BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan kondisi wilayah perairan yang luas, memiliki panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan dua pertiga wilayahnya berupa perairan laut (Sutrisna, 2006). Lautan tropika Indonesia merupakan bagian wilayah Indopasifik yang merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati laut terbesar termasuk diantaranya invertebrata laut. Invertebrata laut telah diketahui sebagai sumber yang kaya akan senyawa bioaktif penting dan menarik perhatian karena senyawa kimia yang dikandungnya berbeda dan unik serta memiliki aktivitas farmakologis yang sangat menarik (Carté, 1996). Penelitian yang dilakukan terhadap produk alam laut dalam beberapa dekade terakhir telah berhasil menemukan berbagai senyawa aktif terutama sebagai bahan aktif untuk pengembangan obat baru (Supriyono dan Wijayanti, 2000). Moluska adalah invertebrata laut yang merupakan salah satu sumber potensial penghasil senyawa bioaktif. Penemuan senyawa bioaktif dari moluska sudah mendapat perhatian dari para peneliti. Menurut Jha dan Zhi-rong (2004), moluska memberikan konstributor hanya sekitar 2% senyawa bioaktif dibandingkan dengan invertebrata laut lainnya (seperti spons 37% dan alga 9%), sehingga perlu dilakukan penelitian dan pengembangan untuk penemuan senyawa bioaktif baru dari moluska. Moluska merupakan invertebrata laut yang bertubuh lunak, ada yang bercangkang dan tidak bercangkang. Cangkangnya berfungsi untuk melindungi tubuhnya yang lunak, sedangkan yang tidak bercangkang seperti kelinci laut dan nudibranchia, dapat dengan mudah diserang oleh predator. Oleh karena itu moluska genus ini mempunyai mekanisme pertahanan diri secara kimiawi, yaitu dengan cara menghasilkan senyawa bioaktif. Senyawa bioaktif tersebut dikeluarkan dari tubuhnya berupa tinta pekat sebagai alat pertahanan untuk melindungi diri dari serangan predator. Beberapa senyawa bioaktif ini berpotensi
1
2
sebagai antibakteri, antimikroba, dan sitotoksik (Miyamoto dkk., 1995; Jongaramroung, 2002; Tsukamoto dkk., 2005 dan Vairappan dkk., 2009). Moluska dari famili Aplysidae genus Aplysia merupakan salah satu moluska laut tropis yang mengandung senyawa aktif dengan struktur kimia yang menarik. Senyawa aktif yang berhasil diisolasi adalah golongan seskuiterpena, asetogenin, seskuiterpena terhalogenasi, monoterpena polihalogenasi, senyawa makrolida dan sterol dengan aktivitas sebagai antimikroba, antibakteri, antifeedant, sitotoksik (Vairappan dkik., 2009; Tsukamoto dkk., 2005) dan neurotropik (Tsukamoto dkk., 2004). Penyakit kanker merupakan salah satu penyakit yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia. Setiap tahun, 12 juta orang di seluruh dunia menderita kanker dan 7,6 juta di antaranya meninggal dunia karena kanker. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, tumor atau kanker merupakan penyebab kematian nomor tujuh dengan persentasi 5,7 persen, prevalensi tumor atau kanker di Indonesia adalah 4,3 per 1000 penduduk (Anonim, 2013). Kanker dapat ditangani dengan melakukan pengangkatan jaringan kanker atau dengan mematikan sel kanker tersebut serta meminimalkan efek yang tidak diinginkan terhadap sel-sel normal. Penanganan kanker dapat dilakukan dengan cara pembedahan, radiasi, maupun pemberian obat-obatan. Belum adanya obat antikanker yang tepat dan memuaskan mendorong dilakukannya penelitian terhadap bahan obat alam diantaranya senyawa bioaktif dari invertebrata laut sebagai sumber obat antikanker. Kelinci laut (Aplysia) merupakan salah satu sumber bahan baku yang potensial untuk dijadikan bahan eksplorasi dalam penemuan senyawa bioaktif baru diantaranya sebagai senyawa sitotoksik. Hasil penelitian terhadap senyawa bioaktif dari kelinci laut menunjukkan bahwa metabolit sekunder yang diperoleh juga berpotensi untuk dikembangkan sebagai obat antikanker. Aktivitas antikanker didasarkan pada sifat sitotoksik suatu senyawa (Bhakuni dan Rawat, 2005). Sebagai skrining awal sifat sitotoksik tersebut dapat dilakukan dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST).
3
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Miyamoto dkk. (1995) dan Jongaramroung dkk. (2002) bahwa dalam kelinci laut Aplysia parvula terkandung senyawa yang berpotensi sebagai senyawa sitotoksik. Vairappan dkk. (2009) juga telah mengisolasi senyawa yang berpotensi sebagai senyawa sitotoksik, antimikroba dan antifeedant dari kelinci laut jenis yang sama. Penelitian Tsukamoto dkk. (2005) menyatakan bahwa dari kelinci laut jenis Aplysia kurodai terkandung senyawa sitotoksik yang juga aktif sebagai antibakteri. Dias dkk. (2005) mengisolasi senyawa seskuiterpena dari Aplysia dactylomela yang berpotensi sebagai senyawa sitotoksik. Ortega dkk. (2007) mengisolasi senyawa turunan sterol dari Aplysia fasciata yang juga berpotensi sebagai senyawa sitotoksik dan senyawa golongan monoterpena terhalogenasi yang berpotensi sebagai senyawa sitotoksik dari Aplysia punctata. Kelinci laut jenis lain Dolabella auricularia, juga telah diisolasi senyawa sitotoksik makrolida (Suenaga dkk., 1997). Teknik isolasi kelinci laut Aplysia parvula yang dilakukan oleh Miyamoto dkk. (1995), yaitu dengan mengekstraksi semua organ dari sampel menggunakan campuran pelarut kloroform:metanol, ekstrak kloroform yang diperoleh tidak dipartisi namun langsung dilakukan pemisahan dengan kromatografi kolom, sedangkan Vairappan dkk. (2009), dari jenis sampel yang sama yaitu dengan mengekstraksi
bagian
kelenjar
pencernaan
(digestive
glands)
sampel
menggunakan metanol, selanjutnya ekstrak metanol tersebut dipartisi dengan dietil eter:air. Tsukamoto dkk. (2005) melakukan isolasi menggunakan bagian sampel yang juga sama yaitu kelenjar pencernaan dari kelinci laut Aplysia kurodai dengan metanol, dan ekstrak metanol yang diperoleh dipartisi dengan etil asetat:air. Dias dkk. (2009) dan Díaz-Marero dkk. (2012), menggunakan teknik isolasi yang sama terhadap kelinci laut Aplysia dactylomela yaitu mengekstraksi kelenjar pencernaan menggunakan aseton, selanjutnya ekstrak aseton tersebut dipartisi dengan diklorometana:air. Ioannou dkk. (2009) mengekstraksi kelenjar pencernaan dari kelinci laut Aplysia fasciata yang dikering-bekukan (freeze-dried) menggunakan campuran pelarut diklorometana:metanol tanpa melakukan partisi terhadap ekstrak diklorometana tersebut. Kelinci laut jenis yang sama, oleh Ortega
4
dkk. (2007b) menggunakan semua organ dari sampel untuk diekstraksi dengan aseton, selanjutnya ekstrak aseton tersebut diekstraksi menggunakan dietil eter. Ortega dkk. (2007a) mengekstraksi semua organ dari sampel kelinci laut Aplysia punctata, juga menggunakan aseton, selanjutnya ekstrak aseton dipartisi dengan dietil eter:air. Suenaga dkk. (1997) mengekstraksi kelenjar pencernaan dari kelinci laut Dolabella auricularia menggunakan teknik isolasi yang sama seperti yang dilakukan oleh Tsukamoto dkk. (2005) yaitu menggunakan pelarut metanol, dan ekstrak metanol tersebut dipartisi dengan etil asetat:air. Di Indonesia studi eksploratif dan potensi farmakologis dari kelinci laut khususnya spesies Aplysia parvula belum banyak dilakukan, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mencari komponen senyawa aktif sebagai senyawa antikanker. Penelitian ini mencakup isolasi, identifikasi struktur dan uji toksisitas untuk mengetahui potensi farmakologisnya. Teknik isolasi yang digunakan terhadap sampel kelinci laut Aplysia parvula yaitu mengacu pada metode ekstraksi yang dilakukan oleh Ioannou dkk. (2009) menggunakan campuran diklorometana:metanol, selanjutnya ekstrak diklorometana dipartisi dengan etil asetat:air mengacu pada metode yang dilakukan oleh Tsukamoto dkk. (2005) dan Suenaga dkk. (1997), dan sampel yang digunakan adalah semua organ dari sampel seperti yang digunakan oleh Miyamoto dkk. (1995) dan Ortega dkk. (2007a; 2007b). Uji toksisitas dengan metode BST sebagai skrining awal aktivitas antikanker terhadap kelinci laut Aplysia parvula mengacu pada metode uji dari Miyamoto dkk. (1995).
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik suatu permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah di dalam ekstrak kelinci laut Aplysia parvula ada senyawa yang bersifat toksik terhadap Artemia salina? 2. Bagaimanakah struktur senyawa yang bersifat toksik tersebut?
5
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa dari ekstrak kelinci laut Aplysia parvula. 2. Menguji toksisitas dari ekstrak kelinci laut Aplysia parvula dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST).
1.4 Manfaat Penelitian Secara umum diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Memberikan informasi tentang kandungan senyawa bioaktif dalam kelinci laut Aplysia parvula dan toksisitasnya. 2. Dapat menambah khasanah pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia khususnya di bidang kimia hayati bahan alam kelautan.