BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dewasa ini pembicaraan mengenai homoseksualitas terutama gay semakin terbuka dan menjadi sebuah fenomena menarik untuk dijadikan bahan berdiskusi dalam ranah ilmiah maupun non-ilmiah. Di Indonesia, gay sebenarnya bukan hal baru. Menurut Tan (2005: 19) kurang tereksposnya keberadaan mereka satu atau dua dekade yang lalu, bukan berarti kaum gay tidak ada, hanya saja mereka memilih menutupi diri rapat-rapat. Hal ini karena masyarakat Indonesia masih melihat gay sebagai perilaku tidak bemoral dan dianggap sebagai pembawa penyakit HIV-AIDS (Wijana dalam Soetjiningsih, 2004: 285). Selain itu, stigma-stigma negatif yang terlanjur menempel pada kaum minoritas ini, seperti penganut free-sex dan drugs menjadikan gay sebagai momok yang menakutkan. Bahkan belakangan gay dicap sebagai seorang pembunuh berdarah dingin atau psikopat karena maraknya pemberitaan oleh media cetak atau elektronik mengenai seorang gay yang melakukan pembunuhan terhadap teman sesama jenisnya. Harus diakui bahwa media massa baik cetak maupun elektronik memberikan peran besar dalam membentuk persepsi masyarakat mengenai kaum gay dan biasanya ketika terjadi pembunuhan dan pelakunya adalah seorang gay, media massa akan lebih menyoroti mengenai orientasi seksnya dibandingkan dengan peristiwa pembunuhannya sendiri, dan akhirnya akan
1
2
terbentuk suatu streotipe kalau gay itu adalah seorang yang sadis (Tan, 2005: 109). Jumlah gay di Indonesia dapat dikatakan cukup banyak. Suatu survey menunjukan 8-10 juta orang di Indonesia pernah terlibat pengalaman homoseks dan sebagian meneruskan pengalamannya. Menurut Dede Oetemo 260.000 dari enam juta penduduk di Jawa Timur ditenggarai memiliki kecenderungan homoseks (http://www.e-psikologi.com). Hasil survey yang menunjukan angka signifikan tersebut tidak serta merta membuka mata masyarakat mengenai keberadaan kaum gay sebagai bagian dari anggota masyarakat dan mengubah norma-norma yang telah lama ada di masyarakat. Seperti yang sudah diketahui bahwa dalam suatu masyarakat ajaran agama dan tradisi berjalan seiring, maka dari itu masyarakat hanya akan mengesahkan pasangan laki-laki dan perempuan bukan
laki-laki dengan laki-laki. Oleh karena itu ketika masyarakat
mengetahui ada seorang laki-laki berpasangan dengan laki-laki tentu akan dianggap abnormal atau mengalami gangguan jiwa (Tan, 2005: 26). Pada tahun 1973 homoseksualitas pernah dikategorikan sebagai gangguan jiwa yang terangkum dalam PPDGJ (Panduan Pedoman Diagnostik Gangguan Jiwa)
atau DSM (Diagnostic and Statistical
Manuasejak 1973 homoseksualitas sudah dikeluarkan dari daftar DSM maupun PPDGJ yang mana kalau tidak terdapat dalam PPDGJ atau DSM, perilaku tersebut tidak dapat dikatakan sebagai bentuk gangguan jiwa (Tan, 2005: 27). Di Indonesia sendiri tidak digolongkannya homoseksualitas sebagai salah satu bentuk gangguan jiwa dimulai sejak tahun 1983 atau sejak PPDGJ II (Oetomo, 2003: 75).
3
Menurut Psikiater atau psikolog homoseks yang dikatakan mengalami gangguan jiwa adalah homoseks yang egodistonik, yaitu homoseks yang merasa terganggu dengan orientasi seksnya (Oetomo, 2003: 133). Namun pada DSM-IV mereka yang mengalami homoseks egodistonik hanya dianggap sebagai individu dengan distress nyata dan menetap yang disebabkan oleh orientasi seksualnya (Wijana dalam Soetjiningsih, 2004: 285). Bahkan dalam proses terapi kebanyakan para homoseks egodistonik diarahkan
untuk
menjadi
pribadi
yang
dapat
menerima
sifat
homoseksnya(Oetomo, 2003: 75). Lebih lanjut para ahli mengatakan homoseksualitas hanya merupakan salah satu bentuk orientasi seks (Tan, 2005: 35). Orientasi seks sendiri dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan untuk tertarik secara fisik maupun seksual pada lawan jenis, sesama jenis, atau bahkan pada dua jenis kelamin. Orientasi seks dibagi menjadi heteroseks, homoseks, dan biseks. Heteroseksual yaitu ketertarikan pada lawan jenisnya. Homoseksual yaitu ketertarikan pada jenis yang sama dan biseksual yaitu ketertarikan pada kedua jenis kelamin. Orientasi seks sendiri relatif menetap dan tidak bisa dirubah (Wijana dalam Soetjiningsih, 2004: 285-286). Bahkan belakangan diketahui tidak ada bukti mengenai terapi yang efektif untuk merubah orientasi seksual seseorang, terapi justru menimbulkan rasa bersalah pada seseorang yang memiliki orientasi seks sejenis (Arvin dkk, 1996: 119). Orientasi seks sendiri menurut American Psychiatric Association (APA) berkembang sepanjang hidup seseorang (http://www.e-psikologi.com/epsi/klinis). Secara umum pendapat masyarakat Indonesia tentang kaum homoseks khususnya gay masih negatif. Hal ini disebabkan adanya
4
pengaruh heteronormativitas yang berlaku di masyarakat yaitu secara normal laki-laki hanya boleh mencintai perempuan begitu juga sebaliknya, di luar dari itu maka akan dianggap melawan kodrat, tidak normal dan bertentangan dengan agama (Bulletin GayA Nusantara, 2005: 3) . Hal ini diperkuat oleh Oetomo (2003: 95) yang menyatakan dalam masyarakat Indonesia modern gay merupakan hal yang tidak bermoral. Bahkan dalam masyarakat hubungan homoseks dianggap menyalahi aturan perkawinan , karena di masyarakat berlaku hukum bahwa seseorang harus berpasangan dengan lawan jenisnya bukan dengan sesama jenis (Tan, 2005: 26). Adanya
pengaruh
heteronormativitas
serta
pendapat-pendapat
negatif masyarakat tentang perilaku gay, membuat kebanyakan gay menolak keadaan dirinya begitu menyadari orientasi seksnya berbeda dengan kebanyakan orang, umumnya mereka akan berusaha menjauhi objek homoseksnya. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan menjalin suatu hubungan heteroseks. Namun seringkali sebelum memulai menjalin hubungan heteroseks kaum gay dihadapkan dengan pertanyaan “Bisakah saya?”. Pertanyaan ini muncul karena menjalin hubungan heteroseks berarti menambah masalah baru, padahal menjadi individu dengan orientasi seks berbeda di masyarakat saja sudah menjadi masalah berat, ditambah lagi harus menjalin hubungan dengan perempuan yang secara seksual maupun emosi tidak menarik bagi mereka (Simanjuntak, 2008: 120-121). Bagi sebagian gay mereka akan tetap memilih menjalin hubungan dengan perempuan agar dapat mengubah orientasi seks mereka (Hasan, 1997: 114) ,menyembunyikan orientasi seksual mereka (Carre, 352: 2007), menginginkan anak, demi karir dan agar dapat diterima secara sosial
5
(Advocate Magazine). Namun semakin seorang homo (termasuk gay) menjauhi objek homoseksnya semakin dia merindukan objek tersebut (Tan, 2005: 41). Seperti individu lainnya, seorang gay juga memiliki hal-hal yang merupakan bawaan dasar seperti dorongan seks dan hal-hal yang sifatnya dipelajari seperti norma-norma. Dan terkadang dorongan-dorongan dasar tersebut sering bertentangan dengan dengan norma-norma. Hal inilah yang kebanyakan dialami oleh gay. Di satu sisi mereka memiliki dorongan untuk menjalin hubungan pada sesama jenisnya karena memang gay hanya tertarik pada jenis kelamin yang sama, di sisi lain mereka harus dihadapkan pada norma-norma yang melarang perilaku homoseksual. Adanya pertentangan dalam diri yang dialami oleh para gay, terkadang menimbulkan berbagai macam perasaan seperti cemas dan malu. Untuk mengatasi perasaan cemas dan malu, biasanya gay melakukan banyak cara untuk mengatasinya seperti lari dari masalah, berusaha menjadi seperti yang diinginkan oleh lingkungan, mengatur gaya bahasa dan tubuh, serta menjalin suatu relasi heteroseks (Chandra, 2004, Dinamika Psikologis Orientasi Seksual Pada Gay). Menjalin suatu relasi atau hubungan intim termasuk di dalamnya kebutuhan untuk dicintai dan mencintai adalah hal yang mutlak terjadi dalam setiap diri individu, khususnya ketika seorang individu memasuki usia dewasa awal. Dalam rentang usia tersebut individu dihadapkan pada sejumlah tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi di antaranya adalah memilih seorang teman hidup, membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak dan mengelola sebuah rumah tangga (Hurlock, 1980). Tak terkecuali yang terjadi pada seorang gay. Selayaknya individu
6
lainnya seorang gay juga membutuhkan teman hidup untuk membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak mereka dan mengelolanya dalam mahligai rumah tangga dengan laki-laki pilihannya. Akan tetapi karena dalam kebanyakan masyarakat
gay masih dianggap suatu dosa dan
penyakit, maka banyak dari kaum gay yang memilih untuk menutupi keadaan dirinya. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Chandra (2004, Dinamika Psikologis Orientasi Seksual Pada Gay, 81: para 2) “Kaum gay cenderung tidak membuka diri pada orang tuanya, karena mereka tidak dapat memenuhi relasi heteroseks, menyadari hal tersebut banyak kaum gay lebih memilih menutup diri, lebih bersikap pasrah dalam menghadapi keadaan dan menghilangkan dorongan dari keluarga apabila dengan membuka diri, maka ada perasaan-perasaan negatif dari keluarga pada diri mereka“ Padahal menurut Tan (2005: 102) jika orang tua dapat dimasukan sebagai bagian di mana individu gay dapat menyatakan identitas homoseksnya, maka beban batin yang harus dipikul akan semakin ringan. Namun hasil sebuah penelitian (Chandra, 2004) menunjukan gay yang hidup tanpa keluarga misal dengan orang tua atau saudara justru lebih mudah mengekpresikan orientasi seksnya. Alasan lain yang mendorong seorang gay untuk menjalin hubungan heteroseks, yaitu adanya tuntuntan dari keluarga untuk menikah dan tuntuan dari dalam diri individu yaitu adanya perasaan wajb membahagiakan orang tua, hal ini seperti yang diungkapkan oleh X menikah dengan seorang perempuan :
yang sebentar lagi akan
7
“Perasaanku ya bingung, aku sebenere nggak mau kayak gini (menjalin
hubungan heteroseks), tapi karena keadaan (tuntutan
keluarga) yang memaksa dan selalu menanyakan kapan aku nikah, akhirnya ya udah…apalagi aku anak tunggal cowok satu-satunya, aku juga mau ngebahagian orang tuaku terutama mama soalnya aku juga nggak mau dicap sebagai anak durhaka, jadi mau nggak mau, aku mau jadian sama cewek”. Idealnya dalam suatu hubungan baik berpacaran atau menikah terdapat tiga aspek yang terlibat di dalamnya yaitu passion, intimacy dan commitment (Myers, 1999: 453). Duffy (2009: 318) menjelaskan lebih jauh mengenai tiga aspek tersebut. Intimacy adalah aspek emosional dalam suatu hubungan yang meliputi kedekatan, kebersamaan, komunikasi dan dukungan – dukungan lainnya. Passion adalah aspek emosional dalam suatu hubungan yang meliputi gairah dan keinginan untuk menyatu dengan pasangannya. Dan commitment adalah aspek dalam suatu hubungan yang meliputi keinginan dua belah pihak untuk mempertahankan hubungan yang mereka jalani. Pada fenomena gay yang memilih menjalin hubungan secara heteroseks aspek yang paling banyak terlihat yaitu commitment yang tergambar dari keputusan gay untuk menjalin hubungan dengan perempuan meskipun tidak terdapat unsur passion dan intimacy. Menjalin hubungan dengan seorang perempuan hanya berlandaskan commitment membuat gay merasa semua hal yang dilakukan dalam hubungan tersebut tidak lebih dari sekedar kewajiban . Hal ini seperti yang diungkapkan oleh X dan Y
8
“Aku nggak ada perasaan apa-apa pas PDKT sama cewekku, aku ya cuman ngerasa harus aja PDKT ma dia, nggak ada yang namanya nafsu” “Aku ngerasa pacaran sama perempuan itu kayak suatu kewajiban yang harus aku penuhi, dan selama pacaran aku ngerasa kayak temenan sama temen perempuan” Hal berbeda justru diungkapkan oleh H dan W, yang saat ini sedang menjalin hubungan dengan laki-laki “Ya, kalo pacaran sama cowok, ya enak soale ada nafsu, trus tiap minggu pengennya ketemu, pokoknya kebutuhan seks sama lainlainnya kayak rasa nyaman gitu bisa terpenuhi” “Cinta sih pasti ada, nafsu apalagi…ya pasti pasti ada dong, lak lucu lek pacaran nggak ada nafsu…” Pernyataan dari X dan Y yang memutuskan untuk menjalin hubungan dengan perempuan Adanya pernyataan-pernyataan yang bertolak belakang antara mereka-mereka yang memiliki orientasi seks sejenis yang memutuskan menjalin hubungan secara heteroseks dan homoseks, mengantarkan peneliti pada suatu kesimpulan, membangun hubungan dengan seorang perempuan bagi seorang gay akan menimbulkan perasaan tidak nyaman yang kemudian akan menciptakan suatu gejolak dalam diri individu yang memiliki orientasi seks sejenis namun harus menjalin hubungan secara heteroseks, Gejolak-gejolak tersebut lama kelamaan akan menimbulkan suatu konflik, dimana konflik-konflik tersebut tidak
9
homeostatis, namun bergerak secara terus menerus dan akhirnya menimbulkan suatu dinamika secara psikologis. Dinamika
psikologis
sendiri
dapat
diartikan
sebagai
suatu
pergerakan yang terjadi dalam diri seorang individu yang terdiri dari motivasi, insting, dan konflik-konflik intrapsikis maupun intrapribadi (Valsiner, 2009: 1). Kemamampuan individu melakukan coping pada konflik-konfliknya akan berdampak bagi kondisi psikologisnya, salah satunya terhindar dari gangguan neurosis dan psikosis (Semium, 2006: 50). Dalam
suatu
situs
online
(www.help.com),
seorang
gay
menceritakan bahwa dirinya sudah menikah dengan seorang perempuan selama 22 tahun dan dikaruniai anak. Belakangan muncul keinginan dari laki – laki tersebut untuk bercerai dengan istrinya namun terhalang oleh ketakutannya apabila anak-anaknya mengetahui orientasi seksnya. I am wanting to get a divource because I have lived a lie with my wife for 22 years. I have two children and don’t know how it is all going to play out. I don’t know what to do. I made a mistake marrying my wife. I love my kids but I am afraid of what will happen to them when it all comes out that I am really gay and that the reason I married my wife was due to the pressure of family and society. I have met the most wonderful man and I don’t want to lose him. As far as the wife is concerned, she knows how to make me feel guilty about all of this. She knows I am gay. Can somebody help me? I don’t want to hurt my kids. Kaye (2011: 1) menjelaskan bahwa ketika seorang gay memutuskan untuk menikah dengan seorang perempuan sebaiknya memikirkan konsekuensi – konsekuensi ke depannya karena menikah dengan dengan
10
seorang perempuan bagi seorang gay memberi dampak bagi kehidupan gay itu sendiri. Lebih jauh Kaye menjelaskan perasaan tersiksa dan tidak pernah merasa nyaman adalah hal yang paling sering dialami oleh gay yang menikah dengan perempuan Sementara itu suatu penelitian yang dilakukan oleh Pearcey (2007, The experiences of heterosexual women married to gay or bisexual men) menyebutkan saat seorang gay memutuskan menjalin hubungan dengan seorang perempuan dan pasangan mereka mengetahui orientasi seks mereka, sebanyak 58 % perempuan mengaku merasa marah, sedangkan hanya 24 % yang mengatakan bisa memahami orientasi seks pasangannya. Dari kajian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa menjalin hubungan secara heteroseks bagi seorang gay tidak hanya memberikan dampak psikologis kepada gay itu sendiri, namun juga pada orang – orang disekitarnya, terutama pasangan perempuannya. Mengacu pada kajian tersebut peneliti memilih variabel dinamika psikologis untuk diteliti. Tujuan dipilihnya variabel tersebut agar mengetahui secara mendalam konflik – konflik yang terjadi ketika seorang gay memutuskan menjalin hubungan secara heteroseks, sekaligus dampak psikologis yang muncul dari hubungan tersebut. Di samping itu dalam konsep psikologi kajian tentang dinamika psikologis merupakan hal yang sangat penting atau mendasar terhadap pembentukan psychological well being individu. Adanya fakta bahwa sebanyak 85% gay memilih menjalin hubungan secara heteroseksual karena berbagai alasan (factsandetails.com). Lalu diperkuat oleh hasil survey yang cukup mencengangkan menunjukan sekitar dua juta penduduk dunia yang memiliki orientasi seks sejenis pernah atau
11
sedang memiliki pasangan heteroskes (Advocate Magazine, 2004: 56) membuat penelitian ini menawarkan keunikannya tersendiri dibandingkan penelitian-penelitian terdahulu yang mengangkat fenomena seputar gay yang kebanyakan hanya mengkaji mengenai self concept dan coming out pada gay.
1.2. Fokus Penelitian Untuk mengetahui bagaimana dinamika psikologis pada gay yang menjalin hubugan heteroseks. Dimana pada penelitian ini dinamika psikologis yang menjadi fokus dimulai dari masa kecil sampai masa menjalin hubungan secara heteroseks
1.3. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui bagaimana dinamika psikologis pada gay yang menjalin hubugan heteroseks.
1.4. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis a. Memberikan masukan baru bagi pengembangan teori-teori psikologi klinis khususnya mengenai homoseksualitas dan orientasi seksual. b. Memberikan masukan bagi perkembangan studi seksualitas khususnya yang menyangkut masalah homoseksual.
12
Manfaat praktis a. Bagi Masyarakat Memberikan
tambahan
informasi
baru
mengenai
dunia
homoseksual, khususnya tentang dunia gay. b. Bagi Orang tua Untuk para orang tua yang telah memiliki anak laki-laki yang telah coming out sebagai gay agar dapat memikirkan dengan bijak konsekuensi-konsekuensi yang akan muncul ketika meminta anaknya untuk menjalin hubungan heteroseks. c. Bagi kaum gay Memberikan pemahaman baru pada kaum gay mengenai homoseksualitas, khususnya mengenai gay yang menjalani hidup heteroseks, sekaligus dapat menjadi refleksi bagi kaum gay yang akan memutuskan untuk menjalin hubungan secara heteroseks.