BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Terbentuknya suatu daerah administrasi harus diiringi dengan perencanaan ke depan untuk mencapai tujuan pembangunan. Salah satu perencanaan daerah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Tata ruang diperlukan untuk menunjang perkembangan wilayah provinsi, kabupaten/kota, kawasan perkotaan, dan wilayah-wilayah lainnya agar pembangunan di daerah atau wilayah tersebut berjalan serasi dan berkesinambungan. Pembangunan wilayah dan kota harus berkelanjutan. Setiap kota beserta para penghuninya yang terdiri atas penduduk, pemerintah, swasta, dan DPRD harus bekerja sama dalam membangun kotanya untuk mencapai kota yang ideal, aman, nyaman, makmur, dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Kerjasama antarpihak dan lembaga di dalam kota perlu ada untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu masalah dalam pembangunan kota yang ada di Indonesia adalah kurangnya perencanaan yang baik. Jumlah penduduk kota yang semakin padat tidak diimbangi dengan ketersediaan infrastruktur serta sarana dan prasarana untuk masyarakatnya. Banyaknya pelanggaran aturan pembangunan juga membuat kelestarian lingkungan hidup di kota semakin berkurang. Oleh sebab itu tata ruang adalah hal yang sangat diperlukan di suatu daerah atau kota karena menjadi landasan untuk pembangunan kota yang berkelanjutan. Kota Tangerang Selatan adalah kota yang paling baru terbentuk di kawasan Jabodetabek. Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonomi baru yang memisahkan diri dari Kabupaten Tangerang dan dapat mengatur daerah pemerintahannya sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008. Dibandingkan kota-kota satelit Jakarta yang lain, pembentukan Kota Tangerang Selatan secara kenampakan fisik perkotaan lebih dahulu ada sebelum dibuat menjadi daerah administratif kota. Wilayah kota sudah dipenuhi dan didominasi 1
oleh permukiman dan perumahan serta banyak lahan yang dikuasai oleh pengembang sehingga diperlukan adanya penyesuaian dan perbaikan dalam perencanaan tata ruang kota ke depan. Tabel 1.1. Luas Penggunaan Lahan di Kota Tangerang Selatan pada Tahun 2008 (awal terbentuk daerah otonom) No
Jenis Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
1 2 3 4 5 6 7
Perumahan dan Permukiman Industri / Kawasan Industri Perdagangan dan Jasa Sawah, Ladang, dan Kebun Semak Belukar dan Rerumputan Pasir dan Galian Situ dan Danau / Tambak / Kolam Tanah Kosong
9.941,41 167,61 487,08 2.794,41 366,48 15,27 137,43
Persentase Luas (%) 67,54% 1,14% 3,31% 18,99% 2,49% 0,10% 0,93%
809,31 14.719
5,50% 100,00%
8 Jumlah
Sumber : Kompilasi Data untuk Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan (2008) dalam Bappeda (2009)
Gambar 1.1. Persentase Penggunaan Lahan di Kota Tangerang Selatan pada Tahun 2008 (Sumber : Bappeda, 2009)
2
Gambar 1.2. Sebaran pengembang besar yang menguasai sebagian besar lahan Kota Tangerang Selatan (Sumber : Government and Private Collaboration in Public Space Prevision, 2015) Pemerintah kota saat ini berada pada era otonomi daerah. Oleh karena itu, bentuk perencanaan saat ini memasuki bentuk perencanaan partisipatif sehingga aparatur pemerintah diwajibkan untuk melibatkan stakeholder lain dalam perencanaan, termasuk kepada swasta dan masyarakat. Perencanaan di suatu kota adalah suatu tanggapan dari semakin meningkatnya tuntutan akan kebutuhan berbagai macam sarana dan prasarana dari masyarakat. Pemerintah Kota Tangerang Selatan telah membuat Rencana Tata Ruang Wilayah dari tahun 2011 sampai tahun 2031. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang, masyarakat berperan serta dalam perencanaan tata ruang wilayah. Masyarakat dapat menyumbangkan pemikiran terhadap kebijaksanaan penataan dan pemanfaatan ruang serta memberikan bantuan pengelolaan. Hubungan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah berupa RTRW dapat berupa sebagai subjek maupun objek kebijakan. Pentingnya partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam berbagai hal terkadang kurang ditanggapi secara serius oleh pemerintah. Hakikatnya, segala macam suara masyarakat adalah suatu bentuk demokrasi dan keberpihakan 3
pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat (Tauxine, 1995). Seluruh pembangunan hendaknya berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga sudah tertuang di dalam Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 15 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan Tahun 2011 – 2031 bahwa RTRW disusun untuk mengarahkan pembangunan di Kota Tangerang Selatan dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdayaguna, berhasilguna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta pertahanan keamanan. Pemerintah selaku stakeholer yang berwenang dalam pengambilan kebijakan perlu mengidentifikasi sejauh manakah kebijakan yang telah dilakukannya dipahami dan disetujui oleh masyarakat. 1.2 Rumusan Masalah Pembangunan yang dilakukan pemerintah sebenarnya memiliki tujuan yang mulia yaitu untuk mengarahkan masyarakatnya menuju kehidupan yang lebih baik. Seluruh golongan di dalam kota, baik masyarakat, pemerintah, swasta, maupun DPRD sebagai perwakilan masyarakat memiliki hak dan kewajiban dalam pembangunan. Dengan kata lain, tanggung jawab pembangunan kota dimiliki oleh seluruh golongan, tidak hanya oleh pihak tertentu saja. Penyusunan RTRW sebagai salah satu bagian dari pembangunan wilayah akan dapat terlaksana implikasinya dengan mudah apabila seluruh pihak telah terlibat dan mau mengikuti aturan tersebut secara bersama. Konsep tata ruang yang sebenarnya telah lama dikembangkan oleh pemerintah tidak akan berarti tanpa adanya komunikasi dan campur tangan dari masyarakat. Masyarakat adalah elemen terbesar yang tinggal di dalam suatu kota. Oleh karena itu, harapan masyarakat harus tertuang dalam kebijakan yang ada. Hal yang patut diperhatikan adalah keberadaan transparansi informasi mengenai tata ruang kepada masyarakat. Minimnya pengetahuan masyarakat menyebabkan kurangnya pengawalan publik terhadap tata ruang, sehingga hal ini dapat berimplikasi pada terjadinya pembiaran pelanggaran atas tata ruang. Bukan tidak mungkin juga hal ini menjadi kesempatan bagi sejumlah pihak yang 4
memanfaatkan lemahnya kontrol masyarakat ini untuk kepentingan tertentu yang dapat merugikan. Kondisi tata ruang di lapangan memiliki kompleksitas yang tinggi. Biasanya masalah yang sering muncul terjadi perbedaan antara penggunaan lahan RTRW dengan penggunaan lahan riil. Secara umum lahan di daerah perkotaan didominasi penguasaannya oleh masyarakat. Implementasi kebijakan pemerintah sering terhambat dalam pelaksanaannya di lapangan apalagi jika kebijakan tersebut menyentuh aset-aset masyarakat. Ancaman terbesar ialah adanya konflik antarkepentingan dalam perebutan peruntukan lahan. Tantangan lain yang berkaitan dengan tata ruang di Tangerang Selatan adalah sebagian besar lahan sudah dikuasai pengembang. Secara umum permukiman yang dibangun oleh para pengembang merupakan perumahanperumahan mewah. Hal ini dapat menimbulkan potensi konflik sosial dan kecemburuan sosial antara warga yang tinggal di perumahan-perumahan mewah dengan warga perkampungan. Penataan ruang yang baik adalah salah satu solusi untuk menciptakan kerukunan antarwarga dari pemerintah. Peran masyarakat adalah faktor penting menuju keberhasilan perencanaan tata ruang. Pencegahan atau setidaknya pengurangan potensi konflik antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak lainnya harus dilakukan sejak peraturan RTRW disusun. Pemerintah wajib melibatkan masyarakat dan memberikan informasi yang bersifat transparan mengenai RTRW. Penelitian mengenai partisipasi dan peran serta masyarakat terhadap penyusunan rencana tata ruang wilayah kota perlu dilakukan. Hal ini mengingat bahwa masyarakat adalah pihak yang terpengaruh langsung terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penataan lahan. Masyarakat adalah pihak yang terkena dampak dari kebijakan. Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut kemudian dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1
Bagaimana pelaksanaan peran serta masyarakat dalam penyusunan RTRW kota secara regulatif?
2
Bagaimana implementasi peran serta masyarakat dalam penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan? 5
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini meliputi : 1. Mengkaji peran serta masyarakat dalam penyusunan RTRW kota secara regulatif. 2. Mengkaji implementasi peran serta masyarakat dalam penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain : 1. Pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru mengenai proses penyusunan rencana tata ruang wilayah di suatu daerah dan menjadi suatu referensi bagi penelitian lain. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya kepustakaan kegeografian dan kepustakaan daerah khususnya mengenai partisipasi masyarakat terhadap penyusunan rencana tata ruang wilayah. 2. Implementasi kebijakan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih kepada Pemerintah dan Masyarakat Kota Tangerang Selatan dalam mengetahui peran masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. 1.5 Penelitian Sebelumnya Penelitian bertema partisipasi masyarakat dan tata ruang telah banyak dilakukan sebelumnya. Beberapa skripsi, tesis, dan jurnal telah mengkaji penelitian mengenai hal tersebut. Tabel keaslian penelitian di bawah merupakan sebagian penelitan yang membahas topik yang tidak jauh berbeda antara perubahan partisipasi masyarakat dalam suatu kebijakan.
6
Tabel 1.2. Penelitian Terdahulu No 1
2
Peneliti Nandang Najmulmunir (2013)
Wika Avelino Rumbiak (2010)
Judul Penelitian
Metode Penelitian
Pengaruh Partisipasi Masyarakat terhadap Efektivitas Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi
Kuantitatif. Pengambilan data dengan Purposive sampling
Kajian Partisipasi Masyarakat Adat Malind Anim sebagai Dasar Perencanaan Tata Ruang Berbasis Lingkungan di Kabupaten Merauke
Kualitatif induktif, dengan metode survei dan metode Participatory Rural Appraisal (PRA). Metode survei menggunakan teknik studi literatur, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode PRA menggunakan teknik FGD dan pemetaan partisipatif
Hasil Penelitian Partisipasi masyarakat terhadap implementasi kebijakan memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan memberikan pengaruh paling besar terhadap meningkatnya efektivitas kebijakan RTRW kabupaten. Masyarakat Adat Malind Anim memiliki konsep ruang dari kearifan lokal yang mengendung nilai-nilai kelestarian ekologis, sehingga dapat dijadikan acuan dalam perencanaan tata ruang di Kabupaten Merauke. Karakteristik sosial ekonomi Masyarakat Adat Malind Alim bersifat homogen dan amat dipengaruhi oleh struktur adat dan ketersediaan sarana dan prasarana. Masyarakat Adat Malind Anim memiliki kesadaran partisipasi baik dengan memberikan komunikasi satu arah maupun komunikasi dua arah dengan adanya diskusi pada pemetaan partisipatif, meskipun terkendala oleh kurangnya ruang dan kesempatan.
7
Lanjutan Tabel 1.2. Penelitian Terdahulu 3
Moh. Yuditrinurcahyo (2005)
Kajian Persepsi Masyarakat terhadap Rencana Umum Tata Ruang Kota Kendal
Kualitatif dan Kuantitatif. Pengambilan data dengan Simple random sampling
Terjadi pergeseran fungsi penggunaan lahan dari nonterbangun menjadi lahan terbangun Masyarakat menilai bahwa hampir seluruh kebijakan pemerintahan di kota cukup berhasil Persepsi masyarakat menganggap rencana sistem utilitas di Kota Kendal sangat buruk
4
Ferry Aryantoni (2008)
Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Wilayah : Kasus Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Tata Ruang Sarilamak sebagai Ibu Kota Kabupaten Lima Puluh Kota
Studi Kasus dengan teknik wawancara, multi instrumen, teknik pengamatan, studi literatur, dan riset partisipasi. Data yang digunakan berupa data kualitatif dan kuantitatif. Teknik penentuan responden dengan Purposive sampling.
Partisipasi yang telah dilakukan melalui forum identifikasi potensi dan permasalahan wilayah Sarilamak tergolong partisipasi sedang dan berada pada jenjang konsultasi (berdasarkan teori Khairul Muluk yang merupakan tutusan teori Arnsteins beserta teori Burns, Hambleton dan Hogget),. Hal-hal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam perencanaan tata ruang berasal dari dalam dan luar masyarakat. Pengaruh dari dalam masyarakat adalah persepsi, pendidikan dan pengetahuan, dan peran pihak nagari sebagai perwakilan warga. Sedangkan pengaruh dari eksternal masyarakat adalah komunikasi, motivasi, fiskal, dan waktu. Secara umum masyarakat umum kurang partisipatif dalam perencanaan tata ruang dan lebih diwakili oleh tokoh lokal dan Kenagarian.
8
Lanjutan Tabel 1.2. Penelitian Terdahulu
5
Triana Yulinur Pajri (2013)
Dinamika Legislasi Peraturan Daerah (PERDA) di Kabupaten Tangerang
Kualitatif sociallegal. Teknik pengambilan data dengan Purposive Sampling berupa wawancara
Tingkat partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah di Kabupaten Tangerang masih harus ditingkatkan. Pemerintah daerah telah membuka ruang untuk partisipasi masyarakat dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati tentang Pedoman Teknis Pembentukan Perda.
(Sumber : Radifan, 2015)
9
1.6 Tinjauan Pustaka 1.6.1 Pembangunan dan Perencanaan Pembangunan dan pengembangan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan sesuatu yang baru untuk meningkatkan kemajuan (Johara, 1992). Tujuan akhir pencapaian pembangunan dan pengembangan itu sendiri adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Pembangunan/pengembangan skala nasional memiliki cakupan satu negara yang menekankan pada ekonomi. Pembangunan skala lokal lebih menekankan pada kondisi fisik, sedangkan untuk skala regional pembangunan lebih berfokus pada kedua hal, yaitu keadaan fisik dan kondisi ekonomi. Wilson dalam Johara (1992) menjelaskan bahwa perencanaan adalah proses pengubahan proses lain atau keadaan lain agar sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh sang perencana. Dalam perencanaan sendiri meliputi kajian analisis,
kebijaksanaan
(policy),
dan
rancangan
(design).
Perencanaan
membutuhkan pengumpulan data yang dapat diperoleh baik melalui data primer (survei) maupun data sekunder (data telaah). Setiap orang sebenarnya dapat membuat suatu perencanaan. Meskipun demikian perencanaan kota berbeda dengan perencanaan-perencanaan yang lain. Menurut Feldt dalam Catanese dan Snyder (1988), hal tersebut termuat dalam poin-poin berikut : 1. Perencanaan kota memperhitungkan aspek kemasyarakatan beserta berbagai macam pihak yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. 2. Perencanaan kota dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya dan direncanakan dengan baik. 3. Terkadang memiliki tujuan, sasaran, dan program yang berubah-ubah. 4. Pihak yang terlibat dalam perencanaan kota justru jarang mengambil keputusan dan mereka lebih berperan dalam menentukan solusi, alternatif, dan rekomendasi untuk memecahkan persoalan di kota tersebut.
10
5. Para perencana kota melakukan pekerjaannya dengan memakai alat bantu untuk mempermudah dalam menentukan dan menganalisis alternatif kebijakan. 6. Seluruh kegiatan perencanaan hanya ditujukan untuk 5 sampai 20 tahun ke depan setelah kebijakan dilakukan, sehingga timbal balik dan perbaikan yang ada sulit dilakukan. 1.6.2 Kaidah Geografi Istilah geografi umum menjelaskan bahwa ruang adalah bagian permukaan bumi beserta lapisan tanah di bawahnya beserta atmosfir (lapisan udara) yang berada di atasnya yang mempunyai barasan fisik geografis tertentu. Geografi memiliki tiga pendekatan, yaitu pendekatan keruangan, pendekatan ekologi, dan pendekatan kompleks wilayah. Yunus (2010) mengatakan bahwa pendekatan keruangan adalah suatu metode untuk mendapatkan pemahaman dari gejala tertentu agar memiliki pengetahuan yang lebih mendalam melalui media ruang. Variabel ruang menempati posisi utama dalam setiap analisis di dalam pendekatan keruangan.
Berbeda dengan pendekatan keruangan, pendekatan
ekologi
melibatkan pengaruh dan peranan organisme di dalam suatu penelitian. Organisme itu sendiri meliputi manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan yang saling terkait satu sama lain. Pendekatan kompleks wilayah adalah pendekatan yang mengacu pada fakta empiris bahwa suatu wilayah terdiri atas berbagai sub wilayah yang berbeda-beda. Berbagai sub wilayah tersebut terdapat elemen-elemen wilayah yang berbedabeda juga yang saling terkait yang disebut sebagai wilayah sistem. Setiap wilayah sistem berinteraksi dengan wilayah sistem lainnya membentuk sistem wilayah. Pendekatan kompleks wilayah menganggap bahwa suatu wilayah merupakan suatu sistem yang berisi komponen-komponen wilayah yang saling berkaitan antara satu komponen dengan komponen lainnya. Penelitian ini memakai pendekatan kompleks wilayah karena wilayah kajian memiliki kontrol sistem yang melibatkan kegiatan dan intervensi manusia yang dianggap sebagai suatu 11
“kebijakan” dan bertujuan untuk mencapai kondisi ideal, yaitu menciptakan tata ruang yang sesuai dengan visi pembangunan wilayah. Suatu lahan milik pribadi tidak hanya mengasai lahan secara dua dimensi mendatar saja, namun juga tiga dimensi yang meliputi kedalaman tanah dan udara di atasnya. Penggunaan lahan juga dapat disandingkan dengan tata ruang. Wilayah itu sendiri adalah ruang yang memiliki homogenitas yang dapat dibedakan dengan ruang lainnya. Suatu wilayah memiliki kesatuan, baik kesatuan alam dan kesatuan manusia (Ritohardoyo, 2013). 1.6.3 Ruang dan Tata Guna Lahan Menurut Ruang UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara, sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan tata ruang menurut UU No. 26 tahun 2007 adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Penataan ruang sangat diperlukan untuk pembangunan yang berkelanjutan (Najmulmunir, 2013). Johara (1992) mengatakan bahwa tata guna lahan dilakukan untuk membuat suatu arahan penggunaan lahan berdasarkan kebijakan dan program tata keruangan dengan tujuan untuk mengambil manfaat dari lahan tersebut. Dengan kata lain, tujuan tata guna lahan dilakukan ialah untuk kesejahteraan manusia, baik
individu
maupun
masyarakat,
dengan
mencegah
dampak
negatif
pembangunan atas penataan ruang, mengambil manfaat terbaik secara optimum. Tata guna lahan juga dapat dipahami berupa suatu kebijakan peruntukan lahan. Hal ini erat kaitannya dengan pembangunan wilayah dengan mengambil dan mengembangkan apa yang ada dari lahan tersebut. Perencanaan tata guna lahan sendiri merupakan suatu kerangka kerja yang meliputi seluruh aspek yang meliputi pengklasifikasian wilayah untuk suatu fungsi tertentu dengan tetap memperhatikan harmoni antara fungsi budidaya dengan konservasi lahan. Tata guna tanah perkotaan merupakan pembagian penggunaan lahan kota sesuai peran dan fungsinya, baik sebagai kawasan bisnis, tempat tinggal, perdagangan, maupun rekreasi. 12
1.6.4 Kota Menurut Sadyohutomo (2008), kota memiliki beberapa pengertian yang berbeda. Pertama, kota dalam pengertian umum merupakan suatu daerah terbangun berkepadatan penduduk tinggi yang memiliki dominasi penggunaan lahan nonpertanian serta memiliki intensitas penggunaan ruang yang cukup tinggi. Pengertian kedua, secara khusus kota adalah bentuk pemerintah daerah yang memiliki dominasi berupa wilayah perkotaan. Pengertian pertama memberi indikasi bahwa suatu wilayah dapat disebut menjadi kota apabila terdapat betbagai kenampakan khas perkotaan di wilayah itu, seperti adanya bangunan tinggi, fasilitas kesehatan, pendidikan, perdagangan, dan rekreasi yang lengkap, adanya pusat pemerintahan, dan sebagainya. Secara umum suatu kota menganut “piramida kota” (Johara, 1992) dengan asumsi bahwa semakin mendekati pusat kota maka ukuran struktur/bangunan akan semakin tinggi bersamaan dengan semakin padatnya jumlah penduduk. Sedangkan pengertian kedua memberi arti bahwa suatu kota adalah suatu daerah administratif yang menempati posisi yang sejajar dengan kabupaten, sehingga suatu daerah tetap disebut sebagai “kota” meskipun di daerah tersebut tidak sepenuhnya wilayah urban namun juga memiliki sebagian wilayah berciri perdesaan (rural). Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota dijelaskan bahwa wilayah kota adalah suatu pusat kegiatan ekonomi, dan ia melayani dirinya sendiri dan juga wilayah-wilayah sekitar. Efektifitas dan efisiensi pemanfaatan ruang di kota itu yang berperan sebagai pusat kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya, diperlukan pengelolaan pemanfaatan ruang secara baik dengan proses penataan ruang. Banyak terjadi kasus dan masalah dalam perkembangan penggunaan lahan di perkotaan. Salah satu kasus yang paling sering terjadi adalah adanya konversi lahan dari lahan pertanian yang produktif menjadi lahan non-terbangun. Menurut Yunus (1999), kasus tersebut merupakan dampak ikutan dari semakin mendekatnya area terbangun ke lahan perdesaan (rural area). Area ini biasa disebut sebagai “Inner Fringe” (Yunus, 1999). 13
1.6.5 Masyarakat Masyarakat secara umum adalah kelompok manusia yang terikat dalam suatu kesamaan budaya (KBBI, 2014). Menurut Peraturan Pemerintah nomor 69 tahun 2009, masyarakat merupakan orang seorang, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, adat atau badan hukum. Sementara itu menurut Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2010 menjelaskan bahwa masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penataan ruang. Masyarakat sendiri dapat dibedakan atas pembagian suku maupun ras. Selain itu pembagian masyarakat juga dapat dikelompokkan berdasarkan mata pencaharian di wilayahnya. Peran masyarakat dapat dilakukan oleh orang perseorangan atau kelompok orang, dalam hal ini termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penataan ruang. Pemangku kepentingan nonpemerintah lain dapat mewakili kepentingan individu, kelompok orang, sektor, dan/atau profesi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2010, pengaturan bentuk dan tata cara peran masyarakat sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya hak dan kewajiban masyarakat di bidang penataan ruang, mewujudkan pelaksanaan penataan ruang yang transparan, efektif, akuntabel, dan berkualitas, memperbaiki mutu perencanaan, serta membantu terwujudnya pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang antara lain berupa masukan serta kerja sama dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Menurut Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2010, adapun tata cara peran masyarakat yang ada dilaksanakan sesuai tahap perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
14
1.6.6 Partisipasi Masyarakat Partisipasi adalah suatu istilah yang meliputi berbagai macam situasi, kondisi, dan kegiatan. Menurut Cohen dan Uphoff (1980) dalam Najmulmunir (2013), partisipasi dapat dilihat dari aspek komponen, yang kemudian dibagi lagi menjadi dimensi dan konteks partipasi. Partisipasi menyangkut kelompok masyarakat yang terlibat serta cara terjadi proses partisipasi tersebut. Suatu pembangunan hendaknya berorientasi kepada masyarakat. Hal ini berarti bahwa hasil pembangunan yang telah diperoleh hendaknya bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini juga mengingat pemasukan dan pengeluaran oleh upaya pembangunan juga akan melibatkan masyarakat (Riyadi dan Bratakusumah, 2003). Bentuk partisipasi masyarakat bergantung pada kondisi ekonomi, sosial, budaya, serta pendidikan masyarakat setempat. Pentingnya konsultasi publik dan partisipasi dalam perencanaan di seuatu daerah diakui sebagai suatu hal yang penting. Keduanya adalah bagian dari demokrasi dalam berpolitik dan untuk memastikan bahwa masyarakat lokal masih dibutuhkan untuk bertemu dan terlibat dalam perencanaan. Meskipun demikian terkadang terdapat rintangan struktural bahwa terdapat keraguan apakah partisipasi publik dalam perencanaan lokal tersebut benar-benar asli atau rekayasa. Mungkin sekali terdapat adanya peraturan yang mengizinkan komunitas warga untuk berpartisipasi dalam perencanaan lokal tersebut sudah dikuasai penuh oleh suatu agen yang tersembunyi, sehingga hasil yang didapat hanya dinikmati oleh kalangan-kalangan yang memiliki kekuasaan dan keuangan yang lebih besar (Tauxine, 1995). 1.6.7 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Perencanaan adalah manajemen pokok yang menjadi kewajian dari setiap manajer dan staf. Pemikiran secara analisis dan konseptual diperlukan untuk menyusun perencanaan. Menurut Sadyohutomo (2008), sasaran perencanaan dalam manajemen keruangan terdiri atas :
15
1. Perencanaan kebijaksanaan publik (public policy), seperti rencana tata ruang wilayah dan peraturan-peraturan daerah terkait. 2. Perencanaan organisasi dan perencanaan program kegiatan organisasi pengelola kota dan wilayah. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW) terdiri atas proses dan prosedur penyusunan dan juga penetapan RTRW kota. RTRW kota disusun dengan berasaskan pada kaidah-kaidah perencanaan yang berasaskan pada keserasian, keterpaduan, keselarasan, kelestarian, keberlanjutan dan keterkaitan antarwilayah baik di dalam kota itu sendiri maupun dengan daerah sekitarnya. Terdapat beberapa elemen dan isu-isu utama yang perlu dipertimbangkan terkait dengan RTRW Kota. Menurut Soerjodibroto (2006), elemen yang perlu diperhatikan mengenai pengelolaan tata ruang perkotaan adalah : 1. Dokumen Rencana Tata Ruang 2. Konsistensi dan pelaksanaan tata ruang 3. Revisi tata ruang Rencana tata ruang memiliki implikasi yang dapat timbul. Pertama, sebagai alat pengendali pembangunan fisik kota, terkadang implementasi rencana tata ruang justru berpotensi meresahkan suatu kelompok masyarakat karena khawatir tempat tinggal/bekerja mereka akan tergusur rencana pembangunan fisik. Kedua, rencana tata ruang dapat dimanfaatkan spekulan tanah untuk kepentingan tertentu. Ketiga,
ketidaksesuaian
perencanaan
dengan
implementasi.
Keempat,
penyempitan makna rencana tata ruang yang hanya sekadar dokumen hasil proyek yang tidak berkelanjutan. Kelima, opini-opini lain yang menambah persoalan dalam penerapan konsep tata ruang. Soerjodibroto (2006) mengatakan bahwa Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan/atau Dinas Tata Kota adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap penyusunan, pengelolaan, penerapan, dan dampak dari tata ruang. Bappeda memiliki tanggung jawab sebagai berikut :
Melakukan analisis dan perumusan mengenai tata ruang;
Melakukan koordinasi lintas sektoral dalam proses analisis dan perumusan rencana; 16
Melakukan koordinasi antar dinas dalam perumusan indikator penerapan rencana serta penyusunan RASK;
Menerapkan dan membangun prosedur pembinaan.
Dinas Tata Kota memiliki tanggung jawab terhadap :
Penerapan peta rencana dalam mekanisme perijinan;
Membangun
dan
menerapkan
mekanisme
pengawasan
terhadap
pelaksanaan rencana tata kota. DPRD memiliki tanggung jawab tugas dan menempati peran strategis terhadap :
Mengetahui dan memberdayakan proses pengembangan metode dialog bersama masyarakat;
Mendorong dan menerapkan metode koordinasi antar dinas dalam pembahasan anggaran;
Melembagakan dokumen rencana, termasuk mengatur sanksi dan mekanismenya.
Selain itu, pihak yang memiliki peran dalam komunikasi dan informasi (Kominfo) memiliki tugas dan tanggung jawab berupa:
Memberikan informasi rencana tata ruang kepada masyarakat;
Memberikan informasi hasil-hasil dialog atau konsultasi dengan para stakeholder kepada masyarakat;
Memberikan indikator penerapan rencana ke tiap lingkungan kota.
17
Gambar 1.3. Cakupan dan pihak yang bertanggung jawab dalam tahapan penataan ruang (Sumber : Soerjodibroto, 2006) Soerjodibroto (2006) mengatakan bahwa agar proses dan wujud pelibatan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang menjadi efektif maka hendaknya perlu hal-hal berikut :
Perlunya mekanisme informasi yang efektif mengenai maksud dan tujuan penyusunan tata ruang kepada masyarakat di lingkungan itu;
Perlunya mekanisme dialog mengenai manfaat serta konsekuensi atas keberadaan tata ruang bagi masyarakat di lingkungan itu;
Perlunya proses penyepakatan pemahaman terhadap kondisi karakter lingkungan yang ada;
Perlunya kesepakatan bersama dari kriteria dan/atau persyaratan yang harus dipenuji untuk setiap jenis penggunaan lahan agar keberlangsungan lingkungan hidup tetap terjaga.
18
1.6.8 Proses Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Penataan ruang daerah yang optimal, efektif, dan efisien diperlukan bagi sebuah kota. Oleh karena itu penyusunan RTRW memerlukan suatu pedoman yang menjadi acuan bagi seluruh pihak yang terkait agar hasil penataan ruang memenuhi asas keserasian, keselarasan, kelestarian, keterpaduan, keberlanjutan, serta keterkaitan antarwilayah. Proses dan mekanisme penyusunan RTRW kota dapat digambarkan seperti berikut : 1.6.8.1 Proses Penyusunan Rencana Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, proses penyusunan RTRW meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut : 1. Kegiatan Persiapan Penyusunan a. Kegiatan persiapan Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menunjang kelancaran penyusunan RTRW yaitu : 1) Menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK) atau TOR (Terms of Reference), serta penyiapan Rencana Anggaran Biaya (RAB); 2) Melakukan kajian awal data sekunder, termasuk review RTRW kota sebelumnya dan kajian kebijakan terkait lainnya; 3) Menyiapkan teknis pelaksanaan, meliputi : a) Penyimpulan data awal; b) Menyiapkan
metodologi
pendekatan
pelaksanaan
pekerjaan; c) Menyiapkan rencana kerja rinci; d) Menyiapkan perangkat survei (seperti checklist data yang dibutuhkan,
panduan wawancara, kuesioner,
panduan observasi dan dokumentasi, dan sebagainya), dan mobilisasi peralatan dan personil yang dibutuhkan; 4) Melakukan pemberitaan kepada publik mengenai akan dilakukannya penyusunan RTRW kota. 19
b. Hasil dari Pelaksanaan Kegiatan Persiapan, mencakup : 1) gambaran umum wilayah perencanaan; 2) kesesuaian produk RTRW sebelumnya dengan kondisi dan kebijakan saat ini; 3) hasil
kajian
awal
berupa
kebijakan
terkait
wilayah
perencanaan, isu strategis, potensi dan permasalahan awal wilayah perencanaan, serta gagasan awal pengembangan wilayah perencanaan; 4) metodologi pendekatan pelaksanaan pekerjaan yang akan digunakan; 5) rencana kerja pelaksanaan penyusunan RTRW kota; dan 6) perangkat survei data primer dan data sekunder yang akan digunakan pada saat proses pengumpulan data dan informasi (survei). c. Waktu Kegiatan Dibutuhkan waktu 1 bulan namun tergantung dari kondisi daerah dan pendekatan yang digunakan. 2. Pengumpulan Data yang Dibutuhkan a. Kegiatan Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dan data sekunder diperlukan untuk mengenali karakteristik wilayah kota dan penyusunan rencana struktur dan pola ruang wilayah kota. Pengumpulan data primer berupa : 1) penjaringan aspirasi masyarakat yang dapta dilaksanakan melalui penyebaran angket, temu wicara, wawancara orang per orang dan lain sebagainya 2) pengenalan kondisi fisik dan sosial ekonomi wilayah kota secara langsung melalui kunjungan ke semua bagian wilayah kota. Data sekunder yang harus dikumpulkan sekurang-kurangnya meliputi : 1) peta 20
a) peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) atau peta topografi skala 1:25.000 sebagai peta dasar b) citra satelit untuk memperbaharui (update) peta dasar dan membuat peta tutupan lahan c) peta batas wilayah administrasi, d) peta batas kawasan hutan, e) peta informasi analisis kebencanaan (kegempaan, bahaya gunung api, dll), dan f) peta identifikasi potensi sumberdaya alam. 2) data dan informasi a) data dan informasi kebijakan penataan ruang terkait (RTRW provinsi, RTR KSN, RTRW kota sebelumnya). b) RPJP Kota dan RPJM Kota, untuk kota-kota yang telah memiliki RPJP dan RPJM c) data tentang kependudukan d) data tentang prasarana, sarana, dan utilitas wilayah e) data perekonomian wilayah f) data tentang kemampuan keuangan pembangunan daerah g) data kondisi fisik/lingkungan dan sumber daya alam termasuk penggunaan lahan eksisting h) data dan informasi tentang kelembagaan pembangunan daerah i) data dan informasi tentang kebijakan pembangunan sektoral, terutama yang merupakan kebijakan pemerintah pusat j) peraturan perundan-undangan terkait Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan data adalah tingkat akurasi data, sumber penyedia data, kewenangan sumber atau instansi penyedia data, tingkat kesalahan, variabel ketidakpastian, serta variabel-variabel lainnya yang mungkin ada. Data dalam bentuk data statistik dan peta, serta informasi yang dikumpulkan berupa data tahunan (time series) minimal 5 (lima) tahun terakhir dengan kedalaman data setingkat kelurahan/desa. Data berdasarkan kurun 21
waktu tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran perubahan apa yang terjadi pada wilayah kota. b. Hasil dari Pelaksanaan Kegiatan Hasil kegiatan pengumpulan data kemudian didokumentasikan sebagai bagian dalam Buku Data dan Analisis. c. Waktu Kegiatan Pengumpulan data primer dan sekunder membutuhkan waktu sekitar 2 (dua) - 3 (tiga) bulan, tergantung dari kondisi ketersediaan data di daerah maupun jenis pendekatan dan metoda yang digunakan. 3. Pengolahan dan Analisis Data a. Kegiatan Pengolahan dan Analisis Data Terdapat dua rangkaian analisis utama yang harus dilakukan dalam penyusunan RTRW Kota. Pertama, analisis untuk menggambarkan karakteristik tata ruang wilayah kota. Kedua, analisis potensi dan masalah pengembangan kota. Karakteristik tata ruang wilayah kota yang harus digambarkan, meliputi : 1) kedudukan dan peran kota dalam wilayah yang lebih luas (regional) a) kedudukan dan peran kota dalam sistem perkotaan nasional; b) kedudukan dan peran kota dalam rencana tata ruang kawasan metropolitan (bila masuk dalam kawasan metropolitan); c) kedudukan dan peran kota dalam rencana struktur ruang provinsi; d) kedudukan dan peran kota dalam sistem perekonomian regional. 2) karakteristik fisik wilayah, sekurang-kurangnya meliputi : a) karakteristik umum fisik wilayah (letak geografis, morfologi wilayah, dan sebagainya); b) potensi rawan bencana alam (longsor, banjir, tsunami dan bencana alam geologi); c) potensi sumberdaya alam (mineral, batubara, migas, panas bumi dan air tanah); dan
22
d) kesesuaian
lahan
pertanian
(tanaman
pangan,
tanaman
perkebunan, dan sebagainya). 3) karakteristik sosial-kependudukan, sekurang-kurangnya meliputi : a) sebaran kepadatan penduduk di masa sekarang dan di masa yang akan datang (20 tahun); b) proporsi penduduk di masa sekarang dan di masa yang akan datang (20 tahun); dan c) kualitas SDM dalam mendapatkan kesempatan kerja. 4) karakteristik ekonomi wilayah, sekurang-kurangnya meliputi : a) basis ekonomi wilayah, ekonomi lokal, dan sektor informal; b) prospek pertumbuhan ekonomi wilayah di masa yang akan datang; c) prasarana dan sarana penunjang pertumbuhan ekonomi. 5) kemampuan keuangan pembangunan daerah, sekurang-kurangnya meliputi : a) sumber
penerimaan
daerah
dan
alokasi
pembiayaan
pembangunan; dan b) prediksi peningkatan kemampuan keuangan pembangunan daerah. Analisis potensi dan masalah pengembangan kota dilakukan berdasarkan karakteritik tata ruang wilayah kota, yang meliputi : 1) analisis daya dukung wilayah kota serta optimasi pemanfaatan ruang; 2) analisis daya tampung wilayah kota; 3) analisis pusat-pusat pelayanan; 4) analisis kebutuhan ruang; dan 5) analisis pembiayaan pembangunan Hasil dari keseluruhan kegiatan analisis meliputi: 1) visi pengembangan kota; 2) potensi dan masalah penataan ruang wilayah kota dari multi aspek yang berpengaruh; 23
3) peluang dan tantangan penataan ruang wilayah kota dari multi aspek yang berpengaruh; 4) kecenderungan perkembangan dan kesesuaian kebijakan pengembangan kota; 5) perkiraan kebutuhan pengembangan wilayah kota yang meliputi
pengembangan
struktur
ruang
seperti
sistem
perkotaan dan sistem prasarana, serta pengembangan pola ruang yang sesuai dalam menyelesaikan permasalahan yang ada dengan menggunakan potensi yang dimiliki, mengelola peluang yang ada, serta dapat mengantisipasi tantangan pembangunan ke depan; 6) daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup wilayah; b. Hasil Pelaksanaan Kegiatan Hasil kegiatan pengolahan data dan analisis didokumentasikan dalam buku Data dan Analisa. Pokok-pokok penting yang menggambarkan karakteristik tata ruang wilayah kota selanjutnya menjadi bagian awal dari buku RTRW kota. c. Waktu Kegiatan Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan analisis adalah antara 2-6 bulan bergantung pada kondisi data yang berhasil dikumpulkan dan metoda pengolahan data yang digunakan. 4. Perumusan Konsep RTRW Kota a. Kegiatan Perumusan Konsep RTRW Kota Perumusan konsepsi RTRW kota terdiri dari perumusan konsep pengembangan wilayah dan perumusan RTRW kota itu sendiri. Konsep pengembangan wilayah dilakukan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya dengan menghasilkan beberapa alternatif konsep pengembangan wilayah, yang berisi : 1) rumusan tentang tujuan, kebijakan, dan strategi pengembangan wilayah kota; dan 2) konsep pengembangan wilayah kota; 24
Setelah dilakukan beberapa kali iterasi, dipilih alternatif terbaik sebagai dasar perumusan RTRW kota. Hasil kegiatan perumusan konsepsi RTRW yang berupa RTRW kota terdiri atas : 1) tujuan, kebijakan dan strategi penataan kota; 2) rencana struktur ruang kota; 3) rencana pola ruang kota; 4) penetapan kawasan-kawasan strategis kota; 5) arahan pemanfaatan ruang; dan 6) arahan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang. b. Hasil Pelaksanaan Kegiatan Perumusan Konsepsi Hasil kegiatan Perumusan Konsepsi RTRW Kota didokumentasikan dalam buku RTRW kota yang merupakan materi teknis RTRW kota. c. Waktu Kegiatan Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan perumusan konsep RTRW kota adalah 2 - 7 bulan. 5. Penyusunan Raperda Tentang RTRW Kota a. Kegiatan Penyusunan Raperda Tentang RTRW Kota Kegiatan penyusunan naskah raperda tentang RTRW kota merupakan proses penuangan naskah teknis RTRW kota ke dalam bentuk pasalpasal dan mengikuti kaidah penyusunan peraturan perundangundangan, khususnya ketentuan-ketentuan dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. b. Hasil Pelaksanaan Kegiatan Produk yang dihasilkan dari kegiatan ini adalah naskah Rancangan Peraturan Daerah tentang RTRW kota. c. Waktu Kegiatan Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penyusunan rancangan Peraturan Daerah tentang RTRW kota adalah 1 (satu) bulan, dan dapat dilakukan secara simultan dengan penyusunan naskah teknis RTRW.
25
1.6.8.2 Prosedur Penyusunan RTRW Kota Prosedur penyusunan RTRW kota merupakan pentahapan yang harus dilalui dalam proses penyusunan RTRW kota sampai dengan proses legalisasi RTRW kota yang melibatkan instansi terkait pemerintah daerah kota, instansi terkait pemerintah provinsi, dewan perwakilan rakyat daerah, masyarakat, dan instansi terkait pemerintah pusat. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, prosedur penyusunan RTRW kota meliputi : a) pembentukan tim penyusun RTRW kota yang beranggotakan unsurunsur dari pemerintah daerah kota, khususnya dalam lingkup Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) kota yang bersangkutan; b) pelaksanaan penyusunan RTRW kota; c) pelibatan peran mayarakat di tingkat kota dalam penyusunan RTRW kota. 1.6.8.3 Proses dan Prosedur Penetapan RTRW kota Proses dan prosedur penetapan RTRW kota merupakan tindak lanjut dari proses dan prosedur penyusunan RTRW kota sebagai satu kesatuan sistem perencanaan tata ruang wilayah kota. Proses dan prosedur penetapannya diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara garis besar proses dan prosedur penetapan RTRW kota meliputi tahapan sebagai berikut : a) pengajuan raperda tentang RTRW kota dari walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota, atau sebaliknya; b) pembahasan RTRW oleh DPRD bersama pemerintah daerah kota; c) penyampaian raperda tentang RTRW kota kepada Menteri untuk permohonan persetujuan substansi dengan disertai rekomendasi gubernur, sebelum raperda kota disetujui bersama antara pemerintah daerah kota dengan DPRD kota;
26
d) penyampaian raperda tentang RTRW kota kepada gubernur untuk dievaluasi setelah disetujui bersama antara pemerintah daerah kota dengan DPRD kota; dan e) penetapan raperda kota tentang RTRW kota oleh Sekretariat Daerah kota.
27
Gambar 1.4. Proses dan Prosedur Umum Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 17/PRT/M/2009) 28
Tabel 1.3. Keterkaitan Substansi, Tahapan, dan Keterkaitan Pihak-Pihak dalam Penyusunan RTRW Kota
PROSES
PROSES PENYUSUNAN
KEGIATAN
RINCIAN KEGIATAN
PERSIAPAN
Persiapan Penyusunan meliputi: Persiapan awal: pemahaman terhadap TOR/KAK penyiapan anggaran biaya Kajian awal data sekunder : review rtrw kota dan kebijakan lainnya Persiapan teknispelaksanaan : penyusunan metodologi, rencana rinci dan penyiapan rencana survei Selain itu, dilakukan pemberitaan penyusunan RTRW kepada masyarakat melalui media massa (cetak dan elektronik).
TARGET
OUTPUT
Metode dan rencana kerja Gambaran awal permasalahan dan kebutuhan pengembangan Kesesuaian produk RTRW terdahulu dengan kondisi terkini Rencana pelaksanaan survei dan perangkat survei
PENGUMPULAN DATA
Pengumpulan data/peta dilakukan dengan survei primer (observasi lapangan, wawancara, penyebaran kuesioner) dan survei sekunder Data yang diperlukan : 1. Peta Peta-peta : Peta RBI Peta citra satelit Peta potensi sda Peta potensi kebencanaan 2. Data dan informasi: Kebijakan penataan ruang terkait Kebijakan sektoral Kondisi fisik lingkungan Kondisi prasarana dan sarana wilayah Kependudukan Perekonomian Kelembagaan Peraturan perundangundangan terkait Data/Informasi Daerah Secara Lengkap
PENGOLAHAN DATA
PERUMUSAN KONSEPSI
DAN ANALISIS
RTRW
1. Analisis karakteristik wilayah Kedudukan dan peran kota dalam wilayah yang lebih luas Karakteristik fisik wilayah Karakteristik sosial kependudukan Karakteristik perekonomian Kemampuan keuangan daerah 2. Analisis potensi dan masalah pengembangan wilayah Analisis pusat-pusat pelayanan Analisis kebutuhan ruang Analisis daya dukung Analisis daya tampung
1. Perumusan konsep pengembangan wilayah Rumusan tujuan, kebijakan dan strategi Konsep pengembangan wilayah kota 2. Perumusan rencana tata ruang wilayah kota Tujuan, kebijakan dan strategi Rencana Struktur Ruang Rencana Pola Ruang Rencana Penetapan Kaasan Strategi Kota Arahan Pemanfaatan RuanG Ketentuan Pengendalian Pemaanfaatan Ruang
Materi Teknis RTRW Kota
Potensi dan masalahan Peluang dan tantangan Kecenderungan perkembangan Perkiraan kebutuhan pengembangan wilayah Kota Daya dukunga dan daya
KONSEPSI RENCANA
1. Penyusunan Konsep RAPERDA RTRW kota Penuangan materi teknis RTRW ke dalam bahasa hukum perda Pembahasan dengan tim teknis daerah untuk penataan ruang 2. Penyempurnaan Konsep RTRW kota dan konsep Raperda RTRW
Konsepsi RTRW kota dilengkapi dengan peta-peta dengan tingkat ketelitian skala 1:25.000.
Naskah Raperda RTRW Kota
29
Lanjutan Tabel 1.2. Keterkaitan Substansi, Tahapan, dan Keterkaitan Pihak-Pihak dalam Penyusunan RTRW Kota
WAKTU
tampung wilayah kota
Opini dan aspirasi awal para pemangku kepentingan lainnya pada penyusunan RTRW 1 bulan
2-3 bulan
2-6 bulan
2-7 bulan
1 bulan
PELAKSANAAN PIHAK TERLIBAT
Pemerintah kota dan pemangku kepentingan lainnya Tenaga Ahli Yang Terlibat: Team leader/ Ahli perencanaan kota dan Ahli Ekonomi Kota
Pemerintah kota dan pemangku kepentingan lainnya Tenaga Ahli Yang Terlibat (minimal) : 1. Team leader/ Ahli perencanaan kota 2. Ahli ekonomi kota 3. Ahli kependudukan 4. Ahli prasarana kota 5. Ahli kelembagaan 6. Ahli geografi 7. Ahli geologi tata 8. lingkungan 9. Ahli sistem informasi 10. geografis 11. Ahli hidrologi 12. Ahli lingukngan 13. Ahli Arsitektur
Pemerintah kota dan pemangku kepentingan lainnya Tenaga Ahli Yang Terlibat (minimal) : 1. Team leader/ Ahli perencanaan kota 2. Ahli ekonomi kota 3. Ahli kependudukan 4. Ahli prasarana kota 5. Ahli kelembagaan 6. Ahli geografi 7. Ahli geologi tata 8. lingkungan 9. Ahli sistem informasi 10. geografis 11. Ahli hidrologi 12. Ahli lingukngan 13. Ahli Arsitektur
Pemerintah kota dan pemangku kepentingan lainnya Tenaga Ahli Yang Terlibat (minimal) : 1. Team leader/ Ahli perencanaan kota 2. Ahli ekonomi kota 3. Ahli kependudukan 4. Ahli prasarana kota 5. Ahli kelembagaan 6. Ahli geografi 7. Ahli geologi tata 8. lingkungan 9. Ahli sistem informasi 10. geografis 11. Ahli hidrologi 12. Ahli lingukngan 13. Ahli Arsitektur
Pemerintah kota dan pemangku kepentingan lainnya Tenaga Ahli Yang Terlibat (minimal) : 1. Team leader/ Ahli perencanaan kota 2. Ahli hukum 3. Ahli kelembagaan
Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 17/PRT/M/2009
30
Kota Tangerang Selatan
Penyusunan RTRW Kota
Peraturan Perundangundangan
Regulatif
Implementatif
Metode Berpartisipasi
Persiapan Penyusunan RTRW Kota
Peraturan Perundangundangan
Peran Serta Masyarakat
Perumusan dan Konsepsi RTRW
Pengumpulan Data
Bentuk Partisipasi
Pembahasan Raperda RTRW Kota
Alasan Berpartisipasi
Sosialisasi Perda RTRW Kota
Saran-saran terkait dengan Proses Penyusunan RTRW
Gambar 1.6. Kerangka Pemikiran (Sumber : Radifan, 2015)
1.8 Batasan dan Definisi Operasional Tema penelitian ini adalah peran serta masyarakat dalam proses penyusunan RTRW dengan lokasi kajian Kota Tangerang Selatan baik secara regulatif maupun secara implementatif. Fokus penelitian diperlukan agar penelitian tidak meluas dari tujuan yang mempengaruhi efektifitas penelitian. Beberapa asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 33
1. Partisipasi, keikutsertaan, atau peran serta adalah perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Peran serta masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peran serta masyarakat atas proses penyusunan rencana tata ruang wilayah di Kota Tangerang Selatan. 2. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam penataan ruang (Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2010). Masyarakat yang dikaji dalam penelitian ini adalah perwakilan kelompok masyarakat maupun perwakilan organisasi masyarakat yang bertempat tinggal di Kota Tangerang Selatan, memiliki cukup pengaruh dalam kondisi kota, memahami birokrasi pemerintahan kota, atau terlibat dalam penyusunan RTRW. 3. Rencana tata ruang wilayah dalam penelitian ini adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang Selatan Tahun 2011-2031 berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan nomor 15 tahun 2011. 4. Kota adalah suatu bentuk pemerintahan daerah yang memiliki dominasi berupa wilayah perkotaan (Sadyohutomo, 2008).
34