BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Museum merupakan sarana untuk mengembangkan budaya dan peradaban manusia. Tidak hanya bergerak di sektor budaya, museum juga dapat bergerak di sektor ekonomi, politik, sosial, dan lain-lain. Para ahli kebudayaan meletakkan museum sebagai bagian dari pranata sosial dan sebagai wahana untuk memberikan gambaran dan mendidik perkembangan alam dan budaya manusia kepada komunitas dan publik. Di Indonesia, terdapat lebih dari 200 museum yang terletak tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini menyebabkan museum memiliki peran yang sangat penting dalam industri pariwisata Indonesia. Selain sebagai bagian dari pranata sosial, museum juga berfungsi sebagai media pendidikan perkembangan alam dan budaya manusia kepada publik karena pada hakikatnya museum adalah milik komunitas, etnis, atau bangsa.1 Pemerintah dari awal kemerdekaan telah menempatkan museum sebagai salah satu institusi penting dalam pembangunan kebudayaan bangsa. Museum didirikan untuk kepentingan pelestarian warisan budaya dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan bangsa, juga sebagai sarana pendidikan nonformal. Museum kemudian menjadi urusan yang perlu ditangani pembinaan, pengarahan, dan pengembangannya dalam rangka pelaksanaan kebijakan politik di bidang kebudayaan. Namun kondisi museum saat ini, fungsinya masih dipersepsikan oleh penyelenggara atau pengelola hanya sebagai tempat mengumpulkan, menyimpan, merawat, dan menyajikan benda sejarah dan budaya saja. Masyarakat, terlebih lagi melihat museum sebagai gudang tempat penyimpanan benda-benda kuno, mencerminkan kesan formal sehingga tidak memiliki daya tarik untuk dikunjungi. Hal ini berimbas langsung pada minat masyarakat untuk mengunjungi museum. Berdasarkan data Bappenas, pada tahun 2006 terdapat 4,56 juta 1
Pokok-Pokok Blueprint dan Rencana Aksi Revitalisasi Museum Indonesia 2010 – 2014
1
pengunjung, turun menjadi 4,20 juta pengunjung pada tahun 2007, dan turun lagi pada tahun 2008 menjadi 4,17 juta pengunjung.
Gambar 1.1. Jumlah Pengunjung Museum di Indonesia
Sumber: Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jaringan, Depbudpar 2009
Semakin menurunannya jumlah pengunjung ini diindikasikan terjadi karena kurangnya kualitas manajemen museum baik internal maupun eksternal.2 Data juga menyebutkan bahwa 90% museum di Indonesia belum layak kunjung.3 Fakta ini menyebabkan museum perlu melakukan sebuah revitalisasi. Revitalisasi museum adalah upaya untuk meningkatkan kualitas museum dalam melayani masyarakat yang sesuai dengan fungsinya sehingga museum dapat menjadi tempat yang dirasakan sebagai kebutuhan untuk dikunjungi. Revitalisasi juga dapat diartikan sebagai proses memperbaiki mutu dari segala aspek yang ada untuk meningkatkan potensi yang dimiliki sebuah lembaga. Untuk menyikapi hal tersebut di atas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan upaya strategis, yaitu mencanangkan Gerakan Nasional Cinta Museum 2010-2014. Gerakan Nasional Cinta Museum adalah upaya penggalangan kebersamaan antar pemangku tanggung jawab (stakeholder) dan pemilik kepentingan dalam rangka pencapaian fungsionalisasi museum guna memperkuat apresiasi masyarakat terhadap nilai kesejarahan dan budaya bangsa.
2
Pokok-Pokok Blueprint dan Rencana Aksi Revitalisasi Museum Indonesia 2010 – 2014 Tanpa Nama. 2010. 90% Museum di Indonesia Tidak Layak Dikunjungi. Diakses di: http://arkeologi.web.id/articles/berita-arkeologi/973-90-persen-museum-indonesia-tidak-layakdikunjungi 3
2
Gerakan ini bertujuan untuk membenahi peran dan posisi museum yang difokuskan pada aspek internal maupun eksternal. Aspek internal dalam bentuk revitalisasi fungsi museum dalam rangka penguatan pencitraan melalui pendekatan konsep manajemen yang terkait dengan fisik dan non fisik, serta bertujuan untuk mewujudkan museum di Indonesia yang dinamis dan berdayaguna sesuai dengan standar ideal pengelolaan dan pemanfaatan museum. Aspek eksternal
difokuskan kepada konsep kemasan program
dengan
menggunakan bentuk sosialisasi dan kampanye pada masyarakat sebagai bagian dari stakeholder.4 Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman merupakan salah satu bagian di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang bertugas memegang fungsi manajemen pelestarian cagar budaya dan museum di Indonesia. Dalam rangka menyukseskan program jangka panjang revitalisasi museum, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman membuat kampanye Gerakan Nasional Cinta Museum yang diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat untuk mengunjungi museum-museum di Indonesia. Gerakan Nasional Cinta Museum ini akan dilaksanakan secara bertahap selama lima tahun dalam rangka menggalang kebersamaan antar pemangku dan pemilik kepentingan (share dan stakeholder) untuk memperkuat apresiasi masyarakat terhadap nilai kesejarahan dan budaya bangsa. Pencapaian fungsionalisasi museum tersebut yang kemudian disebut sebagai Gerakan Nasional Cinta Museum. Kampanye ini diharapkan dapat membangun kembali imej museum yang sesuai dengan pengertian ICOM (International Council of Museum), yakni museum sebagai sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya terbuka untuk umum.
4
Tanpa Nama. 2010. Gerakan Nasional Cinta Museum Merupakan Momentum Kebangkitan Museum Melalui Tahun Kunjungan Museum (Vist Museum Year) 2010. Diakses di: http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Museum/Berita+Museum/Berita+Khusus/GERAKAN+N ASIONAL+CINTA+MUSEUM.htm
3
Beberapa kegiatan Gerakan Nasional Cinta Museum yang telah dilakukan sebelumnya antara lain pemilihan Duta Museum, Gelar Museum Nasional 2012 atau Museum Mart 2012, dan lain sebagainya. Gerakan Nasional Cinta Museum merupakan upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman yang pada dasarnya merupakan sebuah organisasi non-profit, untuk mengembangkan museum-museum di Indonesia agar siap bersaing. Karena tujuannya adalah non-profit, maka dalam mengkampanyekan Gerakan Nasional Cinta Museum tentu memerlukan strategi komunikasi pemasaran yang berbeda. Melihat berbagai permasalahan yang terjadi, setidaknya ada empat aspek dari museum yang sebaiknya berubah agar pelayanan museum dapat mengalami peningkatan. Keempat aspek itu meliputi aspek fisik, aspek manajemen, komunikasi, dan pemasaran. Selama ini citra museum tidak berkembang secara positif di mata masyarakat Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya informasi terkait dengan keberadaan museum kepada masyarakat. Kurangnya informasi ini disebabkan oleh kurangnya kurangnya kegiatan promosi oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman dalam upaya melakukan kegiatan komunikasi pemasaran (termasuk promosi) kepada masyarakat. Oleh karena itu dalam rangka merevitalisasi museum agar lebih diketahui masyarakat perlu dilakukan kegiatan komunikasi pemasaran. Tentu saja, museum yang pada dasarnya adalah sebuah produk jasa memiliki strategi komunikasi pemasaran yang khusus. Strategi pemasaran tersebut adalah strategi komunikasi pemasaran sosial mengingat tujuannya adalah mengubah perilaku masyarakat. Strategi komunikasi yang tepat dan terlembaga sangat diperlukan dalam pemasaran, dan dalam penelitian ini kampanye adalah implementasi dari strategi komunikasi pemasaran sosial yang digunakan. Kampanye merupakan sebuah kegiatan komunikasi yang secara inheren harus dapat mempersuasi khalayak. Dengan demikian setiap tindakan kampanye pada prinsipnya adalah tindakan persuasi sehingga diharapkan dapat menjadi
4
sarana dari komunikasi pemasaran sosial tersebut untuk menjual sebuah ide yang nantinya mampu merubah perilaku masyarakat. Untuk itu penelitian ini berusaha meneliti tentang kampanye Gerakan Nasional Cinta Museum sebagai strategi komunikasi pemasaran sosial yang dilakukan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.
1.2. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka rumusan masalah dari topik ini adalah: Bagaimana Strategi Komunikasi Pemasaran Sosial yang Dilakukan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Mengkampanyekan Gerakan Nasional Cinta Museum?
1.3. TUJUAN PENELITIAN Untuk mengetahui strategi komunikasi pemasaran sosial Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman melalui kampanye Gerakan Nasional Cinta Museum.
1.4. OBJEK PENELITIAN Objek penelitian ini adalah strategi komunikasi pemasaran sosial yang dilakukan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui kampanye Gerakan Nasional Cinta Museum, khususnya oleh pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan Gerakan Nasional Cinta Museum. Lebih detailnya, peneliti akan meneliti bagaimana Kampanye Gerakan Nasional Cinta Museum dilaksanakan mulai dari perencanaan, implementasi, sampai evaluasinya. Dimana kampanye ini dipegang oleh Sub. Dit Pengembangan dan Pemanfaatan, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia,
5
Penelitian juga mengambil data Kampanye Gerakan Nasional Cinta Museum yang dilakukan oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.
1.5. KERANGKA PEMIKIRAN Kampanye ―Gerakan Nasional Cinta Museum‖ merupakan sebuah kampanye nasional yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman yang merupakan sebuah organisasi pemerintahan. Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kecintaan dan minat masyarakat terhadap museum sehingga sifatnya adalah merubah perilaku dan bukan untuk mengambil keuntungan. Penelitian ini mengambil kerangka pemikiran Pemasaran Sosial karena pemasaran sosial adalah konsep pemasaran yang kerap digunakan oleh sebuah organisasi yang memiliki tujuan untuk mengubah sebuah perilaku. Media-media yang digunakan pada dasarnya sama dengan pemasaran komersil, namun dalam pemasaran sosial, produk yang dijual adalah seperangkat ide atau perilaku. Dalam menyebarkan produk berupa perilaku tersebut, tentu dibutuhkan strategi komunikasi. Kampanye sebagai strategi komunikasi yang terlembaga adalah bentuk dari strategi komunikasi pemasaran sosial untuk menyampaikan pesan tersebut kepada khalayak. Dibutuhkan sebuah strategi yang tepat agar kampanye dapat berjalan dengan baik dengan hasil yang dapat dipantau dan dievaluasi. Penelitian ini hendak melihat kampanye Gerakan Nasional Cinta Museum sebagai sebuah implementasi strategi komunikasi pemasaran sosial yang digunakan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman untuk mengubah citra dan perilaku masyarakat terhadap museum di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengambil konsep Pemasaran Sosial Museum, Strategi Komunikasi Pemasaran Museum, dan Kampanye sebagai Implementasi Komunikasi Pemasaran Sosial.
6
1.5.1. Pemasaran Sosial Museum International Council of Museum (2007) mendefinisikan museum sebagai lembaga permanen yang tidak mencari keuntungan, diabdikan untuk kepentingan masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang mengumpulkan, melestarikan, meneliti, mengkomunikasikan, dan memamerkan bukti-bukti bendawi manusia dan non bendawi serta lingkungannya unuk tujuan studi penelitian dan kesenangan. Di lain hal, Kotler (2008) menjelaskan bahwa semua museum menghadapi pasar dan publik dimana museum harus mampu mengembangkan hubungan baik dengan target market-nya. Museum, terutama museum-museum yang besar dapat dikategorikan sebagai organisasi yang termasuk kompleks karena museum diharuskan mampu untuk menghadapi berbagai macam publik dan stakeholder. Museum harus mampu mengimbangi situasi pasar yang terus menerus berkembang. Untuk mengimbangi situasi pasar tersebut, tentu dibutuhkan strategi komunikasi yang baik dan terpadu. Tujuan adanya strategi komunikasi untuk museum adalah untuk memberi penawaran pada konsumen museum nilai yang sebanding dengan biaya mereka mengunjungi museum. Museum membutuhkan pemasaran dan komunikasi karena museum juga menghadapi kompetisi pasar yang sama dengan organisasi lain. Kotler (2008: 26) mendefinisikan enam situasi permintaan (demand situation) yang sesuai dengan konteks permuseuman, yakni: 1. Negative demand: Konsumen tidak menyukai penawaran museum dan kemungkinan besar menolak mengunjungi 2. Latent demand: Konsumen memiliki keinginan kuat tapi kemungkinan tidak tertarik dengan program dan penawaran yang sudah ada 3. Declining demand: Peminat museum semakin berkurang dari waktuwaktu 4. Irregular demand: Jumlah pengunjung bervariasi tergantung musim, bulan, dan hari. 5. Overfull demand: Museum tidak menawarkan program dan servis yang cukup untuk menarik permintaan. 7
Oleh karena itu, museum membutuhkan strategi komunikasi karena museum membutuhkan teori, sarana-sarana, kemampuan, yang akan membuatnya dapat meningkatkan jumlah audiens, membangun hubungan dengan stakeholders, dan di saat yang sama juga meningkatkan pendapatan. Sedangkan bauran pemasaran museum menurut Neil, Kotler, dan Weny (2008: 28) terdiri dari lima komponen. Berikut kelima komponen bauran pemasaran museum: 1. Product Product adalah objek yang konsumen inginkan atau butuhkan. Dari sudut pandang pengunjung museum, ini termasuk pameran, program, dan fasilitas yang ada di museum. Survey pengunjung, focus-group, dan wawancara akan membantu pemasar
mengidentifikasi
kebutuhan
serta
kepuasan
konsumen
dan
mensinergikannya dengan penawaran museum. 2. Price Price adalah unsur biaya dalam proses pertukaran konsumen. Hal ini menghasilkan aliran pendapatan yang akan berpengaruh pada keuangan museum nantinya. Selain itu strategi pricing dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong kelompok sasaran untuk berpartisipasi. Biaya masuk, misalnya berbeda tergantung jenis pengunjung. 3. Promotion Promosi memungkinkan museum untuk menarik pengunjung datang secara berkelanjutan. Promosi terdiri dari beragam bentuk, termasuk periklanan, hubungan masyarakat, dan direct-promotion. Dalam perkembangannya, museum saat ini banyak yang menggunakan media digital untuk membantu promosi mereka. 4. Place Place merujuk kepada saluran distribusi yang memungkinkan konsumen untuk menjangkau baik produk maupun jasa museum baik on-site maupun offsite. Internet dan bandara merupakan dua contoh saluran distribusi off-site. 5. People
8
People adalah anggota staf museum yang melayani pengunjung dan berinteraksi dengan berbagai pemangku kepentingan. Staf museum dapat meningkatkan atau mengurangi jumlah pengunjung. Hal yang penting untuk staf museum adalah harus ramah, sopan, dan informatif. Melihat hal-hal di atas, museum pada dasarnya memiliki komponen yang sama dengan bisnis jasa wisata lain. Dan seperti halnya bisnis, museum harus berkembang dari yang awalnya adalah product-centered organization menjadi consumer centered organization. Hal ini mengharuskan manajemen dan staf museum untuk menarik perhatian dan menyajikan konten yang berfokus kepada konsumen. Dalam ruang lingkup ini, keberadaan museum tidak semata-mata untuk mencari keuntungan namun untuk kepentingan budaya dan pendidikan. Hal ini menjadikan museum sebagai organisasi yang tidak mengambil keuntungan (nonprofit). Hermawan menjelaskan bahwa pada dasarnya penerapan social marketing merupakan salah satu bagian dari sebuah framework yang disebut ―doing great by doing good‖ (Philip Kotler & Nancy Lee, ―Corporate Social‖). Enam pilihan untuk berbuat baik tersebut adalah cause promotions, cause related marketing, social marketing, corporate philantropy, community volunteering. Kotler & Zaltman mendefiniskan pemasaran sosial sebagai berikut: ―Social marketing is the design, implementation, and control of programs calculated to influence the acceptability of social ideas and involving considerations of product planning, pricing, communication, distribution, and marketing research.‖ (Kotler & Zaltman, 1971: 5)
Andreasen mendefiniskan pemasaran sosial sebagai: ―The adaptation of commercial marketing technologies to programs designed to influence the voluntary behaviour of target audience to improve their personal welfare and that of the society of which are a part‖ (Andreasen, 1994: 110).
Definisi yang ditawarkan Andreasen membawa perubahan besar dalam konsep pemasaran sosial. Andreasen melihat pemasaran sosial mentarget orang dengan
9
perilaku tidak baik dengan maksud untuk mengubah perilaku tersebut (Khan & Channy, 2008: 1) Pemasaran sosial merupakan sebuah konsep atau cara yang didesain untuk memotivasi masyarakat agar dapat mengubah perilaku (yang dianggap kurang menguntungkan bagi diri sendiri, masyarakat, dan lingkungan) menuju kehidupan yang lebih baik dengan tetap didasarkan pada penggunaan bauran pemasaran.
Tabel 1.1 Perbedaan pemasaran sosial dan pemasaran komersil (Kotler, et. Al, 2002: 10) Kriteria Produk Tujuan Segmentasi
Social Marketing Perubahan perilaku Peningkatan individu atau sosial Kelompok/ individu yang dipandang memiliki permasalahan secara sosial Perilaku sebelumnya ataupun Kompetitor perilaku lain yang lebih disukai. Serta perasaan akan keuntungan perilaku tersebut
Commercial Marketing Barang dan jasa Peningkatan finansial Kelompok/ individu yang mampu meningkatkan penjualan produk Diidentifikasi sebagai organisasi lain yang menawarkan barang/ jasa sama
Salim (2009: 16) mengutarakan elemen-elemen penting yang akan mempengaruhi kesuksesan sebuah kampanye social marketing yakni, sebagai berikut: 1. Terapkan SWOT (Strenght Weakness Opportunity Threat) pada analisa kondisi awal. 2. Pilih kelompok sasaran yang perilakunya hendak diubah. 3. Tetapkan perubahan perilaku yang diinginkan. 4. Identifikasi manfaat atau hambatan dalam mengubah perilaku. 5. Terapkan strategi social marketing yang beraneka ragam untuk mengelakkan hambatan dan mengejar manfaat. 6. Strategi social marketing harus diusahakan secara gigih dalam waktu lama dengan indikator prestasi yang terukur karena perubahan perilaku memakan waktu. Pada intinya pemasaran sosial merupakan penggunaan prinsip-prinsip dan teknik-teknik pemasaran dalam mempengaruhi target audience agar secara suka rela menerima (accept), menolak (reject), mengubah (modify) dan meninggalkan 10
(abandon) sebuah perilaku demi keuntungan individu, kelompok serta masyarakat sebagai sebuah kesatuan. Pemasaran sosial berusaha untuk mempengaruhi orang untuk meninggalkan perilaku yang mencandu (berhenti merokok), untuk melawan tekanan pasangan (menunda hubungan sex), dan mengadopsi perilaku yang baru (berolahraga setiap hari), bahkan menerima pengalaman yang tidak menyenangkan (memeriksa payudara ataupun darah) (Knibbs & Knibbs, 2008: 1). Dalam konteks permuseuman, konsep pemasaran sesuai untuk diaplikasikan mengingat tujuan dari bisnis museum ini adalah juga untuk kepentingan sosial masyarakat yakni untuk menciptakan ruang-ruang belajar sepanjang masa (lifelong learning) dan akses terbuka untuk kepentingan intelektual dan aktifitas budaya.
1.5.2. Strategi Komunikasi Pemasaran Sosial Museum Istilah strategi berasal dari kata Yunani, strategeia (stratus = militer dan ag=memimpin) yang artinya seni atau ilmu untuk menjadi seorang jenderal. Strategi juga diartikan sebagai suatu rencana untuk pembagian dan penggunaan kekuatan militer dan material pada daerah-daerah tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Konsep strategi pada dasarnya berasal dari bidang militer yang diadaptasi ke dalam dunia bisnis. Kini, konsep strategi tidak hanya digunakan dalam bidang militer dan bisnis tetapi juga bidang non bisnis, termasuk komunikasi. Komunikasi berperan penting dalam proses interaksi pada lingkungan perusahaan atau organisasi. Hampir setiap organisasi baik profit, non-profit, swasta maupun pemerintah menggunakan proses komunikasi sebagai upaya untuk menjalin hubungan dengan publik baik di dalam maupun di luar organisasi. Keberhasilan komunikasi yang dilakukan oleh suatu organisasi sangat penting bagi perkembangan organisasi tersebut ke depannya. Terlebih untuk sebuah institusi yang bergerak dalam bidang pemasaran. Komunikasi dan pemasaran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Keduanya bersifat saling melengkapi.
11
Keberadaan strategi sangat penting bagi keberlangsungan sebuah program. Berhasil tidaknya kegiatan komunikasi secara efektif banyak ditentukan oleh strategi komunikasi yang digunakan. Selain itu, dasar dari berbagai strategi komunikasi pada dasarnya dipertautkan dengan komponen-komponen dalam rumus Lasswell, yakni: a. Who (Siapakah komunikatornya) b. Says What (Pesan apa yang dinyatakannya) c. In Which Channel (Media apa yang digunakannya) d. To Whom (Siapa komunikannya) e. With What Effect (Efek apa yang diharapkan) Strategi komunikasi merupakan paduan dari perencanaan komunikasi (communication
planning)
dan
manajemen
komunikasi
(communication
management) untuk mencapai suatu tujuan (goal). Effendy (2004: 29) dalam bukunya ―Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi‖menjelaskan bahwa strategi komunikasi harus fleksibel dalam arti bahwa pendekatannya bisa berbeda-beda sewaktu-waktu tergantung situasi dan kondisi dimana strategi tersebut harus dapat menunjukkan taktik operasional yang harus dilakukan. Effendy (2003: 300), menjelaskan bahwa strategi komunikasi, baik secara makro
(plannes
multi-media
strategy)
maupun
secara
mikro
(single
communication medium strategy) mempunyai fungsi ganda, yakni: a. Menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara sistematik kepada sasaran untuk memperoleh hasil optimal. b. Menjembatani
cultural-gap
akibat
kemudahan
diperolehnya
dan
kemudahan dioperasionalkannya media massa yang begitu ampuh Strategi menurut Gregory (1996;105) adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan perencanaan program kampanye dalam kurun waktu tertentu, mengkoordinasikan team kerja, memiliki tema, faktor-faktor pendukung yang sesuai dengan prinsip-prinsip untuk melaksanakan gagasan strategis secara rasional dan dapat dilaksanakan melalui suatu taktik program kampanye secara efektif serta efisien. 12
Strategi komunikasi erat hubungannya antara tujuan yang hendak dicapai dengan konsekuensi-konsekuensi (masalah) yang harus diperhatikan serta rencana tentang bagaimana konsekuensi-konsekuensi akan sesuai dengan hasil yang diharapkan atau tujuan yang akan dicapai. Strategi digunakan untuk melakukan komunikasi kepada publik agar mendapatkanperhatian atau dukungan yang lebih dari publiknya, (Ruslan, 2002 : 31) mendefinisikan strategi komunikasi efektif adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana mengubah sikap (how to change the attitude) 2. Mengubah opini (to change the opinion) 3. Mengubah perilaku (to change behavior) Strategi juga bisa berarti proses manajemen. G.R Terry (dalam Hasibuan, 1985) menjelaskan, bahwa manajemen merupakan suatu proses yang khas yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan, dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumbersumber lainnya. Sementara itu, dalam pemasaran, Kotler dan Armstrong
(2008: 16),
menjelaskan bahwa strategi komunikasi pemasaran terbagi menjadi tiga aktivitas utama yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program komunikasi pemasaran terpadu. Dalam perencanaan, dilakukan aktivitas berupa analisis situasi internal dan eksternal perusahaan, identifikasi khalayak sasaran, penentuan tujuan komunikasi pemasaran, penetapan anggaran komunikasi pemasaran, dan pengembangan program komunikasi terpadu. Dalam pelaksanaan akan dijelaskan secara sistematik program komunikasi pemasaran terpadu yang dijalankan, dan yang terakhir adalah evaluasi terhadap aktivitas komunikasi pemasaran yang dijalankan tersebut. Kotler, (2008: 347) menjelaskan, pada museum, dibutuhkan strategi komunikasi agar pesan dari produk jasa dapat sampai kepada target audiens. Promosi adalah salah satu dari 5P yang harus diatur oleh museum untuk
13
mempengaruhi target market. Komunikasi adalah apa yang diterima dan dimengerti oleh individu dari target market tersebut. Komunikasi dan promotional mix adalah alat efektif untuk berkomunikasi dengan publik mereka. Caranya dapat melalui iklan, public relation, direct marketing, e-communication, dan sales promotion. Berbagai tools komunikasi dan promosi tersebut dapat dilakukan dalam sebuah kampanye. Kampanye adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan secara terlembaga. Penyelenggara kampanye umumnya bukanlah individu melainkan lembaga atau organisasi. Lembaga tersebut dapat berasal dari lingkungan pemerintahan, kalangan swasta atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Terdapat kemiripan makna antara propaganda dan kampanye sehingga masyarakat sering mempersepsikannya secara sama. Kampanye dan propaganda sama-sama menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk menyampaikan gagasan-gagasan mereka. Namun istilah propaganda telah dikenal lebih dahulu dan memiliki konotasi yang negatif. Setidaknya ada tujuh perbedaan mendasar antara kampanye dan propaganda: Tabel 1.2. Perbedaan Kampanye dengan Propaganda (Venus, 2004: 7) Aspek Kampanye Propaganda Selalu Jelas Cenderung samarSumber samar Terikat dan dibatasi Tidak terikat waktu Waktu waktu Terbuka untuk Tertutup dan dianggap Sifat gagasan diperdebatkan sudah mutlak benar Tegas, spesifik, dan Umum dan ditujukan Tujuan variatif untuk mengubah sistem kepercayaan Kesukarelaan/ persuasi Tidak menekankan Modus penerimaan kesukarelaan dan pesan melibatkan paksaan/ koersi Diatur kode bertindak/ Tanpa aturan etis Modus tindakan etika Mempertimbangan Kepentingan sepihak Sifat kepentingan kepentingan kedua belah pihak
14
Setiap aktifitas kampanye komunikasi setidaknya harus mengandung empat hal, yakni: 1. Tindakan kampanye yang ditujukan menciptakan efek atau dampak tertentu 2. Jumlah khalayak sasaran yang besar 3. Biasanya dipusatkan pada kurun waktu tertentu 4. Melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi 5. Memiliki sumber yang jelas, baik penggagas, perancang, penyampai, sekaligus penanggung jawab suatu produk kampanye Ostegaard (dalam Venus, 2004: 10) menjelaskan tiga aspek yang merupakan sasaran pengaruh (target of influences) dalam sebuah kampanye. Ketiga aspek tersebut disebut dengan 3A, yakni awareness, attitude, dan action. Ketiga aspek ini mesti dicapai secara bertahap agar satu kondisi perubahan dapat tercipta. a. Awareness: Dalam tahap ini kampanye ditujukan untuk menggugah kesadaran, menarik perhatian, dan memberi informasi tentang produk, atau gagasan yang dikampanyekan. b. Attitude: Kampanye ditujukan untuk memunculkan simpati, rasa suka, kepedulian, atau keberpihakan khalayak pada isu-isu yang menjadi tema kampanye c. Action: Kampanye ditujukan untuk mengubah perilaku khalayak secara konkret dan terukur. Tindakan tersebut dapat bersifat sekali saja tau berkelanjutan (terus menerus) Selanjutnya, Larson (1992) membagi jenis kampanye ke dalam tiga kategori, yakni
product-oriented
campaigns,
candidate-oriented
campaigns
dan
ideologically campaigns or cause oriented campaigns. a. Product-oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi di lingkungan bisnis. Istilah lain yang sering dipertukarkan dengan kampanye jenis ini adalah commercial campaigns atau corporate campaigns, dimana motivasi yang mendasarinya adalah untuk memperoleh keuntungan finansial.
15
b. Candidate-oriented campaigns atau kampanye yang berorientasi pada kandidat umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik. Karena itu jenis kampanye ini dapat pula disebut sebagai political campaigns (kampanye politik). Tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan partai politik tersebut. c. Ideologically or cause oriented campaigns adalah jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi perubahan sosial. Karena itu kampanye jenis ini dalam istilah Kotler disebut sebagai social-change campaigns yakni kampanye yang ditujukan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik yang terkait. Venus (2004: 152) menjelaskan bahwa dalam sebuah kampanye, strategi merupakan pendekatan secara keseluruhan yang akan diterapkan dalam kampanye atau lebih mudahnya disebut sebagai guiding principle atau the big idea. Guiding principle atau the big idea ini dapat diartikan sebagai pendekatan yang diambil untuk menuju pada suatu kondisi tertentu dari posisi saat ini, yang dibuat berdasarkan analisis masalah dan tujuan yang telah ditetapkan. Kampanye yang berorientasi pada perubahan sosial sebaiknya menggunakan konsep komunikasi pemasaran sosial dalam pelaksanaannya. Prof. Dr. Emil Salim berpendapat, organisasi nirlaba dapat menggunakan strategi social marketing untuk mempengaruhi kelompok sasaran agar secara sukarela menerima, menolak, menanggalkan atau mengubah suatu sikap dan perilaku bagi kemajuan individu, kelompok dan keseluruhan masyarakat.
1.5.3. Kampanye sebagai Implementasi Komunikasi Pemasaran Sosial Social-change campaign akan menjadi eksekusi dari konsep pemasaran sosial. Kampanye diperlukan dalam pemasaran sosial karena strategi pemasaran sosial harus dapat diaplikasikan ke dalam sebuah tindakan nyata yang dapat memiliki manfaat bagi khalayak banyak.
Kampanye pada prinsipnya adalah contoh
tindakan persuasi secara nyata, seperti yang diungkapkan Perloff (1993): ―Campaigns generally exemplify persuasion in action‖ 16
Alan (1994: 4) menjelaskan kriteria-kriteria agar sebuah kampanye dapat dimasukkan dalam kategori social marketing, yakni: 1. Mengaplikasikan teknologi pemasaran komersil 2. Memiliki dasar untuk mempengaruhi kebiasaan secara sukarela 3. Bertujuan untuk kepentingan bersama atau masyarakat dan bukan kepentingan organisasi itu sendiri Terdapat beberapa langkah yang harus ditempuh dalam proses kampanye komunikasi pemasaran sosial (Kotler 2002: 48): a. Where are We? 1. Analyzing the Social Marketing Environment b. Where do We Want to Go? 2. Select Target Audiens 3. Set Objectives and Goals 4. Understanding the Target Audiences and the Competitor c. How Will We Get There 5. Determine Strategies—The 4Ps d. How Will We Stay on Course 6. Develop Evaluation and Monitoring Strategy 7. Establish Budgets and Find Funding Sources 8. Complete an Implementation Plan Kampanye dalam komunikasi pemasaran sosial berarti kampanye tersebut harus ditujukan sepenuhnya untuk kesejahteraan umum (public interest). Kampanye tersebut juga harus memenuhi kaidah dan konsep-konsep yang ada pada pemasaran sosial, yakni mengubah atau mempengaruhi perilaku (behaviour) masyarakat, atau lumrah juga disebut ideologically campaign. Venus mendefiniskan lima hal yang harus diperhatikan dalam sebuah kampanye, yakni: 1. Pelaku Kampanye Zalmant dkk. (dalam Venus, 2004: 54), membagi tim kerja kampanye dalam dua kelompok yakni leaders dan supporters. Dalam kelompok leaders terdapat koordinator pelaksana, penyandang dana, petugas administrasi kampanye, dan 17
pelaksana teknis. Sementara dalam kelompok supporters terdapat petugas lapangan atau kader penyumbang dan simpatisan yang meramaikan acara kampanye. Pengelompokan pelaku kampanye sebagaimana diuraikan Zaltman di atas dianggap penting untuk mengidentifikasi orang-orang yang baik langsung atau tidak, terlibat dalam kegiatan kampanye.
2. Pesan Kampanye Bettinghaus, Appalbaum & Anatol, Shimp dan Delozier, serta Johston (dalam Venus, 2004: 71), menjelaskan setidaknya ada dua aspek penting yang harus diperhatikan pada sebuah pesan kampanye agar pesan tersebut dapat berperan efektif dalam kampanye, yakni isi pesan dan struktur pesan. a. Isi Pesan Banyak hal yang terkait dengan isi pesan, mulai dari materi pendukung, visualisasi pesan, isi negatif pesan, pendekatan emosional, pendekatan rasa takut, kreativitas dan humor, serta pendekatan kelompok rujukan. b. Struktur Pesan Istilah
struktur
pesan
merujuk
pada
bagaimana
unsur-unsur
pesan
diorganisasikan. Secara umum ada tiga aspek yang terkait langsung dengan pengorgarnisasian pesan kampanye yakni sisi pesan, susunan penyajian, dan pernyataan kesimpulan.
3. Saluran Kampanye Secara umum, Schramm (dalam Venus, 2004: 84) mengartikan saluran kampanye sebagai perantara apapun yang memungkinkan pesan-pesan sampai kepada penerima. Klapper (Mcquail, 1987) membedakan enam jenis perubahan yang mungkin terjadi akibat penggunaan media, yakni: a. Menyebabkan perubahan yang diinginkan (konversi) b. Menyebabkan perubahan yang tidak diinginkan c. Menyebabkan perubahan kecil baik dalam bentuk maupun intensitas 18
d. Memperlancar perubahan (diinginkan atau tidak) e. Memperkuat apa yang ada (tidak ada perubahan) f. Mencegah perubahan Rogers (dalam Venus, 2004: 85) menjelaskan bahwa peran media massa sangat penting dalam mempengaruhi khalayak. Alasannya, karena sasaran kampanye adalah orang banyak, publik, dan masyarakat, dan untuk mencapai mereka maka kampanye lebih menggantungkan diri pada media massa sebagai selauran utamanya. Untuk efisiensi biaya yang harus dikeluarkan, pemilihan media sebagai saluran kampanye dilakukan dengan mengukur dan menganalisisi kesempatan untuk melihat format dan isi pesan kampanye, nilai respons, biaya per penayangan pesan kampanye, akibat yang ditimbulkan, dan lain-lain. 4. Khalayak Sasaran Kampanye Khalayak sasaran kampanye adalah sejumlah besar orang yang pengetahuan, sikap, dan perilakunya akan diubah melalui kegiatan kampanye. Venus (2004: 124) menerangkan bahwa khalayak sasaran dalam kampanye tidaklah homogen. Khalayak terdiri dari kelompok-kelompok atau sub-sub kelompok yang disamping memiliki sejumlah kesamaan sekaligus juga memiliki keragaman baik dari segi demografis maupun psikografis. Alan (1995: 148) menjelaskan terdapat tiga pendekatan segmentasi yang dapat digunakan pada sektor pasar komersial dan juga dapat diaplikasikan pada sektor sosial: a. Undifferentiated Marketing: Organisasi memutuskan untuk menggunakan strategi yang sama untuk semua segmen dan berfokus pada kesamaan yang dimiliki para konsumen ketimbang pada perbedaannya. Pendekatan ini juga sering disebut mass marketing dimana pendekatan ini mencoba untuk menjangkau dan mempengaruhi sebanyak mungkin orang dalam satu waktu. b. Differentiated Marketing:
19
Organisasi mengembangkan strategi yang berbeda kepada audiens yang juga berbeda. Pendekatan ini terkadang mengharuskan adanya sumber daya lebih yang ditujukan untuk segmen yang diproritaskan. c. Concentrated Marketing Pendekatan ini sering juga disebut niche marketing dimana beberapa segmen dihapus dan sumber daya serta usaha yang diperlukan dikonsentrasikan untuk mengembangkan strategi ideal hanya untuk segmen yang akan disasar.
5. Evaluasi Kampanye Evaluasi kampanye diartikan sebagai upaya sistematis untuk menilai berbagai aspek yang berkaitan dengan proses pelaksanaan dan pencapaian tujuan kampanye. Evaluasi menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas dan implementasi rencana selanjutnya. Evaluasi harus direncanakan sebelum kegiatan kampanye dimulai sehingga keberhasilan dapat diukur melalui seperangkat variabel pengukur sebelum, saat, dan setelah pemasaran. Oostegard (dalam Venus, 2004: 213) menjelaskan bahwa evaluasi kampanye dapat dikategorisasi dalam empat level, yakni: a. Tingkatan level (campaign level) Level ini ingin mengetahui apakah khalayak sasaran terterpa kegiatan kampanye yang dilakukan atau tidak b. Tingkatan sikap (attitude level) Level ini mengukur pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh seseorang sebagai akibat diselenggarakannya kampanye. c. Tingkatan perilaku (behaviour level) Level ini mengukur apakah perilaku khalayak sasaran berubah setelah adanya kampanye. d. Tingkatan masalah (problem level) Level ini mengukur kesenjangan antara kenyataan dengan harapan atau dengan yang seharusnya terjadi.
20
1.6. KERANGKA KONSEP Dari paparan kerangka pemikiran diatas, peneliti menentukan batasan konsep dalam penelitian ini. Konsep – konsep tersebut adalah tentang Pemasaran Sosial Museum, Strategi Komunikasi Pemasaran Sosial Museum,dan Kampanye sebagai Implementasi Komunikasi Pemasaran Sosial. Konsep-konsep ini digunakan karena konsep komunikasi pemasaran sosial adalah yang strategi yang dirasa sesuai untuk diaplikasikan kepada strategi komunikasi museum. Implementasi strategi akan dilakukan dengan sebuah kampanye sosial. Dalam setiap program kampanye, strategi komunikasi yang baik sangat diperlukan agar tujuan yang dimiliki dapat dicapai dengan treatment yang tepat. Hal yang sama berlaku dalam pemasaran, komunikasi pemasaran sangat penting. Strategi komunikasi pemasaran pada dasarnya adalah konsep yang terintegrasi antara planning, implementation, dan evaluation. Yang dalam penelitian ini akan dilakukan dengan sebuah eksekusi kampanye pemasaran sosial dikarenakan, organisasi museum (non profit) berfokus pada perubahan tingkah laku dan ideologi. Pengembangan komunikasi pemasaran sosial merupakan penggunaan metode komunikasi pemasaran berupa bauran promosi dalam mempengaruhi individu atau sekelompok orang yang dipandang memiliki perilaku tidak baik untuk mengadopsi perilaku baru dan ideologi yang diharapkan oleh pemasar. Secara garis besar, konsep akan diambil dari kerangka besar intergrated marketing communication strategy, yakni planning, implementation, dan evaluation yang dikembangkan dengan konsep pemasaran sosial dan strategi kampanye. Untuk memahami konsep diatas, maka kerangka ini dapat dioperasionalkan sebagai berikut: 1. Perencanaan Kampanye Sosial a. Analisis situasi dan kondisi b. Analisis masalah c. Analisis sasaran dan kompetitor d. Analisis tujuan e. Analisis positioning 21
2. Implementasi Kampanye Sosial a. Pelaku Kampanye 1. Leaders 2. Supporters b. Pesan Kampanye 1. Isi Pesan 2. Struktur Pesan c. Saluran Kampanye 1. Advertising 2. Public Relations 3. Printed Material 4. Special Promotional Items 5. Signage and Displays 6. Personal Selling 7. Direct Marketing d. Khalayak Sasaran Kampanye 3. Evaluasi Kampanye Sosial a. Tingkatan level (campaign level) b. Tingkatan sikap (attitude level) c. Tingkatan perilaku (behaviour level) d. Tingkatan masalah (problem level) Pengembangan komunikasi pemasaran sosial dapat disampaikan melalui periklanan, PR dan publisitas, Promosi Penjualan, Personal Selling, Signage & Displays, ataupun Direct Marketing yang dilakukan untuk mendukung pemasaran sosial. Keseluruhan komponen tersebut saling terintegrasi memberikan gambaran penuh tentang kampanye Gerakan Nasional Cinta Museum sebagai implementasi komunikasi pemasaran sosial yang dilakukan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Maka penelitian ini akan mengambil konsep pemasaran sosial, dimana pemasaran sosial tersebut membutuhkan strategi komunikasi agar pesan yang hendak disampaikan dapat sampai kepada audiens. Bentuk komunikasi 22
tersebut akan dilakukan dengan sebuah kampanye karena kampanye merupakan sebuah bentuk komunikasi yang terlembaga. Kampanye tersebut akan dilakukan dengan tiga tahap, yakni; perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Perencanaan Kampanye Sosial a. Analisis situasi dan kondisi b. Analisis masalah c. Analisis sasaran dan kompetitor d. Analisis tujuan e. Analisis positioning
Pemasaran Sosial
Strategi Komunikasi Kampanye sebagai Kegiatan Komunikasi yang terlembaga
Kampanye sebagai Implementasi Strategi Komunikasi Pemasaran Sosial
Implementasi Kampanye Sosial a. Pelaku Kampanye 1. Leaders 2. Supporters b. Pesan Kampanye 1. Isi pesan 2. Struktur pesan c. Saluran Kampanye 1. Advertising 2. Public Relations 3. Printed Material 4. Special Promotional Items 5. Signage and Displays 6. Personal Selling 7. Direct Marketing d. Khalayak Sasaran Kampanye
Evaluasi Kampanye Sosial a. Tingkatan level (campaign level) b. Tingkatan sikap (attitude level) c. Tingkatan perilaku (behaviour level) d. Tingkatan masalah (problem level)
23
1.7. METODOLOGI 1.7.1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Studi kasus adalah jenis penelitian terhadap suatu gambaran yang mendetail mengenai latar belakang serta sifat-sifat khas dari suatu kasus ataupun peristiwa (Nazir, 1998: 6). Kasus ataupun peristiwa yang menjadi objek penelitian merupakan peristiwa yang kontemporer, dimana peristiwa tersebut tidak dapat dikontrol (Yin, 2002: 1). Ruang lingkup studi kasus mencakup seluruh siklus perkembangan objek, tetapi dapat pula membatasi pada objek-objek spesifik. Studi kasus juga lebih bersifat penjelajahan sehingga kesimpulannya bersifat deskriptif. Tujuan dari penelitian studi kasus adalah untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi lingkungan suatu unit sosial baik berupa individu, kelompok, lembaga atau masyarakat. Metode ini berbeda dengan metode survey yang memiliki sedikit variabel sedangkan pada studi kasus memiliki banyak variabel dan banyak kondisi pada sampel yang kecil (Narbuko & Achadi, 1997: 46). Studi kasus yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Muhadjir mengungkapkan bahwa studi cross sectional digunakan sebagai upaya mempersingkat waktu observasi dengan cara melakukan observasi pada beberapa tahap atau tingkat perkembangan tertentu dengan harapan dari sejumlah tingkat tersebut akan dibuat kesimpulan yang sama dengan observasi yang berjalan secara terus menerus (longitudinal) (Muhadjir, 1998: 38). Berdasarkan pada pembagian studi kasus Horton dan Hund seperti dikutip Muhadjir (1998: 39) maka penelitian ini termasuk dalam studi kasus genetik. Studi kasus prospektif (genetik) digunakan untuk keperluan penelitian, mencari kesimpulan dan diharapkan dapat diketemukan pola, kecenderungan, arah dan lainnya sehingga dapat dimanfaatkan untuk perkiraan-perkiraan perkembangan masa depan. Jumlah subjek yang digunakan dalam unit analisinya terdiri lebih dari satu orang bahkan dapat mencapai puluhan orang. Studi ini digunakan untuk memahami perkembangan pribadi, kelompok, lembaga untuk mengetahui perkembangan masalah. Tujuan studi kasus generik adalah memahami 24
keseluruhan kasus yang mungkin terjadi secara pribadi, satuan sosial, masa lampau dan perkembangannya. Alasan penggunaan studi kasus genetik dalam penelitian ini ialah studi tersebut bersifat prospektif, lebih melihat ke depan, melihat kepentingan perkembangan masa depan
1.7.2. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi kasus deskriptif. Pendekatan kualitatif dipilih karena data yang disajikan bukan angka melainkan deskripsi atau gambaran nyata dari objek yang dikaji. Penelitian ini diuraikan dengan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menuliskan keadaan subjek atau objek penelitian perusahaan, lembaga, masyarakat, dan lainlain untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat (Nazir, 2005:54). Desain studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini aalah studi kasus tunggal dengan single level analysis. Yakni studi kasus yang menyoroti perilaku individu atau kelompok individu dengan satu masalah penting, sebagaimana diungkapkan Mooney (dalam Badehowi, 2001: 95) Selanjutnya, menurut Michael H. Walizer, penelitian deskriptif merupakan suatu cara melakukan pengamatan dimana indikator-indikator adalah jawabanjawaban terhadap pertanyaan yang diberikan secara lisan maupun tulisan (Michael, 2002:225). Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian deskriptif-eksplanatif. Deskriptif merupakan tipe ranah penelitian yang meraih ranah status kelompok manusia, objek, suatu setting kondisi dengan mengedepankan sebuah sistem pemikiran ataupun kelas peristiwa pada masa sekarang. Penelitian ini berusaha memberikan gambaran sistematis terhadap strategi komunikasi pemasaran sosial yang digunakan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Departemen Kebudayaan dan Pendidikan dalam melalui kampanye Gerakan Nasional Cinta Museum 2010-2014. Penelitian dilanjutkan dengan menganalisis pengembangan komunikasi pemasaran sosial yang dilakukan. Penggunaan tipe eksplanatif dalam penelitian 25
ini memaparkan proses dan situasi yang melingkupi objek sehingga diharapkan peneliti mampu lebih mendalami fenomena beserta tindakan yang menjadi objek dari penelitian.
1.7.3. Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan beberapa macam teknik untuk mendapatkan data yang dianggap relevan. Pengumpulan data yang dilakukan berdasarkan pada tiga kategori yaitu Studi Pustaka, Observasi, dan Wawancara. 1. Studi Pustaka; Merupakan teknik pengumpulan data dan teori ataupun pemikiran para ahli yang tertulis mengenai informasi yang berkaitan dan relevan dengan penelitian. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini seperti buku, jurnal, dan dokumentasi internet yang sesuai dengan objek penelitian. Peneliti akan memanfaatkan berbagai macam data dan teori yang dikumpulkan dari berbagai pustaka penunjang guna melengkapi data penelitian. 2. Dokumentasi; Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data melalui fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, jurnal kegiatan dan sebagainya. Menurut Sugiyono (2008:83), dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan teknik wawancara dan observasi langsung dalam penelitian kualitatif. Peneliti akan mengambil data-data dokumentasi berupa laporan kegiatankegiatan kampanye GNCM, arsip-arsip rapat, serta dokumentasi baik yang berupa foto maupun video yang berhubungan dengan kampanye GNCM. Peneliti juga akan mengambil data yang berasal dari website dan jejaring sosial internet. 3. Wawancara; Merupakan sebuah teknik interview yang didefiniskan oleh Kartono sebagai suatu percakapan, tanya jawab lisan antara 2 orang atau lebih yang
26
duduk berhadapan secara fisik dan diarahkan pada masalah tertentu (Kartono, 1996: 187). Wawancara akan dilakukan dengan berpedomankan pada panduan wawancara atau interview guide yaitu berupa sejumlah daftar pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang mencakup segala hal mengenai obyek penelitian yang tidak dapat diperoleh melalui pengamatan, dengan demikian wawancara akan terarah pada topik penelitian. Adapun responden yang akan diwawancarai adalah pihak Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, khususnya Kasubdit Pengembangan dan Pemanfaatan, mengingat divisi tersebut adalah divisi yang mengurus proses kampanye GNCM.
1.7.4. Teknik Analisis Data Menurut Yin (2002:133), analisis data dalam studi kasus terdiri dari pengujian, pengkategorian, petabulasian maupun pengkombinasian kembali bukti-bukti untuk menunjuk proposisi awal suatu penelitian. Pengujian dilakukan pada semua data yang sudah terkumpul agar validitasnya tidak diragukan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian studi kasus ini adalah dengan mendasarkan pada proposisi teoritis atau sering juga disebut teknik analisis pattern matching. Menurut Yin (2002:140), penggunaan logika penjodohan pola merupakan logika yang membandingkan suatu pola yang didasarkan pada kenyataan yang ada dengan pola yang diprediksikan atau dengan beberapa prediksi alternatif. Jika kedua pola tersebut ada persamaan, hasilnya dapat menguatkan validitas internal studi kasus yang bersangkutan. Informasi dan data perusahaan diperoleh dari interview guides kemudian dianalisis dengan menggunakan logika penjodohan pola. Teori merupakan pola yang telah ditentukan sebelumnya kemudian dibandingkan dengan pengamatan terhadap informasi dari data yang diperoleh.
27