BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Sastra Jawa telah hidup sejak lama dengan kekhasan yang
diturunkan secara turun-temurun menghasilkan karya-karya emas bernilai tinggi, bersifat sakral, dan sarat akan nilai-nilai luhur sejak sastra Jawa Kuno. Namun pada kenyataanya kekhasan tersebut mulai luntur sejak hadirnya sastra Jawa Modern. Sastra Jawa modern muncul pada sekitar abad 20-an dianggap menyalahi aturan sastra Jawa, dijelaskan oleh Pradopo dalam Pengantar buku Eskapisme Sastra Jawa (2002) bahwa pada umumnya, masyarakat Jawa lebih mengenal sastra adiluhung dari kerajaan yang diakui bernilai tinggi, tidak hanya pada isinya, tetapi juga pada gaya penceritaan dan gaya bahasanya. Akan tetapi, sastra adiluhung itu hanya berhenti pada karya-karya R.Ng. Ranggawarsita, atau sampai dengan abad ke-19. Sesudah itu, sastra Jawa dianggap sudah tidak ada lagi karena sebagian masyarakat Jawa -terutama generasi tua- hanya mengakui keberadaan sastra elite dari kerajaan itu. Kemunculan sastra Jawa modern, pada masanya oleh para bangsawan Jawa dianggap bahwa karya-karya sastra Jawa modern tidak memiliki nilai sastra sehingga tidak layak disebut sastra. Anggapan demi anggapan menuai beragam perdebatan mengenai sastra Jawa modern. Walaupun demikian agaknya kontroversi tersebut tidak memadamkan ideide para sastrawan-sastrawan sastra Jawa modern dalam menghasilkan karya-karyanya. Pada kenyataanya karya-karya sastra Jawa modern sempat menjadi pusat perhatian yang dinikmati oleh masyarakat Jawa kala itu, tidak terkecuali roman atau novel panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟. Roman atau novel panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ merupakan karya sastra novel berbahasa Jawa yang muncul pada sekitar tahun 1960-an. Mengenai penyebutan panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ didasari oleh tujuan dari penciptaan karya sastra tersebut. Para
14
2
pengarang roman atau novel panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ berupaya agar masyarakat Jawa ketika membaca karya-karyanya dapat sedikit melupakan situasi yang terjadi di negara Indonesia pada masa itu. Roman atau novel panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ berbentuk buku kecil dan tipis yang diterbitkan oleh penerbit swasta (di luar Balai Pustaka) dengan menggunakan kertas buram atau kertas yang memiliki kualitas rendah. Ciri-ciri karya sastra yang tergolong dalam roman atau novel panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ dijelaskan dalam buku Eskapisme Sastra Jawa (2002), yaitu pertama dilihat dari ukuran buku rata-rata berukuran 11 x 14 cm dengan ketebalan sekitar 40 halaman sehingga buku kecil dan tipis itu mudah dibawa kemana-mana di dalam saku celana atau saku baju pada masanya, sehingga banyak pula yang menyebutkan roman atau novel saku. Kedua, jenis kertas yang digunakan adalah kertas koran yang memiliki kualitas kertas yang rendah. Ketiga, dilihat dari kualitas cetakan yang terkesan ala kadarnya, sekedar dapat dicetak dan dapat dibaca. Melalui penjabaran ciri-ciri tersebut wajar apabila pada masanya roman atau novel panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ dikenal murah dan tidak memakan banyak waktu dalam pembacaannya, sehingga tidak mengherankan apabila memiliki banyak penggemar. Terlepas hal itu, dalam karya-karya sastra roman atau novel panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ menggunakan bahasa Jawa sehari-hari dengan cerita yang lekat dekat masyarakat serta dibumbui ajaran-ajaran moral Jawa, sehingga dirasa ringan namun tetap memiliki unsur pengetahuan yang mudah dicerna oleh pembaca. Sesuai dengan penjabaran di atas peneliti tertarik mengambil objek kajian berupa salah satu karya sastra yang termasuk dalam roman atau novel panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ yang berjudul Remuk karya Drs. Soetarno. Remuk yang diterbitkan pada tahun 1964 dilihat dari segi fisik, tema cerita, tahun terbit, dan pengarang, buku kecil ini dapat digolongkan ke dalam roman atau novel panglipur wuyung „penghibur
3
kesedihan‟. Buku yang memiliki jumlah 41 halaman dengan satu halaman bergambar ini menceritakan tentang kehidupan asmara Yayuk dan Budi. Yayuk adalah seorang janda cantik beranak satu yang bekerja sebagai pegawai bank di Bank Dagang Negara di Surabaya. Ia dan anak semata wayangnya bernama Andri, tinggal bersama ibu dan adiknya di daerah Patemon, Surabaya. Kecantikan Yayuk membuat banyak pria ingin mendekati tanpa memandang status jandanya, tak lepas pula oleh Budi. Budi adalah seorang Akuntan dari Direktorat Akuntan Negara yang bertugas di Kediri. Kisah cinta keduanya mengalir begitu saja setelah keduanya dipertemukan oleh salah satu teman Budi, yang merupakan seorang pengacara yang kebetulan juga bekerja di Surabaya. Percintaan antara Budi dan Yayuk diperkuat dengan tekat keduanya untuk membangun kehidupan bersama walaupun hubungan cinta keduanya terjalin jarak jauh. Kediri-Surabaya membuat hubungan cinta kasih mereka semakin kuat, melihat keseriusan kisah cinta anaknya dengan pria idamannya sebagai seorang ibu, Bu Mantri pun merestuinya. Betapa bahagianya hati Bu Mantri melihat anaknya menikah dengan pria idamannya, dan tak lama kemudian Yayuk mulai merasakan kehamilan. Namun kesedihan tak luput menghampiri rumah tangga Yayuk dan Budi, suatu ketika keduanya diharuskan oleh keadaan untuk saling membuka rahasia mengenai masa lalu masing-masing. Akan hal tersebut Bu Mantri pun merasa kecewa dan berniat memisahkan keduanya, namun kekuatan cinta Yayuk dan Budi malah semakin besar tak dapat lagi dipisahkan. Peneliti tertarik memilih roman atau novel panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ berjudul Remuk karya Drs. Soetarno yang selanjutnya dalam penelitian ini akan disebut dengan istilah novel Remuk seperti judul penelitian, karena dalam proses pembacaan teks novel Remuk banyak ditemukan ulasan mengenai sosial dan budaya masyarakat Jawa yang mengandung nilai-nilai moral. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk menganalisis tanda-tanda sosial dan budaya masyarakat Jawa di dalam teks novel Remuk guna menemukan makna-makna yan terkandung di
4
dalamnya. Tanda-tanda tersebut tidak lepas dari kode-kode yang berkaitan dengan sosial dan budaya yang menyertai kemunculan teks tersebut. Pengungkapan makna terhadap sebuah tanda adalah kinerja semiotika. Oleh karena itu peneliti menggunakan analisis semiotika Roland Barthes yang merupakan salah satu analisis semiotik teks yang melihat teks sebagai tanda yang harus dilihat dari segi ekspresi (E) dan isi (C). Analisis semiotika Roland Barthes ini dirasa cukup detail bagi peneliti karena dalam metode analisisnya diawali dengan membagi teks menjadi satuansatuan bacaan singkat atau disebut leksia, kemudian dilakukan pemaknaan dari tiap-tiap leksia tersebut dengan kode-kode yang menyertai.
1.2
Rumusan Masalah Dalam pembatasan penelitian sesuai dengan latar belakang,
dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep perkawinan masyarakat Jawa yang terdapat dalam novel Remuk karya Drs. Soetarno ? 2. Bagaimana makna yang terkandung, yaitu konsep perkawinan masyarakat Jawa dalam novel Remuk karya Drs. Soetarno ?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian terhadap novel Remuk karya Drs. Soetarno dengan
menggunakan kajian analisis semiotika Roland Barthes ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis yang pertama, penelitian ini untuk mendeskripsikan makna leksia-leksia yang dilalui lima kode tekstual Roland Barthes dalam teks novel Remuk. Kedua, menjabarkan konsep perkawinan Jawa yang muncul dari analisis makna leksia-leksia tersebut. Tujuan praktis dalam penelitian ini adalah untuk menambah wawasan mengenai makna-makna konsep perkawinan Jawa yang terkandung dalam teks novel Remuk. Selain itu, tujuan dalam penelitian ini adalah menunjukan bahwa karya sastra yang termasuk di dalam roman
5
panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ memiliki nilai-nilai positif yang dapat diambil serta dipelajari bagi pembacanya.
1.4
Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap novel Remuk karya Drs. Soetarno belum pernah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan teori apapun dan dalam bentuk apapun. Hal ini dilakukan karena sebelum melaksanakan penelitian terlebih dahulu harus dilakukan tinjauan pustaka agar tidak terjadi kesamaan penelitian, kesamaan tersebut dapat meliputi kesamaan judul penelitian, objek penelitian, dan objek kajian. Teori bersifat universal sehingga dapat digunakan untuk seluruh objek penelitian karya sastra dengan perspektif berbeda untuk menambah pemahaman. Adapun penelitian-penelitian yang menggunakan kajian analisis semiotika sudah banyak dilakukan. Penelitian
dengan
analisis
semiotika
dengan
pembahasan
perkawinan telah dilakukan sebelumnya oleh Angga Ario Ferdani (2011) dengan skripsi yang berjudul “Nama-Nama Tahapan Perkawinan Adat Palembang (Analisis Semiotis)” Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Dalam skripsi tersebut dijabarkan deskripsi upacara perkawinan adat Palembang dengan tujuan mengetahui namanama tahapan serta makna yang terkandung di dalamnya. Skripsi tersebut menggunakan metode analisis semiotika struktural Ferdinand de Saussure, dengan mengartikan sebuah objek sebagai sebuah unsur yang menandakan (signifier) dan unsur yang ditandakan (signified), kedua unsur tersebut membentuk sebuah tanda (sign) yang berlandaskan referensi (referent) yang telah dikenal sebelumnya oleh masyarakat luas. Dicontohkan pada tahap munggah „naik pelaminan‟ yang memiliki makna simbolis bersatunya kedua mempelai beserta kedua keluarga besarnya. Penelitian yang menggunakan daerah Kotamadya Palembang sebagai ruang lingkup data ini disimpulkan bahwa seluruh tahapan upacara perkawinan adat Palembang yang berkembang turun temurun masih banyak dilaksanakan di
6
Kotamadya Palembang walaupun beberapa tahapan sudah banyak dihilangkan, setiap tahapan memiliki makna dan pemahaman setiap tahapan tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi sosial, budaya, pendidikan, agama serta kepercayaan masyarakat setempat. Penelitian selanjutnya mengenai analisis semiotika terhadap novel yang dilakukan oleh Soebakdi Soemanto Fakultas Pasca Sasrjana, Universitas Gadjah Mada tahun 1985 dalam tesisnya yang berjudul “Pengakuan Pariyem Analisis Semiotik”. Penelitian tersebut dibatasi dengan novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Agustinus terbitan 1984 sebagai objek penelitian, komponen ekspresif, jagat Jawa yang menjadi pembatas jati diri komponen ekspresif, dan komponen reseptif sebagai pemberian makna terhadap Pengakuan Pariyem. Selanjutnya dalam tesis tersebut menggunakan tiga alat pokok penelitian sastra sebagai kerangka dasar yaitu refleksi teoritik, tinjauan kritik, dan perspektif historik. Ketiga hal tersebut termasuk di dalam pendekatan semiotik dengan bantuan diagram Roland Barthes. Kesimpulan penelitian tersebut adalah bahwasannya 4 komponen pembatas (objek penelitian, komponen ekspresif, jagat Jawa yang menjadi pembatas jati diri komponen ekspresif, dan komponen reseptif sebagai pemberian makna) ditemukan dalam novel Pengakuan Pariyem. Penelitian yang berhubungan dengan novel berbentuk saku atau roman panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ dilakukan oleh Imam Budi Utomo, Adi Triyono, Wisma Nugraha Christianto, dan Sarworo Suprapto yang berjudul “Roman Picisan dalam Sastra Jawa Modern” tahun 2000, Departemen Pendidikan Nasional sebagai penelitian bagian proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia
Daerah. Penelitian ini
mengungkapkan unsur-unsur intrinsik secara struktur naratif dan ekstrinsik roman panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ (dalam penelitian tersebut digunakan istilah roman picisan) sastra Jawa. Penelitian yang dihasilkan adalah penjabaran mengenai sistem mikro dan sistem makro dalam roman picisan sastra Jawa sebagai berikut, kehadiran roman picisan sastra Jawa
7
sebagai bacaan masyarakat yang baru melek huruf merupakan sebuah jalinan
sistem
makro
yang
rumit,
faktor-faktor
makro
tersebut
memengaruhi faktor mikro atau internal karya sastra yang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat secara nyata sehingga roman picisan dilabeli panglipur wuyung „penghibur hati‟, perubahan era politik di Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru memengaruhi menghilangnya roman picisan dan dilihat dari segi kualitas pada intinya sebuah roman picisan dihasilkan tidak hanya dari tangan-tangan atau imajinasi pengarang roman picisan saja melainkan juga dari pengarang sastra serius. Berkaitan dengan tinjauan pustaka di atas, penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Angga Ario Ferdani (2011) dan Soebakdi Soemanto (1985) dalam hal analisis yang digunakan adalah semiotika dengan menguraikan tanda-tanda dalam sebuah objek penelitian agar dapat diketahui makna-maknanya. Dan dalam penelitian “Roman Picisan dalam Sastra Jawa Modern” sama-sama menggunakan objek penelitian yang berupa karya sastra yang tergolong dalam roman atau novel panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ hanya saja dalam penelitian tersebut meneliti roman atau novel panglipur wuyung „penghibur kesedihan‟ secara luas, sehingga dapat terlihat perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes yang menguraikan makna dari tandatanda beserta kode-kode teks yang menyertai di dalam teks novel Remuk. 1.5
Landasan Teori Sesuai dengan penjabaran di atas, dalam penelitian ini menggunakan
analisis semiotika Roland Barthes. Roland Barthes adalah salah satu tokoh pengembang utama konsep semiologi dari Saussure. Saussure dalam
mengembangkan semiotikanya berdasarkan linguistik Eropa, cenderung mempersoalkan struktur dalam pada tanda-tanda dengan menunjukkan proses penandaan itu pada sistem diadik, yakni penanda dan petanda. Sebuah penanda dikaitkan dengan petandanya yang berupa konsep dan
8
konsep itu merupakan sesuatu yang ada dalam benak seseorang, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan realitas. Hal tersebut menunjukan kelemahan Saussure dalam mengembangkan semiotika yang dijelaskan oleh Nasution (2008) dengan tidak mempertimbangakan adanya jeda antara penanda dan petanda yang berkaitan dengan perubahan yang ditandai –dalam jangka panjang– dan hubungannya dengan konteks sosial-budaya. Roland Barthes dengan melihat kelemahan semiotika Saussure dengan upayanya mengembangkan kelemahan tersebut pada tingkatan-tingkatan proses penandaan. Tingkatan pertama bersifat denotatif dan tingkatan kedua bersifat konotatif atau berfungsi sebagai objek bahasa dan metabahasa. Pada tingkatan kedua inilah dihubungkan dengan mitologi dan ideologi. Tingkatan-tingkatan penandaan tersebut biasa disebut sistem ganda. Sistem ganda adalah sistem semiotik yang dibangun di atas sistem semiotik lainnya. Konsep sistem ganda merupakan konsep sentral bagi kita untuk menemukan signification, karena signification yang sampai pada kita hampir selalu merupakan signification tingkat dua dan kita biasanya mengabaikan signification tingkat pertama. Dalam merumuskan konsep dan teorinya tentang signification, Barthes melengkapi ide Saussure dengan ide sebagaimana dikembangkan oleh Hjelmselv. Hjelmselv memformulakan
signification
sebagai
hubungan
(Relation)
antara
ungkapan (Expression) dan isi (Content): ERC. Jadi “expression” sejajar dengan “signifier”, dan “content” dengan “signified” (Sunardi, 2002: 7172). Barthes dianggap sebagai penerus Saussure –yang tertarik pada kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunannya. Gagasan ini ia sebut sebagai orders of significations (tingkat konotasi dan denotasi). Secara semiotik, konotasi
9
adalah sistem semiotik tingkat kedua yang dibangun atas sistem semiotik tingkat pertama atau denotasi dengan menggunakan makna (meaning atau significations) sistem tingkat pertama menjadi expression atau signifier (Sunardi, 2002: 85). Pada analisisnya, Roland Barthes mengenai Sarrasine lebih menempatkan makna teks secara konotasi. Dijelaskan Barthes (1974: 7-8) Pada tingkatan denotasi, bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial bersifat eksplisit –ini adalah kode yang makna tandanya akan segera tampak ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, bahasa pada sistem konotasi akan menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit. Makna implisit tersebut merupakan sistem kode yang tandanya memiliki muatan makna-makna tersembunyi. Kawasan tersembunyi inilah yang menurut Barthes merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi. Hal yang pertama dilakukan dalam penelitian teks dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes adalah melakukan pemenggalan teks menjadi satuan-satuan terkecil yang dinamakan leksia. Leksia dapat berupa satu kata, kalimat, ataupun paragraf, yang tersusun seperti membentuk kemungkinan-kemungkinan makna. Pembagian teks menjadi leksia-leksia tersebut bersifat bebas namun tetap berpusat dasar penentua dari leksia-leksia tersebut. Kemudian leksia-leksia tersebut dianalisis dan dijabarkan ke dalam lima kode pembacaan Roland Barthes. Barthes mengembangkan teori kode dengan cara mendekonstruksi atau membongkar teks dengan memecahnya menjadi beberapa bagian untuk membentuk konstruksi lima kode. Sebagaimana cara yang telah dilakukannya pada teks karya Honore de Balzac berjudul Sarrasine, Barthes mengungkapkan pluralitas makna dalam sebuah analisis tekstual dengan mengemukakan teori tentang kode untuk memahami kode-kode bahasa estetik (Barthes, 1974: 19-20). Setiap satuan analisis yang telah ditafsirkan oleh Barthes disebut devagasi, ia menghasilkan kontruksi lima macam kode yang berbeda.
10
Masing-masing kode merupakan akumulasi pengetahuan kultural yang membuat pembaca mengenali rincian-rincian sebagai kontribusi bagi fungsi atau rangkaian tertentu. Kelima kode tersebut yaitu: 1)
Kode Hermeneutik (HER) adalah kode-kode yang mengandung unit-unit tanda dan berfungsi untuk mengartikulasikan dialektik pertanyaan serta jawaban dengan berbagai cara. Dialektik pertanyaan dan jawaban tersebut terkadang mengandung persoalan, jawaban, penundaan jawaban sehingga menimbulkan semacam enigma (teka-teki), atau yang menyusun semacam teka-teki (enigma), kemudian memberi isyarat bagi penyelesaiannya. Barthes (1974: 17) mengemukakan bahwa kode ini mampu menimbulkan ketegangan (suspense) dan membangun semua intrik di dalam cerita sehingga menimbulkan semacam teka-teki di dalam alur cerita. Agar setiap enigma yang terjadi dalam suatu cerita dapat teridentifikasi, masing-masing bagian pada enigma ditandai dengan istilah-istilah tertentu. Masing-masing enigma ditandai dengan istilah-istlah berikut. a) Pentemaan, istilah untuk kode yang menandai kemunculan pokok permasalahan atau tema. b) Pengusulan, istilah untuk kode yang secara eksplisit maupun implisit mengandung sebuah pertanyaan teka-teki. c) Pengacauan, istilah kode yang menyebabkan teka-teki menjadi semakin rumit. d) Jebakan, istilah untuk kode yang memberikan jawaban yang salah atau menyesatkan. e) Penundaan, istilah kode yang menunda kemunculan jawaban. f) Jawaban sebagian, istilah untuk kode yang secara tidak utuh memberikan jawaban. g) Jawaban sepenuhnya, istilah untuk kode yang memberikan jawaban secara keseluruhan.
11
2)
Kode Aksi atau kode Proaretik (AKS) adalah sebuah kode yang mengatur alur sebuah cerita. Kode ini menjamin bahwa sebuah teks adalah cerita yang memiliki serangkaian aksi yang saling berkaitan satu sama lain. Analis yang baik dituntut mampu memberikan nama yang representatif bagi rangkaian aksi tersebut. Kemunculan rangkaian aksi naratif tersebut berkaitan erat dengan proses penamaan yang bersifat empiris atau rasional (Barthes, 1974:1819). Kode ini merupakan kode yang didasarkan atas kemampuan analis untuk menentukan akibat dari suatu tindakan secara rasional dan tindakan yang berimplikasi pada logika perilaku manusia. Tindakan-tindakan yang menimbulkan dampak masing-masing memiliki suatu nama generik tersendiri.
3)
Kode Simbolik (SIM) merupakan penanda teks yang mampu membawa pembaca untuk memasuki dunia lambang-lambang berikut maknanya. Lambang lambang dalam wilayah simbolis ini mempunyai banyak makna yang dapat bertukar posisi. Kode simbolik merupakan kode yang mengatur bawah sadar dari tanda dan merupakan psikoanalisis (Barthes, 1974:19).
4)
Kode Semantik (SEM) atau konotasi, merupakan kode yang memanfaatkan berbagai isyarat, petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu. Kode ini merupakan penanda yang mengacu pada gambaran-gambaran mengenai kondisi psikologis tokoh, suasana atmosferik,suatu tempat atau objek tertentu (Barthes, 1974:19). Kode semantik merupakan penanda bagi dunia konotasi yang di dalamnya mengalir kesan atau rasa tertentu. Pada tataran tertentu, kode ini mirip dengan apa yang disebut sebagai “tema” atau “struktur tematik”.
5)
Kode Referensial (REF) adalah kode yang membentuk suara-suara kolektif anonim dari petanda yang berasal dari berbagai ragam pengalaman manusia dan tradisi. Dalam pengertian luas, kode referensial
adalah
penanda-penanda
yang
merujuk
pada
12
seperangkat referensi atau pengetahuan umum yang mendukung teks. Unit-unit ini dibentuk oleh beraneka ragam pengetahuan serta kebijakan yang bersifat kolektif. Dalam mengungkap kode ini, analis cukup mengindikasikan adanya pengetahuan yang menjadi rujukan (Barthes, 1974:20).
1.6
Metode Penelitian Metode penelitian merupakan tahapan dari tindakan yang
dilakukan dalam sebuah penelitian. Sebuah tindakan yang sangat penting sebelum mendapatkan sebuah hasil penelitian sehingga metode penelitian sangat diperlukan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sebagai langkah awal dalam metode penelitian, dilakukan pengumpulan data melalui studi pustaka untuk mendapatkan data-data kualitatif. Data-data yang dikumpulkan merupakan sumber-sumber tertulis maupun data-data yang berkaitan dengan novel Remuk karya Drs. Soetarno sebagai objek penelitian melalui buku-buku teori, jurnal, laporan penelitiaan, dan media internet. Langkah kedua dalam metode penelitian ini yaitu pengumpulan data-data kualitatif mengenai teori yang digunakan yaitu teori semiotika Roland Barthes melalui buku-buku teori, jurnal, tesis, disertasi, laporan penelitian dan media internet. Data-data tersebut akan dihubungkan dengan objek penelitian yaitu novel Remuk karya Drs. Soetarno untuk mendukung penelitian. Sesuai dengan teori semiotika Roland Barthes sebagai tahap awal metode analisis yaitu dengan melakukan pemenggalan teks novel Remuk ke dalam satuan-satuan pembacaan atau leksia. Pada tahap tersebut akan terlihat alasan penentuan leksia tersebut yang dilakukan dengan mengalih bahasa serta penerjemahan akan didapatkan kode-kode yang menyertai. Tahapan selanjutnya mengenai metode analisis teori semiotika Roland Barthes dengan melakukan analisis leksia yang dikaitkan dengan lima kode Roland Barthes. Adapun penentuan kode-kode yang menyertai
13
menggunakan tataran lima kode Roland Barthes dalam menganalisis leksia-leksia tersebut meliputi kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode budaya. Dalam tahapan ini akan terlihat keterkaitan antar tiap kode dengan kode lainnya yang menyertai tiap-tiap leksia. Kemudian keterkaitan antar kode dan antar leksia tersebut ditafsirkan guna menemukan makna dalam novel Remuk. Langkah ketiga dalam metode penelitian ini adalah mengumpulkan data-data yang kualitatif mengenai konsep perkawinan Jawa. Data-data tersebut kemudian dikaitkan dengan makna-makna yang sudah didapatkan pada langkah-langkah sebelumnya. Kemudian sebagai langkah terakhir penelitian adalah menarik kesimpulan dari penemuan makna-makna secara menyeluruh dalam teks novel Remuk dan keterkaitannya dengan konsep perkawinan Jawa. Penyajian penelitian ini berupa laporan berbentuk skripsi dengan menggunakan teknik penulisan sesuai Pedoman Penulisan Skripsi dari Program Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Kutipan bahasa Jawa diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan bantuan kamus Baoesastra Djawa karya W.J.S Poerwadarminta dan Kamus Bausastra Jawa-Indonesia karya S. Prawiroatmodjo. Penulisan ejaan lama diperbarui dengan penulisan ejaan baru sesuai EYD yang berlaku.
1.7
Sistematika Penelitian Sistematika penelitian pada penulisan skripsi ini disusun menjadi
lima bab. Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II berisi deskripsi dan sinopsis novel Remuk karya Drs. Soetarno. Bab III berisi analisis leksia dalam teks novel Remuk. Bab IV berisi konsep perkawinan Jawa dalam novel Remuk Drs. Soetarno. Bab V berisi kesimpulan, kemudian pada bagian akhir terdapat daftar pustaka.