BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (menurut Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan). Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, dimana kebakaran hutan sendiri terjadi akibat dari faktor disengaja maupun tidak disengaja. Dengan kata lain terjadinya kebakaran hutan sebagian besar diakibatkan oleh kelalaian manusia seperti kegiatan buka lahan untuk berladang, berkebun, penyiapan lahan untuk ternak sapi, dan sebagainya dengan cara membakar hutan. Faktor kebakaran hutan karena kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan yang terjadi saat ini banyak disebabkan karena faktor ini. Kebakaran hutan juga bisa disebabkan oleh faktor tidak disengaja, yang disebabkan oleh faktor alami ataupun karena kelalaian manusia. Contoh kebakaran hutan karena ketidak sengajaan seperti akibat membuang puntung rokok sembarangan, pembakaran sampah atau sisa-sisa perkemahan dan pembakaran dari pembukaan lahan yang tidak terkendali. Sedangkan secara alami kebakaran hutan diakibatkan oleh gesekan ranting yang kering akibat dari rendahnya curah hujan yang menyebabkan kemarau berkepanjangan. Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang makin sering terjadi. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Mengingat dampak kebakaran hutan tersebut, maka upaya perlindungan terhadap kawasan hutan dan tanah sangatlah penting. Hal tersebutlah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatanpendekatan atau parameter untuk penentuan daerah rawan kebakaran hutan. Yang diharapkan nantinya dapat membantu dalam pengupayaan pencegahan terhadap kebakaran hutan. Dipilihnya lokasi penelitian di Kawasan Taman Nasional Baluran bukanlah tanpa sebab. Lokasi ini dipilih karena memiliki kerawanan kebakaran yang 1
cukup tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari jenis penggunaan lahan serta curah hujan yang rendah di kawasan tersebut. Selain itu, di kawasan ini juga terdapat berbagai jenis satwa langka yang dikawatirkan apabila terjadi kebakaran hutan dapat mengganggu kelangsungan hidup dari satwa-satwa tersebut. Pencegahan sejak awal perlu dilakukan dalam penangan kebakaran hutan. Dimana dalam aplikasinya dapat menggunakan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi (SIG). Dengan teknologi ini kebakaran hutan dapat dicegah dengan pembuatan Peta Rawan Kebakara Hutan. Dimana untuk teknologi penginderaan jauh dapat dimanfaatkan dalam pemantauan perubahan penutup lahan di kawasan hutan yang menjadi sumber dari terbentuknya bahan bakar. Selain itu, dengan teknologi tersebut juga dapat membantu untuk pemantauan suhu permukaan yang menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan. Pemanfaatan teknologi SIG dalam pembuatan Peta Rawan Kebakaran Hutan merupakan hasil dari proses analisis spasial yang tersusun dari peta bahaya kebakaran hutan dan peta pemicu kebakaran hutan. Peta bahaya kebakaran didasarkan pada data cuaca, kondisi geografis, dan jenis vegetasi, sehingga lebih berhubungan dengan kondisi mudahnya terjadi kebakaran. Sedangkan peta pemicu kebakaran merupakan peta interaksi sosial dari budaya manusia terhadap alam (lingkungannya) yang berkemungkinan dapat menimbulkan api akibat dari interaksi manusia tersebut. 1.2 RUMUSAN MASALAH Teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi belum dimanfaatkan secara optimal di Taman Nasional Baluran untuk mengetahui lokasi hutan yang berpotensi terjadi kebakaran hutan. selain itu, tersedianya data penginderaan jauh serta data-data spasial di Taman Nasional Baluran masih berupa data lama yang belum dilakukannya pembaruan data. 1.3 TUJUAN PENELITIAN Mengetahui sebaran potensi kebakaran hutan di Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur tahun 2013.
2
1.4 MANFAAT 1. Sebagai gambaran untuk kewaspadaan kawasan hutan yang masuk dalam zona tingkat kerawanan kebakaran hutan dengan tingkatan kerawanan tinggi. 2. Teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografi dapat digunakan untuk pemantauan secara rutin pada kawasan hutan yang berpotensi terjadi kebakaran hutan.
1.5 TINJAUAN PUSTAKA 1.5.1 PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh ialah ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang telah diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji (Sutanto, 1986). Alat yang dimaksud ialah alat pengindera atau sensor. Pada umumnya sensor dipasang pada wahana (platform) yang berupa pesawat terbang, satelit, pesawat ulang-alik atau wahana lainnya. Hasil dari perekaman sensor tersebut berupa data penginderaan jauh. Data harus diterjemahkan menjadi informasi tentang obyek, daerah atau gejala yang diindera. Proses dari penenrjemahan data menjadi informasi tersebut disebut dengan analisis atau interpretasi data. Komponen atau parameter yang terdapat dalam penginderaan jauh meliputi beberapa hal di bawah ini : a. Sumber Tenaga Terdapat dua macam sumber tenaga yang digunakan dalam penginderaan jauh.Kedua sumber tenaga tersebut meliputi sumber tenaga aktif dan sumber tenaga pasif. Sumber tenaga pasif diperoleh secara alami oleh sensor, sebagai contoh tenaga yang berasal dari sinar matahari, emisi/pancaran suhu benda-benda permukaan bumi.Sumber tenaga dari matahari mencapai bumi dipengaruhi oleh waktu (jam, musim), lokasi dan kondisi cuaca.Kedudukan matahari terhadap tempat di bumi berubah sesuai dengan perubahan musim. Pada musim di saat matahari berada tegak lurus di atas suatu tempat, jumlah tenaga yang diterima lebih besar diterima dibandingkan dengan pada musim lain di saat kedudukanya condong terhadap tempat itu. Tempat-tempat di ekuator menerima tenaga lebih banyak di bandingkan dengan tempat-tempat di lintang tinggi. Untuk waktu dan letak yang sama, jumlah sinar yang mencapai bumi dapat berbeda bila kondisi cuaca berbeda. 3
Semakin banyak penutupan oleh kabut, asap dan awan, maka akan semakin sedikit tenaga yang dapat mencapai bumi. Sedangkan sumber tenaga aktif ialah sensor secara aktif menyediakan energi sendiri dengan mengeluarkan sinyal terhadap obyek.Tenaga yang datang diterima oleh sensor dapat berupa tenaga pantulan maupun tenaga pancaran yang berasal dari objek di permukaan bumi. b. Atmosfer Amosfer membatasi bagian spektrum elektromagnetik yang dapat digunakan dalam penginderaan jauh. Pengaruh tersebut merupakan fungsi panjang gelombang yang bersifat selektif. c. Interaksi antara Tenaga dan Obyek Tiap obyek memiliki karakteristik tertentu dalam memantulkan atau memancarkan tenaga ke sensor. Pengenalan obyek dilakukan dengan mengamati karakteristik spektral obyek terhadap masing-masing panjang gelombang yang digunakan yang tergambar pada citra. d. Sensor Tenaga yang datang dari obyek di permukaan bumi diterima dan direkam oleh sensor.Tiap sensor mempunyai kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik.Kemampuan sensor untuk menyajikan gambaran obyek terkecil disebut resolusi spasial yang menunjukkan kualitas sensor. e. Perolehan Data Perolehan data dapat dilakukan dengan cara manual yaitu dengan interpretasi visual, dan dapat pula secara digital yaitu dengan menggunakan komputer. f. Pengguna Data Pengguna data merupakan komponen penting dalam penginderaan jauh. Kerincian dan kesesuaiannya terhadap kebutuhan pengguna sangat menentukan diterima tidaknya data penginderaan jauh oleh para penggunanya. Data penginderaan jauh yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan citra Landsat 8 serta dalam pengolahannya menggunakan salah satu software atau piranti lunak untuk pengolahan citra yaitu Envi 4.5. Dimana citra satelit serta software pengolahan citra tersebut mempunyai spesifikasi sebagai berikut:
4
1.5.1.1 CITRA LANDSAT 8 Satelit Landsat-8 diluncurkan oleh NASA pada tanggal 11 Februari 2013 bertempat di Vandenberg Air Force Base, California. Satelit dengan resolusi radiometrik 16 bit ini terbang dengan ketinggian 705 km dari permukaan bumi yang mampu mengorbit bumi setiap 99 menit dan merekam daerah yang sama setiap 16 hari (resolusi temporal). Landsat 8 memiliki area scan seluas 170 km x 183 km. Dibandingkan dengan versi-versi sebelumnya, landsat 8 memiliki beberapa keunggulan khususnya terkait spesifikasi band yang dimiliki maupun panjang rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap. Sebagaimana telah diketahui, warna objek pada citra tersusun atas 3 warna dasar, yaitu Red, Green dan Blue (RGB). Dengan makin banyaknya band sebagai penyusun RGB komposit, maka warna-warna obyek menjadi lebih bervariasi. Hal ini di karenakan Landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11 buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9) berada pada OLI dan 2 lainnya ( band 10 dan 11 ) pada TIRS. Tabel 1.1 Spesifikasi Band pada Citra Landsat 8
Band 1 – Coastal aerosol
Wavelength (micrometers) 0,43 – 0,45
30
Band 2 – Blue
0,45 – 0,51
30
Band 3 – Green
0,53 – 0,59
30
Band 4 – Red
0,64 – 0,67
30
Band 5 – Near Infrared (NIR)
0,85 – 0,88
30
Band 6 – SWIR 1
1,57 – 1,65
30
Band 7 – SWIR 2
2,11 – 2,29
30
Band 8 – Panchromatic
0,50 – 0,68
15
Band 9 - Cirrus
1,36 – 1,38
30
Band 10 – Thermal Infrared (TIRS) 1
10,60 – 11,19
100
Band 11 – Thermal Infrared (TIRS) 2
11,50 – 12,51
100
Bands
Resolution (meters)
5
1.5.1.2 PIRANTI LUNAK ENVI 4.5 ENVI (The Environment For Visualizing Images) merupakan suatu image processing system yang revolusioner yang dibuat oleh Research System, Inc (RSI). Dari permulaannya ENVI dirancang untuk kebutuhan yang banyak dan spesifik untuk mereka yang secara teratur menggunakan data penginderaan jauh dari satelit dan pesawat terbang. ENVI menyediakan data visualisasi yang menyuluruh dan analisis untuk citra dalam berbagai ukuran dan tipe, semuanya dalam suatu lingkungan yang mudah dioperasikan dan inovatif untuk digunakan. ENVI menggunakan Graphical User Interface (GUI). ENVI menggunakan format data raster dan Ascii (text) sebagai header file. Data raster disimpan sebagai 'binary stream of bytes' berupa format Band Sequential (BSQ), Band Interleaved by Pixel (BIP) dan Band Interleaved by Line (BIL). ENVI juga mendukung berbagai tipe format lainnya seperti : byte, integer, long integer, floating-point, double-precision, complex dan double-precision complex. ENVI memiliki tiga jendela utama yaitu The Main Display Window yaitu untuk menampilkan semua tampilan citra dalarn full resolution yang dibatasi oleh kotak pada scroll, The Scroll Window yaitu untuk menampilkan seluruh citra pada file, dan The Zoom Window yaitu untuk menampilkan perbesaran dari main display window yang dibatasi oleh kotak pada window. 1.5.2 SISTEM INFORMASI GEOGRAFI SIG ialah suatu sistem yang tersusun dari tahapan input, proses, dan output dimana dalam pengoprasiaannya menggunakan komputer serta seluruh datanya memiliki koordinat agar sesuai posisi realita di lapangan. Input dalam SIG merupakan data yang menjadi bahan untuk tahap pemrosesan. Dimana data dalam SIG berupa data vektor yang terbagi menjadi tiga macam yaitu: point, line, dan polygon. Data point berfungsi untuk menunjukkan lokasi atau objek dalam bentuk titik seperti objek pasar, sekolah, tempat wisata dan lain-lain. Selanjutnya untuk data line berfungsi untuk menggambarkan objek dalam bentuk garis seperti contoh: sungai, jalan, kontur, dan lain-lain. Sedangkan untuk data polygon berfungsi untuk menggambarkan objek dalam bentuk area yang memiliki informasi luasan dan keliling seperti contoh: permukiman, kawasan hutan, persawahan, dan lain-lain. Tahap pemrosesan pada SIG merupakan tahap pengolahan data untuk mencapai tujuan dari aplikasi SIG itu sendiri.
6
Dalam tahap ini data diolah menggunakan berbagai macam tool seperti: overlay, buffer, merge, dissolve, dan lainnya. Tahap terakhir dalam SIG ialah output yang merupakan tahap dalam penyajian peta. Dimana seluruh hasil pada tahap pemrosesan disajikan semenarik mungkin sesuai dengan ilmu kartografi untuk di jadikan sebuah peta yang memiliki informasi agar dapat mempermudah pembaca peta dalam mencari informasi. Dalam penelitian ini menggunakan salah satu software SIG dari ESRI yaitu Arcgis 10.1 untuk pengolahan data spasial agar menjadi sebuah peta. Dimana spesifikasi dari software atau piranti lunak tersebut tertera sebagai berikut: 1.5.2.1 PIRANTI LUNAK ARCGIS DEKSTOP ArcGIS 10.1 mulai dirilis oleh Esri pada awal tahun 2012 dengan bertemakan Sharing and Collaboration, dimana pengguna akan menemukan bahwa versi ini akan lebih memudahkan untuk analisis geospasial dan pemetaan pada lebih banyak pengguna tanpa pengguna tersebut harus ahli dalam GIS. ArcGIS merupakan Software pengolah data spasial yang mampu mendukung berbagai format data gabungan dari tiga software yaitu ArcInfo, ArcView dan ArcEdit yang mempunyai kemampuan komplet dalam geoprocessing, modelling dan scripting serta mudah diaplikasikan dalam berbagai type data. Dekstop ArcGis terdiri dari 4 modul yaitu Arc Map, Arc Catalog, Arc Globe, dan Arc Toolbox dan model bolder. a. Arc Map mempunyai fungsi untuk menampilkan peta untuk proses, analisis peta, proses editing peta, dan juga dapat digunakan untuk mendesain secara kartografis. b. Arc Catalog digunakan untuk management data atau mengatur managemen file – file, jika dalam Windows fungsinya sama dengan explor. c. Arc Globe dapat digunakan untuk data yang terkait dengan data yang universal, untuk tampilan 3D, dan juga dapat digunkan untuk menampilkan geogle earth. d. Model Boolder digunakan untuk membuat model boolder / diagram alur. e. Arc Toolbox digunakan untuk menampilkan tools – tools tambahan. 1.5.3 KONSEP RISIKO BENCANA Berdasarkan dari UU No. 24 Tahun 2007, bencana dapat didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkain dari peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
7
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana sering dianggap sebagai sesuatu yang sulit untuk dihindari, sehingga bentuk penanggulangan yang dapat dilakukan adalah berupa tindakan pertolongan segera mungkin. Perkembangan dari suatu pemahaman dan pengetahuan tentang bencana kemudian memunculkan paradigma baru penanggulangan bencana, yaitu mitigasi bencana. Dalam paradigma mitigasi, fokus perhatian terhadap penanggulangan bencana adalah pada pengurangan tingkat ancaman, intensitas dan frekuensi bencana, sehingga kerugian, kerusakan, dan korban jiwa dapat dikurangi (UNDP. 2004). Contoh-contoh bentuk mitigasi antara lain pembangunan infrastruktur pencegah bencana, perencanaan tata ruang dan sebagainya. Upaya mitigasi juga seringkali tidak ampuh karena bencana sering terjadi pada magnitudo yang tidak dapat ditangkal oleh produk-produk
mitigasi.
Perkembangan-perkembangan
tersebut
kemudian
memunculkan paradigma baru yaitu pengurangan risiko bencana (Pine, 2009; van Westen, 2009a). Risiko adalah sesuatu yang belum terjadi dan usaha proyeksi masa depan. Terdapat dua kemungkinan dalam menghadapi risiko, yaitu menguranginya atau menghilangkannya sama sekali (GTZ, 2004). Risiko merupakan penetapan sesuatu yang prosprektif dan khayal, dan dengan demikian berarti adalah ketidakpastian. Efek dari bahaya alam pada benda atau orang-orang dari daerah tertentu merupakan hubungan timbal balik yang kompleks dan memiliki efek domino. Risiko bencana merupakan fungsi dari kerawanan (hazard) dan kerentanan (vulnerability), dan elemen yang berisiko (element at risk). UNDP (2004), GTZ (2004), dan Smith dan Petley (2008) mendefinisikan struktur konseptual risiko sebagai berikut: Risiko = ( Bahaya × Kerentanan ) × Elemen yang Berisiko Bahaya adalah suatu kejadian fenomena alam yang dapat menyebabkan kehilangan nyawa atau kerusakan bagi objek, gedung, atau lingkungan (GTZ, 2004). Pengukuran dan penentuan bahaya didasarkan pada tipe, kekuatan, dan tingkat frekunsi kejadiannya. Bahaya dan kerentanan secara serentak harus hadir di lokasi yang sama menimbulkan risiko, yang kemungkinan menjadi bencana jika hal tersebut benar-benar terjadi. Kerentanan terhadap jenis bahaya tertentu bervariasi bergantung pada konteksnya: misalnya, pada suatu kawasan hutan kerentanan muncul pada jenis 8
penutup lahan yang mudah terbakar serta kondisi suhu yang mendukung dalam proses pengeringan dari bahan bakar kondisi inilah yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Menurut Van Westen dan Kingma (2009) konsep kerentanan memiliki cakupan interpretasi yang cukup luas, yang awalnya bermula dari respon disiplin ilmu sosial terhadap ilmu risiko bencana di tahun 1970-an. Dari berbagai definisi kerentanan, van Westen dan Kingma (2009) kemudian menyusun sifat umum dari kerentanan itu sendiri, yaitu: a. Multi-dimensional, artinya kerentanan dpengaruhi oleh berbagai faktor seperti fisik, sosial, lingkungan, institusi, dan manusia. b. Dinamis, artinya kerentanan dapat berubah seiring waktu. c. Bergantung skala, artinya bahwa kerentanan dapat diekspresikan pada skala yang berbeda. d. Spesifik-lokasi, artinya setiap lokasi memiliki pendekatan yang berbeda-beda. UN-ISDR (2004) menyebutkan terdapat empat jenis kerentanan yang idealnya menjadi risiko total suatu bahaya, yaitu kerentanan fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pada kenyataannya aspek kerentanan adalah aspek yang banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat melalui tingkat kesadaran dan kesiapan akan bencana alam. Kerentanan dapat dinilai dengan menghitung potensi kerugian akibat peristiwa alam. Dikarenakan potensi kerugian dari bencana memiliki cakupan yang luas, maka perhitungannya secara kuantitatif dapat terfokus kepada suatu objek tertentu, yang disebut sebagai elemen yang berisiko (GTZ, 2004). Menurut Van Westen (2009) menjelaskan bahwa elemen yang berisiko ialah semua objek (manusia, binatang, aktivitas, dan proses) yang dapat terkena dampak negatif dari fenomena yang berbahaya di suatu tempat tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini termasuk pula bangunan, fasilitas, populasi, peternakan, aktivitas ekonomis, jasa pelayanan publik, dan lingkungan. 1.5.4 PETA ZONASI TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN Merupakan peta dalam bentuk area yang menyajikan lokasi dari kawasan hutan pada suatu daerah yang rawan akan kebakaran hutan. Dimana peta disajikan dalam tingkatan kerawanan berdasarkan gradasi warna yang menyampaikan informasi kerawanan akan kebakaran hutan. Peta tersebut tersusun dalam 2 (dua) informasi peta atau hasil dari overlay (gabungan) peta bahaya kebakaran dan peta pemicu kebakaran. 9
Peta bahaya kebakaran sendiri berfungsi untuk menunjukkan rawannya kawasan hutan untuk terjadi kebakaran hutan secara alami. Dan hal tersebut dapat memicu terjadinya kebakaran hutan akibat interaksi manusia dengan hutan yang di informasikan pada peta pemicu kebakaran. 1.5.5 PETA BAHAYA KEBAKARAN Merupakan peta yang menunjukan wilayah dari kawasan hutan pada suatu daerah yang memiliki tingkat bahaya kebakaran. Pada peta ini lebih mendasarkan pada tingkat bahaya kebakaran hutan secara alami yang terjadi akibat dari kondisi iklim, topografi, dan jenis dari penutup lahannya. Sehingga dalam pemilihan parameter penyusun peta tersebut haruslah disesuaikan dengan kondisi daerah tersebut. Dalam penelitian ini parameter penyusun peta bahaya kebakaran hutan meliputi : Curah Hujan, Hotspot dalam bentuk area, Kemiringan lereng, Jarak sumber air terhadap kawasan hutan, dan Jenis penggunaan lahan. 1.5.6 CURAH HUJAN Curah hujan pada suatu wilayah berpengaruh pada tingkat kekeringan di suatu wilayah tersebut. Sehingga akan meningkatkan tingkat dari bahaya kebakaran hutan di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan oleh peningkatan dari bahan bakar atau bahan yang mudah terbakar seperti dedaunan yang telah kering serta penurunan dari kadar air yang berdampak pada penurunan dari kelembaban hutan. Pada penelitian ini data curah hujan pada suatu wilayah akan diklasifikasikan berdasarkan curah hujan tahunan serta diberikan nilai skoring pada tiap kelasnya. Dimana untuk parameter curah hujan sendiri diberikan bobot sebesar 30. Pemberian bobot tersebut didasarkan pada analisis parameter curah hujan yang mempengaruhi pada tingkat kelembaban hutan. Sehingga tinggi rendahnya dari curah hujan tersebut akan berpengaruh pada kondisi kandungan air pada penutup lahan atau bahan bakar. Pemberian bobot untuk parameter curah hujan ini masuk pada tingkat besarnya bobot pada urutan ke pertama dari seluruh parameter penyusun peta rawan kebakaran hutan. Hal tersebut dikarenakan curah hujan memegang peranan penting untuk ketersediaanya kandungan air pada penutup lahan yang menjadi faktor penghambat dalam terjadinya kebakaran hutan.
10
Tabel 1.2 Pengharkatan Curah Hujan Tahunan Tahun 2010 Curah Hujan
Klasifikasi
Skor
< 1250 mm/thn
Sangat Rendah
5
1251 - 1500 mm/th
Rendah
4
1501 – 1750 mm/th
Sedang
3
1751 – 2000 mm/th
Tinggi
2
< 2001 mm/th
Sangat Tinggi
1
Bobot
30
Sumber: Puspitasari (2011)
1.5.7 SUHU Tinggi rendahnya suhu temperatur di permukaan bumi sangat mempengaruhi tingkat dari bahaya kebakaran. Hal tersebut dikarenakan dengan meningkatnya suhu dipermukaan bumi yang didukung dengan kondisi curah hujan yang rendah pada suatu wilayah, maka bahan bakar akan mudah untuk terbakar. Dengan kata lain suhu dapat mendukung sumber api secara alami yang diakibatkan oleh gesekan dari ranting kering yang nantinya akan menyulut bahan bakar. Suhu sendiri dalam penelitian ini diperoleh dari pengolahan Citra Landsat 8 saluran 10 dan 11 yang merupakan salauran untuk sensor TIR (Thermal Infra Red). Citra tersebut selanjutnya akan diolah menggunakan software Envi 4.5 dengan menggunakan metode single band. Dalam proses pengolahannya untuk dapat memperoleh informasi suhu di perlukan perhitungan secara matematis dengan menggunakan rumus algoritma untuk jenis Citra Landsat 8. Dimana untuk rumus dari algoritma tersebut seperti berikut ini : Rumus Konversi Nilai Pixel ke TOA ( Top of Atmosphere ) Radian Lλ = MLQcal + AL Dimana : Lλ
= TOA spectral radiance ( watts/( m2 × srad × µm )
ML =
Band-specific multiplicative rescaling factor ( from the metadata )
Qcal = Digital Number ( DN ) AL = Band-specific additive rescaling factor ( from the metadata )
11
Rumus Konversi Nilai Radian ke Brightness Temperature
Dimana : T
= Brightness Temperature ( K )
Lλ
= TOA spectral radiance ( watts/( m2 × srad × µm )
K1 = Band-specific thermal conversion constant ( from the
metadata )
K2 = Band-specific thermal conversion constant ( from the
metadata )
Selanjutnya hasil pada nilai suhu tersebut karena masih dalam satuan Kelvin maka diubah terlebih dahulu menjadi Celcius sebelum dilakukan skoring. Pada paramer suhu ini dalam analis tinggi rendahnya pengaruh suhu terhadap kebakaran hutan diberikan bobot sebesar 15. Dimana klasifikasi suhu tersebut tertera pada tabel berikut : Tabel 1.3 Pengharkatan Suhu dalam Celcius No
Suhu ( oC )
Kelas Kerawanan
Skor
1
< 25
Rendah
1
2
25 – 30
Sedang
2
3
> 30
Tinggi
3
Bobot
15
Sumber : Lembaga Penerbangan dan Antariksa ( LAPAN )
1.5.8 JENIS PENUTUP LAHAN Komponen utama dari bahaya kebakaran hutan ialah jenis penutup lahan. Hal ini dikarenakan tersedianya bahan bakar yang mudah terbakar tersebut berasal dari penutup lahan seperti contoh: Pohon Jati yang sedang meranggas karena pengaruh suhu dan curah hujan akan menggugurkan daunnya, daun tersebut akan mengering dan menjadi bahan bakar yang akan mudah terbakar bila tersulut api. Berbeda dengan penutup lahan yang hanya sebatas tanah terbuka yang tidak menghasilkan bahan bakar maka sangat rendah akan potensi bahaya kebakaran. Oleh sebab itulah pada tiap jenis penutup lahan diberikan nilai atau skor sesuai dengan bahayanya terhadap kebakaran hutan. Pemberian skor tersebut selanjutnya diberikan pembobotan sebesar 25. Hal ini dikarenakan penutup lahan akan sangat berpengaruh dalam meningkatkan kerawanan 12
kebakaran hutan yang didukung oleh curah hujan yang rendah. Klasifikasi untuk jenis penutup lahan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1.4 Pengharkatan Jenis Penutup Lahan Tipe Vegetasi atau Penutupan Lahan Belukar
Skor 7
Savanna
7
Hutan Tanaman
7
Permukiman/Transmigrasi
7
Belukar rawa
6
Hutan lahan kering sekunder
6
Pertanian Kering campur semak
6
Hutan Rawa Sekunder
5
Perkebunan
5
Hutan Rawa Sekunder
5
Hutan Lahan Kering Primer
4
Hutan Rawa Primer
4
Pertanian Lahan Kering
3
Hutan Mangrove Sekunder
3
Hutan Mangrove Primer
2
Pertambangan
2
Tanah Terbuka
1
Tambak
0
Bobot
25
Sumber: Ruecker (2002), Barus dan Gandasasmita (1996), dan Hoffman (2000) dengan Perubahan
1.5.9 KEMIRINGAN LERENG Bahaya kebakaran hutan pada suatu kawasan hutan juga dipengaruhi oleh adanya angin yang dapat memperluas area kebakaran. Dimana cepat lambatnya penyebaran api tergantung dari kecapatan angin tersebut. Selain itu, angin juga dapat membesarkan titik api sehingga dapat meluas secara cepat untuk membakar bahan bakar. Dalam penelitian ini besarnya kecapatan angin ditentukan dari ketinggian tempat atau kemiringan lereng. Hal ini dikarenakan semakin tinggi ketinggian tempat, semakin rendah pula angin yang bertiup hal ini disebabkan oleh pengaruh gaya gesekan yang menghambat laju udara. Adanya gunung, pohon, dan topografi yang tidak rata memberikan gaya gesekan yang besar pada pergerakan angin. Gaya gesekan 13
tersebutlah yang menyebabkan angin mengalami penurunan kecepatan. Daerah yang memiliki topografi yang tinggi pastilah memiliki gaya gesekan yang tinggi apabila dibandingkan dengan daerah yang memiliki topogrifi rendah. Selain itu, diwilayah TN Baluran sangat dekat dengan lautan yang berada pada arah utara dan timur dari kawasan hutan tersebut. Hal ini menambah tingkat kecepatan angin didaerah yang datar di TN Baluran. Apabila terdapat titik api di daerah yang datar maka api akan semakin cepat membesar akibat kencangnya tiupan angin yang berasal dari lautan disekitar TN Baluran tersebut. Pada penelitian ini data kemiringan lereng diperoleh dari Citra SRTM yang diolah dengan menggunakan metode Slope dan selanjutnya diberikan pengharkatan atau skoring serta diberikan bobot sebesar 10 seperti pada tabel berikut: Tabel 1.5 Pengharkatan Kemiringan Lereng No
Kemiringan Lereng(%)
Kelas Kerawanan
Skor
1
0–8
Sangat Tinggi
5
2
8 – 15
Tinggi
4
3
16 – 25
Sedang
3
4
26 – 40
Rendah
2
5
>40
Sangat Rendah
1
Bobot
10
Sumber: SK Dirjen RRL No: 041/Kpts/V/1998 Tentang Kriteria Lahan Menggunakan Aspek Spasial
1.5.10 JARAK SUMBER AIR Fungsi sumber air dalam kebakaran hutan berkaitan dengan ketersediaan air untuk pemadaman kebakaran hutan. Dimana semakin jauh jarak hutan dengan sumber air maka semakin rawan terjadi kebakaran hutan dan sebaliknya. Sehingga walaupun hutan masuk dalam zona bahaya kebakaran tinggi dengan jarak hutan dengan sungai tersebut dekat maka akan mempermudah dalam pemadaman kebakaran hutan sebelum meluas. Selain itu, dengan adanya sumber air ini di dalam hutan akan mempercepat mobil pemadam kebakaran milik Polisi Hutan dalam pengisian air tanpa harus mengisi di resort tempat mobil di parkir. Sehingga pemadaman kebakaran hutan dapat dilakukan secara cepat. Serta dengan adanya sumber air tersebut juga dapat digunakan sebagai langkah pertama atau tindakan pertama dalam pemadaman kebakaran hutan sebelum mobil pemadam kebakaran datang. Dalam penelitian ini jarak sumber air di tentukan dengan menggunakan analisis Buffer selanjutnya tiap kelas jarak di berikan 14
nilai atau skoring serta diberikan bobot sebesar 5. Dimana skor tertinggi untuk jarak sumber air yang jauh dengan hutan dan sebaliknya seperti tabel berikut : Tabel 1.6 Pengharkatan Sumber Air No
Buffer Sumber Air (m)
Kelas Kerawanan
Skor
1
0 – 150
Rendah
1
2
150 – 300
Sedang
2
3
> 300
Tinggi
3
Bobot
5
Sumber : Balai Konserfasi Sumber Daya Alam Wilayah Kabupaten Bantul
1.5.11 PETA PEMICU KEBAKARAN HUTAN Merupakan peta yang menyajikan informasi faktor pemicu kebakaran hutan yang disebabkan oleh interaksi budaya manusia dengan alam. Atau dengan kata lain kebakaran hutan yang di akibatkan oleh kelalaian manusia baik yang di sengaja maupun yang tidak. Dalam penyusunannya peta tersebut tersusun dari parameter: Jarak permukiman dengan hutan dan Jarak jalan terhadap hutan. Namun, dikarenakan Kawasan Taman Nasional Baluran tidak terdapat permukiman sehingga dalam penyusunan peta pemicu kebakaran hutan hanya menggunakan satu parameter saja yaitu jarak jalan terhadap hutan. 1.5.12 JARAK JALAN Jarak jalan terhadap hutan dalam pengaruhnya terhadap kebakaran hutan hampir sama dengan jarak permukiman terhadap hutan. Hal ini dikarenakan dengan dekatnya jarak jalan terhadap hutan maka akses menuju hutan disekitar jalan pun juga akan sering. Sehingga tindakan ceroboh ketika sedang berkendara seperti membuang puntung rokok diluar area jalan (hutan di sekitar jalan) akan memicu timbulnya api yang berakhir dengan kebakaran hutan. Selain itu, dengan adanya akses jalan tersebut dapat mempermudah masyarakat setempat dalam berinteraksi dengan hutan. Interaksi tersebut dapat berdampak buruk akibat dari kelalaian masyarakat yang menyebabkan timbulnya api sebagai pemicu kebakaran hutan. Seperti yang terjadi pada tanggal 14 Juli 2012 kebakaran hutan melanda Taman Nasional Baluran. Kebakaran tersebut disinyalir akibat dari warga yang kerap membuang puntung rokok sembarangan ketika sedang merumput atau sedang melintasi jalan di sekitar TN Baluran. Sehingga dalam penelitian ini jarak jalan terhadap hutan dipilih untuk menjadi parameter pemicu 15
kebakaran hutan. Dalam pengolahan datanya jarak jalan diperoleh dari hasil analisis Buffer yang selanjutnya jarak jalan mulai untuk dikelaskan. Tiap kelas jarak selanjutnya diberi nilai atau skor sesuai dengan jauh dekatnya jarak jalan terhadap hutan serta selanjutnya diberikan bobot sebesar 20. Dimana skor tertinggi untuk jarak jalan yang dekat dengan hutan dan sebaliknya. Tabel 1.7 Pengharkatan Jarak Jalan No
Buffer Jarak Jalan ( m )
Kelas Kerawanan
Skor
1
0 – 500
Tinggi
3
2
500 – 1000
Sedang
2
3
> 1000
Rendah
1
Bobot
20
Sumber: Arianti ( 2006 )
1.6 KERANGKA PEMIKIRAN Peta rawan kebakaran hutan tersusun dari peta bahaya kebakaran hutan dan peta pemicu kebakaran hutan. Dimana peta bahaya kebaran hutan menunjukan kondisi alami pada suatu kawasan hutan akan tingkat bahaya kebakaran hutan secara alami. Sedangkan peta pemicu kebakaran hutan menunjukan tingkat tinggi rendahnya interaksi manusia dengan hutan yang dapat menyebabkan kebakaran hutan akibat dari kegitannya di sekitar kawasan hutan. Sehingga apabila suatu kawasan hutan memiliki tingkat bahaya hutan yang tinggi dan memiliki tingkat pemicu kebakaran yang tinggi maka kawasan hutan tersebut sangatlah rawan akan terjadinya kebakaran hutan. Peta bahaya kebakaran hutan tersusun dari parameter: suhu, curah hujan, jenis penutup lahan, jarak sumber air dengan hutan, dan kemiringan lereng. Sedangkan peta pemicu kebakaran tersusun dari parameter jarak jalan terhadap hutan. Dalam proses pengolahan peta rawan kebakaran hutan seluruh data terlebih dahulu di potong sesui dengan batas wilayah penelitian yaitu TN Baluran. Selanjutnya menentukan suhu di kawasan TN Baluran dengan menggunakan citra landsat 8 band 10 dan 11 saluran thermal. Dalam pengolahannya citra landsat 8 yang masih dalam bentuk nilai pixel di ubah terlebih dahulu menjadi nilai radian dengan menggunakan rumus Lλ = MLQcal + AL. Kemudian barulah hasil dari pengubahan nilai radian tersebut di konversi untuk memperoleh nilai suhu dengan rumus
.
Dikarenakan hasil perolehan suhu masih dalam satuan Kelvin maka hasil dikonversi terlebih dahulu untuk menjadi satuan Celcius sebelum di lakukan proses skoring. Menentukan besar kemiringan lereng dengan menggunakan Citra SRTM yang diolah 16
dengan menggunakan slope untuk memperoleh besaran kimirangan lereng dalam satuan persen. Selanjutnya dari hasil tersebut dilakukan reclassify untuk membuat kelas baru pada kemiringan lereng sesuai dengan kelas kemiringan yang diharapkan barulah pada tahap terakhhir pemberian nilai skor tiap nilai kemiringan lereng tersebut. Pada tahap selanjutnya jarak sumber air dan jalan terhadap hutan di tentukan dengan menggunakan buffer analysist. Dimana jarak yang dipakai sesuai dengan tabel klasifikasi tiap parameter dengan satuan meter. Setelah hasil buffer tersebut selesai barulah hasil jarak sumber air dan jarak jalan terhadap hutan diberikan nilai skor atau skoring sesuai dengan kriterianya masing-masing. Kemudian untuk curah hujan dan jenis penutup lahan karena data berjenis data sekunder maka data tersebut langsung di berikan nilai harkat atau skoring. Namun, khusus untuk data jenis penutup lahan akan didukung dengan data lapangan di TN Baluran untuk memberikan data yang up to date serta data yang valid. Selanjutnya seluruh data yang telah memiliki nilai harkat akan di overlay dengan menggunakan metode Intersect dan selanjutnya di kelaskan menjadi kelas rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan jumlah total nilai harkat tersebut. Barulah pada tahap terakhir dilakukan layout peta secara kartografi untuk memperoleh hasil peta yang menarik dan mudah untuk di pahami akan kandungan informasi pada peta tersebut.
17
Curah Hujan tahun 2010
Citra SRTM daerah TN Baluran
Sumber Air ( sungai & batas pantai )
Data Penutup Lahan tahun 2011
Citra Landsat 8 saluran thermal th 2013
Slope
Buffer
Survei Lapangan
Konversi ke Radian Lλ = MLQcal + AL Konversi ke Suhu
Reclassify
𝑇
𝐾 𝑙𝑛
𝐾 𝐿λ
Clip / Potong berdasarkan batas kawasan Taman Nasional Baluran Peta Bahaya Kebakaran Skoring
Peta Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan Kab Bondowoso dan Situbondo
Overlay (Intersect)
Peta Pemicu Kebakaran
Jalan
Buffer
Clip / Potong berdasarkan batas kawasan Taman Nasional Baluran
Skoring
Gambar 1.1 Diagram Alir Penelitian 18
1.7 BATASAN ISTILAH a. Bahan Bakar adalah bagian pada tumbuhan yang telah mengering menjadi bahan organik yang mudah terbakar apabila tersulut api. b. Brightness Temperature adalah tingkat kecerahan pada citra TIR atau Thermal Infra Red yang menggambarkan informasi nilai suhu. c. Buffer adalah metode analisis pada software GIS yang berfungsi untuk mengidentifikasi jarak dalam bentuk area. d. Dissolve adalah metode analisis pada software GIS yang berfungsi untuk menyederhanakan attribute table pada suatu data spatial. e. Kerawanan adalah suatu keadaan rawan yang pasti memiliki ancaman atau gangguan baik yang berasal dari faktor alam, faktor non alam, dan faktor sosial sehingga mengakibatkan korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, serta dampak psikologis.
f. Kerentanan adalah suatu kondisi atau kharakteristik geologis, biologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya (Bappenas, 2008).
g. Landsat 8 adalah citra generasi baru dari satelit Landsat dengan 11 band yang telah diluncurkan oleh NASA sebagai penerus misi dari Landsat 7. h. Merge adalah metode analisis pada software GIS yang berfungsi untuk menggabungkan dua obyek spatial menjadi satu. i. Radian adalah nilai matematis dari hasil pengubahan nilai pixel pada data raster. j. Rawan adalah suatu kondisi yang dapat berpotensi terjadi gangguan atau bahaya. k. Reclassify adalah tool yang berada pada software GIS yang berfungsi untuk memberikan klasifikasi ulang atau klasifikasi baru. l. Rentan adalah kondisi yang mudah untuk menyebabkan gangguan atau bahaya apabila terpicu oleh suatu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan atau bahaya tersebut. m. Single band adalah metode dalam menampilkan nilai suhu pada citra TIR yang hanya menggunakan satu band pada citra TIR tersebut. n. TN Baluran adalah salah satu Taman Nasional di Indonesia yang terletak di Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo Provinsi Jawa Timur yang di tetapkan sebagai Kawasan Taman Nasional pada tanggal 23 Mei 1997 berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 279/Kpts.-VI/1997.
19
o. Overlay adalah penggabungan dua peta atau lebih yang berfungsi untuk mencari peta analisi. p. Peta Bahaya Kebakaran Hutan adalah peta yang menunjukan wilayah dari kawasan hutan pada suatu daerah yang memiliki tingkat bahaya kebakaran yang terjadi akibat dari pengaruh faktor alam. q. Peta Kerawanan Kebakaran Hutan adalah peta dalam bentuk area yang menyajikan lokasi dari kawasan hutan pada suatu daerah yang rawan akan kebakaran hutan. r. Peta Pemicu Kebakaran Hutan adalah peta yang menyajikan informasi faktor pemicu kebakaran hutan yang disebabkan oleh interaksi budaya manusia terhadap hutan.
20