BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mempengaruhi praktek-praktek dalam bidang kerja komunikasi, termasuk Public Relations (selanjutnya ditulis PR). Salah satu bentuk dari perkembangan teknologi adalah kehadiran media sosial. Beberapa contoh aplikasi media sosial adalah Google Groups (referensi, jejaring sosial), Facebook (jejaring sosial), Flickr (layanan foto berbagi), Twitter (jejaring sosial dan mikroblogging), dan Youtube (jejaring sosial dan layanan video berbagi) (Franklin, et.al. 2009; Sriramesh & Vercic, 2009). Dalam konteks PR, media sosial menyediakan saluran tambahan untuk berkomunikasi dengan target publik (Franklin, et.al., 2009). Media sosial, dengan berbagai karakteristiknya, menuntut PR untuk menyesuaikan diri. Hadirnya media sosial menjadikan komunikasi bersifat dua arah, meruntuhkan paradigma kontrol pesan, dan menciptakan bentuk baru dalam memonitor dan menganalisis media (Grunig, 2009; Macnamara, 2010). Kehadiran media sosial telah mengubah cara para praktisi dalam berpikir dan melaksanakan praktik-praktiknya dan beranggapan bahwa hal ini merupakan sebuah kekuatan revolusioner dalam bidang PR. Dengan mengoptimalkan potensi media sosial maka praktik PR akan lebih mendunia, lebih strategis, semakin bersifat komunikasi dua arah dan interaktif, simetris atau dialogis dan lebih bertanggungjawab secara sosial. Hal ini cukup dapat mendasari bahwa pada era baru ini media sosial dapat dijadikan sebagai salah satu media yang digunakan dalam strategi PR untuk berkomunikasi dengan publiknya (Grunig, 2009). Namun media sosial tidak semata sebagai sebuah alat komunikasi semata. Peran PR yang berhubungan dengan media sosial tidak hanya sebagai teknisi komunikasi saja. Dengan adanya media sosial, PR juga bisa melakukan peran manajerial, di mana praktisi PR terlibat dalam pengambilan keputusan strategis organisasi serta memberikan masukan kepada jajaran manajemen atas (Grunig, 1
2009). Kehadiran media sosial memungkinkan PR untuk terlibat dalam peran manajemen strategis organisasi (McDonald dan Hebbani, 2011). Sementara Diga dan Kelleher (2009) dalam risetnya menemukan bahwa praktisi PR yang memiliki kompetensi dalam menggunakan media sosial mendapatkan pengakuan dalam proses pengambilan keputusan organisasi atau perusahaan. Salah satu peran manajerial PR adalah keterlibatan dalam penyusunan peraturan media sosial untuk kalangan internal perusahaan. Peran sebagai pembuat kebijakan media sosial, memang belum terlalu populer namun hal tersebut mendesak untuk dilakukan: “[A] once less known and vacant spot needs to be filled quickly” (Breakenridge, 2012:8) Media sosial memang ibarat ”pedang bermata dua” bagi perusahaan atau organisasi. Di satu sisi memang memudahkan berkomunikasi dengan publik baik itu internal mau pun eksternal. Namun di sisi lain, karyawan kadang tak mempertimbangkan risiko penggunaan media sosial. Karena ketidakhati-hatian tersebut, karyawan mungkin memposting informasi sensitif atau menuliskan halhal yang buruk terkait perusahaan sehingga merusak reputasi perusahaan tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perusahaan perlu memiliki kebijakan terkait media sosial. Di Indonesia, salah satu perusahaan yang memiliki kebijakan penggunaan media sosial di lingkunan perusahaan adalah PT PLN (Persero). Kebijakan tersebut disahkan pada 5 Oktober 2012 dalam Surat Edaran Direksi PT PLN (Persero) Nomor 015E/DIR/2012 tentang “Etika Berkomunikasi Melalui Media Sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)”. Kebijakan tersebut bertujuan menjadi panduan agar dalam penggunaan akun media sosial masingmasing, pegawai PLN tidak mem-posting pesan yang justru membahayakan reputasi perusahaan. Lebih lanjut PLN berharap dalam menggunakan media sosial masing-masing pegawai dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Kebijakan tersebut disusun setelah melihat tingginya lalu lintas informasi para pegawai PLN melalui akun media sosial masing-masing individu tersebut dalam kurun waktu dua hingga tiga tahun terakhir. Pihak PLN melihat bahwa informasi yang disampaikan ada yang positif, netral, negatif.
2
Surat Edaran Direksi PT PLN (Persero) Nomor 015E/DIR/2012 tentang “Etika Berkomunikasi Melalui Media sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)” menunjukkan bagaimana bidang komunikasi korporat – bidang di PT PLN yang menjalankan aktivitas PR—berperan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Pihak yang berinisiatif dan menjadi koordinator penyusunan kebijakan ini adalah bidang komunikasi korporat PT PLN Persero. Ada pun proses penyusunan kebijakan tersebut melibatakan tiga departemen/divisi/satuan kerja yakni bidang komunikasi korporat, Sumber Daya Manusia, dan Teknologi Informasi. Tesis ini meneliti peran manajerial departemen komunikasi korporat PT PLN Persero dalam penyusunan kebijakan “Etika Berkomunikasi Melalui Media sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)”. Peran manajerial dijabarkan melalui konsep-konsep sebagai berikut: pembuat kebijakan/strategi, pemantauan dan evaluasi, manajemen isu, memberikan saran kepada manajemen di level senior, negosiator, peran teknis komunikasi, terlibat dalam menyelesaikan masalah, dan administrator (Moss, Newman, DeSanto, 2004). Penelitian menggunakan metode kualitatif studi kasus. Sebagai studi kasus, penelitian ini berangkat dari proposisi teori bahwa perkembangan teknologi komunikasi – dalam hal ini media sosial—telah mempengaruhi praktek PR dalam hal peran manajerial. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi dokumen. Penulis melakukan wawancara dengan manajer senior dan staf bidang komunikasi korporat PT PLN Persero sebagai narasumber utama penelitian ini. Penulis juga melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan kebijakan terkait etika penggunaan media sosial yakni dari pihak Sumber Daya Manusia1 PT PLN Persero. Untuk mengetahui
1
Catatan: saat wawancara, narasumber dari pihak SDM PT PLN yang ikut terlibat dalam penyusunan Surat Edaran Direksi PT PLN (Persero) Nomor 015E/DIR/2012 tentang “Etika Berkomunikasi Melalui Media sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)” sudah dimutasi ke anak perusahaan PLN, PT Halleyora Power, per 1 Mei 2013. Surat edaran ini sendiri disusun mulai akhir Februari-awal Maret 2012 dan disahkan pada Oktober 2012
3
bagaimana kebijakan ini sampai ke kantor area PLN (PLN di daerah), penulis juga mewawancarai Kepala Hubungan Masyarakat PLN APJ Yogyakarta. Pengumpulan data yang kedua adalah observasi. Penulis mengamati aktivitas keseharian komunikasi korporat PT PLN Persero untuk mengetahui bagaimana secara umum peran yang mereka jalankan. Untuk mengonfirmasi pernyataan-pernyataan dari narasumber utama, penulis juga menyebarkan kuesioner untuk mengetahui pemahaman pegawai PLN mengenai kebijakan terkait etika penggunaan media sosial tersebut. Sementara untuk studi dokumen penulis menggunakan data berupa salinan dari Surat Edaran Direksi PT PLN (Persero) Nomor 015E/DIR/2012 tentang “Etika Berkomunikasi Melalui Media sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)”, struktur organisasi PT PLN Persero, Keputusan Direksi Nomor 418/K.DIR/2012 mengenai Pedoman Pelaksanaan Komunikasi Perusahaan dan berita-berita terkait media sosial dari majalah internal PLN, Fokus2. Studi dokumen bertujuan untuk mengetahui yang pertama tentang kebijakan penggunaan media sosial, kedua tentang bagaimana tugas dan tanggungjawab bidang komunikasi korporat PT PLN Persero, dan ketiga adalah bagaimana pihak PLN melakukan manajemen isu terkait media sosial, tidak hanya sebatas pada kebijakan tersebut tetapi juga pada arti penting media sosial bagi PLN. Data dari penelitian menunjukkan bahwa bidang komunikasi korporat PT PLN Persero melakukan peran manajerial PR dalam penyusunan kebijakan penggunaan media sosial. Dari konsep peran manajerial yang digunakan (Moss, Newman, dan DeSanto, 2004) peran manajerial yang dilakukan adalah sebagai pembuat kebijakan/strategi, manajemen isu, teknisi komunikasi, dan terlibat dalam penyelesaian masalah. Yang paling dominan adalah teknisi komunikasi. Sementara untuk pemantauan dan evaluasi, memberikan saran pada manajemen senior, negosiator, dan administrator tidak terlalu mencolok. Sementara untuk pemantauan dan evaluasi sama sekali tidak dilakukan.
2
Tim redaksi majalah internal Fokus adalah bidang komunikasi korporat PT PLN Persero. Majalah Fokus ini disebarkan ke kantor-kantor PLN di seluruh Indonesia.
4
Deskripsi peran manajerial ini kemudian dianalisis dengan konsep Excellence PR. Untuk tesis ini digunakan konsep Excellence PR yang sudah dimodifikasi oleh Holthauzen (2006), untuk mengetahui ada di level mana (level mikro, level meso, atau level makro) peran manajerial yang dilakukan oleh bidang komunikasi korporat PT PLN Persero. Analisis juga menggunakan faktor-faktor yang mempengaruhi peran manajerial PR (DeSanto, 2012). Dari hasil analisis, bidang komunikasi korporat PT PLN Persero melaksanakan peran manajerial PR di level mikro dan meso. Sementara faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan peran manajerial PR bidang komunikasi korporat PT PLN Persero adalah cara pandang perusahaan terhadap peran dan fungsi PR, pengakuan formal dari perusahaan, jumlah personel bidang komunikasi korporat, serta tumpang tindih kewenangan dengan bidang/departemen lain dalam perusahaan.
1.2. Rumusan Masalah Bagaimana peran manajerial bidang komunikasi korporat PT PLN Persero dalam penyusunan kebijakan “Etika Berkomunikasi Melalui Media Sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)”?
1.3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui peran manajerial bidang komunikasi korporat PT PLN Persero dalam penyusunan kebijakan “Etika Berkomunikasi Melalui Media Sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)”
1.4. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: a. Dapat menambah kajian ilmiah disiplin ilmu komunikasi, khususnya bidang
PR
mengenai
hubungan
antara
perkembangan
teknologi
komunikasi dan peran manajerial PR b. Memberikan masukan bagi bidang komunikasi korporat PT PLN Persero dalam menjalankan peran manajerial khususnya yang berkaitan dengan media sosial.
5
c. Memberikan masukan bagi PT PLN Persero mengenai pentingnya melibatkan
bagian
humas
dalam
pengambilan
keputusan
organisasi/perusahaan, khususnya terkait dengan penggunaan teknologi komunikasi.
1.5. Kerangka Pemikiran Perkembangan teknologi telah mempengaruhi praktek PR. Praktek PR secara garis besar dibagi dalam dua jenis yakni peran teknisi komunikasi dan peran manajerial. Dalam peran manajerial, PR ikut terlibat dalam proses pengambilan kebijakan perusahaan atau organisasi. PR tidak lagi sebagai pihak yang hanya mengkomunikasikan atau menjalankan kebijakan yang sudah diputuskan oleh manajemen perusahaan dan organisasi. Kehadiran media sosial memberikan kesempatan bagi PR untuk menjalankan peran manajerial. Salah satunya adalah sebagai pembuat kebijakan penggunaan media sosial bagi kalangan internal perusahaan atau organisasi. Peran manajerial tersebut diwujudkan dengan melakukan riset awal, berkoordinasi lintas departemen
dalam
organisasi
dalam
proses
penyusunan
peraturan,
mengkomunikasikan peraturan kepada berbagai pihak di perusahaan atau organisasi, hingga melakukan evaluasi secara rutin tentang kebijakan tersebut.
1.5.1 Komunikasi Korporat dan Public Relations Bagian ini membahas mengenai konsep-konsep mengenai komunikasi korporat dan PR. Dari data yang diberikan PLN -- selaku objek penelitian – penulis mendapatkan keterangan bahwa persoalan mengenai kebijakan media sosial diurus oleh bidang komunikasi korporat. Sementara teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah menyangkut teori-teori PR. Dalam tesis ini istilah komunikasi korporat dan PR akan digunakan berkelindan. Pada dasarnya peran PR sendiri terbagi menjadi dua yakni peran teknis dan peran manajerial. Pembagian ini didasari pada paradigma dalam mempelajari PR itu sendiri, yakni paradigma interpretif dan paradigma behavioral (Grunig, 2009). Paradigma interpretif secara umum mengasumsikan bahwa PR berusaha
6
untuk mempengaruhi interpretasi publik terhadap organisasi. Interpretasi kognitif tersebut menyangkut konsep mengenai citra, reputasi, brand, kesan (impressions) dan identitas. Praktisi yang mengikuti paradigma interpretif akan berkonsentrasi kepada kegiatan penyusunan pesan, publisitas, media relations, dan efek media. Sementara paradigma behavioral menekankan pada fungsi manajemen PR, yakni fokus kepada keterlibatan PR eksekutif dalam penyusunan kebijakan strategis organisasi, sehingga PR mampu membantu membentuk perilaku organisasi. Paradigma ini tidak lantas meminggirkan praktek-praktek tradisional PR seperti media relations dan penyebaran informasi. Namun, praktek ini memperluas jumlah dan jenis media dan aktivitas komunikasi dan menyesuaikan hal-hal tersebut dalam sebuah kerangka kerja untuk penelitian dan pertimbangan bagi kebijakan perusahaan. Konsep komunikasi korporat muncul dalam satu dekade terakhir, didasari fakta bahwa fungsi PR yang ada di lapangan kebanyakan didominasi oleh peranperan teknis (McDonald dan Hebbani, 2011), umumnya berkomunikasi dengan media massa (Cornelissen, 2011). Ketika pemangku kepentingan lain, baik itu pemangku kepentingan eksternal atau internal, mulai meminta informasi lebih dari perusahaan, maka permintaan itu tidak bisa dipenuhi jika hanya mengandalkan praktek ”public relations”. Hal tersebut yang menjadi akar bagi munculnya fungsi komunikasi korporat. Fungsi baru ini bertujuan untuk memadukan bidang-bidang yang berbeda-beda, di antaranya desain korporat, iklan korporat, komunikasi internal kepada karyawan, isu dan manajemen krisis, hubungan media, hubungan investor, komunikasi terhadap perubahan, dan urusan-urusan publik atau public affairs (Franklin, et.al., 2009; Cornelissen, 2011). Dengan kata lain, korporat komunikasi bisa dipandang sebagai fungsi manajemen yang bertanggungjawab untuk menjalankan dan mengkoordinasikan pekerjaan yang dilakukan praktisi-praktisi komunikasi dalam disiplin yang berbeda-beda. Sementara itu definisi lain mengenai komunikasi korporat adalah: “...an instrument of management by means of which all consciously used forms of internal and external communication are harmonized as effectively and efficiently
7
as possible” (Van Riel, dalam Cornelissen, 2011: 5). Pengertian tersebut menyatakan bahwa komunikasi korporat merupakan perangkat manajemen di mana bentuk-bentuk komunikasi internal dan eksternal digunakan secara berkesinambungan secara efektif dan efisien. Dari pemaparan tersebut, maka pengertian yang ada di komunikasi korporat pada dasarnya sama dengan paradigma manajerial dalam PR, yang menggambarkan PR sebagai partisipan dalam pengambilan keputusan oraganisasi, bukan sekadar mengkomunikasikan keputusan yang sudah ditetapkan oleh mereka yang duduk di jajaran manajerial.
1.5.2. Peran Manajerial Public Relations Sejumlah ahli mengaitkan fungsi manajemen sebagai bagian dari definisi PR (Putra, 1999; Putra, 2011; Yudarwati, 2011). Cutlip, et.al menyatakan PR sebagai fungsi manajemen untuk membangun dan menjaga hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi dengan publik yang menentukan kegagalan atau keberhasilan organisasi tersebut. Baskin, et.al berpandangan bahwa PR sebagai fungsi manajemen yang membantu organisasi mencapai tujuan, mendefinisikan filosofi, dan memfasilitasi perubahan dalam organisasi. Sementara Wilcox, et.al mengungkapkan PR paling efektif jika menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan sebuah organisasi. Pentingnya peran PR dalam peran manajerial menjadikan PR idealnya memiliki representasi dalam setiap tim manajemen eksekutif sehingga akibat-akibat PR terkait semua keputusan bisa dievaluasi dan direncanakan. Namun jika kondisi ideal itu tidak terwujud, PR tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya menunggu masalah tersebut mereda dan mencari kesempatan untuk memperbaiki reputasi organisasi yang telah rusak dan tercemar. Dalam kasus ini, hal tersebut sama artinya dengan kemunduran (McCusker, 2005). Bahkan PR baru bisa disebut profesional saat terlibat dalam manajemen strategis (McDonald dan Hebbani, 2011). Keterlibatan PR dalam manajemen strategis berarti PR mengembangkan program untuk berkomunikasi dengan publik-publik starategis, baik itu publik eskternal atau internal, yang terpengaruh oleh segala keputusan dan tindakan
8
organisasi dan siapa pun yang menuntut atau berhak mengungkapkan pendapatnya terkait dengan keputusan perusahaan – baik sebelum atau setelah keputusan tersebut dibuat (Grunig, 2009), terlibat dalam pembuatan keputusan organisasi dan umumnya terlibat dalam pembuatan keputusan strategis untuk mengelola perilaku organisasi (Putra, 2011). Elemen signifikan dari peran manajerial menyangkut trend indentifikasi dan manajemen respon, identifikasi dan manajemen isu dan problem, riset, perencanaan strategis, konsultan, dan menjalankan tanggung jawab korporat (McDonald dan Hebbani, 2011). Lalu apa saja yang bisa dilakukan PR dalam menjalankan peran manajerial? Menurut Moss, et.al (2004: 9) terdapat delapan peran yakni pembuat kebijakan/strategi, pemantauan dan evaluasi, manajemen isu, memberikan saran kepada manajemen di level senior, negosiator, peran teknis komunikasi, terlibat dalam menyelesaikan masalah, dan administrator. Penjelasannya adalah sebagai berikut: a. Sebagai pembuat kebijakan/strategi Moss
menyatakan peran stratrategis PR dalam organisasi adalah
membantu menyusun strategi-strategi korporat dengan memberikan informasi mengenai isu-isu apa yang ada di pemangku kepentingan kepada manajer senior (Franklin, et.al, 2009). Tujuannya adalah agar organisasi bisa beradaptasi terhadap perubahan yang timbul dari lingkungan eksternal. Sementara di tingkatan strategi kompetitif, praktisi PR membantu dengan menyusun program-program komunikasi dengan para pemangku kepentingan utama dalam rangka mengembangkan hubungan dua arah yang kuat dan saling pemahaman. b. Pemantauan dan Evaluasi Dalam pemantauan dan evaluasi, praktisi PR menjalankan tanggung jawab manajerial dengan menyusun tujuan dan sasaran program komunikasi, memantau implementasi program tersebut lewat pengukuran dan bekerja dengan manajer senior untuk menentukan target yang tepat (Moss,et.al, 2004).
9
Ada tiga elemen dalam evaluasi yakni input, output, dan outcome. Input mengukur apa yang dilakukan PR dan bagaimana pekerjaan mereka didistribusikan. Output mengukur bagaimana input digunakan seperti pemberitaan di media, sirkulasi, tingkat pembaca, dan analisis isi. Sementara pengukuran outcume mengukur efek dari komunikasi dalam tiga kategori: perubahan terhadap pemahaman, perubahan terhadap sikap dan perubahan perilaku (Franklin, et.al, 2009). c. Manajemen Isu Ada dua poin utama dalam pelaksanaan manajemen isu. Pertama adalah identifikasi awal terhadap isu yang berpotensi mempengaruhi perusahaan. Kedua merupakan respon strategis yang didesain untuk meminimalkan konsekuensi-konsekuensi yang terjadi. Sejumlah ahli memperluas definisi manajemen isu dengan memasukkan aspek: antisipasi, meneliti dan memprioritaskan isu, memperkirakan akibat dari isu tersebut terhadap organiassi, merekomendasikan kebijakan dan strategi untuk meminimalkan risiko dan memperbesar peluang bagi perusahaan, partisipasi dan implementasi strategi, dan evaluasi. Misalkan, dalam kaitannya dengan opini publik, manajemen isu berusaha untuk mengetahui trend apa yang tengah menjadi pembicaraan publik sehingga organisasi bisa merespon sebelum opini tersebut membesar menjadi ancaman yang serius (Cutlip, et.al., 2006) d. Memberikan Masukan kepada Manajemen di Level Senior Menurut Haynes (2003) masukan yang diberikan mulai dari membantu organisasi
dengan
mempublikasikan
aktifitas
organisasi
hingga
memberikan rekomendasi perubahan dalam kebijakan-kebijakan mendasar atau rencana untuk aktifitas-aktifitas yang dijalankan agar semua itu dapat semakin dekat dengan kebutuhan publik. Masukan itu misalkan mengembangkan
dan
merekomendasikan
kebijakan-kebijakan
PR,
memberikan pandangan PR dalam penyusunan kebijakan perusahaan. Peran pemberi saran ini bisa berjalan dengan baik ketika PR memiliki
10
akses kepada pihak-pihak koalisi dominan, atau pihak-pihak yang memiliki kekuatan dalam proses pengambilan keputusan. e. Negosiator Peran sebagai negosiator berkaitan dengan fungsi boundary spanning. Menurut Toth (dalam Putra, 2011) agar organisasi bisa bertahan, maka harus menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan. PR bertindak sebagai penghubung antara organisasi dengan lingkungannya. Dengan demikian praktisi PR harus mampu melakukan negosiasi antara tuntutan lingkungan di satu sisi dengan kebutuhan sebuah organisasi untuk bertahan dan berkembang di sisi lain. f. Teknisi Komunikasi Peran sebagai teknisi komunikasi memandang PR hanya menyediakan layanan teknis komunikasi untuk organisasi, sedangkan keputusan untuk teknis komunikasi yang harus dijalankan ditentukan oleh orang atau bagian lain dalam organisasi. Secara spesifik tugas teknisi komunikasi adalah menulis dan mengedit buletin internal, mengembangkan konten web organisasi, dan menjalin kontak dengan media. PR yang menjalankan peran teknis komunikasi umumnya tidak terlibat (atau tidak dilibatkan) dalam pengambilan keputusan manajemen. PR hanya mengkomunikasikan dan mengimplementasikan keputusan tersebut (Putra, 1999; Cutlip, et.al, 2006). Namun begitu ada pandangan lain yang berpendapat ketika PR menjalankan peran manajerial, bukan berarti peran teknisi komunikasi ditinggalkan (Grunig, 2009) g. Keterlibatan dalam Penyelesaian Masalah Keterlibatan PR dalam menyelesaikan masalah organisasi merupakan salah satu prinsip dalam konsep Excellence PR yang dirumuskan oleh Grunig. PR merumuskan program untuk berkomunikasi dengan publikpublik strategis – baik itu publik internal atau pun eksternal—yang terpengaruh oleh keputusan dan tindakan organisasi. Komunikasi dilakukan sebelum atau sesudah keputusan dirumuskan (Grunig, 2009). Untuk itu PR harus memiliki akses ke koalisi dominan dalam organisasi.
11
h. Administrasi Layanan administratif oleh PR mencakup akunting, penyusunan anggaran, manajemen data, penyediaan barang-barang dan perlengkapan, dan juga penyusunan rencana perjalanan (Haynes, 2003).
1.5.3.
Perkembangan
Teknologi
dan
Pengaruhnya
terhadap
Peran
Manajerial PR Teknologi informasi telah “secara dramatis mengubah” cara PR dalam distribusi informasi, berinteraksi dengan publik-publik penting, berhadapan dengan krisis, dan manajemen isu (Lindic, 2006). Saat ini, perkembangan teknologi komunikasi yang ditandai dengan lahirnya website, internet, dan media digital lainnya dipandang telah mengubah segalanya dalam PR (Grunig, 2009). Perkembangan teknologi komunikasi menuntut PR untuk mengubah cara berpikir dan menyesuaikan strategi kerja mereka: “…[T]he new media, Web 2.0, is disrupting everything…It requires a completely new way of thinking… Public relations professionals who wish to provide value to their employers and clients in the future will have to adjust their strategic perspective…” (Debrecenty, dalam Pavlik, 2008, pars. 26 )
Berbagai literatur tersebut menyebutkan bahwa kehadiran media sosial – sebagai bentuk perkembangan teknologi komunikasi -- menuntut PR untuk memiliki kemampuan dalam menggunakan piranti baru tersebut untuk berkomunikasi dengan publiknya. Lalu apakah hanya sebatas pada aspek teknis komunikasi saja? Apakah kehadiran teknologi baru tidak membuat PR bisa berperan dalam aspek manajerial? Penelitian yang dilakukan Wright (1998) menunjukkan hampir separuh dari responden menjawab ragu-ragu ketika ditanya apakah kehadiran internet mampu memperkuat pengaruh PR terhadap keputusan manajemen. Sementara pihak yang tidak setuju ada 39 persen, dan pihak yang mengatakan setuju menempati presentase yang paling kecil, yakni 31 persen. Satu dekade berselang, para ahli berpendapat kehadiran internet, media sosial, dan media baru –sebagai bentuk perkembangan teknologi—memberikan kesempatan lebih besar bagi praktisi PR untuk menjalankan fungsi manajemen
12
dalam organisasi. Grunig (2009) menilai bahwa kehadiran piranti tersebut dapat membantu PR dalam menyusun program komunikasi, memantau lingkungan, melakukan segmentasi terhadap pemangku kepentingan dan publik, serta antisipasi isu dan krisis. Keuntungan lainnya, menurut McDonald dan Hebbani (2011), adalah kemampuan piranti tersebut dalam mendukung kegiatan riset PR, riset untuk mengevaluasi program dan kampanye yang dilakukan oleh perusahaan. Ketika web membuat PR menjadi lebih penting kepada klien atau perusahaan, prestise dan kompetensi keahlian praktisi tumbuh, dan itu akan memperkuat hubungan praktisi dengan manajer dan klien. Artinya, penggunaan web memungkinkan praktisi PR memiliki peran lebih dalam hal manajerial. Pandangan serupa diungkapkan Sallot, Porter dan Acosta-Alzuru yakni internet dapat lebih memberdayakan praktisi PR dengan menyediakan kesempatan untuk memberikan peran lebih besar dalam pengambilan keputusan organisasi (McDonald dan Hebbani, 2011). Praktisi PR diharapkan tidak hanya ahli dalam mengoperasikan website, namun juga bisa menggunakan internet untuk menyebarkan informasi secara online dan langsung kepada para opinion leader dalam format yang mudah dipahami. Pemaparan di atas menjelaskan bagaimana sebaiknya media baru digunakan oleh PR agar PR bisa menjalankan fungsinya dalam manajerial organisasi. Pendapat berbeda diungkapkan Brekaenridge (2012) bahwa ada di era media sosial ini PR juga bisa berperan sebagai pembuat kebijakan, kolaborator internal dalam penggunaan media sosial, berperan menguji teknologi-teknologi PR, dan mengorganisasi komunikasi dengan media sosial. Breakenridge (2012) berpendapat PR sebagai policy maker adalah profesional yang mempelopori dan memandu pengembangan kebijakan media sosial. PR sebagai pembuat kebijakan bertanggungjawab terhadap empat hal yang berkaitan dengan bagaimana menyusun kebijakan dan mengkomunikasikan kebijakan tersebut secara efektif. Empat hal tersebut adalah: mempersiapkan perumusan dan pengembangan kebijakan, membentuk tim utama guna membantu pembuatan kebijakan, melakukan riset dan menuliskan kebijakan tersebut, dan terakhir mengkomunikasikan dan mengukur pelaksanaan kebijakan tersebut.
13
Pendapat lain diungkapkan Pavlik (2008) yang menyatakan bahwa pengaruh teknologi terhadap praktek PR bisa dilihat dari struktur organisasi, budaya organisasi, dan manajemen.
1.5.4. Kebijakan Terkait Etika Penggunaan Media Sosial Organisasi menggunakan media sosial untuk mempromosikan merek, meningkatkan penjualan, membangun repoutasi, dan meningkatkan produktivitas karyawan. Adopsi terhadap penggunaan media sosial juga disertai dengan perhatian bahwa media sosial berpotensi merugikan jika tidak digunakan atau dikelola dengan efektif. Turunnya produktivitas kerja, faktor keamanan, ancaman terhadap reputasi organisasi, adalah contoh dari potensi kerugian tersebut. Survei global terhadap manajer komuninkasi di tahun 2007 menunjukkan mayoritas dari manajer yakin media sosial bisa meningkatkan keterikatan karyawan dan kolaborasi internal. Meski media sosial menjanjikan manfaat dan kesempatan bagi organisasi, manajer tetap memperhitungkan konsekuensikonsekuensi negatif. Salah satu perhatian yang diberikan adalah partisipasi karyawan melalui blog atau jejaring sosial lain mungkin justru bisa berisiko terhadap reputasi perusahaan. Manajer menyadari bahwa kegagalan untuk mengelola media sosial bisa berdampak kepada manajemen, pelanggaran etika, hingga pelanggaran hukum (Ekachai dan Brinker, 2012). Kondisi tersebut membuat perusahaan membatasi dan memberikan ramburambu tentang penggunaan media sosial bagi karyawan. Berbagai perusahaan atau organisasi telah memiliki kebijakan penggunaan media sosial. Kantor berita Associated Press dan BBC, perusahaan minuman Coca Cola, universitas Colorado State University, Komite Olimpiade Internasional (IOC), pemerintah Uni Emirat Arab, pemerintah daerah Catalonia (Spanyol), perusahaan komputer IBM, adalah beberapa contoh di antaranya (Boudreaux, 2013; Phillips dan Young, 2009). Secara umum kebijakan berisi panduan dan batasan-batasan kepada karyawan dan memberdayakan pengguna (karyawan) dengan langkah-langkah penggunaan media sosial secara efektif dan cerdas. Dalam membentuk kebijakan media sosial, organisasi dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan kebijakan
14
yang menghormati hak-hak pribadi karyawan sekaligus menjaga nama baik organisasi (Ekachai dan Brinker, 2012). Kebijakan penggunaan media sosial yang jelas dapat membantu perusahaan dan pegawai memahami tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam berkomunikasi di media sosial. Agar kebijakan tersebut bisa diterima, maka penyusunan kebijakan sebaiknya melibatkan pihak-pihak yang akan terkena imbas dari kebijakan tersebut. Selain itu perusahaan sebaiknya mengevaluasi kebijakan tersebut secara rutin karena media sosial terus berkembang dengan cepat. Menurut Broughton, et.al: It is advisable to carry out some type of research beforehand, involve all stakeholders, including trade unions, and consult the workforce. This will make the policy stronger and more widely accepted. The joint development of a policy may also enable the parties to strike a balance between individual freedom of speech and actions that could have a negative effect on the employer. Regular review of policies is also a good idea, as the world of social networking and online media is moving at a fast pace (Broughton, et.al., 2011: 30)
Meski penggunaan media sosial dalam pekerjaan telah menjadi rutinitas, mengelola penggunaan media sosial di tempat kerja menjadi tantangan tersendiri bagi organisasi. Survei oleh Devaux tahun 2009 menunjukkan lebih dari separuh organisasi di Amerika Serikat memblokir penggunaan media sosial di tempat kerja (54 persen), sementara 19 persen lainnya membatasi penggunaan media sosial hanya untuk tujuan bisnis saja. Survei lainnya yang dilakukan ManPower tahun 2010 menunjukkan di Amerika Serikat hanya 24 persen karyawan yang perusahaannya menetapkan kebijakan penggunaan media sosial. Studi terhadap penggunaan media sosial tahun 2011 oleh firma Randstand menunjukkan separuh dari karyawan yang disurvei memiliki satu akun media sosial, dan sepertiga di antaranya mendapatkan kebijakan atau panduan penggunaan media sosial dari perusahaan tempat mereka bekerja. (Ekachai dan Brinker, 2012: 93-94). Kebijakan penggunaan media sosial menunjukkan bahwa ada “rasa tidak aman” berkaitan dengan penggunaan media sosial. Media sosial sendiri, menurut Pridmore, et.al (2013: 2) tidak bisa dengan mudah dikendalikan. Rasa tidak aman itu hadir ketika pesan-pesan yang beredar di media sosial dianggap sebagai sebuah ancaman. Rasa tidak aman itu timbul ketika komunikasi dengan
15
menggunakan new media dipandang sebagai proses proses penyusunan, penyampaian, dan penerimaan pesan yang mengandung arti dan bukan ke pemahaman komunikasi sebagai upaya saling memahami. Dengan kata lain, tindakan komunikasi ber-new media yang cenderung menekankan pada proses komunikasi lebih potensial dalam menghadirkan ancaman keamanan daripada komunikasi dengan new media yang menginginkan terjalin dan terhormatinya pemahaman bersama (Prajarto, 2011). Dengan menyadari bahwa masalah keamanan bukan terjamin dengan sendirinya, individu akan dipaksa untuk memproteksi diri atau menyiapkan perisai sedari awal saat dia mulai berkomunikasi dengan new media3 (Prajarto, 2011: 362). Salah satu bentuk proteksi diri tersebut adalah dengan adanya peraturan yang bersifat formal yang disusun dengan semangat etika. PT PLN (Persero) menggunakan kata “etika” pada Surat Edaran Direksi Nomor 015E/DIR/2012 tentang “Etika Berkomunikasi Melalui Media Sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)”, dengan tujuan agar kebijakan tersebut tidak terlalu mengikat. Pasal 2 ayat (2) kebijakan tersebut menjelaskan etika sebagai: “aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk”. Apakah etika hanya sekadar dinilai dari keterikatan peraturan tersebut terhadap apra anggota? Dari sisi akademis, menurut Chryssides dan Keller terdapat dua dua perspektif mengenai etika yakni cognitivism dan noncognitivism. Cognitivism melihat adanya kebenaran moral yang objektif. Dengan demikian dapat dibedakan secara jelas apakah suatu tindakan itu secara moral benar atau salah. Sementara non-cognitivism memandang bahwa moralitas sangat subjektif dan terakit budaya setempat. Apakah suatu moral itu benar atau salah, menurut pandangan non-cognitivism itu semua tergantung pada kepercayaan
3
Konsep media baru (new media) dan media sosial (social media) memang masih diperdebatkan, apakah keduanya hal yang sama atau berbeda. Media sosial merupakan bagian dari media baru, tetapi tidak semua bentuk media baru adalah media sosial. Media baru memungkinkan para pengguna untuk (sekadar) berbagi; media sosial memungkinkan para pengguna terlibat secara interaktif dengan memberikan komentar, respon, kritik, dan menambahkan informasi. Diskusi mengenai konsep new media dan social media ada di poin 1.5.5. tesis ini.
16
tertentu, sikap, atau opini publik (dalam Yudarwati, 2011). Dari konsep-konsep tersebut, maka etika merupakan cara melihat kebenaran moral. Yang membedakan adalah cara pandang tersebut, apakah secara objektif atau subjektif. Sementara Parsons (2008) berpendapat etika mengatur mengenai hal-hal tertentu yang harus dilakukan seseorang sebagai individu this approach to making decisions suggests that being ethical is a matter of accepting that as individual human beings we have a duty to do certain things. These 'certain things' are based on ethical principles and form the rules that you should follow.(Parsons, 2008: 36)
Etika dapat menjadi dasar bagi sebuah peraturan yang selanjutnya dirumuskan baik itu secara implisit mau pun eksplisit dalam sebuah kode tik atau aturan tata perilaku (Codes of Conduct atau Code of Behavior). Peraturan tersebut bertujuan mengantisipasi dan mencegah tindakan atau perilaku tertentu misal konflik kepentingan dan tindakan-tindakan tidak pantas lainnya. Peraturan disusun berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip universal etika, kemudian nilainilai tersebut disajikan dalam poin-poin yang terdapat dalam peraturan (Gilman, 2005). Aturan berbasis etika dengan penerapan secara konsisten terhadap prinsipprinsip etika dogmatis atau peraturan, memiliki banyak hal yang masih dapat diperdebatkan. Problem yang pertama adalah tidak akan pernah ada aturan yang cukup untuk mencakup semua hal yang dipandang sebagai dilema moralitas. Kedua adalah adanya celah-celah dalam aturan tersebut. Sedang yang ketiga adalah orang belum tentu memiliki pemahaman yang sama tentang peraturan tersebut (Parsons, 2008).
1.5.5. Media Baru dan Media Sosial Konsep mengenai media baru (new media) dan media sosial (social media) masih menimbulkan perdebatan, apakah keduanya adalah hal yang sama atau berbeda. Valentini dan Kruckberg berpendapat masih terjadi ambiguitas tidak hanya pada definisi, tetapi juga pemahaman dan penggunaan media sosial: “[A]mbiguity in the definition, understanding, and use of new and social media persists. The terms are often used interchangeably, even though each bears its own peculiarities, both semantically and in the practice.” (Valentini & Kruckberg, 2011:1)
17
Sejumlah ahli berpandangan pengertian media baru secara umum mengacu pada teknologi dan aplikasi komunikasi terbaru seperti telepon seluler, internet, teknologi streaming, jaringan nirkabel, dan layanan berbagi informasi dari World Wide Web. Media baru adalah piranti yang secara simultan terintegrasi dan bersifat interaktif serta menggunakan kode-kode digital. Itu sebabnya, integrasi, interaktivitas, dan digitalisasi merupakan syarat utama bagi sebuah media untuk bisa disebut media baru (dalam Valentini dan Kruckberg, 2011). Pendapat lain dikemukakan Dewdney & Ride (dalam James, 2007) mengemukakan bahwa istilah media baru lebih disukai untuk menggambarkan berbagai praktik media yang menggunakan teknologi digital dan komputer dengan cara-cara tertentu. Salah satu keunggulan yang perlu digarisbawahi media baru adalah sifatnya yang portable dan memudahkan mobilitas dalam berkomunikasi. Tidak jauh berbeda, Logan (2010) menggunakan istilah “media baru” dengan tanda kutip untuk menegaskan bahwa media ini merupakan media interaktif yang bersifat digital. Istilah ini secara umum akan menunjuk pada sebuah media digital yang bersifat interaktif, yang menggabungkan komunikasi dua arah, serta melibatkan beberapa bentuk sistem komputasi. Dalam literatur lain, Lievrouw dan Livingstone (2006) mengungkapkan definisi media baru dalam konteks yang lebih luas. Ketika membicarakan media baru tidak hanya sebatas pada teknologi tertentu, saluran informasi, atau konten. Membahas media baru berarti juga membahas faktor-faktor teknologi dan sosial, ekonomi dan politik. Lievrouw dan Livingstone berpandangan ada tiga komponen dalam media baru yakni alat yang digunakan untuk berkomunikasi, aktivitas dan prakek komunikasi, dan tatanan sosial atau tatanan organisasi yang berkembang di sekitar praktek ber-new media. Media baru seringkali disamakan dengan media sosial, karena keduanya dipandang sebagai bentuk kemajuan teknologi komunikasi. Sriramesh dan Vercic (2009: 74) misalnya, menggunakan konsep ICT (Information Communication Technology), media baru, dan media sosial secara bergantian. Istilah atau konsep media baru umumnya digunakan bergantian dengan multimedia, media interaktif, media sosial, dan situs jejaring sosial ketika mendiskusikan teknologi digital,
18
komunikasi, organisasi, dan publik. Namun cara penggunaan tersebut memiliki kekurangan, karena masing-masing istilah tadi sebenarnya menjelaskan hal yang berbeda-beda. Valentini dan Kruckberg menyatakan perbedaan itu misalnya terdapat pada partisipasi publik, tingkat transparansi, dan kontrol terhadap konten. Critics of the term “new media” prefer to use other terms and often use interchangeably the terms new media, multimedia, interactive media, social media, and social networking sites when they discuss digital technologies, communication, organizations, and publics. By doing so, they fail to acknowledge that these terms do not accurately describe the same phenomenon and the terms do not entail the same considerations, for example, in public participation, distribution of power among communication participants, level of transparency and truthiness, and control over contents (Valentini & Kruckeberg, 2011: 6)
Lebih lanjut Valentini dan Kruckberg (2011: 9-10) memaparkan perbedaan yang jelas antara kedua piranti tersebut dengan menyoroti pada cara penggunaan kedua media tersebut. Kata kuncinya adalah pada partisipasi dan interaktifitas. Media baru memungkinkan publik untuk mengatur sendiri cara pencarian dan penyebaran informasi. Media baru secara simultan dapat menyediakan layanan publikasi suara, gambar, dan teks. Pengguna media baru juga dapat memposting komentar, misal melalui blog dan artikel berita digital. Namun begitu konten yang dipublikasikan di media baru tetap bisa eksis meski tak ada interaksi sosial. Sebuah blog tetap bisa ada dan menghadirkan ide, opini, posisi terhadap isu, menampilkan figur tertentu, institusi, dan konten lain meski tidak ada follower yang memposting komentar dan mendiskusikan topik yang ditampilkan bloger. Ini berarti media baru, meski dapat menciptakan bentuk berbeda dan tipe komunikasi yang baru, namun tidak harus selalu bersifat dialogis. Kontras dengan media baru, media sosial bersifat interaktif dan memerlukan partisipasi orang lain. Di media sosial fokusnya adalah pada komunitas dan komunitas disusun berdasarkan ketertarikan, ide-ide, atau semangan yang sama, atau di antara orang-orang yang memiliki cara pandang yang sama. Tanpa percakapan, interaksi, dan kolaborasi, media sosial kehilangan fungsinya untuk bersifat sosial. Media sosial ada karena individu memiliki kesempatan untuk menciptakan hubungan sosial dengan orang lain dengan membangun dan berinteraksi di komunitasi virtual; individu tidak sekadar ingin menerima pesan dari organisasi dan informasi produk. Media sosial mensyaratkan tingkatan
19
tertentu pada tingkat interaktifitas, partisipasi, dan keterikatan (engagement) oleh pihak-pihak yang berbeda. Menurut Lee dan Lee (dalam Valentini dan Kruckberg, 2011) media sosial merupakan bentuk sosial dari media digital. Sementara Pridmore, et.al. (2013) berpendapat media sosial merupakan salah satu bentuk dari media baru, namun tidak semua media baru adalah media sosial. Perbedaan antara media baru dan media sosial memang ada, tetapi tidak selalu drastis, bahkan dalam beberapa situasi terkesan tidak jelas. Media baru memungkinkan pengguna untuk (sekadar--penekanan dari penulis) berbagi, perkembangan media sosial dan komponen interaktivitas telah membuka peluang para pengguna untuk memberi komentar, merespon, berbagi, mengkritik, dan bahkan mengubah dan menambahkan informasi dalam skala yang luas. Inti dari media sosial dadalah interaktif, fokus pada hubungan sosial, dan didesain dengan cara pandang hubungan sosial. Website dan blog, misalnya. Keduanya adalah bentuk dari media baru. Tetapi website bukanlah media sosial karena hanya memungkinkan
untuk
mengirim
informasi,
tanpa
adanya
fitur
yang
memungkinkan merespon. Sementara dalam blog, siapa pun bisa memberikan komentar dan berbagi.
1.6. Metodologi Penelitian 1.6.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Salah satu fungsi dari metode kualitatif adalah meneliti sesuatu dari segi prosesnya. Pemilihan metode penelitian ini disesuaikan dengan metode kualitatif yang sifatnya interpretatif (Moleong, 2005).
1.6.2. Metode Penelitian Studi kasus adalah teknik riset kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini. Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi, suatu program, atau suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti. Metode yang sering digunakan: wawancara, 20
pengamatan, penelaahan dokumen, hasil survei,dan data apa pun untuk menguraikan suatu kasus secara terinci. Dalam studi kasus, metode terpenting tetap saja bersifat kualitatif, misalnya pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti. Meskipun data statistik juga digunakan data tersebut sifatnya tidak lebih sebagai pelengkap (Mulyana, 2003: 204). Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal. Studi kasus tunggal memberikan peneliti kemungkinan untuk melakukan eksplorasi secara spesifik tentang kejadian tertentu (atau beberapa peristiwa) dari sebuah fenomena. Fokus adalah pada sejumlah kecil kejadian yang diamati secara mendalam dalam satu rentang waktu (Daymon dan Holloway,. 2002). Studi kasus tunggal, menurut Barzelay, bertujuan menganalisis bagaimana orang-orang membingkai dan menyelesaikan masalah. Masalah yang diteliti adalah masalah dalam versi pemahaman subyek sendiri. Penyelesaian masalah juga menggunakan cara berpikir subyek yang diteliti. Untuk memahami permasalahan dan bagaimana subjek menyelesaikan masalah inilah diperlukan informasi yang kaya dan analisis yang mendalam (Endah 2011: 206). Studi kasus dipilih karena metode ini mampu menggali masalah secara lebih mendalam di dalam kasus dan mampu dianalisis dengan lebih baik sehinga diperoleh kesimpulan yang lebih baik. Selain itu studi kasus sesuai untuk menjawab pertanyaan bagaimana peran manajerial PR yang dilakukan bidang komunikasi korporat PT PLN Persero berkaitan dengan penyusunan kebijakan “Etika Berkomunikasi Melalui Media sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)”
1.6.3. Lokasi Penelitian Objek penelitian tesis ini adalah bidang komunikasi korporat di kantor pusat PT PLN Persero yang beralamatkan di Jl. Trunojoyo, Blok M, I/135, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sebagai sumber untuk data primer. Untuk data sekunder penulis mengedarkan kuesioner terhadap karyawan di lingkungan kantor pusat PLN dan kantor Area Pelayanan Jaringan PLN Yogyakarta. Penulis juga mewawancarai humas di kantor APJ PLN Yogyakarta.
21
1.6.4. Fokus Penelitian Penelitian ini fokus pada peran manajerial PR bidang komunikasi korporat PT PLN Persero berkaitan dengan penyusunan Surat Edaran Direksi Nomor 015E/DIR/2012 tentang “Etika Berkomunikasi Melalui Media sosial dan Media Digital di Lingkungan PT PLN (Persero)”.
1.6.5. Teknik Pengumpulan Data Penelitian menggunakan teknik wawancara, observasi, dan studi dokumen untuk mengumpulkan data. Yang termasuk dalam kategori dokumen adalah (1) surat, memo, e-mail korespondensi; (2) agenda, pengumuman dan notula rapat dan laporan tertulis acara; (3) dokumen administratif seperti proposal, progress reports dan rekaman internal; (4) penelitian atau evaluasi lain dengan kasus yang sama; (5) kliping berita dan artikel dari media massa dan media komunitas. Dokumentasi penting bagi penelitian karena (1) membantu peneliti dalam verifikasi ejaan, nama, gelar, organisasi, yang kemungkinan disebutkan dalam wawancara; (2) memberikan data yang spesifik dan detil, terutama jika terjadi pertentangan antar sumber, dan (3) dokumentasi dapat ditarik menjadi kesimpulan (Endah, 2011: 222-223). Sumber berikutnya yakni wawancara. Teknik pengumpulan data dengan melakukan wawancara secara intensif. Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling, yakni pemilihan sample (informan) berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap memiliki hubungan dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini, tipe dari purposive sampling yang digunakan untuk menentukan informan adalah snow-ball sampling. Mulyana (2007) mengatakan bahwa snow-ball sampling adalah menemukan informan yangs selanjutnya dari orang tersebut muncul sejumlah nama yang kiranya relevan untuk diwawancarai. Pemilihan ini berhenti ketika data dtelah menjadi jenuh, yang berarti tidak lagi menemukan aspek baru dari fenomena yang diteliti. Informan
22
awal dari penelitian ini adalah manajer senior komunikasi korporat PT PLN Persero, Bambang Dwiyanto. Sumber data berikutnya adalah observasi atau partisipasi. Contoh observasi langsung adalah peneliti mengunjungi institusi untuk merasakan iklim organisasi, kondisi kantor seseorang juga dapat menjadi indikator posisi seseorang dalam organisasi. Observasi langsung juga dapat untuk melihat situasi lokasi secara langsung dan untuk memasuki tahap wawancara yang dilakukan di lokasi. Sementara dalam observasi partisipasi, peneliti terlibat langsung atau menjadi bagian dari responden dan berinteraksi dengan responden. Kelebihan metode ini adalah peneliti dapat lebih menangkap pesan yang “inside” dan akurat yang tidak didapatkan dari metode lain; tetapi metode ini juga berisiko bias. Observasi partisipasoris juga meng-crosscheck data-data dari sumber lain, membantu seleksi atau pemrosesan data dan akhirnya membantu penarikan kesimpulan (Endah. 2011: 224). Penelitian lapangan dilakukan selama mulai tanggal 3 Juni 2013 sampai dengan 3 Juli 2013. Selama berada di lokasi penelitian, yakni Bidang Komunikasi Korporat kantor pusat PT PLN Persero, penulis melakukan wawancara, observasi, dan studi dokumen. Sebelum menjalani penelitian di lapangan, penulis melakukan pra-penelitian sejak September 2012 hingga Januari 2013, untuk mendapatkan informasi awal. Wawancara untuk pra-penelitian tersebut menggunakan surat elektronik, dengan menghubungi Bapak Bambang Dwiyanto, Bapak Dermawan Amir Uloli dan Ibu Anita
Widyastuti.
Ada
pun
[email protected],
alamat
email
yang
dihubungi
[email protected],
adalah: dan
[email protected]. Dalam penelitian lapangan, penulis mewawancarai lima orang narasumber, empat berasal dari bidang komunikasi korporat sementara satu orang berasal dari departemen sumber daya manusia (SDM) PT PLN Persero. Berikut adalah nama serta jabatan narasumber yang diwawancarai: -
Bambang Dwiyanto (manajer senior bidang Komunikasi Korporat PT PLN Persero)
23
-
Ida
Wardani
(deputi
manajer
sub-bidang
Strategik
Komunikasi,
Komunikasi Korporat PT PLN Persero) -
Dermawan Amir Uloli (staf Public Relations Komunikasi Korporat PT PLN Persero)
-
Anita Widyastuti (staf Hubungan Internal pada Sekretaris Perusahaan PT PLN Persero)
-
Ahmad Fauzy (divisi Pengembangan Sistem SDM PT PLN Persero – per 1 Mei 2013 sudah mutasi ke anak perusahaan PLN, PT Halleyora Power)
Pertanyaan pokok wawancara adalah proses penyusunan kebijakan penggunaan media sosial di lingkungan internal. Empat narasumber terlibat dalam penyusunan kebijakan penggunaan media sosial. Sedang satu narasumber (Ida Wardani) tidak terlibat. Penulis mewawancarai Ibu Ida untuk mendapatkan informasi mengenai tugas sub bidang strategi komunikasi. Di samping pertanyaan-pertanyaan pokok, penulis juga menanyakan hal-hal terkait tugas dan tanggungjawab bidang komunikasi korporat di PT PLN Persero (secara umum, di luar yang berkaitan dengan penyusunan kebijakan media sosial), serta keterlibatan bidang komunikasi korporat dalam urusan manajemen perusahaan. Selain wawancara, penulis melakukan observasi terhadap aktivitas seharihari bidang komunikasi korporat. Observasi bertujuan untuk melihat sejauh mana mereka menjalankan peran manajerial dalam organisasi. Penulis juga melakukan studi dokumen yang terkait dengan struktur organisasi, peraturan-peraturan terkait komunikasi perusahaan, dan sosialisasi terkait peraturan penggunaan media sosial. Sementara dokumen notulensi penyusunan aturan kebijakan tersebut tidak bisa diaksses secara umum. Sebagai data sekunder, penulis melakukan survei tentang pemahaman kalangan pegawai PLN terhadap peraturan penggunaan media sosial. Kuesioner disebarkan di dua tempat yakni kantor pusat PLN dan PLN Area Yogyakarta. Dalam penyebaran kuesioner di kantor pusat, penulis dibantu oleh Bapak Sofwan Saepul Imam dari Divisi Pengembangan dan Talenta SDM. Sesuai permintaan pihak PLN, kuesioner berbentuk kuesioner online (Google Docs). Persebaran dilakukan melalui surat elektronik terhadap 250 alamat email pegawai kantor
24
pusat. Kuesioner ini dikirimkan sebanyak empat kali mulai 17 Juni 2013 hingga 28 Juli 2013. Sampai dengan 30 Agustus 2013, respon yang masuk adalah 33 . Sementara di PLN Area Yogyakarta, penulis menyebarkan kuesioner dalam bentuk tercetak sebanyak 100 lembar. Teknis penyebaran tersebut adalah penulis menitipkan kepada Ibu Rahma dari bagian SDM PLN Area Yogyakarta, pada tanggal 10 Juli 2013. Hingga 30 Agustus 2013. kuesioner yang kembali adalah sebanyak 24. Hasil dari kuesioner ini untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan proses pengkomunikasian kebijakan penggunaan media sosial. Selain itu penulis juga mewawancarai bagian hubungan masyarakat (humas) PLN Area Yogyakarta, Bapak Kardiman Paulus. Wawancara bertujuan memperoleh informasi mengenai pengkomunikasian kebijakan dari PLN kantor pusat ke unit-unit di daerah.
1.6.6. Analisis Data Analisis data digunakan sebagai upaya untuk menjawab dan menjelaskan fenomena atau permasalahan yang sedang diteliti. Bentuk analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah penjodohan pola. Penjodohan pola membandingkan pola yang didasarkan atas empiri dengan pola yang diprediksi. Ada pun komponen analisis data adalah: a. Reduksi data Data yang diperoleh di lokasi penelitian (data lapangan) akan dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci setelah direduksi dan dirangkum, untuk kemudian dipilih mana data pokok yang terfokus pada hal-hal penting terkait dengan tema penelitian. Reduksi data berarti bahwa kesemua potensi yang dimiliki oleh data disederhanakan dalam sebuah mekanisme b. Penyajian data Data yang telah direduksi disajikan secara sistematis untuk memudahkan peneliti daam melihat dan memahami gambaran hasil penelitian secara keseluruhan dengan logika runtut sesuai dengan alur logika dalam desain
25
penelitian ini. Penyajian data yang lebih terfokus meliputi ringkasan terstruktur, deskripsi singkat, gambar, matriks dengan teks c. Verifikasi (penarikan kesimpulan) Proses ini dilakukan dengan melibatkan kegiatan verifikasi terus menerus selama penelitian berlangsung yakni sejak awal datang ke lokasi penelitian, selama pengumpulan data, dan selama proses penyusunan hasil penelitian. Data-data studi kasus yang diperoleh melalui berbagai sumber kemudian dihubungkan, dipilih, direduksi, dikonfirmasikan untuk menemukan validitas data. Analisis data dilakukan dengan mengamati, mengkategorikan,menyusun, dan menggabungkan data-data yang telah dikumpulkan. Untuk penelitian ini, digunakan strategi analisis relying on theoretical proposition. Pada strategi ini, mula-mula peneliti mempelajari teori atas situasi ideal, kemudian dengan menggunakan teori-teori tersebut peneliti memotret dan menganalisis fenomena. Fungsi dari teori adalah membentuk proposisi-proposisi yang selanjutnya menjadi pisau analisis fenomena yang diteliti (Endah, 2011: 225). Hasil penelitian dipaparkan dalam aktivitas peran manajerial yakni peran PR sebagai pembuat kebijakan, pemantauan dan evaluasi kebijakan, manajemen isu, memberikan saran ke level manajemen senior, negosiator, fungsi teknis komunikasi, dan administratif. Dari hasil wawancara dan pengamatan, peran manajerial yang dilakukan oleh komunikasi korporat PT PLN Persero dikelompokkan dalam kategori berikut, yakni sebagai pembuat kebijakan, manajemen isu, fungsi teknis komunikasi, keterlibatan dalam penyelesaian masalah dan memberikan masukan kepada jajaran manajemen, pemantauan dan evaluasi kebijakan, negosiator dan administratif. Kemudian temuan tersebut dibahas menggunakan teori peran manajerial PR, Excellence PR, dan hal-hal yang mempengaruhi peran PR dalam sebuah organisasi (DeSanto 2012; Dozier dan Broom, 2006; Grunig, 2001; Grunig 2006; Grunig 2009; Holthauzen, 2006; Moss dan DeSanto, 2003; Moss, et.al., 2004)
26
1.6.7. Pengujian Keabsahan Hasil Penelitian Penelitian kualitatif menghadapi persoalan penting terkait pengujian keabsahan hasil penelitian. Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya krena beberapa hal: (1) subjektivitas peneliti merupakan hal dominan dalam penelitian kualitatif, (2) alat penelitian adalah wawancara dan observasi mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan tanpa control, (3) sumber data kualitatif akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian (Bungin, 2008: 253-254). Salah satu cara paling penting dalam uji keabsahan hasil penelitian hádala melakukan triangulasi peneliti, metode, teori, dan sumber data (Bungin, 2008: 256-258). Pelaksanaan teknis dari langkah pengujian keabsahan penelitian ini akan memanfaatkan sumber data, metode, dan teori. Triangulasi dengan sumber data dilakukan dengan beberapa langkah yakni: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara, (2) membandingkan hasil wawancara dengan isi statu dokumen yang berkaitan. Hasil dari perbandingan-perbandingan yang diharapkan adalah berupa kesamaan atau alasan-alasan terjadinya perbedaan. Triangulasi sumber data juga memberi kesempatan untuk dilakukannya hal-hal sebagai berikut: penilaian hasil penelitian dilakukan oleh responden, (2) mengoreksi kekeliruan oleh sumber data, (3) menyediakan tambahan informasi secara sukarela, (4) menilai kecukupan menyeluruh data yang dikumpulkan, (4) membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu. Triangulasi dengan metode dilakukan untuk memeriksa terhadap penggunaan metode pengumpulan data, apakah informasi yang didapat dengan metode wawancara sama dengan metode observasi, atau apakah hasil observasi sesuai dengan informasi yang diberikan ketika wawancara. Begitu pula teknik ini dilakukan untuk menguji sumber data, apakah sumber data ketika diwawancara dan diobservasi akan memberikan informasi yang sama atau berbeda. Apabila berbeda, maka peneliti harus dapat menjelaskan perbedaan itu, tujuannya adalah untuk mencari kesamaan data dengan metode yang berbeda.
27
Triangulasi dengan teori dilakukan dengan menguraikan pola, hubungan, dan menyertakan penjelasan yabng muncul dari analisis untuk mencari tema atau penjelasan pembanding. Menurut sejumlah ahli, triangulasi didasari anggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori. Di sisi lain, ada pula sejumlah pakar yang menilai bahwa hal tersebut bisa dilaksanakan dan hal tersebut dinamakan penjelasan banding (Bungin, 2008: 257). Keabsahan
data
hasil
penelitian
juga
dapat
dilakukan
dengan
memperbanyak referensi yang dapat menguji dan mengoreksi hasil penelitian yang telah dilakukan, baik referensi yang berasal dari orang lain maupun referensi yang diperoleh selama penelitian seperti gambar video di lapangan, rekaman wawancara, mau pun catatan-catatan harian di lapangan.
1.7. Limitasi Penelitian Hasil dari penelitian ini bisa mengkonstruksi bagaimana departemen komunikasi korporat di PT PLN bertindak sebagai fungsi manajerial organisasi/perusahaan. Namun begitu karena hanya dilakukan di satu instansi saja, maka tidak bisa dilakukan generalisasi terhadap hasil penelitian. Keterbatasan kedua adalah penelitian ini fokus kepada peran manajerial PR dalam hal perumusan kebijakan komunikasi perusahaan saja, padahal peran manajerial PR tidak hanya terbatas pada perumusan kebijakan. Sedangkan yang ketiga penelitian ini fokus dalam pemanfaatan media sosial untuk peran manajerial PR.
28