BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatarbelakangi oleh resistensi insulin (Suyono, 2011). DM didefinisikan juga sebagai suatu sindroma klinik yang ditandai oleh poliuri, polidipsi dan polifagi, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa ≥126 mg/dL atau postprandial ≥ 200 mg/dL). Bila diabetes mellitus tidak segera diatasi akan terjadi gangguan metabolisme lemak dan protein, dan resiko timbulnya gangguan mikrovaskular atau makrovaskular meningkat (Suherman, 2008). Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insiden dan prevalensi DM tipe-2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM pada daerah perkotaan sebesar 14,7% dan daerah pedesaan sebesar 7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah pedesaan. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada perkotaan (14,7%) dan pedesaan (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah perkotaan dan 8,1 juta di daerah pedesaan (PERKENI, 2006). DM dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi berupa komplikasi akut (yang terjadi secara mendadak) dan komplikasi kronis (yang terjadi secara menahun). Komplikasi seperti halnya hipoglikemia dan hiperglikemia merupakan keadaan gawat yang dapat terjadi pada perjalanan penyakit DM. Dapat
1
2
menimbulkan komplikasi akut berupa koma hipoglikemia dan hiperglikemia, ketoasidosis dan nonketoasidosis (Boedisantoso, 2011). Komplikasi kronis adalah mikrovaskular
(menyangkut
pembuluh
darah
kecil)
dan
makrovaskular
(menyangkut pembuluh darah besar). Komplikasi ini adalah akibat lama dan beratnya hiperglikemia. Perubahan pada pembuluh darah mengakibatkan retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati perifer dan automatik, penyakit vascular perifer, penyakit serebrovaskular (stroke), serta penyakit arteri koroner (Baradero et al, 2009). Seiring berkembangnya komplikasi DM akan meningkatkan resiko penderita untuk berkembang menjadi penyakit jantung. Penyakit jantung penyebab utama kematian penderita DM baik tipe 1 maupun 2 (Fowler, 2008). Gagal jantung merupakan komorbiditas umum pada pasien dengan DM. Pasien dengan DM memiliki peningkatan risiko terhadap gagal jantung yang disebabkan oleh peningkatan hiperglikemia. Peningkatan hiperglikemia menyebabkan 2-4 resiko gagal jantung karena hiperglikemia yang kronik dapat menyebabkan penyempitan arteri atau kehilangan elastisitas arteri (Eurich et al, 2007). Gagal jantung (Heart Failure/HF) adalah sindrom klinis yang kompleks yang bisa diakibatkan dari gangguan jantung struktural atau fungsional yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk memenuhi atau mengeluarkan darah. Hal ini ditandai dengan gejala spesifik, seperti dispnea dan kelelahan, dan tandatanda, seperti yang berhubungan dengan retensi cairan. Pasien dengan DM memiliki peningkatan risiko terhadap gagal jantung, resiko relatif meningkat sebanyak 10-15% per kenaikan satu unit hemoglobin terglikasi (Eurich et al, 2007). Studi Framingham menegaskan epidemiologi hubungan antara diabetes dan heart failure (HF). Risiko heart failure (HF) meningkat 2,4 kali lipat pada pria dan lima kali lipat pada wanita (Nesto, 2011). Pada pengendalian DM di Indonesia selain mengupayakan perubahan perilaku dan perencanaan makan juga dibutuhkan pengobatan dengan insulin yang mempunyai durasi kerja yang berbeda-beda seperti insulin kerja singkat (short acting), insulin kerja cepat (rapid acting), insulin kerja sedang (intermediate) dan insulin kerja panjang (long acting). Selain insulin juga digunakan obat golongan oral antidiabetes yang digunakan untuk DM dan yang
telah dipasarkan di
3
Indonesia digolongkan menjadi lima yakni sulfonilurea, meglitinid, biguanid, penghambat α-glikosidase dan tiazolidinedion (Suherman, 2008). Dari kelima golongan obat oral antidiabetik di atas memiliki mekanisme kerja yang berbeda, namun mekanisme insulin sensitizing agent yakni golongan thiazolidinedione dan metformin mampu menurunkan resiko kematian akibat gagal jantung dengan diabetes mellitus tipe 2 (Molavi et al, 2007). Berdasarkan studi insulin treatment of type 2 diabetes and outcomes in patients with heart failure: a nested case-control study from the UK General Practice Research Database menyatakan bahwa kondisi fisiologis stress akan menyebabkan respon otonom yang merusak fungsi jantung karena aksi katekolamin yang merangsang peningkatan kerja jantung selain itu juga terkait dengan resistensi insulin yang meningkat dan hiperglikemia yang menyebabkan stress metabolik lebih lanjut pada jantung. Dalam studi tersebut mengatakan bahwa terapi insulin glukosa intensif dapat menurunkan resiko terhadap gagal jantung. Selain itu pada studi kasus pasien diabetes tipe 2 dengan gagal jantung tidak ditemukan adanya peningkatan mortalitas dengan adanya terapi insulin. Penggunaan insulin yang independen terkait dengan disfungsi ventrikel kiri yang secara klinis mengalami resisten insulin dan membutuhkan terapi insulin eksogen untuk mengatasi hiperglikemia simptomatik (MacDonald et al, 2010). Berdasarkan studi heart failure event with rosglitazone in type 2 diabetes data from the record clinical trial menyatakan bahwa pengobatan yang sering digunakan untuk komplikasi kardiomiopati diabetes adalah thiazolidinediones (TZDs). Golongan thiazolidinediones (TZDs) merupakan Peroksisom Proliferator Aktivator Reseptor Agonis (PPARG) yang meningkatkan sensitivitas insulin dalam hati, jaringan adiposa, dan otot rangka, sehingga meningkatkan kontrol glikemik (Komadja et al, 2010). Berdasarkan
studi
yang
dilakukan
Komadja
dikatakan
bahwa
thiazolidinediones (TZDs) menginduksi penghambatan pengeluaran cairan (retensi cairan) oleh karena itu ditekankan pada populasi yang beresiko terkena Heart failure (HF) dalam uji klinis terkecuali pada orang dengan riwayat HF, TZDs memicu sedikit peningkatan kejadian HF. Sementara dalam studi proaktif pioglitazone yang terkait 6% kejadian HF rawat inap yang merupakan tindak
4
lanjut dari 3 tahun pengobatan pada orang dengan DM tipe 2 dan penyakit makrovaskuler, sebelum terjadi infark miokard. Dari karakteristik pasien dengan heart failure (HF) di atas dapat menerima terapi pengobatan menggunakan obat lain seperti diuretik, β-bloker Adrenergik, ACE-inhibitor, Calcium-chanel bloker , nitrate, antiplatelet agent. Dari hasil penelitian diatas mendukung pedoman pengobatan untuk pasien heart failure (HF) menggunakan TZDs. Pada pasien heart failure (HF) yang diterapi dengan kombinasi diatas mengarah pada kesembuhan (Komadja et al, 2010). Berdasarkan studi lain yakni metformin therapy and outcome in patient with advanced systolic heart failure and diabetes, dikatakan bahwa pemberian obat oral antidiabetes metformin mampu memperbaiki kondisi akhir penderita gagal jantung serta menurunkan mortalitas dan angka rawat inap kembali dibandingkan dengan sulfonylurea. Studi selanjutnya mengenai keamanan pemberian metformin yakni dengan dilakukannya studi terhadap pasien gagal jantung sistolik tahap lanjut (klasifikasi New York Heart Association (NYHA) IIIIV) di sebuah pusat Gagal Jantung Ahmanson-UCLA Cardiomyopathy pada 1994-2008 menunjukkan adanya peningkatan yang bermakna setelah pemantauan selama 6 bulan pada kelompok metformin, dengan perbaikan ejeksi fraksi mencapai 30+10%. Dengan menggunakan metode multivariat dengan penyesuaian terapi menggunakan ACE Inhibitor/ARB atau β-blocker, penggunaan metformin menunjukkan kecenderungan perbaikan fungsi jantung. Mekanisme kerja metformin dalam memperbaiki fungsi jantung dan survival rate diperkirakan melalui pengaruh pada aktivitas adenosine monophosphate (AMP)-activated protein kinase, sebuah enzim yang berperan sentral dalam homeostasis energi jantung dan jaringan lainnya serta berperan pada patofisiologi kelainan kardiovaskular dan metabolik. Bukti ini menunjukkan bahwa metformin bersifat kardioprotektif tanpa dipengaruhi oleh efek antihiperglikemi. Dari studi pemberian obat oral antidiabetes metformin dapat disimpulkan bahwa pemberian obat oral antidiabetes metformin aman bagi penderita gagal jantung sistolik dibandingkan dengan kelompok non-metformin (Shah et al, 2010). Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui serta mempelajari pola penggunaan antidiabetes pada penderita DM
5
tipe 2 dengan gagal jantung. Dilakukan secara observasional dengan pengambilan data secara prospektif di RSU. Saiful Anwar Malang.
1.2 Perumusan Masalah Bagaimana pola penggunaan antidiabetes pada penderita DM tipe 2 dengan gagal jantung di RSU. Dr. Saiful Anwar Malang?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola penggunaan antidiabetes yang diterima pasien penderita DM tipe 2 dengan gagal jantung terkait data kinik dan data laboratorium pasien. 2. Mengkaji jenis, dosis, rute, dan frekuensi penggunaan antidibetes pada pasien penderita diabetes melitus tipe 2 dengan gagal jantung. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti 1. Mengetahui penatalaksanaan terapi pengobatan terhadap hasil terapi pada pasien DM dengan gagal jantung sehingga farmasis dapat memberikan asuhan kefarmasian dengan bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya. 2. Studi pendahuluan dan sumber informasi bagi peneliti selanjutnya untuk menyempurnakan
dengan
melakukan
penelitian
sejenis
dengan
mengikutsertakan variabel yang lain. 1.4.2 Bagi Rumah Sakit 1. Sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan baik klinisi maupun farmasis terutama berkaitan dengan pelayanan farmasi klinik pada kasus antidiabetes untuk pasien DM dengan gagal jantung. 2. Sebagai bahan masukan bagi Komite Medik Farmasi dan Terapi dalam merekomendasikan penggunaan obat di RSU Dr. Saiful Anwar Malang.