualitatif melalui studi pustaka dari literatur, jurnal, dan bentuk dokumentasi lain seperti artikel yang dianggap relevan dengan penelitian dalam kerangka penelitian yang benar. Hasil dari studi pustaka yang diperoleh tersebut kemudian dievaluasi dan dianalisa. Hasil analisa tersebut kemudian dituliskan dalam skripsi sebagai hasil dari penelitian yang elaboratif. 1.6 Jangkauan Penelitian Penulis akan memberi batasan penelitian dan berfokus pada masa Abu Sayyaf Group terbentuk yaitu tahun 1991 hingga saat ini di masa penulis melakukan penelitian dan operasi teror yang dilakukan oleh Abu Sayyaf Groupmasih tetap berjalan.Kemudian, substansi pada penulisan ini dibatasi dalam analisa ASG sebagai kelompok teroris di Filipina. Sertapada substanti mengani analisa startegi ASG dalam menerapkan narcoterrorism sebagai salah satu aktivitas pendanaan bagi aksi teror yang dilakukan oleh kelompok mereka.
14
1.7 Sistematika Penulisan
Bab I berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari beberapa poin seperti latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan konseptual, hipotesis, jangkauan peneletian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi mengenai sejarah konflik muslim Mindanao dan pergerakan masyarakat muslim Mindanao yang menjadi kaum minorotas di Filipina serta sejarah perkembangan Abu Sayaaf Group sebagai salah satu kelompok pergerakan muslim yang menentangpemerintahan Filipinadan mengenaianalisa mengani Abu Sayyaf Group sebagai kelompok terorisme.Bab III berisi tentang analisa startegi seperti apa yang digunakan oleh ASG dalam pelaksanaan narcoterrorism.Bab IV yang berisi penutup yang berisikan Kesimpulan mengenai bahasan masalah yang telah diteliti dan sudah dianalisis secara lebih lanjut.
15