BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari dua pulau besar, yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa serta dikelilingi oleh ratusan pulau-pulau kecil yang disebut Gili (dalam bahasa Sasak Gili berarti pulau). Keindahan alam yang dimiliki oleh provinsi ini menjadikan pariwisata sebagai salah satu sektor andalan dalam pembangunan ekonominya. Kondisi tersebut didukung dengan posisinya yang strategis dengan berada di segitiga emas daerah tujuan wisata, yaitu Pulau Bali di bagian barat, Pulau Komodo di bagian timur dan Tana Toraja di bagian utara (Santoso 2011). Pulau-pulau kecil yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu tujuan wisata bahari. Dari sekian banyak pulau yang ada, terdapat kawasan wisata bahari yang sangat terkenal di Nusa Tenggara Barat yaitu kawasan Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra. Penamaan Gili Matra merupakan singkatan dari tiga gugusan pulau yang terdapat di kawasan ini, yaitu Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan tetapi secara geografis sebenarnya posisi ketiga Gili tersebut jika diurutkan letaknya dari yang terdekat dengan Pulau Lombok maka akan diawali oleh Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan (Lampiran 1). Secara geografis, kawasan TWP Gili Matra berada pada posisi 8o20’- 8o23’ LS dan 116o00’-116o08’ BT. Sedangkan secara adminstratif kawasan ini berada di Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara. Kawasan ini memiliki total luas 2.954 ha, meliputi luas daratan Gili Air sebesar ± 175 ha dengan keliling pulau ± 5 km, Gili Meno sebagai pulau terkecil ± 150 ha dengan keliling pulau ± 4 km dan Gili Trawangan sebagai pulau terbesar ± 340 ha dengan keliling pulau ± 7,5 km. Sisa selebihnya merupakan perairan laut. Potensi wisata yang dimiliki oleh kawasan TWP Gili Matrameliputi hamparan pantai pasir putih, terumbu karang dan berbagai jenis ikan laut. Aktivitas wisata yang dapat dilakukan antara lain selam, snorkeling, surfing, glass 1
2
bottom boat, berjemur, photo hunting dan wisata kuliner. Berdasarkan data kunjungan wisatawan dari Dinas Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informasi Kabupaten Lombok Utara tahun 2009-2012, wisatawan yang datang ke kawasan TWP Gili Matra senantiasa meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini mendorong semakin berkembangnya pembangunan pariwisata di kawasan tersebut. Di dalam pengelolaan pemerintah, awalnya kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.85/Kpts-II/1993 dan pada tahun 2001, Gili Matra juga ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam perairan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.93/Kpts-II/2001. Pada masa tersebut pengelolaan kawasan ini masih berada di bawah Departemen Kehutanan (Santoso 2011). Pada tahun 2009 pengelolaan kemudian diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan berdasarkan Berita Acara Serah Terima Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dari Departemen Kehutanan kepada Departemen
Kelautan
dan
Perikanan
No.BA.01/Menurut-IV/2009-
BA.108/MEN.KP/III/2009. Sejak saat itu hingga kini nomenklatur kawasan menjadi Taman Wisata Perairan (TWP) Gili Matra (Santoso 2011). Penetapan kawasan konservasi yang telah berlangsung cukup panjang seharusnya menjadikan perkembangan pariwisata dan konservasi di kawasan ini berlangsung harmonis. Tetapi seiring berjalannya waktu, pesatnya perkembangan pariwisata di TWP Gili Matra mulai menimbulkan beberapa persoalan. Salah satunya terlihat dari banyaknya bangunan permanen yang berdiri melebihi batas sempadan pantai (Bachtiar 2008). Menurut Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 10 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, sempadan pantai adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan bagi pengamanan dan pelestarian pantai. Kawasan sempadan pantai berfungsi untuk melindungi masyarakat dari bahaya gelombang pasang tinggi, mencegah abrasi dan menjaga pantai dari kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian fungsi pantai. Oleh
3
karena itu, kawasan sempadan pantai sebenarnya hanya diperbolehkan untuk tanaman pelindung, pengaman pantai dan penggunaan fasilitas umum yang tidak merubah fungsi lahan untuk pelestarian pantai. Lebih lanjut menurut Kepres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi kearah darat. Jika
melihat
sejarah,
sebelumnya
masyarakat
memang
diberikan
kewenangan untuk mengelola sendiri kawasan Gili Matra dan pada waktu itu belum ada sosialisasi mengenai aturan dan batas-batas pembangunan yang boleh dilakukan di pantai. Kegiatan konservasi baru dimulai pada tahun 1998 melalui program yang dilakukan oleh COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management
Program)
(Bachtiar
2008).
Sayangnya
hingga
saat
ini
perkembangan pariwisata di Gili Matra belum dapat dibarengi oleh penegakan hukum yang tegas. Selain itu, meskipun secara keseluruhan perkembangan pariwisata di kawasan tersebut sangat pesat tetapi pembangunan pariwisata di ketiga pulaunya tidak sama. Dari ketiga gili, Gili Trawangan mengalami pembangunan pariwisata yang paling signifikan. Pembangunan pariwisata di Gili Trawangan bahkan sudah overcrowded dan perlu ditekan.Sementara untuk Gili Air dan Gili Meno pembangunan pariwisatanya masih dapat jauh ditingkatkan dan diarahkan kepada pariwisata yang berkelanjutan. Di lain pihak antara kegiatan pariwisata dan kegiatan perikanan juga saling bertubrukan. Kegiatan penangkapan oleh kelompok nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring muroami sangat merusak terumbu karang. Hal ini dikarenakan dalam pengoperasiannya para nelayan memburu ikan karang dengan cara menumbuk karang menggunakan kayu atau batu untuk menimbulkan bunyi gaduh sehingga ikan tergiring ke arah jaring. Kegiatan penangkapan tersebut kemudian menuai protes dari pengusaha pariwisata sebagai kelompok mayoritas. Menindaklanjuti permasalahan tersebut maka pada tahun 2008 dibuatlah perjanjian antara Gili Ecotrust sebagai kelompok peduli lingkungan masyarakat
4
Gili Trawangan dengan kelompok nelayan jaring muroami untuk memberikan kompensasi sebesar 6 juta rupiah per bulan agar aktivitas jaring muroami dihentikan. Biaya tersebut dikumpulkan dari pengusaha penginapan dan restoran yang ada di Gili Air, Meno dan Trawangan. Isu konflik sempat kembali terangkat karena adanya permintaan untuk menaikkan uang kompensasi menjadi 12 juta rupiah per bulan. Sebagai kawasan wisata bahari dengan penduduk sekitar yang mata pencahariannya masih cukup banyak berprofesi sebagai nelayan sebenarnya pembangunan pariwisata dan perikanan dapat berjalan secara berdampingan dan saling bekerja sama. Bahkan tanpa disadari dalam skala kecil kegiatan tersebut sudah berlangsung. Bentuk kerjasama tersebut misalnya ketika para wisatawan menyantap hidangan kuliner berupa ikan yang ditangkap oleh para nelayan lalu dijual kepada para pemilik rumah makan. Dapat juga berupa kegiatan lain seperti penangkaran penyu yang sebenarnya merupakan kegiatan konservasi perikanan namun menjadi daya tarik tambah bagi para wisatawan. Hubungan timbal balik tersebut tentunya saling menguntungkan kepada kedua belah pihak, baik kepada pengusaha di sektor pariwisata maupun di sektor perikanan. Inilah yang coba digagaskan dalam program KKP bertajuk minawisata bahari. Minawisata bahari adalah pendekatan pengelolaan terpadu yang berbasis konservasi dengan menitikberatkan pada pengembangan perikanan dan pariwisata bahari (Buklet DKP 2007). Program ini diusung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia untuk dikembangkan di Gili Matraagar pembangunan perikanan dan pariwisata dapat berlangsung secara harmonis dan konflik yang selama ini terjadi diharapkan dapat berkurang. Lebih jauh program minawisata diharapkan
dapat
meningkatkan
perolehan
devisa,
kesempatan
kerja,
pemberdayaan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan (Bengen 2012). Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian guna mengkaji kelebihan dan kekurangan apa saja yang dimiliki kawasan TWP Gili Matra untuk pengembangan kawasan minawisata bahari perlu dilakukan. Dari hasil tersebut akan diperoleh
5
bagaimana arah pengembangan terbaik terkait kondisi pariwisata, perikanan, lingkungan, lembaga serta peran serta masyarakat yang ada.
1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah di kawasan TWP Gili Matra. 2. Bagaimana bentuk pengelolaan yang dilakukan oleh pihak masyarakat di kawasan TWP Gili Matra. 3. Bagaimana kondisi pariwisata dan perikanan di kawasan TWP Gili Matra. 4. Bagaimana strategi yang tepat untuk mengembangkan kawasan TWP Gili Matra sebagai kawasan minawisata bahari.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis kesesuaian wisata dan daya dukung kawasan TWP Gili Matra. 2. Menganalisis aktivitas ekonomi yang bergerak di sektor perikanan dan pariwisata di TWP Gili Matra. 3. Merumuskan arah pengembangan minawisata untuk TWP Gili Matra.
1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai masukan bagi Kementerian Kelautan Perikanan untuk pengembangan minawisata di TWP Gili Matra. 2. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah untuk pengelolaan TWP Gili Matra di masa mendatang. 3. Sebagai informasi bagi masyarakat mengenai kelebihan dan potensi pengembangan minawisata di TWP Gili Matra.
6
1.5 Pendekatan Masalah Menurut Yulianda (2007) dalam Bakhtiar (2011), ekowisata adalah wisata yang berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri pariwiata. Tetapi pada daerah wisata yang berhubungan langsung dengan perairan, kegiatan ekowisata dapat ditingkatkan melalui kerjasama dengan kegiatan perikanan yang ada di sekitarnya, baik itu berupa kegiatan penangkapan ikan maupun budidaya. Kerjasama ini diharapkan akan memberikan hubungan timbal balik yang positif dan mengurangi kecenderungan konflik yang umum terjadi antara pengusaha wisata dengan pelaku kegiatan perikanan. Pariwisata di TWP Gili Matra saat ini telah berkembang dengan sangat pesat. Hal ini dikarenakan selain kawasan tersebut memiliki kondisi alam yang indah, masyarakat pun bersikap terbuka terhadap pembangunan kegiatan pariwisata. Di samping itu kegiatan usaha di sektor pariwisata juga memberikan penghasilan yang cukup tinggi. Oleh karena itu banyak penduduk yang tertarik untuk membuka usaha atau setidaknya bekerja di bidang tersebut. Nelayan sendiri sebenarnya masih merupakan salah satu mata pencaharian utama di kawasan Gili Matra. Tetapi pendapatan mereka tidak begitu besar. Jika saja mereka dapat bekerja sama dengan pengelola pariwisata, pendapatan mereka tentu dapat meningkat. Sektor pariwisata sendiri sebenarnya memiliki permasalahan dengan overcrowded-nya Gili Trawangan. Hal tersebut berdampak pada menumpuknya sampah hingga bertambahnya kerusakan terumbu karang oleh wisatawan dan kapal yang membuang sauh tidak pada tempatnya. Padahal perkembangan di Gili Air dan Gili Meno tidak sepesat di Gili Matra. Oleh karena itu perlu dilihat halhal apa saja yang menyebabkan perkembangan pariwisata di ketiga gili tersebut berbeda. Selain kondisi di Gili Trawangan menimbulkan pertanyaan mengenai keadaan kesesuaian wisata dan daya dukung kawasannya saat ini. Disinilah mengapa lokasi wisata TWP Gili Matra dirasa perlu ditinjau. Sementara itu bidang perikanan yang belum terlalu banyak digali juga perlu dilihat. Jika bidang
7
pariwisata dan perikanan pada TWP Gili Matra memang memiliki potensi yang baik maka pengembangan ke arah minawisata menjadi salah satu alternatif pengelolaan yang positif di kawasan pesisir tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan analisis terhadap kesesuaian wisata dan daya dukung kawasan di TWP Gili Matra. Analisis finansial usaha pun diperlukan untuk mengetahui bagaimana kelayakan usaha aktivitas ekonomi yang telah berlangsung. Dengan melihat hasil dari analisis lingkungan dan ekonomi akan dilihat apakah kawasan TWP Gili Matra sesuai untuk dilakukan pengembangan minawisata bahari. Pengamatan terhadap kelebihan serta kekurangan kondisi perikanan dan pariwisata juga diperlukan untuk menyusun strategi arah pengembangan minawisata yang sesuai. Secara garis besar, pendekatan masalah penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
8
Potensi Taman Wisata Perairan Gili Matra
Parameter Fisik Lingkungan
Kelebihan dan Kekurangan Taman Wisata Perairan
Aktivitas Ekonomi
Gili Matra
Analisis Indeks Kesesuaian Wisata dan Analisis Daya Dukung Kawasan
Analisis SWOT
Analisis Finansial Usaha
Sesuai/Tidaknya Pengembangan Minawisata Bahari
Penyusunan Strategi Pengembangan Minawisata Bahari
Kesimpulan Gambar 1. Skema Pendekatan Masalah