BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Migrasi dan free movement merupakan salah satu konsekuensi yang tidak terelakan
dari adanya proses globalisasi. Meski demikian, arus migrasi yang meningkat drastis dapat menjadi masalah serius bagi suatu wilayah, contohnya Uni Eropa. Tahun 2011 menandai fenomena masuknya gelombang imigran secara masif ke Uni Eropa yang diakibatkan oleh adanya peristiwa Arab Spring.1 Jumlah imigran yang masuk ke Uni Eropa pada tahun 2011 mencapai jumlah 70.000 orang, atau 7 kali lipat dari tahun sebelumnya. Selanjutnya, meski pada tahun 2012 terdapat penurunan jumlah imigran, namun pada tahun 2013, lonjakan jumlah imigran kembali harus dihadapi oleh Uni Eropa. Situasi menjadi semakin serius tatkala jumlah imigran semakin meningkat setiap tahunnya. Tercatat 219.000 imigran memasuki wilayah Uni Eropa pada tahun 2014. Sementara pada tahun 2015, diperkirakan lebih dari satu juta imigran yang mencapai Uni Eropa melalui Mediterania.2Dengan demikian, gelombang imigran ke Uni Eropa kali ini merupakan yang termasif sejak Perang Dunia ke-II, sehingga tak heran apabila sampai mendapat label krisis. Fenomena lonjakan jumlah imigran ke Uni Eropa sebenarnya berkaitan erat dengan isu krisis humaniter. Pasalnya, imigran yang masuk ke Uni Eropa diperkirakan mayoritasnya didominasi oleh korban-korban daerah perang dan konflik seperti Suriah, Afgahanistan dan Eritrea.Meski demikian, terlepas dari isu humaniter dalam fenomena lonjakan imigran ini, negara-negara anggota Uni Eropa menganggap arus imigran yang masuk ke wilayahnya sebagai ancaman eksistensial terhadap identitas bangsanya.Hal ini terutama muncul setelah didapati realita bahwa tak sedikit di antara yang mengaku pengungsi konflik ternyata adalah imigran ekonomi dari Afrika Utara.3 Tak hanya itu, kekhawatiran pun semakin meningkat dengan adanya dugaan ekspansi jaringan ekstrimis Islamic State (IS) di Uni Eropa melalui
1
UNHCR: The UN Refugee Agency, The sea route to Europe: The Mediterranean passage in the age of refugees, Report Paper, 1 July 2015, pp. 1-5. 2 IOM (International Organization for Migration), ‘Mixed Migration Flows in the Mediterranean and Beyond: Compilation of available data and information’, Report Paper, 14 January 2016, p. 6. 3 W. Worley, ‘Six out of 10 migrants to Europe come for ‘economic reasons’ and are not refugees, EU Vice President Frans Timmermans says’, The Independent (online), 27 January 2016,
, diakes 14 Februari 2016.
perekrutan para imigran dari Suriah dan Irak.4 Dengan demikian, tidak hanya masyarakat negara anggota Uni Eropa takut identitas bangsanya terkikis dengan perubahan komposisi komunitas akibat masuknya sekelompok populasi bangsa baru, tetapi juga khawatir sekumpulan ekstrimisn akan melakukan pembunuhan massal terhadap bangsanya. Mengacu pada alasan-alasan tersebut, tidak heran apabila isu imigran Mediterania menjadi prioritas utama dalam agenda politik di Uni Eropa pada kurang lebih lima tahun belakangan ini. Dalam hal ini, krisis imigran Mediterania dianggap sebagai masalah bersama negara-negara anggota Uni Eropa. Pasalnya, meski masuk pertama kali di wilayah Italia dan Yunani, namun mayoritas imigran mengincar negara-negara Uni Eropa lain terutama Jerman dan Swedia sebagai destinasi akhir mereka. Hal ini semakin menjadi problematika kolektif negara-negara Uni Eropa karena dengan berlakunya penghapusan kontrol perbatasan internal, maka imigran tersebut dapat bebas melalui negara-negara yang termasuk dalam area Schengen untuk menuju negara tujuannya. Menanggapi hal tersebut, pihak pemerintahan supranasional Uni Eropa berusaha mengeluarkan skema-skema kebijakan untuk menangani isu imigran Mediterania seperti, pembagian kuota imigran ke masing-masing negara anggotanya; pemberian bantuan dana dan tenaga untuk penampungan dan identifikasi imigran di Italia dan Yunani; serta deportasi bagi imigran yang tidak memasuki kualifikasi sebagai pengungsi. Meski demikian, implementasi rencana-rencana tersebut banyak mendapat hambatan. Negara-negara anggota cenderung tidak yakin skema dari Uni Eropa mampu membendung derasnya arus masuk imigran. Oleh karena itu, satu per satu negara anggota justru mulai memberlakukan sekuritisasi yang dapat dikatakan menentang skema dan aturan yang ada dari Uni Eropa untuk mencegah masuknya lebih banyak imigran ke wilayah mereka. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan apabila isu imigran Mediterania dipercaya sangat berpengaruh terhadap dinamika sosial politik negara-negara anggotanya. Selain itu, isu ini juga dianggap sebagai sebuah tantangan bagi Uni Eropa dalam hal penanganan ancaman bersama dengan tetap menjaga kohesi antara negara-negara anggotanya. Dalam hal ini, kebijakan nasional negara anggota merupakan input yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan pimpinan pusat Uni Eropa. Dengan demikian
4
Europol Public Information, Changes in modus operandi of Islamic State terrorist attacks, The Hague, 18 January 2016, p. 3.
menjadi menarik untuk mengaji lebih dalam proses sekuritisasi dalam langkah penanganan isu krisis imigran yang menjadi prioritas utama di Uni Eropa saat ini.
1.2
Rumusan Masalah Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: “Bagaimana proses
penanganan krisis imigran Mediterania di Uni Eropa tahun 2011-2015?”
1.3
Landasan Teori 1.3.1
Konsep Mixed Migration Secara terminologi, konsep migrasi sendiri memiliki cakupan yang luas dan
berbagai jenis. Meski demikian, istilah mixed migration dianggap sebagai yang paling sesuai untuk mendeskripsikan berbagai jenis migrasi seperti salah satunya yang terjadi di Mediterania. Mengacu pada International Organization for Migration (IOM), istilah mixed migration meliputi, ‘pergerakan populasi secara kompleks yang meliputi, pengungsi, pencari suaka, immigrant ekonomi dan jenis imigran lainnya.5 Dalam hal ini korban dari perdagangan manusia, stateless personsdan anak di bawah umur tanpa pengawasan juga dapat dimasukkan ke dalam kategori mixed migration. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa mixed migration merupakan istilah paling tepat untuk menjelaskan secara baik beragam alasan yang melatarbelakangi adanya migrasi. Istilah ini semakin tepat untuk menggambarkan isu imigran Mediterania apabila mengacu pada kriteria mixed migration menurut United Nations Refugee Agency (UNHCR), yaitu meski dengan motivasi dan keperluan berbeda-beda, namun dengan rute, pilihan transportasi dan jaringan penyelundup yang sama.6 Pada penulisan makalah ini, konsep mixed migration digunakan untuk mewakili kondisi krisis imigran di Uni Eropa yang semakin memburuk. Hal ini terutama saat Jerman mengumumkan kebijakan buka pintu untuk lebih banyak 5
IOM (International Organization for Migration), Glossary on Migration, International Migration Law, 2004, diunduh dari, p. 42. 6 UNHCR, Refugee Protection and Mixed Migration (online), , diakses pada 20 September 2015.
pengungsi ke wilayahnya pada pertengahan tahun 2015. Banyak imigran yang bukan berasal dari daerah konflik turut membaur dengan para pencari suaka agar mendapat pengakuan serta jaminan kesejahteraan sebagai pengungsi di Eropa. Identitas pengungsi yang semakin samar dan sulit dibedakan dengan imigran ekonomi itulah yang dinamakan mixed migration sehingga berdampak pada label ‘bad migrants’ bagi semua imigran yang masuk ke Uni Eropa. Mixed migration pun menjadi salah satu alasan yang mendorong negara-negara anggota untuk melakukan sekuritisasi, di samping faktor perbedaan mencolok identitas para imigran dengan masyarakat Uni Eropa.
1.3.2
Teori Sekuritisasi Sekuritisasi menurut Barry Buzan, dkk. Merupakan keamanan yang disajikan
sebagai
gerakan
dalam
ranah
panic
politic
(politik
kepanikan),
dimana
perpindahannya dari aturan-aturan politik normal dapat menjustifikasi adanya kerahasiaan, tambahan kekuasaan eksekutif serta aktivitas yang dapat bersifat ilegal.7 Dalam hal ini, cakupan keamanan dapat diperluas hingga ke luar sektor militer dan politik tradisional. Dengan demikian, sebuah isu dapat menjadi bagian dari isu keamanan apabila dianggap sebagai ancaman eksistensial, terdapat speech act— pelabelan suatu isu sebagai ancaman—oleh aktor dengan kedudukan penting terkait isu, serta respon terhadap isu tersebut yang cenderung tergesa-gesa dan dilakukan di luar agenda politik pada normalnya. Kunci dari pandangan konstruktivisme yang terdapat pada teori sekuritisasi ini ialah upaya bagaimana mengalihkan fokus dari analisis obyektif terhadap penilaian suatu ancaman ke cara yang lebih kompleks dimana keamanan secara internal terkonstruksi dan dimunculkan.8 Dengan kata lain, keamanan didefinisikan sebagai suatu hal yang bersifat self-referential, dimana sebuah isu dianggap sebagai isu keamanan bukan karena keberadaan ancaman eksistensial, namun karena isu tersebut disajikan sebagai ancaman.9 Oleh karena itu, kehadiran teori sekuritisasi dapat menyediakan metode operasional konstruktivis untuk memahami dan menganalisis 7
B. Buzan, ‘Rethinking Security after the Cold War’, Cooperation and Conflict, vol. 32, no.1, 1997,
p.14. 8
R. Dannreuther,International Security: The Contemporary Agenda, Polity Press, Cambridge, 2007, p.
92. 9
B. Buzan, O. Waever and J. de Wilde, Security: A New Framework for Analysis, Lynne-Rienner, London, 1998, p. 24.
bagaimana dan kapan sebuah isu berkembang menjadi isu keamanan.10 Hal ini untuk membantu merencanakan proses desekuritisasi atau pengembalian isu ke dalam agenda politik yang normal kembali. Dalam hal ini kerangka analisis sekuritisasi digunakan dengan cara menentukan siapa yang melakukan sekuritisasi, isu apa yang disekuritisasi, mengapa isu tersebut disekuritisasi, apa hasil dari tindakan sekuritisasi serta pada kondisi seperti apa dilakukan sekuritisasi.11 Keberhasilan dari sekuritisasi sendiri dapat dilihat melalui tiga komponen yakni bentuk ancaman eksistensial yang dihadapi, langkah darurat yang diambil untuk menghadapinya, serta efeknya terhadap relasi inter-unit akibat melanggar peraturan yang ada.12 Selain itu, pada prosesnya sendiri awal langkah sekuritisasi haruslah didukung dengan speech act yang berpengaruh. Dalam hal ini, keberhasilan speech act dapat dilihat dari dua faktor. Dari faktor internat, speech act yang berhasil harus memiliki konten meyakinkan dengan penggunaan pemilihan kata sesuai dengan sektor keamanan apa yang terancam. Pada sektor keamanan bermasyarakat sendiri, pemilihan kata-kata yang digunakan dalam speech act sendiri akan berkaitan dengan identitas.Sementara dari faktor eksternal, status dan posisi aktor sekuritisasi serta persepsi bentuk ancaman juga menentukan keberhasilan speech act. Meski speech act menentukan keberhasilan dari langkah awal sekuritisasi, namun aktor yang berperan penting untuk keseluruhan proses ini bukan hanya pelaku sekuritisasi tetapi juga pihak audiens atau obyek referen. Pasalnya, tanpa penerimaan dan dukungan dari audiens untuk melegitimasi pelanggaran beberapa aturan demi keselamatan eksistensial mereka, maka proses sekuritisasi tidak akan berhasil pada akhirnya. Selanjutnya, secara regionalisme sendiri, keberhasilan sekuritisasi juga dapat dilihat dari bagaimana dampak dan penyebarannya ke unit-unit aktor negara bangsa lainnya yang memiliki kedekatan lokasi dan relasi dengan pelaku sekuritisasi. Pola keterkaitan keamanan yang terjadi pada level regional dapat ditinjau prosesnya melalui tiga langkah. Pertama, apakah isu telah secara sukses tersekuritisasi oleh aktor tertentu. Kemudian kedua, apabila sukses, telusuri bagaimana hubungan dan interaksi aksi keamanan pada kasus ini berpengaruh pada keamanan lainnya dan bagaimana dapat ditemui efek echo secara signifikan. Terakhir dapat dillihat dari 10
Buzan et.al, p. vii. Buzan, p. 32. 12 Buzan, p 26. 11
bagaimana rantai-rantai ini secara kolektif dikumpulkan menjadi suatu kluster ketergantungan keamanan pada tingkat keamanan. Dengan kata lain, pola sekuritisasi di tingkat regional dapat diperhatikan dari teori
Kompleksitas
Keamanan
Klasik
(Classical
Security
Complex)
yang
menggabungkan perhatian aktor-aktor utama ke dalam konstelasi, atau ikatan dari hubungan keamanan yang sama. Di sisi lain, pola sekuritisasi ini juga menggunakan pandangan keamanan regional, atau kumpulan dari keamanan-keamanan nasional atau lebih pada konstelasi tertentu dari ketergantungan keamanan dalam sekumpulan grup negara-negara. Teori sekuritisasi ini akan dijadikan landasan untuk menjawab pertanyaan yang diangkat mengenai proses sekuritisasi yang terjadi di Uni Eropa. Dalam hal ini teori sekuritisasi awalnya akan digunakan untuk melihat elemen-elemen sekuritisasi yang terjadi pada level nasional negara anggota seperti bentuk ancaman, keberhasilan speech act, penerimaan audiens dan langkah-langkah kepanikan politik. Selanjutnya, teori ini juga akan menjelaskan bagaimana sekuritisasi pada level nasional memunculkan adanya kompleksitas keamanan pada level regional sehingga langkah sekuritisasi pun dilakukan oleh badan supranasional Uni Eropa.
1.4
Argumen Utama Proses sekuritisasi terhadap isu imigran Mediterania 2011 – 2015 awalnya terjadi
pada level nasional. Dengan mengatasnamakan identitas bangsa, aktor-aktor sekuritisasi yang berupa kepala pemerintahan maupun pihak oposisi di beberapa negara anggota Uni Eropa mengungkapkan krisis ini sebagai ancaman eksistensial. Pada penerapannya, proses sekuritisasi tersebut pun ternyata mendapat dukungan dari audiens, sehingga langkah-langkah sekuritisasi pun lantas terlegalisasi pelaksanaanya. Dalam hal ini, langkah sekuritisasi yang dilakukan oleh suatu negara anggota mendorong negara anggota lain untuk turut melakukan sekuritisasi pula. Dengan adanya ketergantungan keamanan pada negara-negara anggota Uni Eropa, maka sekuritisasi di tingkat nasional yang pada awalnya dianggap sebagai suatu ancaman eksistensial di sektor kebermasyarakatan memiliki efek echo untuk menjadi suatu ancaman sektor politik dan ekonomi pada level regional Uni Eropa. Hal ini kemudian
mendorong adanya sekuritisasi terhadap isu imigran Mediterania 2011 – 2015 pada level regional Uni Eropa.
1.5
Metodologi Penelitian Penulisan skripsi ini sebagian besar ditulis dengan menggunakan metode kualitatif.
Secara umum, metode kualitatif terutama digunakan dengan mengumpulkan data-data terbaru terkait isu imigran Mediterania yang terjadi selama tahun 2011 – 2015 melalui terbitan buku, jurnal, maupun artikel dari lembaga-lembaga penelitian. Selain itu, pengumpulan data kualitatif juga diperoleh dengan cara mengikuti terbitan-terbitan yang dirilis secara berkala oleh pihak Uni Eropa, United Nation of High Commissioner on Refugees (UNHCR), serta International Organization Migration (IOM). Dalam hal ini, digunakan pula metode kuantitatif untuk memperoleh dukungan data angka yang memperkuat argumen.Meski demikian, pada bagian analisis digunakan kembali metode kualititatif untuk menjelaskan peran sekuritisasi, melalui teori dari Copenhagen School, terhadap penanganan krisis imigran Mediterania 2011 – 2015 di Uni Eropa.
1.6
Sistematika Penulisan Bab I dari penulisan skripsi ini dimulai dengan uraian yang menjelaskan latar
belakang dari pengangkatan topik Sekurititsasi Isu Imigran: Krisis Mediterania 2011 – 2015 pada 1.1. Hal ini meliputi latar belakang dari terjadinya isu serta alasan-alasan yang membuat isu ini menarik untuk dijadikan karya ilmiah. Selanjutnya, pada 1.2 penulis merisalahkan sebuah rumusan masalah yang akan dijawab melalui bab-bab selanjutnya pada skripsi. Rumusan masalah dalam hal ini membantu agar penyajian data serta analisis nantinya tetap fokus dan koheren. Pada 1.3 diuraikan satu konsep dan satu teori yang digunakan sebagai pisau analisis untuk topik ini. Kemudian 1.4 memuat argumen utama dari penulisan makalah yang berupa hipotesa awal penulis dalam menjawab rumusan masalah dengan kerangka teori yang dipilih dan data-data sementara. Lalu, pada 1.5 dipaparkan metodologi penelitian yang digunakan serta pada 1.6 terdapat uraian mengenai sistematika penulisan dari skripsi ini. Bab II dari skripsi ini akan membahas mengenai proses sekuritisasi terhadap penanganan krisis imigran Mediterania 2011 – 2015 pada level nasional negara anggota Uni Eropa. 2.1 akan membahas mengenai bagaimana Krisis Imigran Mediterania 2011 – 2015
terjadi. Hal ini meliputi rute yang ditempuh, grafik negara anggota yang paling banyak menerima pengungsi di Uni Eropa selama krisis berlangsung, serta penjelasan pemilihan negara destinasi imigran. Selanjutnya, 2.2 menjelaskan bagaimana krisis imigran Mediterania kali ini dikonstruksikan sebagai suatu ancaman eksistensial berdasarkan logika Uni Eropa. Pada bagian ini konsep migrasi campuran dan teori sekuritisasi mulai digunakan untuk mengidentifikasi ancaman eksistensial. Bagian 2.3 kemudian menjelaskan mengenai langkah sekuritisasi yang dilakukan pada level nasional negara anggota. Hal ini meliputi data-data speech act dari aktor-aktor sekuritisasi di negara-negara bagian serta penerimaan audiens terhadap proses sekuritisasi yang disusun berdasarkan kerangka teori sekuritisasi dari Buzan, dkk. Bagian terakhir pada Bab II, yaitu 2.4 menjelaskan mengenai data-data langkah sekuritisasi yang dilakukan pada level nasional oleh negara-negara anggota Uni Eropa. Selanjutnya Bab III menjelaskan sekuritisasi isu imigran Mediterania 2011 – 2015 pada level regional. Pada 3.1 dijelaskan mengenai inisiasi langkah-langkah awal yang dilakukan oleh Uni Eropa dalam menangani krisis imigran Mediterania kali ini dalam politik normal. Selanjutnya, 3.2 menjelaskan mengenai transisi bagaimana krisis imigran Mediterania ini lantas dianggap ancaman terhadap identitas integrasi regional Uni Eropa. Terakhir pada 3.3 dijelaskan proses dan langkah sekuritisasi pada level regional Uni Eropa. Penulisan skripsi ini akan diakhiri pada Bab IV dimana selain ditarik kesimpulan, penulis memberikan rekomendasi singkat mengenai perlunya desekuritisasi krisis imigran Mediterania 2011 – 2015 ini melalui perspektif humaniter.