BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Menurut para ahli, kemiskinan masih menjadi permasalahan penting yang
harus
segera
dituntaskan,
karena
kemiskinan
merupakan
persoalan
multidimensional yang tidak saja melibatkan faktor ekonomi, tetapi juga faktor sosial, budaya, dan politik. Menurut Ellis (1984) dalam Suharto (2005), dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik, dan sosial-psikologis, sementara Nainggolan (2005) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah pembangunan
kesejahteraan
sosial
yang
berkaitan
dengan
aspek-aspek
pengangguran, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan pada penduduk miskin. Sejatinya, hakikat pembangunan adalah pengubahan dan pembaharuan. Dalam konteks tersebut, Mosse (1993) menyatakan
bahwa pembangunan
sebaiknya mencakup sejumlah hal berkenaan: (1) penanggulangan kemiskinan, (2) keterlibatan semua orang secara adil dalam perekonomian, (3) perbaikan kualitas hidup perempuan dan laki-laki, khususnya untuk akses terhadap barang dan jasa esensial, yang bersama-sama dengan informasi diperlukan mereka untuk membuat pilihan, (4) penciptaan berbagai macam basis kegiatan produktif untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan memungkinkan keadaan perekonomian negara berubah dalam perekonomian internasional, (5) pembentukan kembali pembagian kerja secara
seksual,
(6)
penciptaan
pranata
politik
yang
melindungi
dan
memungkinkan pelaksanaan hak azasi warga negara dan sosial (termasuk hak-hak perempuan), dan menyediakan kondisi-kondisi bagi akses terhadap hak-hak ini dalam cara yang memungkinkan konflik sosial dipecahkan secara damai, (7) penghargaan terhadap nilai kultural dan aspirasi pelbagai kelompok sosial. Sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 lalu, memasuki era reformasi pemerintah telah menetapkan sejumlah kebijakan dan program untuk mengembalikan keadaan ekonomi negara supaya menjadi stabil kembali, terutama berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Dewasa ini, penduduk miskin di Indonesia relatif masih besar. Data BPS tahun 2000, menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin
2
di Indonesia adalah 79,4 juta orang (BPS, 2000). Jumlah dan persentasenya menurun menjadi 37,2 juta orang 2007, dan pada tahun 2009 menjadi 32,5 juta orang (BPS, 2009). Menurunnya jumlah penduduk miskin di Indonesia ini tidak luput dari usaha-usaha pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Berbagai kebijakan dan program-program pembangunan dibuat oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Sajogyo (1999) dalam Nur (2004) mengungkapkan bahwa penanggulangan kemiskinan adalah sebuah kebijakan strategis yang mau tidak mau mesti diambil oleh pemerintah
sebagai
agen
pembangunan
yang
bertanggung
jawab
atas
terselenggaranya perbaikan sosial pada segenap lapisan masyarakat. Sejumlah program pembangunan yang telah diintroduksikan pemerintah untuk pengentasan kemiskinan, antara lain berupa Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S), Program Mandiri Pangan. Selain itu, terdapat program-program pemberdayaan perempuan diantaranya melalui Pelatihan Kepemimpinan Wanita (LKW), Bimbingan Usaha Swadaya Wanita Desa (USWD), Pengembangan Usaha Kelompok (PUK), Bimbingan Pencegahan Desa Rawan Masalah Sosial (PDR), Proyek Penyantunan dan Pengentasan Fakir Miskin (PPFM),
Pengembangan
Dasa Wisma, Pengembangan Masyarakat oleh Perusahaan, Inpres Desa Tertinggal (IDT), serta Pengembangan Karang Taruna. Pasca krisis ekonomi 1997, pemerintah bekerjasama dengan Bank Dunia mengintroduksikan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), untuk mengatasi permasalahan kemiskinan penduduk di wilayah perkotaan, dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) untuk di wilayah pedesaan. Dalam pelaksanaannya, P2KP diwadahi oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Sejak pelaksanaan P2KP-1 hingga pelaksanaan P2KP-3 saat ini telah terbentuk sekitar 6.405 BKM yang tersebar di 1.125 kecamatan di 235 kota/kabupaten, telah memunculkan lebih dari 291.000 relawan-relawan dari masyarakat setempat, serta telah mencakup 18,9 juta orang pemanfaat (penduduk miskin), melalui 243.838 KSM (Pedoman Umum PNPM-P2KP, 2008).
3
Mempertimbangkan perkembangan positif P2KP tersebut, mulai tahun 2007 telah dirintis untuk mengadopsi P2KP menjadi bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Program ini menjadi program terpadu yang menaungi seluruh program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, yang tujuan umumnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Untuk selanjutnya P2KP berubah nama menjadi PNPM-P2KP. Secara
umum,
PNPM-P2KP
menganut
tujuan
dan
pendekatan
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pedoman Umum PNPM Mandiri. Salah satu tujuan PNPM-P2KP adalah untuk meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan (Pedoman Umum PNPM-P2KP, 2008). Berdasarkan rumusan tujuan tersebut, terlihat dengan jelas bahwa sepertinya program pembangunan PNPM-P2KP telah berwawasan gender, karena di dalam pelaksanaan program, peran dan kedudukan laki-laki maupun perempuan adalah setara. Lebih lanjut, oleh karena, salah satu sasaran PNPM-P2KP adalah kelompok perempuan, maka sepertinya dapat dipastikan bahwa program ini mampu untuk memberdayakan perempuan. Hal ini antara lain dikemukakan Sari (2003) dalam Nainggolan (2005), yang menyatakan bahwa P2KP merupakan program yang mengadopsi mekanisme perencanaan bottom-up planning yang dimulai dari level komunitas dan secara khusus melibatkan partisipasi perempuan dalam semua kegiatannya, mulai dari perencanaan maupun pelaksanaan proses pembangunan. Namun demikian, faktanya menunjukkan bahwa
keterlibatan
perempuan dalam proses pembangunan belum memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan praktis gender yakni pemenuhan kebutuhan sekarang dan kebutuhan strategis gender yang berupa penyetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan. Merujuk pada tata cara pelaksanaan Program PNPM-P2KP -yang tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan P2KP, perempuan tampaknya menjadi salah satu subyek program yang cukup penting, sehingga dapat dikatakan bahwa
4
Program PNPM-P2KP telah berwawasan gender. Akan tetapi, berdasarkan beberapa studi dan hasil observasi sebelumnya, diketahui bahwa perempuan sering tidak dilibatkan dalam pelaksanaan program. Hal tersebut diantaranya dikemukakan Lu’Lu (2005) yang dalam,studinya menemukan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan P2KP di Kelurahan Kedung Badak tidak berhasil adalah karena tidak dilibatkannya perempuan dalam program, baik pada tahap perencanaan maupun tahap pelaksanaan. Hal itu tercermin diantaranya dari sedikitnya perempuan yang hadir dalam rapat atau musyawarah desa pada tahap persiapan program, yaitu hanya dua sampai tiga orang dari jumlah seluruh peserta musyawarah desa. Demikian halnya pada tahap pelaksanaan, dalam tataran keorganisasian BKM dan KSM, keterlibatan perempuan pada kedua lembaga tersebut masih kurang, bahkan dijumai adanya perempuan yang tidak dilibatkan dalam struktur kepengurusan BKM. Demikian pula pada tataran kelompok sasaran (penerima kredit) masih didominasi oleh laki-laki (Nainggolan, 2005). Berbeda dengan P2KP,
pemilihan daerah sasaran PNPM-P2KP juga
mencakup sejumlah kelurahan di kabupaten. Berdasarkan data Podes 2005, telah dipilih sejumlah kecamatan di perkotaan dan kecamatan yang menjadi ibukota kabupaten untuk ditetapkan menjadi daerah sasaran program. Pada tahun 2005 terdapat 1072 kecamatan perkotaan sebagai calon kecamatan sasaran Program PNPM-P2KP (Pedoman Umum PNPM-P2KP, 2008). Diantara sejumlah desa penerima PNPM-P2KP, Desa Srogol, merupakan salah satu desa penerima bantuan Program PNPM-P2KP dari tahun 2007 yang dinilai berhasil dari segi administrasi dan memperoleh peringkat yang cukup baik di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Keberhasilan Desa Srogol ini berkaitan dengan tingginya tingkat kelancaran pengembalian pinjaman dari anggota-anggota KSM. Permasalahannya
adalah
bahwa
keberhasilan
dalam
kelancaran
pengembalian pinjaman dari para anggota KSM tersebut belum menggambarkan kemampuan PNPM-P2KP dalam
meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Tingkat pengembalian pinjaman di Desa Srogol yang terbilang lancar berkaitan dengan jumlah nominal dana pinjaman yang sangat kecil. Dana pinjaman yang kecil tersebut hanya bermanfaat bagi anggota KSM yang sudah memiliki usaha
5
karena dapat digunakan untuk menambah modal usaha. Namun demikian, faktanya banyak usaha yang dimiliki oleh anggota KSM tersebut tidak berkembang, sementara bagi anggota KSM yang tidak memiliki usaha, dana pinjaman hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena tidak cukup jika digunakan untuk membuka usaha baru. Sebagai program yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan, pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol belum mampu untuk meningkatkan peran perempuan dalam program. Walaupun jumlah KSM yang beranggotakan perempuan di Desa Srogol jumlahnya lebih banyak dibanding KSM yang beranggotakan laki-laki, belum menggambarkan bahwa Program PNPM-P2KP
telah
berhasil
memberdayakan
perempuan.
Pemberdayaan
perempuan dalam program dilihat dari sejauhmana program tersebut mampu memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam pelaksanaan program. Terlebih lagi program mampu membuat perempuan menjadi berdaya dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan program dan pengembangan usaha yang dimilikinya. Pemberdayaan perempuan tidak hanya dilihat dari sejauhmana program mampu memenuhi kebutuhan praktis gender, yaitu meningkatkan kesejahteraan perempuan, tetapi yang lebih utama adalah program mampu mencukupi kebutuhan strategis gender, yakni menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan. Berdasarkan pemasalahan di atas, penting untuk melakukan kajian untuk menelaah keberhasilan atau kemampuan PNPM-P2KP dalam memberdayakan perempuan berdasarkan pemenuhan kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.
6
1.2
Perumusan Masalah Misi utama program-program pembangunan yang dikeluarkan oleh
pemerintah
adalah
untuk
mengentaskan
kemiskinan
dan
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan adalah Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang telah berjalan dari tahun 1999-2004. P2KP merupakan program kerjasama antara pemerintah dengan Bank Dunia yang awalnya bertujuan untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. P2KP dinilai
berhasil
dalam
mengentaskan
kemiskinan
sehingga
pemerintah
mengadopsi program tersebut ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) pada tahun 2008. PNPM Mandiri merupakan
program
terpadu
yang
menaungi
seluruh
program-program
pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Salah satu tujuan Program PNPM-P2KP adalah untuk meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Pelaksanaan program P2KP dari tahun 1999 hingga kini berubah menjadi Program PNPM-P2KP, masalah yang paling penting dan sering dirasakan oleh pengurus BKM dan UPK adalah sulitnya mengembalikan pinjaman atau kredit macet. Beberapa studi dan observasi yang telah dilakukan sebelumnya (Lu’Lu, 2005 dan Nainggolan, 2005) mengenai pengembalian kredit P2KP menunjukkan bahwa banyak anggota KSM yang menunggak kredit atau terlambat mencicil. Berbeda halnya dengan pelaksanaan Program PNPM-P2KP di Desa Srogol yang terbilang cukup lancar dalam mengembalikan pinjaman. Jumlah pinjaman yang tidak terlalu besar menjadi salah satu penyebab lancarnya pengembalian pinjaman anggota KSM. Akan tetapi, tingkat pengembalian pinjaman yang cukup tinggi belum tentu menunjukkan peningkatan kesejahteraan anggota. Banyak juga kasus yang menunjukkan bahwa dana pinjaman tidak digunakan untuk menjalankan usaha tetapi digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Walaupun anggota
KSM
di
Desa
Srogol
mayoritas
adalah
perempuan,
belum
menggambarkan program tersebut berhasil dalam memberdayakan perempuan.
7
Pemberdayaan perempuan dilihat dari sejauhmana perempuan mampu menjadi pengambil keputusan dalam rumah tangga, terutama dalam pengembangan usahanya. Pada kenyataannya, pengambil keputusan dalam rumah tangga untuk mengikuti program dan mengembalikan pinjaman masih dipegang oleh laki-laki. Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam kajian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimana tingkat keberhasilan Program PNPM-P2KP dilihat dari tingkat pengembalian pinjaman?
2. Adakah dan bagaimana hubungan tingkat relasi gender dengan tingkat pengembalian pinjaman? 3. Apakah Program PNPM-P2KP berhasil memberdayakan perempuan? 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui: 1.
Bagaimana tingkat keberhasilan Program PNPM-P2KP dilihat dari tingkat pengembalian pinjaman;
2. Bagaimana hubungan tingkat relasi gender tingkat pengembalian pinjaman; dan 3. Apakah Program PNPM-P2KP berhasil memberdayakan perempuan. 1.4
Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari kajian penelitian ini adalah:
1.
Memberikan wawasan tentang analisis gender terhadap program-program partisipatif bagi peneliti yang ingin mengkaji lebih dalam.
2.
Memberikan sumbangsih bagi pengambil kebijakan dalam menyusun dasardasar program pembangunan dalam upaya untuk mengentaskan kemiskinan serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat miskin agar lebih memperhatikan aspek gender dan keragaman dalam masyarakat.
3.
Bagi peneliti kajian ini dapat bermanfaat sebagai bahan untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang program pemberdayaan masyarakat yang berbasis gender.