BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Produk pembiayaan dengan sistem bagi hasil seolah-olah tidak berdaya untuk
menjadi pendamping operasional perbankan syariah. Sehingga pembiayaan dengan
sistem jual beli menjadi pengganti sebagai produk inti dari beroperasinya bank syariah, seperti murabahah, salam dan istishna. Tercatat dalam data statistik Bank Indonesia bulan Maret tahun 2008, pembiayaan murabahah masih tetap menjadi unggulan perbankan syariah. Meskipun sudah mulai mengalami penurunan tiap bulannya. Persentase pembiayaan jual beli dengan akad murabahah masih dominan, bulan maret mencapai 57,30 persen dan untuk piutang salam sebesar 1,23 persen. Fenomena dari dominasi pembiayaan murabahah sebenarnya tidak hanya terjadi pada perbankan syari’ah di Indonesia saja, umum terjadi pada keseluruhan bank syari’ah di dunia. Sejak awal tahun 1984 pembiayaan dengan
model
murabahah di Pakistan mencapai sekitar 87 persen dari total pembiayaan dalam investasi deposito profit and loss sharing. Di Dubai Islamic Bank, bank terawal disektor swasta, pembiayaan murabahah mencapai 82 persen dari total pembiayaan selama tahun 1989. Bahkan di Islamic Development Bank (IDB), selama kurang lebih 10 tahun periode pembiayaan 73 persen dari seluruh pembiayaan adalah akad murabahah, yaitu dalam bentuk pembiayaan dagang luar negri Ada sejumlah alasan kenapa murabahah begitu populer dalam operasi investasi perbankan syari’ah. Menurut Usmani (2003), pertama, murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek, dan dibandingkan dengan profit and loss sharing cukup memudahkan; kedua, mark-up dalam murabahah dapat ditetapkan 1
demikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bankbank Islam; ketiga, murabahah menjauhkan dari ketidakpastian yang ada pada
pendapatan bisnis-bisnis dengan sistem profit and loss sharing; keempat, murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen bisnis, karena bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hutang-piutang dagang. hubungan
Secara nasional, Perbankan Syariah di Indonesia saat ini menggunakan akad
Murabahah sebagai salah satu produk utama pembiayaannya. Hal ini dikarenakan oleh sistem dan teknik penghitungannya yang lebih mudah dicerna baik oleh nasabah maupun oleh pihak bank, sehingga aspek kejelasan lebih mengedepan. Melalui Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah, Dewan Syariah Nasional telah memberikan ijin operasional sesuai syariah terhadap produk pembiayaan murabahah. Dengan spirit Surat Al-Baqarah ayat 275 yang menyatakan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, serta beberapa ayat lainnya yang terdapat dalam Al-Quran, Murabahah ini di daulat menjadi kunci dari seluruh kebutuhan nasabah akan produk pembiayaan syariah. Murabahah merupakan pembiayaan yang memposisikan nasabah sebagai pembeli dan bank sebagai penjual, dan operasional murabahah ini murni menggunakan rukun dan syarat jual beli, dimana terdapat beberapa hal yang harus ada dalam transaksi jual beli tersebut. Harus ada penjual, pembeli, objek yang diperjual belikan, ada ijab dan qabul serta ada akad yang menyertai perjanjian jual beli ini. Seperti contoh, jika nasabah membutuhkan pembiayaan untuk membeli bahan bangunan guna merenovasi rumahnya, nasabah akan mengajukan daftar pembelian
2
barang yang berisikan kebutuhan-kebutuhan material bangunan yang akan dimanfaatkan oleh nasabah. Secara konsep, Bank Syariah akan membelikan barang barang yang dimintakan oleh nasabah tersebut, yang kemudian akan di jual kembali
kepada nasabah dengan menambahkan keuntungan/margin bank. Sehingga dalam transaksinya akan ada harga beli (harga pokok pembelian barang), ada margin (keuntungan yang diambil oleh bank), serta ada harga jual (harga pokok ditambah dengan margin keuntungan).
Produk murabahah ini biasa digunakan untuk pembiayaan untuk property,
pembelian kendaraan, pembelian kebutuhan konsumtif, pembelian kebutuhan barang dagangan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Akan tetapi akan ada beberapa permasalahan yang muncul seperti, disaat nasabah memiliki langganan dan juga tempat pembelian barang yang lebih murah dibandingkan dengan toko dimana bank akan membeli barang. Untuk memfasilitasi keinginan nasabah tersebut, bank memberikan kewenangan kepada nasabah untuk melakukan jual beli terhadap barang kebutuhan nasabah dengan melakukan perjanjian wakalah (perwakilan). Pada akhirnya nasabah harus menyerahkan kwitansi pembelian barang-barang tersebut sebagai bukti bahwa murabahah yang telah ditandatangani akadnya bisa berjalan sesuai dengan prosedurnya. Setelah kwitansi diterima oleh bank, barulah murabahah bisa dijalankan sebagaimana persyaratan pembiayaan murabahah. Pergeseran posisi utama atas pembiayaan dengan basis bagi hasil yang ada pada akad mudharabah dan musyarakah digantikan oleh pembiayaan dengan basis jual beli, berdasarkan laporan data dari Bank Indonesia, setidaknya ada tiga faktor yang menjadi sebab atas rendahnya pembiayaan berbasis bagi hasil, yaitu: pertama: risiko investasi relatif tinggi karena sulitnya memonitor kegiatan investasi, kedua: masalah principal-agent, dimana agen (mudharib) tidak selalu bertindak sesuai 3
dengan kepentingan principal-agent, dimana agen (mudharib) tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal (shahibul maal); ketiga: kompetensi sumber daya manusia perbankan syariah yang masih rendah untuk melakukan investasi pola
bagi hasil dan kelima, ketidaktersediaan informasi kinerja bisnis yang mendalam untuk setiap sektor industry yang menjadi target investasi.
Hasil penelitian Bank Indonesia menemukan bahwa masih banyak diantara
bank-bank syariah dalam menentukan tingkat margin murabahah menggunakan
perhitungan bunga secara flat. Sehingga, margin murabahah tersebut dalam
penjumlahannya akan lebih mahal daripada bunga bank konvensional, atau minimal sama dengan bunga bank konvensional. Selanjutnya untuk menentukan margin murabahah tersebut bank syariah masih memasukkan bonus giro, bagi hasil tabungan dan deposito yang merupakan Cost of Fund, akibatnya margin murabahah yang diambil oleh bank syariah akan lebih mahal atau sama dengan bunga pinjaman. Maka wajar sekiranya masyarakat umum seringkali masih mempertanyakan bank syariah. Tidak sedikit dari mereka yang menganggap bahwa bank syariah sebenarnya bank konvensional yang dapat label syariah. Jika hal ini dibiarkan terus akibatnya reputasi bank syariah akan jatuh, dan masyarakat tidak percaya lagi dengan bank syariah. Peningkatan dan penurunan laba bersih dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah keberhasilan dalam penghimpunan dan penyaluran dana melalui pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Pembiayaan yang sering diterapkan dalam perbankan syariah adalah mudharabah dan musyarakah. Maka dari itu pembiayaan dengan akad mudharabah dan musyarakah masih sangat berpeluang bagi perbankan syariah dalam meningkatkan profitabilitas pada bank syariah yang selama ini di dominasi pembiayaan murabahah.
4
Bank sebagai lembaga perantara keuangan seharusnya mampu melakukan mekasnisme kredit ataupun pembiayaan secara optimal dan tepat sasaran. Hal ini sangat relevan sekali dengan keadaan masyarakat yang sedang dilanda krisis
ekonomi. Untuk itu perlu adanya kejelasan sistem kredit ataupun pembiayaan yang berorientasi tidak hanya meningkatkan profitabilitas tetapi juga dapat menggerakan roda perekonomian nasional.
Seiring dengan perbaikan dan reformasi nasional pasca krisis ekonomi,
muncul sistem ekonomi yang berlandaskan syariah islam. Sistem ini melahirkan
tatanan ekonomi perbankan yang berbasis syariah. Keberadaan perbankan syariah pertama kali diatur dalam UU No.17 tahun 1992 tentang perbankan dan UU No. 10 tahun 1998 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 21 Tahun 2008, yang memberikan ketegasan dan peluang yang cukup besar bagi perkembangan perbankan syariah. Kemudian, berdasarkan UU ini bank umum juga dibolehkan menjalankan dual banking system, yaitu operasi secara konvesional dan secara syariah sekaligus sepanjang operasi secara terpisah dengan membentuk cabang-cabang dan unit khusus syariah di kantor pusatnya. Operasional bank syariah yang menggunakan prinsip bagi hasil diharapkan dapat menjadi solusi bagi perbankan dan perekonomian nasional. Karakteristik bank syariah yang antara lain tidak melakukan praktik riba dan melarang transaksi yang didasarkan pada motif spekulasi membuat bank sayriah diidentikkan sebagai lembaga pembiayaan yang memiliki keterkaitan yang erat dengan sektor riil sehingga menjadi keunggulan komperatif bagi bank sayriah. Melihat prospek yang cukup cerah di masa depan, hingga akhir tahun 2007 statistik perbankan Indonesia mencatat ada tiga bank syariah yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Mega Syariah. Perkembangan perbankan syariah secara lengkap dapat dilihat pada table 1.1 berikut ini:
5
Tabel 1.1
Perkembangan Bank Syariah Indonesia
1998
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
KP/U
KP/U
KP/U
KP/U
KP/U
KP/U
KP/U
KP/U
US
US
US
US
US
US
US
US
BUS
1
2
3
3
3
3
5
6
UUS
-
8
15
19
20
25
27
25
BPRS
76
84
88
92
105
114
131
139
Indika
si
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009. Keterangan :
BUS = Bank Umum Syariah
UUS = Unit Usaha Syariah
BPRS = Bank Perkreditan Rakyat Syariah
KP/UUS = Kantor Pusat/Unit Usaha Syariah Perkembangan perbankan syariah yang signifikan sesuai dengan tabel di atas
menunjukan prospek perbankan syariah yang cukup menjanjikan. Total bank umum syariah ada 3 bank hingga akhir tahun 2007. Seiring dengan meningkatnya jumlah bank syariah beserta layanannya, pertumbuhan bank umum syariah lebih
cepat
dibandingkan bank umum konvensional. Total aset tumbuh sebesar Rp 16,5 triliun (33,2%) menjadi Rp. 66,1 triliun, DPK tumbuh Rp. 15,4 triliun (41,7%) menjadi Rp. 52,3 triliun, sementara pembiayaan tumbuh Rp. 8,7 triliun (22,7%) menjadi Rp. 46.9 triliun. Pesatnya perkembangan bank syariah beserta unit syariah dari tahun ke tahun mencerminkan tingkat kepercayaan masyarakat yang semakin baik terhadap bank syariah. Adanya kepercayaan dari masyarakat yang diikuti dengan peningkatan kinerja perbankan telah membuat perbankan syariah di kenal dan menjadi solusi 6
perbankan konvensional yang memiliki tingkat kerugian yang cukup besar. Konsep perbankan syariah berdasarkan prinsip bagi hasil dinilai lebih menguntungkan daripada bank konvensional yang masih menerapkan sistem bunga yang mana pada
bank syariah sistem bunga diharamkan. Hal ini disebabkan karena sistem bagi hasil pada bank syariah tidak terpengaruh oleh tingkat suku bunga SBI yang fluktuatif dan bersifat spekulatif sehingga kerugian akibat perubahan tingkat suku bunga akan dapat dihindarkan, sebagaimana dalam Q.S Al-Imran: 130 Allah telah berfirman :
ﻑﺍ َي ْا َيﻑﺍ )١٣٠(ﻑ ًاﺍ ُّيﺁ َيﻑ َيﺍ َي ًا ﺍ َي َّل ُن ْا ﺍ َهّللا َي ﺍﺍَي َي َّل ُن ْا ﺍ ُن ْا ِذ ُن ﻭَيﺍﺍ ﻑﺍ ﺍَّل ِذ ﻱَي ﺍ َيﺁ ُن ْا ﺍ َي ﺍ َي ْا ُن ُن ْا ﺍ ﺍ ِّرﻝ َي ﻑﺍ َي ُّي َي َي
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al-Imaran : 130) Secara teori, prinsip umum perbankan syariah bertumpu pada beberapa hal pokok, yaitu pada larangan atas bunga (interest) yang sebagai alternatifnya untuk membagi keuntungan atau kerugian yang terjadi sebagai akibat kegiatan operasional diterapkanlah sistem bagi hasil (loss and profit sharing). Hal lain yang juga penting dalam sistem ekonomi Islam secara umum dan menjadi satu pokok perhatian penting dalam kegiatan opersional bank syariah adalah perlu dihindari transaksi yang tidak transparan (gharar) dan menolak kegiatan spekulasi (maysir). Selain itu prinsip umum yang di pegang oleh bank syariah adalah tidak menyalurkan dana yang dihimpunnya untuk kegiatan yang dinilai melanggar syariah dengan kata lain diharamkan oleh syariah, seperti perjudian, membuka pabrik minuman keras, dan lain-lain. Pengelolaan perbankan syariah dengan berbagai instrument syariahnya diharapkan dapat memberikan keuntungan. Keuntungan dari proses pengelolaan melalui instrumen syariah tersebut diharapkan bisa meningkatkan profitabilitas bank syariah. Dengan profitabilitas yang tinggi, maka bank akan senantiasa terus 7
beroperasi dan berkembang menjawab tantangan zaman. Kuswadi (2005: 72) mengungkapkan bahwa “Profitabilitas bank dapat diukur melalui rasio profitabilitas yang meliputi net profit margin, gross profit margin, return on investement, asset
turn over, return on asset, dan return on equity”. Rasio yang sering dijadiakan indikator tingkat keberhasilan bank selain ROA
adalah rasio ROE. Seluruh bank hampir pasti menggunakan ROE dalam mengontrol
kinerjanya. Hessel Nogi (2003: 157) manyatakan bahwa “ROE menunjukan
kemampuan modal sendiri dalam menghasilkan keuntungan yang tersedia bagi
pemegang saham”. Dengan mengamati perkembangan ROE bank dari tahun ke tahun, maka para pemegang saham bisa mengontrol perkembangan bank sehingga prospek dan perkiraan return yang akan diterima bisa diprediksi. Hal yang sama juga diungkapkan Muhammad (2005: 245), “ROE dinilai lebih penting karena merefleksikan kepentingan para pemilik”. Dan lebih lanjut di jelaskan oleh Rico dan Rudy
(2003:
28)
mengungkapkan
bahwa
“ROE
dihitung
dengan
cara
membandingkan laba bersih (net income) dengan rata-rata modal (equity)”. Peningkatan dan penurunan laba bersih dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah keberhasilan dalam penghimpunan dan penyaluran dana melalui pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Pembiayaan yang sering diterapkan dalam perbankan syariah adalah mudharabah dan musyarakah. Semua pembiayaan mudharabah dan musyarakah
yang telah tersalurkan
selain menghasilkan keuntungan juga berpotensi menimbulkan risiko jika pengembaliannya tidak sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan, seperti adanya pembiayaan bermasalah (non performing financing) (rico dan Rudy, 2003: 113). Pembiayaan musyarakah dan mudharabah merupakan salah satu kegiatan bank syariah yakni menyalurkan dana dalam bentuk kredit yang disalurkan sebagai asset dan penghasilan bagi bank syariah. Oleh karna itu pengelolaan pembiayaan ini harus
8
ditangani dengan sangat baik. Hal ini untuk menghindari kerugian karena kualitas pembiayaan yang sangat memburuk Adapun kriteria tingkat kesehatan NPF yang di tetepkan oleh Bank Indonesia adalah
sebagai berikut:
Tabel 1.2
Tingkat Kesehatan NPF
Peringkat
Nilai NPF
Predikat
1
NPF < 2%
Sangat Baik
2
2% ≤ NPF < 5%
Baik
3
5% ≤ NPF <8%
Cukup Baik
4
8% ≤ NPF <12%
Kurang Baik
5
NPF ≥ 12%
Tidak Baik
Sumber: SE BI No.9/24/DPbs tangggal 30 Oktober 2007 Pertumbuhan pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah yang cukup tinggi dalam kondisi sektor rill yang belum kondusif, berdampak pada meningkatnya jumlah pembiayaan bermasalah (non performing financing). Idealnya rasio NPF suatu bank tidak lebih dari 5%. Semakin kecil rasio semakin baik (Suhardjono, 2003: 93).
9
Tabel 1.3
Non Performing Financing (NPF) tahun 2009
(Dalam Persen)
NAMA BANK
NPF GROSS
PT BANK MUAMALAT INDONESIA
8,86
PT BANK SYARIAH BRI (B, DJASA ARTA)
4,01
PT BANK SYARIAH MANIDRI.Tbk
5,87
PT BANK SYARIAH MEGA INDONESIA
1,6
PT BANK SYARIAH BUKOPIN
3,14
Sumber : BI Laporan Pengawasan Perbankan (LPP) 2009, data diolah. Pembiayaan yang disalurkan tidak semuanya tergolong lancar, tetapi juga bisa menjadi bermasalah. Pembiayaan Mudharabah dan Musyarakah yang tergolong bermasalah (NPF) yaitu bila kolektibilitasnya termasuk ke dalam kategori kurang lancar, diragukan, dan macet (PSAK No. 31). Non performing financing muncul manakala nasabah tidak dapat mengembalikan pinjaman sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dilihat dari LPP BI tahun 2009, masih ada non performing financing yang melebihi dari 5% seperti PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Bank Syariah Mandiri yang masing-masing mempunyai non performing financing sebesar 8,86 % dan 5,87%. Pada dasarnya, kepercayaan masyarakat bergantung pada kinerja bank dalam mengelola dana (capability), integritas, dan kredibilitas manajemen bank (Gustian, 2008: 7). Selain itu hal lain yang mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank yakni dinilai berdasarkan tinggkat kesehatan bank yang meliputi permodalan, kualitas asset, manajemen likuiditas, profitabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan bank.
10
Salah satu indikator utama yang digunakan dalam menentukan tingkat kesehatan bank yaitu berdasarkan pembiayaan. Hal ini disebabkan karena pembiayaan merupakan asset terbesar dan sumber pendapatan tertinggi yang di miliki
oleh bank. Kegiatan bisnis yang dilakukan bank umum dapat dikatakan berhasil apabila tercapainya sasaran bisnis yang diterbitkan. Walaupun sasaran masing-masing bank
berbeda, pada umumnya adalah untuk mendapatkan kauntungan yang maksimal. Hal
ini diperlukan oleh bank guna menarik minat masyarakat sebagai pemilik dana untuk
menyimpan uangnya pada bank atau menginvestasikannya melalui penyertaan modal. Disamping itu, keuntungan diperlukan dalam mendanai perluasan usaha, membiayai usaha peningkatan mutu jasa bank kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Berdasarkan penjelasan yang telah di paparkan di atas dan berdasarkan data keuangan serta kondisi non performing financing (NPF) yang terjadi di PT Bank Muamalat Indonesia yang dijadikan tempat penelitian, penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh, memahami, menganalisis dan menguji seberapa besar non performing financing (NPF)Mudharabah dan Musyarakah mempengaruhi tingkat profitabilitas yang di ukur dengan tingkat return on equity (ROE). Dengan demikian judul penelitian yang penulis kemukakan dalam penelitian ini adalah “Pengaruh NPF Pembiayaan Mudharabah dan NPF Pembiayaan Musyarakah, Terhadap Tingkat Profitabilitas pada PT. Bank Muamalat Indonesia Periode 2008-2011 .
11
1.2 Rumusan Masalah dan Batasan Masalah 1.2.1 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah-
masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengukuran NPF pembiayaan Mudharabah dan NPF pembiayaan Musyarakah pada PT. Bank Muamalat Indonesia,Tbk
2. Bagaimana perkembangan non performing financing (NPF) Mudharabah dan
Musyarakah pada PT. Bank Muamalat Indonesia,Tbk 3. Bagaimana perkembangan tingkat profitabilitas pada PT. Bank Muamalat Indonesia periode 2008-2011. 4. Seberapa besar pengaruh non performing financing (NPF) Mudharabah dan Musyarakah terhadap tingkat profitabilitas pada PT. Bank Muamalat Indonesia 1.2.2 Batasan Masalah Untuk menghindari terlalu luasnya penelitian yang dilakukan, maka penulis memfokuskan dan membatasi permasalahan yaitu sebagai berkut: 1. Indikator tingkat resiko pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang digunakan adalah non performing financing(NPF) 2. Ukuran kinerja bank yang digunakan dalam penelitian ini adalah Return on Equity (ROE) yang menunjukkan rasio profitabilitas. 3. Penelitian ini dilakukan pada PT. Bank Syariah Muamalat Indonesia. 4. Data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari Bank Indonesia dan Biro Pusat Statistik, serta data triwulan laporan keuangan PT. Bank Syariah Muamalat periode 2008-2011. 12
1.3 Maksud Penelitian
Maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh data, mengolah
data, mempelajari, menganalisis, dan kemudian menarik kesimpulan untuk
memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh NPF pembiayaan mudharabah dan
NPF pembiayaan musyarakah non performing financing (NPF) musyarakah terhadap tingkat profotabolitas yang di ukur dengan return on equity (ROE).
1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak di capai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengukuran NPF pembiayaan Mudharabah dan NPF pembiayaan Musyarakah pada PT. Bank Muamalat Indonesia,Tbk 2. Untuk
mengetahui
perkembangan
non
performing
financing
(NPF)
Mudharabah dan Musyarakah pada PT. Bank Muamalat Indonesia,Tbk 3. Untuk mengetahui perkembangan tingkat profitabilitas pada PT. Bank Muamalat Indonesia periode 2008-2011 4. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh non performing financing (NPF) Mudharabah dan Musyarakah terhadap tingkat profitabilitas pada PT. Bank Muamalat Indonesia 1.5 Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat manambah wawasan dan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya tentang perbankan syariah serta dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan perbankan syariah terutama tentang non performing financing (NPF) mudharabah dan musyarakah. 13
Bagi Penulis
Bagi penulis pribadi, penelitian ini sebagai salah satu syarat mendapat gelar sarjana sains terapan pada jurusan Akuntansi, program studi Keuangan
Syariah, dan juga menambah pengetahuan dan pengalaman penulis agar dapat
mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama mengikuti
perkuliahan di program studi Keuangan Syariah perguruan tinggi Politeknik Negeri Bandung.
Dapat menambah ilmu tentang perbankan syariah khususnya mengenai non performing financing (NPF) mudharabah dan musyarakah dan dapat
mengetahui aplikasi yang sebenarnya dari pelaksanaan manajemen keuangan perbankan syariah.
Memberikan informasi dan kontribusi yang berguna untuk pengembangan penelitian terutama
dalam hal NPF pembiayaan mudharabah dan NPF
pembiayaan musyarakah dan pengaruhnya terhadap tingkat profitabilitas pada bank dengan prinsip syariah dalam hal ini adalah PT.Bank Syariah Muamalat Indonesia,Tbk Bagi Perusahaan
Secara praktis diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan saran bagi manajemen perusahaan dalam upaya mengelola dan mengendalikan non performing financing (NPF) musyarakah dan mudharabah agar bisa meningkatkan profit dan kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Dapat dijadikan masukan untuk membantu pihak manajemen terutama untuk melihat pengaruh NPF pembiayaan mudharabah dan NPF pembiayaan musyarakah dalam meningkatkan profitabilitas dan memberitahukan posisi mereka dalam mengukur keberhasilan operasional bank.
14