BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembaruan pemerintah Indonesia membentuk pemerintahan yang lebih terdesentralisasi dengan menyusun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (PEMDA), yang kemudian mengalami amandemen melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menuntut pemerintah daerah untuk siap menerima delegasi wewenang dari pusat atau pemerintah di atasnya, tidak hanya dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga dalam hal pemecahan permasalahan dan pendanaan kegiatan pembangunan daerah. Konsekuensinya, memaksa pemerintah daerah melaksanakan manajemen pembangunan daerah yang lebih profesional, bottom-up dan mandiri. Artinya, pemerintah daerah dituntut untuk melaksanakan fungsi-fungsi manajemen yang lebih komprehensif, yaitu adanya keterkaitan proses antara perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pembangunan daerah yang berkesinambungan. Tugas pokok pemerintah daerah dalam rangka otonomi daerah adalah menggali dan memanfaatkan sumberdaya (manusia, alam, uang sentra industri dan ekonomi)
untuk
optimalisasi
pembangunan
(sektor
dan
wilayah),
mengembangkan dan mengoptimalkan lembaga (institusi) untuk kegiatan pembangunan. Kegiatan yang dilakukan harus merupakan kegiatan yang berkelanjutan (sustainable development) dan berwawasan lingkungan. Pengertian pembangunan yang berkelanjutan pada saat ini (present) dengan tanpa menimbulkan
dampak
negatif
untuk
saat
yang
akan
datang
(future)
(Environmental Energy Study Institute Task Force, 1991). Definisi pembangunan berkelanjutan juga dapat diterjemahkan sebagai suatu kehidupan sosial yang harmonis dengan sistem alam yang sehat (Water Quality 2000 dalam Robert, 2002). Pada saat pemerintahan sentralistik nampak tidak mampu menjalankan kebijakan untuk pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan berkeadilan, banyak pihak berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah akan
membawa perubahan-perubahan mendasar, sehingga kebijakan dan kinerja pengelolaan sumberdaya alam dapat diperbaiki. Hal ini terlihat dari aspek-aspek perbaikan yang dijanjikan proses otonomi daerah yaitu kesetaraan (equity) dan efisiensi (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup disebabkan perilaku individu maupun organisasi melalui keputusan-keputusan dan tindakannya. Keputusan tersebut ditentukan kelembagaan. Kelembagaan ini mencakup organisasi, hak-hak atas sumberdaya alam, peraturan perundangan, struktur pasar, pengetahuan dan informasi, serta proses-proses politik di dalam pemerintahan. Secara substansial dapat berupa organisasi atau wadah (players of the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ostrom, 1985) dalam (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Selanjutnya Kartodiharjo dan Jhamtani (2006) menjelaskan bahwa seluruh rangkaian serta ekonomi politik dibalik pemanfaatan sumberdaya alam dari zaman kolonial sampai pelaksanaan otonomi daerah menyisahkan sejumlah masalah mendasar sebagai berikut : 1) Keterbukaan pasar dan permintaan akan sumberdaya alam (SDA) yang tinggi tanpa disertai kepastian hak atas tanah dan kekayaan alam lain, terbukti mengakibatkan pengurasan SDA oleh berbagai pihak, secara legal oleh yang mendapat ijin, maupun secara illegal oleh yang tidak mendapat ijin. 2) Substansi Undang-undang maupun peraturan perundangan lain, termasuk Perpu, yang merupakan landasan kerja semua sektor, cenderung bersifat eksploitatif terhadap SDA. 3) Tindakan eksploitasi SDA secara illegal telah menjadi bagian dari instrumen untuk memperoleh keadilan pemanfaatan SDA bagi sebagian masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar lokasi SDA. 4) Proses-proses politik terutama di lembaga legislatif, pusat maupun daerah, cenderung mengarah pada kebijakan SDA eksploitatif mobilisasi suara. Pemerintah daerah dibayangi oleh jebakan zero sum game dalam pengelolaan SDA, antara penekanan peningkatan ekonomi dengan mengorbankan fungsi ekologis dan sosial, atau mengutamakan perlindungan atas SDA yang akan mengurangi manfaat ekonomi. Di lema ini semestinya terjawab dengan kebijakan yang mampu memberi solusi dan aturan atau produk Undang-undang yang
berjalan. Hal ini menjadi tantangan baru bagi pemerintahan daerah (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Pendelegasian wewenang kepada pemerintah daerah memberikan porsi pengelolaan sumberdaya alam yang cukup besar termasuk sumberdaya alam pesisir yang sifatnya common-pool resources. Hal ini mensyaratkan adanya peran kelembagaan daerah yang tepat dengan semangat keberlanjutan. Kelembagaan yang di maksudkan dalam penelitian ini mencakup organisasi, peraturan perUndang-undangan, struktur pasar, proses-proses politik dalam pemerintahan daerah, serta informasi dan pengetahuan stakeholder dalam pemerintahan daerah. Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai pemindahan otoritas atau kewenangan dan tanggung jawab fungsi pelayanan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau lembaga pemerintahan quasi- independen atau pada sektor privat dan komunitas (Cohen & Peterson, 1999; Rondinelli, 1999; Smith, 1985 dalam Satria, 2004). Pengelolaan sumberdaya pesisir dalam era desentralisasi memberikan kewenangan kepada pemerintah propinsi 12 mil wilayah laut dari garis pantai, dan untuk kabupaten 4 (empat) mil dari garis pantai. Pemberian kewenangan ini juga mencakup (a) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya kelautan, (b) Manajemen administratif, (c) Pengaturan zona, (d) Penegakan hukum dan kebijakan lokal atau kebijakan pusat yang telah mengalami penyesuaian dengan kebutuhan pemerintahan lokal (Satria, 2004).
Untuk
melaksanakan ketentuan pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 30 ayat (9) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, telah ditetapkan peraturan pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yang di atur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun 2007. Pemerintah memiliki peran sebagai agen pembangunan sekaligus sebagai agen pelindung sumberdaya alam dan lingkungan (Bryant dan Bailey, 2001 dalam Satria, 2009a). Sebagai agen pembangunan, pemerintah memiliki tujuan pragmatis yaitu menciptakan penerimaan untuk negara. Untuk itu pemerintah menarik investasi melalui kolaborasi dengan para pemilik modal berupa pemberian izin-
izin pemanfaatan sumberdaya alam.
Kolaborasi tersebut, secara nyata
mengangkat status satu pihak yaitu swasta dan disisi lain menurunkan status pihak lain yaitu masyarakat dalam mengakses sumberdaya alam. Izin yang diberikan oleh pemerintah mencakup hak-hak eksklusif yang memungkinkan pihak swasta untuk mengakses, mengambil (withdrawal), bahkan melarang pihak lain (to exclude) mengambil sumberdaya tersebut, sehingga memarginalkan hak-hak masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam secara politik dan ekonomi (Satria, 2009a). Pada
perlindungan
sumberdaya
alam,
seringkali
terjadi
konflik
kepentingan antara masyarakat dengan pemerintah sebagai agen pembangunan. Hal ini tercermin dari sering terjadinyan konflik antar departemen. Satu departemen menghendaki kelestarian lingkungan, sementara itu departemen lainnya menghendaki tujuan ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut. Kasus yang paling hangat adalah konflik antara Departemen Kehutanan dengan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dalam memperebutkan wilayah pertambangan di kawasan hutan lindung. Peran pemerintah sebagai agen dan sekaligus pelindung sumberdaya pesisir tidak jarang menimbulkan konflik dengan masyarakat. Derajat konflik cukup beragam dan sangat dipengaruhi oleh hak kepemilikan dari sumberdaya alam (property right) tersebut (Satria, 2009a). Pola perilaku aktor-aktor pengelola sumberdaya pesisir (pemerintah, masyarakat dan swasta), sangat menentukan keberlanjutan dari sumberdaya pesisir itu sendiri. Dari pengalaman selama ini, negara dan swasta telah banyak memiliki kesempatan untuk menjadi aktor pengelola sumberdaya pesisir namun ternyata banyak pula menimbulkan masalah. Oleh karena itu, pendistribusian kewenangan pengelolaan sumberdaya pesisir pun perlu mengalami pergeseran dari sentralisasi (governmnent based management) menjadi desentralisasi (community based management) dengan menekankan pendistribusian kewenangan kepada masyarakat (Satria, 2009a). Implementasi
hukum
pemerintahan
daerah,
pemerintah
pusat
mengeluarkan kebijakan yang disebut Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun 2007. Kebijakan ini mengatur kewenangan pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten kota menempatkan persoalan lingkungan hidup sebagai urusan wajib.
Selanjutnya Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, mengatur tentang kewenangan pemerintahan daerah meliputi; (1) Mengatur kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, managemen dan kegunaan sumberdaya laut dibawah 12 mil, (2) Mengatur kebijakan dan pengelolaan regulasi dan kegunaan atas barang dan pelayaran di bawah 12 (dua belas) mil wilayah laut, (3) Mengatur kebijakan dan regulasi batas laut termasuk kewenangan batas laut dan batas hukum laut internasional, (4) Mengatur ukuran wilayah pesisir dan pengelolaan pulau-pulau kecil dan, (5) Menegakkan hukum perairan laut sepanjang 12 (dua belas) mil yang berhubungan spesifik dengan hukum laut international. Inisiatif pengelolaan kawasan Teluk Bone Terpadu yang secara administratif melingkupi seluruh kabupaten yang memiliki wilayah pesisir di Sulawesi Selatan dan sebagian Sulawesi Tenggara melalui Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) membutuhkan respon positif dari setiap aktor utama di setiap lokalitas. Respon yang dimaksud tidak hanya menyangkut kesiapan menerima inisiatif ini tetapi kesiapan konstitusioanal di tingkat lokal, kesiapan masyarakat yang diturunkan dalam bentuk kesiapan aksi bersama dalam hal ini kesiapan di tingkat komunitas atau masyarakat pesisir di sepanjang garis pantai Teluk Bone. Sebagai wilayah yang dikelilingi oleh Teluk Bone potensi wilayah pesisir Kabupaten Luwu semestinya mampu terjaga kelestarian dan keberlanjutannya.
Kinerja
kelembagaan
daerah
terhadap
desentralisasi
pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu dalam penelitian ini dinilai melalui berbagai produk peraturan daerah, Rancangan Pembangunan Jangkah Menengah Daerah (RPJMD) dan atau kebijakan yang lain. Analisis stakeholder yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir juga dinilai dengan melihat kecenderungan para stakeholder memandang kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir. Dalam penelitian ini, analisisi stakeholder dilakukan di Kabupaten Luwu.
1.2. Kerangka Pemikiran Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu dan berbagai proses yang mengikutinya dikaji dan dinilai dengan melihat kesiapan kelembagaan daerah dalam hal ini dukungan pemerintah dalam hal kesiapan peraturan daerah, yang akan mengatur keterkaitan pengelolaan wilayah pesisir. Keterpaduan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu membutuhkan kerangka kerja bersama yang bukan hanya memerlukan keinginan politik yang kuat dari aktor kunci melainkan keinginan dan kesiapan institusioanal dari segenap stakeholder kabupaten
Luwu
untuk
menjaga
sumberdaya
pesisir
dalam
kerangka
pembangunan berkelanjutan. Aktor, kelembagaan dan sumberdaya merupakan elemen kunci manajemen pembangunan berkelanjutan (Gerber et al, 2009). Kerangka kerja analisis kelembagaan dimulai dari melihat kondisi fisik, sifat komunitas, aturan yang disepakati atau digunakan, arena aksi, situasi aksi, aktor, dan pola interaksi. Pada level analisis dibagi kedalam empat pendekatan yaitu level operasional (operasional choice) dengan melihat perubahan kondisi fisik, pilihan kolektif (collective choice) perubahan atau membuat aturan-aturan untuk situasi level operasional, menjadi pilihan konstitusional (constitucional choice) dengan melihat perubahan atau pembuatan aturan-aturan atas kesepakatan pilihan aksi kolektif dan terakhir adalah Meta-Constitucional menjelaskan bagimana
memberikan
pengetahuan
dan
pengertian
terhadap
pilihan
konstitusional (Ostrom and Edella, 1996). Selanjutnya, dalam Laporan penelitian Minus Malum; Analisis Proses perhutanan Multi Pihak Indonesia oleh Fahmi et al. (2003) menjelaskan bahwa secara formal ada tiga jalur formal konsolidasi konstitusional. Tiga jalur aksi (worlds of action), yaitu tingkat pilihan operasional (operational choice), tingkat pilihan
kolektif
(collective
choice)
dan
tingkat
pilihan
konstitusional
(constitutional choice), yang sebelumnya dipersepsikan terpisah satu sama lain, sesungguhnya merupakan tiga wilayah pengambilan keputusan yang terkait satu sama lain. Keduanya menjelaskan tiga jalur aksi, yaitu ( 1) Tingkat pilihan operasional adalah pengambilan keputusan di tingkat individu, yang dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu harus meminta persetujuan individu lain. Otoritas
pengambilan keputusan ini, dijamin oleh kerangka institusional yang berlaku (baik tertulis, seperti konstitusi dan peraturan-perundangan, maupun tidak tertulis, seperti norma dan nilai-nilai). Aturan (rules) di tingkat pilihan operasional dapat diubah oleh aksi di tingkat pilihan kolektif. (2) Tingkat pilihan kolektif adalah pengambilan keputusan oleh sekumpulan orang yang memiliki otoritas untuk itu, namun keputusannya bersifat menentukan dan memaksa individu di dalam jurisdiksi administratif atau hukum maupun sosialnya. Karena itu, pengambilan keputusan di tingkat ini seperti keputusan pemerintah atau lembaga adat, selalu diiringi sanksi bagi individu yang menyimpang. Aturan ditingkat pilihan kolektif dapat diubah oleh aksi ditingkat pilihan konstitusional. (3) Tingkat pilihan konstitusional adalah pengambilan keputusan oleh sekumpulan orang yang memiliki otoritas untuk itu, namun keputusannya mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di tingkat pilihan kolektif. Pilihan konstitusional, dengan demikian, mengatur keputusan yang dapat diambil ditingkat pilihan kolektif (Fahmi et al. 2003). Alur pikir penelitian dapat di lihat pada Gambar 1 dibawah ini : Undang-undang terkait Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Constitusional choice KELEMBAGAAN DAERAH : 1. Peraturan Daerah 2. Organisasi/Lembaga
Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kab. Luwu Collective choice Pengelolaan Sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bone Kab. Luwu Terpadu
Peraturan Pemerintah
Operational Choice Infrastruktur, dan perubahan fisik Sumberdaya pesisir Kab.
Studi Kebijakan dan Analisis Stakeholder
Rekomendasi Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pikir Penelitian. Sumber : Fahmi et al. (2003) ; Ostrom dan Edella (1996) ( dimodifikasi)
1.3. Perumusan Masalah Pergeseran paradigma pembangunan dari paradigma sentralistik ke paradigma desentralistik membuka ruang yang baik bagi pembangunan wilayah pesisir. Namun di sisi lain, memberi peluang eksploitasi sumberdaya pesisir yang tidak terkontrol. Dalam penelitian keberpihakan kebijakan terhadap kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam yang dilakukan Adiwibowo et al. (2009) ditemukan bahwa (1) Pada tataran lokal atau kabupaten, pemerintah daerah otonom melalui kebijakan, perijinan, atau lisensi yang diterbitkannya dapat membuka jalan dan memberi legitimasi pada aktor tertentu untuk akses terhadap sumberdaya alam di kawasan konservasi yang secara tradisional atau yuridis formal berada di bawah pengusaan aktor yang lain, (2) Tidak adanya kebijakan di tingkat lokal, kabupaten, propinsi maupun nasional yang mensinergikan kepentingan ekonomi dan konservasi secara komprehensif. (3) Pada tataran makro, pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan belum menjadi arus utama (mainstream) pembangunan nasional. Wilayah pesisir memiliki kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang sangat potensial untuk pembangunan ekonomi. Berlakunya otonomi daerah mengakibatkan pemerintah kabupaten/kota menjadi stakeholder yang mempunyai kewenangan untuk menentukan arah dan model pengelolaan secara penuh dalam pengembangan wilayah pesisir baik dari aspek perencanaan dan pelaksanaan sesuai dengan kemampuan pendanaan yang tersedia. Sekitar lebih dari 50 persen penduduk dunia bertempat tinggal diwilayah pesisir, begitu pula sekitar 2/3 kota-kota besar didunia berlokasi diwilayah pesisir. Walaupun ekosistem pesisir menyediakan berbagai produk dan jasa lingkungan, namun ironisnya sekitar 80 persen dari penduduk diwilayah pesisir di negaranegara sedang berkembang berada dalam kondisi kehidupan yang miskin dengan kualitas lingkungan yang terdegradasi (Kusmana, 2010). Keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir sangat tergantung dari kemampuan pemerintah daerah untuk menjalankan tiga peran yaitu sebagai regulator, eksekutor dan fasilitator. Sebagai regulator pemerintah daerah dituntut dapat mengimplementasikan berbagai aturan dan pedoman yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir, pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan
sehingga ditaati oleh seluruh pelaku (stakeholder). Kegagalan penanganan pembangunan berkelanjutan selama ini telah membuka ruang untuk koreksi, dari pendekatan yang mengandalkan pengaturan dan pengawasan kearah pendekatan yang mengandalkan inisiatif otonom perorangan atau melalui kelembagaan. Good governance sebagai paradigma sosial baru yang oleh Capra (2001) didefinisikan sebagai himpunan konsep, nilai, persepsi dan tindakan yang diterima oleh masyarakat, yang membentuk cara pandang terhadap realitas dan kesadaran kolektif sebagai dasar masyarakat menata dirinya sendiri. Salah satu unsur yang paling dibutuhkan dalam merealisasikan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil saat ini adalah unsur demokrasi (Bengen, 2009). Berdasarkan beberapa permasalahan di atas, peran kelembagaan daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir menjadi sangat penting, sebab berbagai permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan juga dapat disebabkan oleh lemahnya peran kelembagaan daerah dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Keterlibatan dan posisi stakeholder dalam pembangunan termasuk pengelolaan sumberdaya pesisir dikawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu juga menjadi sangat penting untuk dinilai sebagai pendekatan yang memungkinkan keterlibatan semua pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir sehingga diharapkan dapat memberi penekanan pada hak atas sumberdaya (property right) dalam hal ini sumberdaya pesisir yang dijamin secara konstitusional bagi semua pihak dan diturunkan dalam aksi kolektif dengan semangat pembangunan berkelanjutan. Keberpihakan kebijakan pemerintah merupakan salah satu faktor penting dalam mendukung pengelolaan sumberdaya yang berkeadilan dan berkelanjutan. Hal ini disebabkan oleh peran pemerintah yang begitu besar yang di jamin oleh Undang-undang di era otonomi daerah. Selain itu, dalam pengelolaan yang berkeadilan dan berkelanjutan faktor posisi dan peran stakeholder menjadi sangat penting pula dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, karena setiap stakeholder memiliki tingkat kepentingan yang berbeda dan akses yang berbeda. Oleh karena itu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini antara lain : 1. Seberapa besar keberpihakan kebijakan pemerintah dalam mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu?
2. Bagaimana posisi stakeholder terhadap desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dikawasan Teluk Kabupaten Luwu? 3. Bagaimana masa depan pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu? 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Menilai keberpihakan peraturan daerah pada era otonomi daerah terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.
2.
Mengetahui posisi, dan peran stakeholder dalam desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.
3.
Merumuskan rekomendasi kebijakan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat : 1.
Memberikan informasi mendalam tentang kesiapan dan langkah institusional daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.
2.
Sebagai input informasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah, khususnya bagi kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.
3.
Menstimulan
terciptanya
kebijakan
yang
berpihak
terhadap
kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya pesisir di Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. 1.6. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji kesiapan institusional daerah kabupaten Luwu. Dengan menilai keberpihakan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, menganalisis persepsi, partispasi, keterlibatan, kepentingan dan pengaruh
stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Penelitian ini juga merumuskan rekomendasi kebijakan atau arahan kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu sebagai input bagi penyelenggaraan rencana pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu dimasa datang. 1.7. Tahapan Penelitian Tahapan dalam penelitian ini mengacu pada pendekatan level analisis institusional (Ostrom dan Edella, 1996) yaitu pilihan level operasional (operasioanal choice),
pilihan kolektif (collective choice)
dan pilihan
konstitusional (constitutional choice). Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu dinilai dengan melihat kesiapan institusional di kabupaten Luwu dengan melihat kesiapan peraturan daerah yang ada, kesiapan para pihak (stakeholder), dan mengukur posisi komunitas dan masyarakat lokal atau nelayan dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dikawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.