BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Peradaban manusia selalu berubah menuruti perkembangan pola pikirnya. Dahulu kita mengenal adanya peradaban nomaden yang masih sangat mengandalkan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup, sungai dan hutan menjadi pusat aktivitas manusia. Selanjutnya peradaban manusia beberapa kali mengalami perubahan, dari bercocok tanam hingga mulai dikenalnya sistem perdagangan. Saat ini yang katanya zaman sudah semakin canggih sistem perdagangan telah merajai segala aktivitas pemenuhan kebutuhan. Apalagi sejak ditemukannya alat tukar (mata uang) sebagai pengganti dari sistem barter (pertukaran barang) yang dalam melakukan transaksi masih dinilai dari kebutuhannya saja, sistem perdagangan semakin menjadi kebiasaan yang tak dapat dilepaskan dari setiap aktivitas manusia, sebab kita telah dipermudah untuk memperoleh sesuatu. Mata uang membuat kita mengenal adanya nilai nominal yang terkandung dalam sebuah benda. Zaman berubah kepentingan juga berkembang, semakin banyaknya komunitas-komunitas manusia seperti negara, kaum ulama, kaum pengusaha dan pedagang, dan sebagainya, semakin kompleks juga pola pikir manusia. Manusia tidak hanya berpikir untuk memenuhi kebutuhannya secara fungsional saja, tetapi mulai memasuki wilayah yang lebih simbolis seperti harga diri, status sosial, gaya hidup dan sebagainya. Sebenarnya fenomena ini sudah terjadi sejak dahulu, akan tetapi dahulu hanya kalangan penguasa kerajaan dan bangsawan saja yang dapat memenuhinya. Status mereka disimbolkan dengan rumah yang megah, tanah yang luas, kereta kuda yang megah, pakaian yang mewah dan makanan yang lezat, serta jumlah budak yang dimiliki. Berbeda dengan saat ini, orang yang berlomba-lomba mencari status sosial dan gaya hidup serba mewah tidak hanya dari golongan negarawan dan bangsawan saja. Kaum pengusaha besar dan
1
menengah yang mampu mempermainkan perekonomian
juga mulai menilai
bahwa mereka butuh memperlihatkan identitas sebagai orang sukses dan kaya. Para pengusaha yang notabene-nya adalah para pelaku perdagangan mempunyai peranan penting dalam menjalankan perdagangan, mereka mampu mempermainkan jalannya perdagangan sesuai dengan cara mereka untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Faktor yang semakin membuat rumit permasalahan kehidupan bermasyarakat saat ini adalah aktivitas perdagangan yang mampu merajai segala aktivitas manusia, sehingga muncullah anggapan bangsa atau negara yang maju adalah negara yang pendapatan perkapita penduduknya sangat besar. Kemajuan bukan lagi dilihat dari kebudayaan yang lebih manusiawi. Ekonomi sudah membuat patokan besar bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Sekarang di zaman yang katanya semakin maju ini, status sosial seseorang dilihat dari tingkatan ekonominya. Seseorang akan lebih dihargai apabila mempunyai kekayaan yang berlimpah. Orang lain akan memperlakukan kita dengan keistimewaan apabila kita menjadi orang yang kaya materi dengan tingkat konsumsi yang tinggi. Inilah fenomena yang terjadi saat ini, sebuah cara pandang yang berkembang di dunia, khususnya Indonesia, yaitu budaya konsumerisme. Dalam budaya ini konsumsi dipandang sebagai proses menggunakan atau mendekonstruksikan tanda-tanda yang terkandung di dalam objek-objek oleh para konsumer, dalam rangka menandai relasi-relasi sosial. Dalam hal ini objek dapat menentukan status, prestise, dan simbol-simbol sosial tertentu bagi para pemakainya. Menurut Baudrillard, objek-objek membentuk perbedaan-perbedaan sosial dan menaturalisasikannya melalui perbedaan-perbedaan pada tingkat semiotik atau pertandaan. 1 Dengan budaya konsumerisme yang semakin menjadi, maka makin jelaslah bagi saya, hal ini menandakan bahwa manusia sekarang adalah manusia nominal, yaitu manusia yang keberadaannya diukur oleh uang. Aku beruang, berarti aku berpeluang! ___________________________________________________________________________ 1 Yasraf Amir Piliang, Hiper Realitas Kebudayaan, LKiS, 1999, Yogyakarta, halm 98 2 Himawijaya, pengantar buku “The Last Self-Help Book” karya Walker Percy terbitan Jalasutra tahun 2006
2
2.1 Rumusan Masalah Memakai topeng di wajah ternyata sudah menjadi tradisi manusia sejak zaman paleolithicum.2 Jika mereka yang menjalani ritual keseharian ini hendak menempuh suatu dunia baru juga perubahan medan, baik itu sebuah pertempuran, perburuan binatang atau sekedar ritual hiburan, adalah suatu kewajiban bagi mereka untuk untuk menutupi wajahnya dengan cat, topeng kayu, aksesoris bagian tubuh binatang, atau menempelkan tanah berwarna ke wajahnya. Tindakan-tindakan demikian bertujuan untuk perubahan identitas. Menjadi lebih berani di lapangan tempur atau diperburuan, untuk berubah peran di arena drama atau bisa jadi untuk menutupi kekurangan yang ada pada dirinya dalam kehidupan nyata. Di dunia perdagangan saat ini kebiasaan bertopeng (tidak secara harfiah) makin digemari. Hal ini berhubungan dengan digandrunginya kebudayaan massa sebagai akibat dari berkembangnya alat dan media komunikasi yang sudah tidak mungkin lagi kita hindari. Fenomena tersebut dapat terlihat dari kebiasaan bersikap, pola pikir, gaya hidup, dan pandangan masyarakat terhadap kehidupan sehari-hari. Namun yang perlu kita ingat adalah, bahwa media massa dan alat komunikasi yang lain hanyalah satu faktor awal dalam merubah seseorang. Pergaulan atau lingkungan kita dalam berkomunikasi adalah faktor yang paling besar memberi pengaruh terhadap perilaku kita. Seorang lelaki tidak akan memakai anting apabila tidak ada temannya yang terlebih dahulu memakainya. Begitu juga yang terjadi pada kaum pedagang atau pengusaha. Dengan adanya kebiasaan untuk memperlihatkan kesuksesan dengan cara berpenampilan mewah bagi segelintir orang, maka kebiasaan tersebut memancing para pengusaha atau pedagang yang lain untuk mengikutinya. Budaya konsumerisme memberi imbas yang luar biasa dalam aktivitas perdagangan. Pandangan masyarakat tidak lagi berdasarkan kepercayaan kekeluargaan seperti yang saya rasakan pada masyarakat dahulu. Sistem yang berlaku dalam budaya konsumerisme adalah sistem bahasa tanda (simbol): orang lebih sering melihat visual sebagai patokan untuk sesuatu, orang lebih suka menterjemahkan tanda-tanda yang kasat mata.
3
Seiring dengan kemajuan sektor industri dan lebih dibukanya peluang untuk berusaha di Indonesia, industri kecil dan industri rumah tangga tumbuh seperti jamur di musim hujan di tingkat daerah. Aktivitas perekonomian tidak lagi selalu mengandalkan pusat (Jakarta) sebagai ladang uang. Peluang ini melahirkan para orang kaya baru di golongan masyarakat menengah bawah, yang masih sangat mudah terombang-ambing oleh perubahan budaya, yang pada akhirnya mereka terseret pada aktivitas konsumsi. Para pengusaha yang kaya mendadak ini beranggapan bahwa status sosial dalam masyarakat sangat penting. Status sosial mereka lihat dari kekayaan, dan kekayaan dilihat dari tingkat konsumsi : semakin tinggi tingkat konsumsi semakin tinggi pula status sosialnya. Pandangan ini berpengaruh kepada masyarakat lain terutama masyarakat yang menjadi konsumen. Para konsumen dan calon konsumen mencari produsen yang dapat dipercaya lewat kekayaan yang mereka lihat pada produsen (pengusaha). Setelah sekian lama cara pandang di atas terbukti ampuh dalam membangun jaringan bisnis, ditirulah kebiasaan ini oleh masyarakat luas terutama para penguasaha yang belum mapan. Para peniru ini berusaha sedapat mungkin berpenampilan sama seperti pengusaha yang telah sukses dan kaya. Sehingga di sini kita dapat melihat terjadinya pemaksaan terhadap kemampuan yang berakhir pada keterpaksaan yang semakin kompleks. Misalnya, tagihan kredit mobil yang selalu datang mencekik pada awal bulan, yang berakibat pada terganggunya konsentrasi kerja. Satu lagi yang paling ditakuti untuk pengambilan sikap para pedagang atau pengusaha dalam mensiasati aktivitas perdagangannya, yaitu apabila sikap hidup yang diambil berubah menjadi sebuah gaya hidup. Seperti yang diungkapkan di atas, bahwa benda konsumsi adalah perwakilan dari status sosial di masyarakat sekarang. Ketika gaya hidup mulai mengambil peranan yang lebih, akan berakibat berjayanya budaya konsumerisme. Ketika itu pula pe-nominal-an akan merajalela. Semuanya akan diukur dengan uang, bahkan manusia pun akan dinominalkan. Dari uraian tadi dapat kita uraikan rumusan masalahnya sebagai berikut : 1. Apakah kehidupan masyarakat pedagang/pengusaha tidak dapat dipisahkan dari budaya konsumerisme?
4
2. Mengapa masyarakat lebih menyukai kehidupan yang semu, halusinasi, artificial, kedangkalan, permukaan pada budaya konsumerisme? 3. Bagaimana cara mengungkapkan gagasan tersebut ke dalam sebuah karya seni?
1.3 Batasan Masalah Mobil jenis sedan bermerk BMW mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat Pekalongan dan keluarga saya, mobil ini dianggap sebagai simbol kekayaan dan kesuksesan. Kaum pedagang dalam melaksanakan aktivitas perdagangannya sering menggunakan mobil ini untuk menunjukkan posisi mereka dalam masyarakat dan dalam rangka memberikan rangsangan kepada para calon relasi bisnis. Dengan alasan ini
saya memutuskan untuk
mengambil image mobil sedan BMW sebagai visualisasi karya yang mencoba mengkritik sebuah fenomena yang terjadi pada masyarakat, yaitu mulai dinominalkannya kedudukan manusia sebagai akibat dari berkembangnya budaya konsumerisme dalam masyarakat. Mobil ini saya analogikan sebagai baju yang dipakai untuk berpenampilan agar mendukung image yang ingin dicapai. Material yang digunakan dalam karya ini adalah kancing, kancing adalah produk hasil dari usaha keluarga saya yang merupakan salah satu pelaku perdagangan di Pekalongan. Selain itu kancing juga merupakan perwakilan dari produk industri tekstil yang semenjak tahun 1994 menjadi industri unggulan dari daerah Pekalongan, tentunya selain batik yang sudah sangat terkenal.
1.4 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini tdak lain untuk memberikan pengantar uintuk menjelaskan konsep karya tugas akhir selebihnya akan berfungsi sebagai sebuah referensi.
1.5 Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN
5
Pada bab ini menjelaskan mengenai latar belakang atau halhal yang mendasari permasalahan. Seperti pemaparan sebuah fenomena hingga sistematika penulisan.. BAB II
LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dipaparkan beberapa teori yang mendukung dan relevan dengan permasalahan.
BAB III
PROSES BERKARYA Menjelaskan tentang gagasan berupa objek dan bentuk visual yang di tampilkan pada karya, juga mengenai proses di dalam berkarya.
BAB IV
TINJAUAN KARYA Membahas isi karya.
BAB V
KESIMPULAN Bab ini menjelaskan kesimpulan dari keseluruhan konsep karya maupun penulisan.
6