BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai lembaga mediasi sektor keuangan, bank memiliki peran penting
dalam perekonomian. Mediasi keuangan pada sektor perbankan tentu sangat penting bagi setiap negara termasuk Indonesia. Di Indonesia sistem perbankan
yang digunakan adalah dual banking sistem dimana beroperasi dua jenis usaha
bank yaitu bank syariah dan bank konvensional. Kebijakan yang diambil
pemerintah melalui Bank Indonesia tentu berbeda untuk kedua jenis bank tersebut. Bank Syariah dalam operasionalnya tidak mengenal sistem bunga, sehingga profit yang di dapat bersumber dari bagi hasil dengan pelaku usaha yang menggunakan dana dari bank syariah serta investasi dari bank syariah sendiri (Antonio, 2001). Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, serta menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinikmati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Perkembangan industri keuangan syariah secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan di Indonesia. Beberapa badan usaha pembiayaan non-bank telah didirikan sebelum tahun 1992 yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah. Periode 1992 sampai 1998, hanya terdapat satu Bank Umum Syariah dan 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang telah beroperasi. Tahun 1998 1
muncul UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Perubahan UU tersebut menimbulkan beberapa perubahan yang
memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan bank syariah. Undang undang tesebut telah mengatur secara rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha
yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undangundang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank
syariah. Akhir tahun 1999, bersamaan dengan dikeluarkannya UU perbankan maka
munculah bank-bank syariah umum dan bank umum yang membuka unit usaha syariah. Sistem bagi hasil perbankan syariah yang diterapkan menyebabkan bank tersebut relatif mempertahankan kinerjanya dan tidak hanyut oleh tingkat suku bunga simpanan yang melonjak sehingga beban operasional lebih rendah dari bank konvensional (Novita Wulandari, 2004). Sejak beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI), sebagai bank syariah yang pertama pada tahun 1992, dengan satu kantor layanan dengan asset awal sekitar Rp. 100 Milyar, maka data Bank Indonesia juni 2011 menunjukkan bahwa saat ini perbankan syariah nasional telah tumbuh cepat, dilihat dari sisi DPK, PYD Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Aset yang dicapai juni 2011 sebesar 110.000.000 Miliar. Gambar 1.1. Perkembangan Aset Bank Syariah Gambar 1.1. perkembangan aset bank syariah
(Sumber : data statistik bi)
2
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang tercermin dalam inflasi. Inflasi selalu berkaitan dengan jumlah
uang yang beredar dan kebijakan moneter yang diambil pemerintah melalui bank sentral. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan kebijakan moneter
melalui tingkat suku bunga sehingga jumlah uang yang beredar bisa dikontrol. Melalui tingkat bunga inilah pemerintah dapat mempengaruhi pengeluaran investasi, permintaan agregat, tingkat harga serta GDP riil. Selain itu pemerintah
juga dapat mengatur tingkat suku bunga Bank Indonesia atau BI rate. Dengan keuntungan bank dari sisi bunga sangat ditentukan kondisi ekonomi makro begitu
serta regulasi atau kebijakan pemerintah (Boediono 1999). Jika inflasi naik secara tidak langsung BI akan mengantisipasinya dengan kenaikan BI rate. Dan jika BI menaikan BI rate, maka tingkat suku bunga pun akan meningkat. Hal ini yang akan mempengaruhi profitabilitas suatu bank. Baik bank umum (konvensional) maupun Bank Syariah. Bank syariah dalam kegiatan operasionalnya tidak menggunakan konsep bunga, walau begitu Tingkat Suku Bunga akan tetap berpengaruh terhadap Profitabilitas Bank syariah dimana kegiatan operasionalnya selalu berkaitan dengan sektor riil. Tingkat Suku Bunga akan mempengaruhi perilaku seseorang terhadap kegiatan Funding dan Lending pada sehingga akan berimbas pada Profitabilitas Bank Syariah. Tingkat Suku Bunga sangat erat hubungannnya dengan inflasi. Inflasi dapat mempengaruhi pencapaian profit Bank Syariah yaitu melalui penurunan Dana Pihak Ketiga (DPK) Bank Syariah yang diakibatkan dari persepsi masyarakat, bahwa tingginya inflasi akan menurunkan nilai uang sehingga masyarakat mengubah saldo kasnya menjadi barang, hal ini dilakukan guna
menghindari
kerugian
seandainya
mereka
memegang uang tunai
(Boediono,1980:168). Dengan berkurangnya Dana Pihak Ketiga pada Bank Syariah, maka porsi pembiayaan yang menjadi pendapatan utama Bank Syariah akan menurun, sehingga terjadi penurunan pendapatan Bank Syariah. Bank sebagai lembaga yang penting dalam perekonomian perlu adanya pengawasan kinerja yang baik oleh regulator perbankan. Salah satu indikator untuk
menilai
kinerja
keuangan
suatu
bank
adalah
melihat
tingkat 3
profitabilitasnya. Hal ini terkait sejauh mana bank menjalankan usahanya secara efisien. Semakin tinggi profitabilitas suatu bank, maka semakin baik pula kinerja
bank tersebut. Ukuran profitabilitas bank yang lazim digunakan adalah Return On Asset
(ROA) dan Return On Equity (ROE) (Tendi,2000;1). BI Sebagai pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank yang di ukur dengan aset yang dananya sebagaian besar dari dana simpanan masyarakat.
ROA merupakan rasio antara laba sesudah pajak terhadap total asset. Semakin ROA menunjukkan kinerja perusahaan semakin baik, kerena tingkat besar
pengembalian (return) semakin besar (Husnan, 1998). Sedangkan ROE yaitu rasio yang digunakan sebagai alat ukur profitabilitas yang sangat penting untuk menilai tingkat pengembalian modal sendiri atau tingkat yang di terima oleh investor. Sehingga ROE penting artinya bagi para pemilik bank guna mengukur kemampuan management dalam mengelola capiatal yang tersedia untuk mendapatkan net income. Sehingga rasio ini banyak diamati para pemegang saham bank serta para investor di pasar modal yang ingin membeli saham bank yang bersangkutan. Kenaikan dalam rasio ini berarti terjadi kenaikan laba bersih atas equity yang digunakannya. Selanjutnya kenaikan tersebut akan menyebabkan kenaikan harga saham bank. Oleh karena itu ROE diaanggap sebagai representasi dari nilai perusahaan, dimana memaksimalkan nilai perusahaan merupakan tujuan perusahaan dalam persfektif manajemen keuangan(Handono,2009:4). Pertumbuhan pembiayaan yang meningkat dan membaiknya kinerja pembiayaan bank syariah mampu meningkatkan profitabilitas perbankan syariah sebagaimana tercermin pada ROA yang meningkat dari 1,40% per September 2009 menjadi 2,01% per September 2010. Membaiknya kinerja pembiayaan sebagaimana tercermin dari penurunan NPF,menurunkan beban biaya bank syariah yang dicadangkan untuk biaya penyisihan penghapusan aktiva produktif tercermin dari menurunnya biaya operasional hingga mencapai 19,25%, kondisi ini mampu menurunkan rasio BOPO menjadi 79,17% pada September 2010 yang sebelumnya pada periode yang sama sebesar 83,91%. Dari sisi pendapatan, upaya bank syariah menjaga profitabilitas terlihat dari adanya peningkatan pendapatan operasional 4
yang cukup tinggi dari Rp.5,65 triliun pada September 2009 menjadi Rp.6,9 triliun per September 2010 atau tumbuh sebesar 22,09%(yoy). Pendapatan dari
penyaluran dana, khususnya dalam bentuk piutang murabahah tetap menjadi sumber utama, namun upaya diversifikasi pendapatan juga tampak.intensif
dilakukan tercermin dari fee based income yang tumbuh sebesar 18,4%. Gambar 1.2. Perkembangan Profabilitas Perbankan Syariah
(Sumber : data statistik bi)
Secara nasional Bank Indonesia memperkirakan pada tahun 2011 DPK tumbuh 16-17%, lebih tinggi dari pertumbuhan tahun sebelumnya. Kecenderungan peningkatan pertumbuhan DPK diperkirakan akan dialami pula oleh industri perbankan syariah, mengingat tahun 2011 secara makro perekonomian nasional akan tumbuh lebih baik dan secara mikro jaringan kantor perbankan syariah akan signifikan meningkat sebagai implikasi dari munculnya bank syariah baru pada tahun 2009 dan 2010. Tingkat suku bunga yang relative tidak berubah dengan kondisi perekonomian yang membaik pada dasarnya akan menguntungkan posisi perbankan syariah dalam hal daya saing produk pendanaannya. Karena pertumbuhan ekonomi yang membaik merefleksikan pula kinerja sektor riil nasional, dimana kinerja tersebut akan tergambar pula pada tingkat return (bagi hasil) produk pendanaan perbankan syariah yang semakin kompetitif. Jika nasabah pendanaan bank, khususnya nasabah mengambang (floating customers) yang utamanya korporasi, mengalihkan dananya ke bank syariah yang menawarkan return yang lebih tinggi, maka diperkirakan kondisi ini dapat mendorong
5
pertumbuhan DPK bank syariah. Namun hal ini sangat bergantung pada upaya
pemerintah dalam memelihara tingkat inflasi.
Gambar 1.3 pertumbuhan DPK BS, suku bunga dan inflasi
(Sumber data : data statistik bi)
Adanya fenomena tingginya Tingkat Suku Bunga yang membuat bagi hasil dana bank syariah kurang menarik, Sementara kebijakan suku bunga yang tidak menentu merupakan peluang bagi Bank Syariah untuk menawarkan pembiayaan bebas fluktuasi bunga, kondisi ini mengakibatkan profitabilitas Bank Syariah menjadi sangat menarik untuk diteliti. Dengan adanya fenomena Bank Syariah, maka penulis tertarik untuk melakukan analisis sejauh mana Tingkat Suku unga mempengaruhi Profitabilitas Bank Syariah. Sehingga penulis mengambil judul “Pengaruh Bi Rate Terhadap Profitabilitas Bank Syariah periode 20072011” 1.2. Rumusan dan Batasan Masalah 1.2.1. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka identifikasi masalah adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana perkembangan Bi Rate Perbankan Indonesia?
2.
Bagaimana perkembangan Profitabilitas Bank Syariah?
3.
Apakah terdapat pengaruh Bi Rate terhadap Profabilitas Bank Syariah?
6
1.2.2. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Indikator perekonomian makro Indonesia yang di gunakan adalah Bi Rate.
2. Ukuran kinerja bank yang di gunakan dalam penelitian ini adalah return on asset
(ROA) dan return on equity (ROE )untuk mengukur tingkat profitabilitas suatu
bank.
3. Data yang dipakai yaitu data sekunder yang bersumber dari Bank Indonesia dan Biro Pusat Statistik.
1.3 Tujuan dan manfaat penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui perkembangan Bi Rate Perbankan Indonesia.
2.
Mengetahui perkembangan Profitabilitas Bank Syariah.
3.
Menganalisis pengaruh Bi Rate terhadap Profitabilitas Bank Syariah. 1.3.2. Manfaat Penelitian Bagi pembuat kebijakan, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat digunakan untuk memahami lebih mendalam tentang pengaruh tingkat suku bunga terhadap Profitabilitas bank syariah. Yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan rujukan dalam mengevaluasi kebijakan yang telah diterapkan dan atau untuk merumuskan kebijakan baru. Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam penelitian lebih lanjut di kemudian hari, serta dapat memacu motivasi kepada peneliti lainnya untuk melakukan penelitian sejenis dengan menggunakan metode yang lain ataupun menambah variabel yang diteliti.
7