BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan,
oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan biota laut baik flora maupun fauna. Demikian luas serta keanekaragaman biota-biota hidup di dalam yang seluruhnya membentuk dinamika kehidupan di laut yang saling berkesinambungan. Perhatian terhadap biota laut semakin meningkat dengan munculnya kesadaran dan minat setiap lapisan masyarakat akan pentingnya lautan. Laut sebagai penyedia sumber daya alam yang produktif, baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, kawasan rekreasi dan pariwisata. Oleh karena itu wilayah pesisir dan lautan merupakan tumpuan
harapan manusia dalam
pemenuhan kebutuhan di masa sekarang dan yang akan datang. Salah satu bentuk kekayaan flora di perairan Indonesia yaitu adanya tumbuhan lamun. Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya kelompok tumbuhan berbunga yang hidup di lingkungan laut (Suci 2012 dalam Romimohtaro dan Juwana 2001). Tumbuhan ini hidup di perairan dangkal. Lamun merupakan produktifitas primer di perairan dangkal di seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme. Penyebaran padang lamun di Indonesia cukup luas, mencakup hampir seluruh perairan Nusantara, yakni Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Dari seluruh jenis, jenis Thalassia hemprichii merupakan yang paling dominan di Indonesia. Keanekaragaman hayati lamun yang paling tinggi ada di perairan Teluk Flores dan Lombok, masingmasing ada 11 spesies. Jika dibandingkan, maka keanekaragaman hayati lamun di Perairan Indonesia bagian timur lebih tinggi dibandingkan dengan bagian barat. Hal ini diduga karena posisi daerah bagian timur yang lebih dekat dengan pusat penyebaran lamun di perairan Indo Pasifik, yaitu Filipina (16 jenis) dan Australia Barat yang memiliki 17 jenis.
1
2
`
Secara ekologi, lamun mempunyai beberapa fungsi penting di daerah
pesisir. Biomassa lamun dalam berat adalah berat dari semua material yang hidup pada satu satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m2 (gbk/m2). Sedangkan produksi lamun diartikan sebagai pertambahan biomassa lamun selang waktu tertentu (Zieman dan Wetzel 1980) dengan laju produksi (produktivitas) yang sering dinyatakan dengan satuan berat karbon per m2 pertahun (gC/m2/tahun). Biomassa padang lamun secara kasar berjumlah 700 gbk/m2, sedangkan produktivitasnya 500 - 1000 gC/m2/tahun. Oleh karenanya padang lamun merupakan lingkungan laut dengan produktivitas tinggi (Nybakken 1988). Padang lamun merupakan hamparan tumbuhan seperti rumput atau alangalang yang terbenam di dalam laut yang dangkal, tenang, berpasir atau berlumpur. Tumbuhan lamun terdiri dari rhizoma, daun dan akar. Rhizoma adalah batang yang terbenam dan mendatar di atas permukaan dasar laut (Muliayanti 2009). Perhatian terhadap ekosistem padang lamun (seagrass) masih sangat kurang dibandingkan terhadap ekosistem bakau (mangrove) dan terumbu karang (coral reefs), padahal kelestarian kawasan pesisir pantai tergantung pada pengelolaan yang sinergis dari ketiga ekosistem tersebut. Padang lamun merupakan sumber zat-zat organik tertinggi yang dibutuhkan oleh berbagai organisme dibanding ekosistem laut dangkal lainnya. Lamun sangat berperan penting dalam ekosistemnya yaitu dalam hal menstabilkan garis pantai karena lamun memiliki sistem perakaran yang padat dan saling menyilang dengan kuat sehingga dapat menstabilkan substrat yang ada dan tidak cepat tererosi oleh arus maupun gelombang air laut. Selain itu lamun berfungsi dalam mempertahankan kehidupan dari biota-biota laut seperti ikan dalam bentuk Juvenille karena lamun ini berfungsi dalam hal nursery ground, feeding ground, dan spawning ground. Penyebaran padang lamun di daerah Bali, yaitu di wilayah pesisir Bali Tenggara seperti perairan pantai Timur Nusa Dua, Pantai Sanur, Pulau Serangan dan Nusa Lembongan. Ekosistem padang lamun di Bali sudah banyak terdegradasi akibat adanya aktivitas masyarakat dan pembangunan seperti
3
pengambilan batu karang, reklamasi Pulau Serangan dan budidaya rumput laut di Pulau Nusa Penida dan Lembongan, serta aktivitas pariwisata tirta (berenang, menyelam atau memancing) yang berdekatan dengan habitat padang lamun tersebut. Untuk itu maka perlu dilakukan perlindungan ekosistem lamun sebagai sumberdaya perikanan atas asas manfaat, ekonomis dan berkelanjutan. Perlu segera dilakukan penertiban akibat kegiatan budidaya rumput laut agar tidak dapat merusak karang dan habitat padang lamun di perairan Nusa Lembongan. Budidaya rumput laut yang dilakukan di daerah ini menggunakan sistem dasar (bottom system). Untuk kegiatan tersebut, petani meratakan karang di daerah reef flat dan mengeruk permukaan substrat untuk memperoleh kedalaman yang cukup dimana rumput laut masih bisa terendam pada saat air surut. Patokpatok dari kayu dipasang atau ditancapkan membentuk petak-petak dengan menggunakan tali sebagai pengikat bibit rumput laut. Bongkahan/pecahan karang dikumpulkan menjadi pematang antar petak atau digunakan sebagai penahan gelombang air laut (Alhanif 1996).
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang dapat diidentifikasi
adalah: 1.
Seberapa besar perubahan luasan sebaran lamun dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh yang memberikan gambaran dalam mendeteksi perubahan yang terjadi di Perairan Nusa Lembongan.
2.
Bagaimana kondisi luasan (tutupan) dan kerapatan lamun beserta kondisi lingkungan perairan Nusa Lembongan.
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Mengidentifikasi perubahan luasan (tutupan) sebaran lamun di perairan Nusa Lembongan, Bali dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh pada tahun 2007, 2009 dan 2010.
4
2.
Menganalisis perolehan informasi kerapatan dan tutupan lamun yang akan dikriteriakan untuk diklasifikasi dari kondisi ekosistem lamun yang terdapat di perairan Nusa Lembongan, Bali.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi kepada
masyarakat, khususnya pada pemerintah setempat tentang pentingnya keberadaan ekosistem lamun, sehingga dapat dikelola untuk kelestarian pesisir pantai serta berguna dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan dan pelestarian lamun di wilayah Nusa Lembongan, Bali.
1.5
Pendekatan Masalah Padang lamun
merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang
memiliki nilai konservasi tinggi khususnya dalam hal perlindungan sistem penyangga kehidupan dan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir. Ekosistem ini merupakan daerah perikanan yang produktif dan turut pula menyumbang produktivitas perairan di sekitarnya. Masyarakat pesisir memanfaatkannya sebagai bahan mentah (sayuran, lalapan, manisan, asinan) maupun dalam bentuk olahan untuk diambil zat-zat yang dikandungnya sebagai bahan tambahan pada beberapa industri makanan, tekstil, cat, obat-obatan maupun industri kosmetik. Selain itu digunakan pula sebagai pupuk dan pakan ternak. Ekosistem padang lamun amat rentan terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia. Di kawasan pantai, manusia melakukan pengerukan untuk pembangunan pemukiman pantai, pembuangan limbah industri dan sebagai jalur navigasi (Duarte 2002). Hal ini mengakibatkan rusaknya padang lamun. Disamping itu, terdapat dampak sekunder pada perairan laut yaitu meningkatnya kekeruhan air serta terlapisnya insang hewan air oleh lumpur dan tanah hasil pengerukan sehingga menyebabkan kematian hewan air disekitar kawasan Nusa Lembongan.
5
Usaha untuk mendeteksi terjadinya perubahan-perubahan pada suatu wilayah padang lamun memerlukan gambaran spasial berupa peta yang menunjukkan penyebaran padang lamun. Pemantauan kondisi dilakukan melalui pemetaan kembali dalam periode tertentu. Perubahan kondisi yang tergambar pada peta dapat digunakan sebagai dasar penyusunan program pengelolaan yang bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Penggunaan citra satelit penginderaan jauh merupakan salah satu pilihan perangkat yang bisa digunakan dalam pemetaan padang lamun (English et al. 1994). Teknologi penginderaan jauh ini membutuhkan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk dapat bekerja bersama secara efektif dalam menangkap, menyimpan,
memperbaharui,
mengelola,
memanipulasi,
mengintegrasikan,
menganalisa, memperbaiki dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis (Supriatna dan Sukartono 2002). Penggunaan data citra satelit untuk mendeteksi keberadaan lamun di masa lalu dan saat ini, pada jenis lamun yang berbeda dapat di interpretasikan dengan menggunakan data citra satelit melalui kenampakan dari perbedaan warna (tone) dan tekstur substrat (Larkum dan West 1990). Penerapan teknologi penginderaan jauh untuk pemetaan padang lamun selama ini baru pada tahap mendeteksi keberadaan padang lamun saja, tidak memberikan informasi mengenai kondisi padang lamun (persentase tutupan dan kerapatan). Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu penelitian yang hasilnya dapat diterapkan dalam perolehan informasi tentang kondisi padang lamun (Amran 2010).