BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Adanya perbedaan potensi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah, baik potensi Sumber Daya Alam (SDA), sosial, ekonomi, budaya, ketersediaan infrastruktur, dan lain-lain mendorong terciptanya proses interaksi dan terwujudnya proses pergerakan, perjalanan, atau perpindahan antar ruang. Interaksi antar wilayah dapat disebabkan dari adanya permintaan suatu wilayah dan pemenuhan kebutuhan yang tersedia di luar wilayah tersebut. Wilayah dengan surplus komoditas tertentu akan menjadi daerah pelengkap bagi daerah lain yang kekurangan komoditas sehingga membutuhkan supply dari daerah lain. Kebutuhan akan pergerakan terjadi sebagai kebutuhan turunan karena suatu pergerakan terjadi karena adanya proses pemenuhan kebutuhan (Tamin, 2000). Pada hakikatnya, seseorang tidak perlu bergerak untuk memenuhi kebutuhannya jika semua kebutuhan yang diperlukan sudah tersedia di lokasi kita berada. Perbedaan aktivitas antar wilayah asal dan tujuan
yang
menciptakan suatu keterkaitan antar wilayah sangatlah berperan dalam proses perjalanan. Jika suatu daerah sepenuhnya tidak memiliki surplus komoditas dan atau tidak ada suatu komoditas yang berbeda dari wilayah lainnya (tidak ada hal menarik didalamnya), dipastikan bahwa wilayah tersebut tidak akan memunculkan perjalanan dan aktivitas apapun, sehingga keterkaitan antar ruang tidak akan pernah terjadi (Tamin, 2000). Proses masuk dan keluarnya tenaga kerja, modal, barang, dan jasa lainnya dari dan ke suatu wilayah akan mempengaruhi perkembangan wilayah tersebut. Selain faktor tersebut, faktor lokasi dan kemudahan (aksesibilitas) dalam mendapatkan komoditas tersebut tidak dapat dilepaskan dari proses perkembangan/pertumbuhan suatu wilayah.
1
Perpindahan suatu barang ataupun manusia dapat memunculkan kegiatan transportasi. Transportasi adalah kegiatan untuk memindahkan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan dibarengi oleh fasilitas yang diperlukan untuk memindahkannya (Hendarto, dkk, 2001:1). Untuk mewujudkan kegiatan tersebut, dibutuhkan sarana atau fasilitas berupa jasa angkutan transportasi yang memadai sehingga bermanfaat dalam usaha pengembangan suatu wilayah. Dalam hal ini, transportasi berperan penting dalam usaha mencapai tujuan-tujuan
pengembangan
ekonomi
tersebut
(Salim,
1993:2).
Transportasi dikatakan dapat memajukan kesejahteraan ekonomi karena dapat menciptakan dan meningkatkan tingkat aksesibilitas (degree of accessibility), dari potensi sumber alam dan luas pasar (Nasution, 2004:14)
sehingga
sumber
alam
yang
semula
mungkin
tidak
termanfaatkan akan terjangkau dan dapat diolah. Fasilitas yang diperlukan seperti dimaksud sebelumnya dapat diartikan
sebagai
komponen
fisik
sehingga
tersusunlah
jaringan
penghubung berupa sistem transportasi. Komponen-komponen tersebut terdiri dari sarana berupa sebuah kendaraan yang berfungsi sebagai alat yang dapat memindahkan sesuatu, baik orang maupun barang untuk mencapai tujuannya, misalnya bus, truk, pesawat dan prasarana yaitu media terjadinya kegiatan tersebut, seperti jalan, terminal, laut, dan lainnya (Setijowarno, 2003:2). Jadi, sistem transportasi adalah suatu sistem yang memungkinkan adanya pergerakan ke seluruh wilayah sehingga dapat: a) terakomodasinya mobilitas penduduk, b) dimungkinkan terjadinya pergerakan barang, dan c) dimungkinkan akses ke semua wilayah. Proses perjalanan dalam memenuhi permintaan suatu daerah minus komoditas dapat dilakukan dengan menghitung kemampuan internal yang dimiliki, yaitu jumlah komoditas dan kondisi sarana prasarana karena hal ini berkaitan dengan daya dukung dan daya tampung suatu wilayah. Komoditas yang dimiliki suatu wilayah dikatakan berperan tepat jika dapat memenuhi daerah nya sendiri untuk kemudian selanjutnya dapat
2
memenuhi daerah lain yang membutuhkan komoditas ini. Hal ini berkaitan dengan daya dukung wilayah. Suatu komoditas yang tidak dikelola dengan baik untuk wilayahnya sendiri, akan memunculkan permasalahan sosial seperti eksploitasi komoditas yang memungkinkan daerah penyedia komoditas tidak dapat mengakses potensi daerah nya sendiri akibat minim ketersediaannya atau bahkan habis. Sedangkan yang berkaitan dengan daya tampung adalah permasalahan lanjutan yang mungkin timbul dari eksploitasi tersebut yaitu masalah lingkungan, terutama kerusakan sarana prasarana penghubung perjalanan dan ketidaknyamanan kehidupan masyarakat sekitar akibat perjalanan yang berlebih. Seringkali suatu wilayah dengan ketersediaan sumberdaya yang melimpah pun akan kalah perkembangannya dengan wilayah dengan faktor lokasi yang baik, begitupun dengan faktor-faktor pendukungnya (aksesibilitas, posisi, dan lainnya) (Muta’ali, 2011). Kemampuan untuk mengolah sumberdaya yang dimiliki dapat memberikan kesempatan besar untuk lebih berkembang jika dimanfaatkan dengan baik. Patut diperhatikan bahwa kesempatan menjadi pusat pertumbuhan tidak hanya terbatas pada perkotaan saja, namun juga perdesaan yang memiliki kemampuan baik dalam memanfaatkan sumberdaya dan keuntungan lain yang dimilikinya. Begitupun dengan salah satu kecamatan di Kabupaten Sleman yaitu Kecamatan Cangkringan yang mengunggulkan sektor pertambangan karena menjadi salah satu wilayah dengan intensitas erupsi yang cukup tinggi. Keberadaan material pasir dan batu yang sangat melimpah dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat sebagai lapangan pekerjaan yakni dengan menyediakan material/barang tambang seperti pasir dan batu untuk dijual ke pihak lain (konsumen). Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat yang membuka usaha penjualan pasir dan batu (perseorangan maupun kelompok) di sepanjang jalan menuju Kecamatan Cangkringan ini, dan hal ini berdampak pada munculnya arus keluar masuk moda angkutan dengan jumlah dan volume lalu lintas yang sangat padat setiap harinya di sebagian ruas jalan menuju atau keluar kecamatan ini.
3
1.2.
Rumusan Masalah Perloff (1960) dalam Muta’ali (2011) mengemukakan bahwa perkembangan suatu wilayah ditentukan oleh seberapa besar kemampuan wilayah
tersebut
untuk
memproduksi
barang
maupun
jasa,
mengembangkan potensi, dan mengelola kondisi/permasalahan yang terjadi di dalamnya. Pengembangan wilayah dapat dilakukan secara multi sektoral maupun mono sektoral yakni hanya berfokus pada satu kegiatan tertentu saja, misalnya Kecamatan Cangkringan ini yang mengunggulkan sektor pertambangan. Kecamatan ini dikatakan beruntung secara posisinya karena sangat berdekatan dengan Gunung Merapi sehingga terdapat surplus sumberdaya berupa material pasir dan batu hasil erupsi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan daerah demand-nya. Saat ini, diketahui bahwa intensitas pengangkutan material pasir dan batu yang berpindah dari Kecamatan Cangkringan ke luar daerah semakin tinggi jumlahnya. Hal itu dapat dibuktikan saat melintasi jalan di sekitar daerah tersebut, terlihat banyaknya moda angkutan barang, khususnya truk yang mayoritas mengangkut material dari kecamatan ini. Namun sampai sejauh ini, belum ada data yang pasti terkait jumlah pengangkutan material dari kecamatan ini keluar daerah per satuan waktu tertentu. Adanya kondisi tersebut menimbulkan permasalahan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kegiatan pengangkutan material dan keberlanjutan hidup masyarakat di Kecamatan Cangkringan dan sekitarnya.
Ketidakjelasan
jumlah
moda
angkutan
dan
volume
pengangkutan yang berpindah dari kecamatan ini keluar daerah menyebabkan potensi kerusakan jalan karena hal ini berpengaruh terhadap daya tampung dan daya dukung wilayah ini. Selain itu, tidak adanya aturan yang mengikat terkait sejauh mana material dari Gunung Merapi ini dapat diakses dan berapa kali pengangkutan material yang dapat dilakukan setiap harinya, menimbulkan
4
potensi dampak lingkungan yang sangat besar karena dapat berujung pada hal eksploitasi. Permasalahan pokok yang ingin ditekankan dalam hal ini adalah bagaimana pola pengangkutan material (pasir dan batu) hasil erupsi yang dilakukan dari kecamatan ini, distribusi keruangan material yang sudah diangkut dari lokasi ini untuk mengetahui kejelasan jumlah dan intensitas pengangkutannya sehingga dapat diketahui sejauh mana pemenuhan kebutuhan (supply) yang dapat diberikan oleh daerah ini untuk memenuhi kebutuhan
di
daerah
demand-nya,
dan
apa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pola pengangkutan pasir dan batu dari kecamatan ini. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Pola Pengangkutan Pasir dan Batu dengan
Metode
Survey
Origin-Destination
(Kasus:
Kecamatan
Cangkringan, Kabupaten Sleman)”, sehingga pertanyaan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pola pengangkutan pasir dan batu dari Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman? 2. Bagaimana distribusi keruangan pengangkutan pasir dan batu dari Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman? 3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pola pengangkutan pasir dan batu dari Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi pola pengangkutan pasir dan batu dari Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. 2. Mengidentifikasi distribusi keruangan pengangkutan pasir dan batu dari Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. 3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pola pengangkutan pasir dan batu dari Kecamatan Cangkringan.
5
1.4.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian yang berjudul “Pola Pengangkutan Pasir dan Batu dengan
Metode
Survey
Origin-Destination
(Kasus:
Kecamatan
Cangkringan, Kabupaten Sleman)” ini diharapkan dapat menjadi upaya untuk penentuan kebijakan pengembangan wilayah selanjutnya dan juga dapat memberikan beberapa kegunaan, antara lain: 1. Mengaplikasikan ilmu pengembangan wilayah khususnya pendekatan keruangan dalam perencanaan wilayah. 2. Menjadi referensi untuk merencanakan kerjasama antar wilayah yang lebih baik dengan melihat potensi atau keberadaan sumberdayanya. 3. Bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan untuk meningkatkan pelayanan (sarana prasarana) terhadap aktivitas pengangkutan pasir dan batu dari Kecamatan Cangkringan. 4. Menjadi informasi bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang.
1.5.
Keaslian Penelitian Penelitian ini menggunakan studi literatur, buku, jurnal, skripsi, tesis, dan penelitian-penelitian terkait lainnya. Penelitian-penelitian terdahulu cenderung memfokuskan pada pergerakan penduduk atau tenaga kerja (orang) yang dikaitkan dengan kualitas sarana pelayana transportasi. Penelitian ini memiliki perbedaan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yaitu menekankan pada pola pengangkutan yang terjadi sehari-harinya dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta aspek spasial dengan mengidentifikasi distribusi keruangan material yang sudah diangkut
untuk
mengetahui kejelasan jumlah dan sejauh mana
pengangkutan barang yang berpindah sehingga dapat diketahui bagaimana pemenuhan kebutuhan (supply) yang dapat diberikan oleh daerah ini untuk daerah demand-nya. Pengangkutan
barang
yang
diamati
dalam
penelitian
ini
dikhususkan pada jenis barang tambang berupa pasir dan batu yang merupakan hasil erupsi Gunung Api Merapi secara alami dan menjadi
6
salah satu potensi yang dimiliki oleh Kecamatan Cangkringan. Karakteristik yang dilihat meliputi pengangkutan yang terjadi antar zona didalam suatu area wilayah kajian (lokal) dan dari area wilayah kajian menuju keluar wilayah kajian, sedangkan yang hanya melewati wilayah kajian tidak diamati. Meskipun demikian, ada juga hasil penelitian sebelumnya yang diadopsi dalam penelitian ini seperti penggunaan metode matriks asal-tujuan (origin-destination) untuk menggambarkan pola pengangkutan material secara spasial yang dilakukan dari adanya aktivitas pengangkutan material ini. Penelitian pertama dilakukan oleh Yunion M. Tampubolon (1998) dengan tesis berjudul “Pola Pergerakan Angkutan Gugus-Pulau di Provinsi Maluku (Studi Kasus Angkutan Laut)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik pergerakan angkutan laut di Provinsi Maluku, merumuskan pola pergerakan angkutan gugus-pulau, dan memodelkan pola pergerakan angkutan gugus-pulau. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis Trip Length Distribution untuk menggambarkan karakteristik jangkauan atau jarak pergerakan angkutan orang, analisis Matriks O-D dengan Pemodelan Tri-proportional Approach untuk mencari jumlah perjalanan asal dan tujuan, serta total jarak untuk perjalanan konstan, analisis Penetapan Gugus Pulau, dan analisis Model Matematis Bangkitan Perjalanan Angkutan Gugus-Pulau. Hasil penelitian diperoleh
bahwa
karakteristik
pergerakan
angkutan
laut
untuk
orang/penumpang didekati dengan konsep pergerakan transportasi optimum berdasarkan pada distribusi pergerakan perjalanan dan diperoleh 13 gugus-pulau. Pola pergerakan angkutan laut dalam satuan zona dapat didekati dengan model perencanaan sistem transportasi tri-proportional approach dan disimpulkan bahwa pemodelan ini relevan untuk perencanaan angkutan gugus-pulau di Provinsi Maluku. Pola pergerakan dari trip production antar gugus-pulau maupun intra gugus-pulau dengan fungsi linier lebih ditentukan oleh jumlah penduduk, dan untuk fungsi power/pangkat menunjukkan pola pergerakan intra gugus lebih ditentukan
7
oleh tingkat pendapatan per kapita dan antar gugus pulau adalah tetap ditentukan oleh jumlah penduduk. Pola pergerakan dari trip attraction antar gugus-pulau yang dirumuskan dengan fungsi power/pangkat ditentukan
oleh
pertambangan,
semua
faktor-faktor
perindustrian,
kegiatan
perdagangan,
dan
usaha
(pertanian,
perhubungan
&
komunikasi), sedangkan untuk trip attraction intra gugus-pulau lebih dominan ditentukan oleh kegiatan industri, perdagangan, dan perhubungan & komunikasi. Penelitian kedua dilakukan oleh Nurkholis (2002) dalam tesisnya berjudul “Pola Pergerakan Angkutan Barang Niaga di Kota Semarang”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pergerakan angkutan barang niaga di Kota Semarang, baik pada siang hari maupun malam hari dan faktor-faktor yang mempengaruhi pola pergerakan angkutan barang niaga di Kota Semarang. Metode yang digunakan adalah Matriks AsalTujuan (MAT) untuk mengetahui pola pergerakan angkutan barang niaga dan analisis deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang (cross tab) dan uji chi square untuk mengetahui fenomena pergerakan angkutan barang niaga di Kota Semarang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk waktu mendistribusikan dan mendatangkan barang niaga. Faktor pengaruh pergerakan angkutan barang niaga antara lain adalah tujuan barang (ke luar/ke dalam kota), moda angkutan barang niaga, pola penggunaan lahan, jenis barang niaga, asal barang niaga dari luar kota, dan pemakaian jaringan jalan. Penelitian ketiga dilakukan oleh Purno Laksito (2003) dengan tesis berjudul “Orientasi Pergerakan Angkutan Barang di Kabupaten Boyolali” yang bertujuan untuk menggambarkan pola spasial dan arah pergerakan angkutan barang (komoditas pertanian) dari sentra-sentra produksi di Kabupaten Boyolali, serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi orientasi pergerakannya. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan fokus pengamatan komoditas pertanian, perkebunan, dan
8
peternakan yang meliputi sayuran, kencur, jahe, dan susu sapi. Materi pengamatan dan wawancara meliputi asal tujuan, proses pengumpulan, volume, dan pemilihan alat angkut sehingga menghasilkan peta orientasi pergerakan angkutan barang komoditas sebagai wujud pola spasial pengumpulan dan distribusinya. Hasil penelitian diperoleh bahwa sentrasentra produksi peternakan, perkebunan, dan pertanian berkembang terutama pada wilayah-wilayah yang terlayani oleh sarana prasarana transportasi. Komoditas susu sapi perah tersebar di bagian barat Kab. Boyolali, meliputi Kec. Selo, Cepogo, Ampel, Musuk, Mojosongo, dan Boyolali. Komoditas kencur dan jahe tersebar di bagian barat dan utara Kab. Boyolali, meliputi Kec. Ampel, Nogosari, Andong, dan Klego. Komoditas sayuran tersebar di kaki Gunung Merapi dan Merbabu, meliputi Kec. Selo dan Cepogo. Sedangkan kota utama tujuan pengiriman komoditas adalah Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Jakarta, dan kota/kabupaten di sekitar Kab. Boyolali. Lalu, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pola spasial pergerakan komoditas adalah jaringan jalan, pelayanan angkutan, jarak (ongkos transport), volume produksi, kondisi fisik wilayah, permintaan pasar, dan lokasi asal tujuan. Penelitian keempat dilakukan oleh Eva Silviany Adianty Leiden (2004) dengan tesis berjudul “Pola Pergerakan Spatial Penduduk Kasus Desa Transmigrasi Batu Sibung dan Desa Non Transmigrasi Tangkum Batuah, Kabupaten Barito Timur”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pola pergerakan spasial yang dilakukan penduduk karena aktifitasnya dalam bekerja, pendidikan, kesehatan, belanja, dan kunjungan kekerabatan/rekreasi, menjelaskan bagaimana jangkauan dan frekuensi meruang penduduk dikaitkan dengan karakteristik masyarakat desa transmigrasi Batu Sibung dan desa non transmigrasi Tangkum Batuah, mencari perbedaan mendasar antara keduanya, dan mencari faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut. Penelitian dilakukan dengan metode berpikir deduktif-kualitatif dan bersifat rasionalistik. Pengolahan data pada penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
9
Analisis dilakukan dengan analisis univariat untuk menggambarkan karakteristik data sampel penelitian dengan menampilkan data dalam bentuk tabel frekuensi, lalu dibahas menggunakan metode tabulasi silang. Selanjutnya, dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara dua variabel menggunakan alat analisis chi square. Hasil penelitian diperoleh bahwa pergerakan yang terjadi membentuk pola menyebar ke segala arah dan memiliki banyak ragam, perbedaan pola pergerakan tersebut dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat transmigrasi dan non transmigrasi, dan faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan adalah bahwa desa transmigrasi Batu Sibung sebagai masyarakat pendatang, yaitu terkait dengan prinsip manusia untuk mempertahankan hidup di suatu tempat yang bukan tempat tinggal asalnya, sehingga mereka memiliki keinginan yang sangat besar untuk melakukan pergerakan demi pencapaian
perbaikan
dan
pengembangan
potensi
diri
(berpikir
prospektif), dan desa non transmigrasi Tangkum Batuah sebagai penduduk asli, cenderung terikat dan bergantung pada alam, serta cara berpikir tradisional dan cenderung konvensional. Mereka merasa cukup dan sudah bisa menikmati hidup dengan apa yang sudah diperoleh sekarang sehingga tidak memiliki keinginan cukup besar untuk melakukan mobilitas demi pencapaian pengembangan potensi diri. Penelitian kelima dilakukan oleh Rizky Permana (2003) dengan skripsi berjudul “Kajian Pola Pergerakan Penduduk untuk Perencanaan Pelayanan Transportasi di Pinggiran Kota Purworejo”. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik sarana transportasi di wilayah pinggiran Kota Purworejo, mengetahui pola pergerakan penduduk pinggiran kota, mengetahui alasan-alasan yang mendorong terjadinya pola pergerakan penduduk pinggiran kota menuju kota, mengetahui persepsi masyarakat akan sarana transportasi di pinggiran Kota Purworejo, dan memberikan saran dan masukan terhadap perencanaan pelayanan transportasi yang diinginkan masyarakat. Metode yang digunakan adalah survei kuesioner dengan teknik analisis data menggunakan tabel frekuensi
10
untuk menampilkan data, analisa tabulasi silang (cross tab) untuk mengetahui hubungan antara dua variabel terkait pola pergerakan dan didukung oleh analisis mengenai persepsi masyarakat, dan analisa peta. Hasil penelitian diperoleh bahwa karakteristik sarana transportasi di wilayah pinggiran Kota Purworejo adalah jumlah angkutan umum yang terbatas, rute yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat pengguna angkutan umum, dan sangat kurang baik dalam hal pelayanannya. Pola pergerakan penduduk pinggiran Kota Purworejo adalah sebagian besar menuju pusat kota dengan tujuan pergerakan sebagian besar untuk bekerja, berbelanja, dan bersekolah. Alasan yang mendorong terjadinya pola pergerakan penduduk pinggiran kota menuju kota untuk kegiatan belanja dan sekolah adalah kualitas dan kuantitas pelayanan. Kualitas pelayanan ditunjukkan oleh alasan mutu bagus, variasi barang, dan harga murah. Khusus untuk kegiatan bekerja, alasan spesifik adalah penempatan dan kesesuaian lokasi. Persepsi masyarakat akan sarana transportasi di pinggiran Kota Purworejo adalah bahwa kinerja angkutan umum pinggiran Kota Purworejo dinilai cukup memadai. Namun, kondisi tersebut perlu ditingkatkan karena sebagian penumpang lagi menilai bahwa tingkat keamanan dan kenyamanan masih kurang. Saran yang diajukan adalah perlunya penambahan jumlah angkutan umum di beberapa daerah, penambahan rute angkutan umum yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, dan pembenahan kondisi pelayanan angkutan umum agar lebih baik di masa mendatang. Penelitian keenam dilakukan oleh Sinta Ikawisudawati (2007) dengan skripsi berjudul “Kajian Pola Perjalanan Penduduk Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman”. Penelitian ini bertujuan mengetahui pola perjalanan yang dilakukan rumah tangga penduduk di Desa Condongcatur dilihat dari maksud perjalanan, daerah tujuan perjalanan, waktu perjalanan dan moda perjalanan dan mengetahui hubungan antara kondisi sosial ekonomi rumah tangga dengan jumlah perjalanan rumah tangga penduduk di Desa Condongcatur. Metode
11
penelitian yang digunakan adalah metode survei dimana data primer dikumpulkan dari responden menggunakan kuesioner. Teknik analisis menggunakan Mann Whitney u-test untuk melakukan uji beda terhadap pola distribusi perjalanan rumah tangga penduduk asli dan rumah tangga penduduk pendatang, dan Korelasi Kendalls Tau b untuk mengetahui hubungan antara kondisi sosial ekonomi rumah tangga dengan jumlah perjalanan rumah tangga pelaku perjalanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pola berjalanan pada rumah tangga penduduk asli dan pendatang berdasarkan tujuan perjalanan, moda perjalanan, dan waktu perjalanan. Tujuan perjalanan penduduk untuk aktivitas ekonomi dan sosial, perjalanan terbesar dalam wilayah Kecamatan Depok, kemudian menuju Kota Yogyakarta dan kecamatan lain dalam wilayah Kabupaten Sleman. Waktu bangkitan perjalanan terbesar terjadi pukul 06.00 s/d sebelum 09.00 dengan tujuan dalam wilayah Kecamatan Depok dan Kota Yogyakarta. Penggunaan moda perjalanan didominasi oleh sepeda motor. Hasil korelasi Kendalls Tau b antar variabel diketahui bahwa pada rumah tangga penduduk asli maupun pendatang, jumlah kepemilikan kendaraan, jumlah anggota rumah tangga, dan jumlah anggota rumah tangga yang bekerja memiliki hubungan terhadap jumlah perjalanan rumah tangga. Penelitian ketujuh dilakukan oleh Ismadarni (2012) dari jurnal berjudul “Pengaruh Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Terhadap Bangkitan Pergerakan Zona Kecamatan di Kota Palu”. Penelitian ini bertujuan mengetahui jumlah dan pola pergerakan perjalanan yang dibangkitkan oleh penghuni rumah tangga masyarakat yang bermukim pada zona kecamatan di Kota Palu ke tempat beraktivitas dengan menggunakan kendaraan dan mengetahui pengaruh aspek sosial ekonomi masyarakat terhadap bangkitan pergerakan zona kecamatan Kota Palu yang selanjutnya dapat digunakan untuk memprediksi beban lalu lintas sebagai dasar perencanaan transportasi antar zona kecamatan di dalam wilayah Kota Palu. Metode yang digunakan adalah survey kuesioner untuk
12
menjawab tujuan pertama, yang dilakukan melalui pengorganisasian dan pengelompokan data dengan menggunakan analisa kategori yang kemudian ditabulasi berdasarkan zona kecamatan dan dimaknai agar diketahui karakteristik dan pola perjalanan dari masing-masing zona yang dikaji. Tujuan kedua menggunakan metode analisa regresi linear dan perhitungannya dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS (Statistical Product and Service Solution). Hasil penelitian diperoleh bahwa ada 3 (tiga) pola pergerakan lalu lintas yang ditimbulkan oleh bangkitan pergerakan dari masing-masing zona kecamatan di wilayah Kota Palu, yaitu pola pergerakan intrazona, ekstrazona, dan internaleksternal. Lalu, faktor sosial ekonomi masyarakat yang signifikan pengaruhnya terhadap bangkitan pergerakan zona kecamatan di wilayah Kota Palu adalah jumlah anggota keluarga (X1), jumlah kepemilikan kendaraan roda dua (X2) dan jumlah pendapatan (X5), dimana faktor sosial ekonomi
yang paling
dominan
pengaruhnya
terhadap
bangkitan
pergerakan zona kecamatan di Kota Palu adalah jumlah anggota keluarga (X1). Variabel luas rumah (X4) tidak berpengaruh signifikan terhadap bangkitan pergerakan dikarenakan angka korelasinya yang rendah, artinya peningkatan luas rumah di Kota Palu tidak berpola sehingga belum tentu meningkatkan bangkitan pergerakan. Variabel jumlah kepemilikan kendaraan roda empat (X3) dikeluarkan dari proses analisa regresi dikarenakan nilai korelasinya yang sangat rendah sehingga dianggap tidak ada hubungan dengan penambahan jumlah bangkitan pergerakan pada zona kecamatan di Kota Palu. Penelitian tentang transportasi dan pola pengangkutan/pergerakan yang dilakukan sebelumnya hingga saat ini dapat dilihat pada Tabel 1.1 dibawah ini:
13
No.
Nama Peneliti
Judul
Tabel 1.1. Penelitian yang Dilakukan Sebelumnya dan Saat Ini Tahun Jenis Metode Tujuan Penelitian Penelitian Penelitian Penelitian
1.
Yunion M. Tampubolon
Pola Pergerakan Angkutan GugusPulau di Provinsi Maluku (Studi Kasus Angkutan Laut)
1998
Tesis
1. Mengidentifikasi karakteristik pergerakan angkutan laut di Provinsi Maluku. 2. Merumuskan pola pergerakan angkutan gugus-pulau. 3. Memodelkan pola pergerakan angkutan gugus-pulau.
Analisis Trip Length Distribution, Analisis Matriks O-D dengan Pemodelan Triproportional Approach, Analisis Penetapan Gugus Pulau, dan Analisis Model Matematis Bangkitan Perjalanan Angkutan Gugus-Pulau
2.
Nurkholis
Pola Pergerakan Angkutan Barang Niaga di Kota Semarang
2002
Tesis
1. Mengetahui pola pergerakan angkutan barang niaga di Kota Semarang, baik pada siang hari maupun malam hari. 2. Mengetahui faktor-
Matriks AsalTujuan (MAT) dan Analisis Deskriptif Kualitatif (cross tab dan uji chi square)
14
Hasil Penelitian 1. Karakteristik pergerakan angkutan laut untuk orang/penumpang didekati dengan konsep pergerakan transportasi optimum yang berdasaran pada distribusi pergerakan perjalanan dan diperoleh 13 gugus-pulau. 2. Pola pergerakan angkutan laut dalam satuan zona dapat didekati dengan model perencanaan sistem transportasi tri-proportional approach dan disimpulkan bahwa pemodelan ini relevan untuk perencanaan angkutan gugus-pulau di Provinsi Maluku. 3. Pola pergerakan dari trip production antar gugus-pulau maupun intra gugus-pulau dengan fungsi linier lebih ditentukan oleh jumlah penduduk, dan untuk fungsi power/pangkat menunjukkan pola pergerakan intra gugus lebih ditentukan oleh tingkat pendapatan per kapita dan antar gugus pulau adalah tetap ditentukan oleh jumlah penduduk. Pola pergerakan dari trip attraction antar gugus-pulau yang dirumuskan dengan fungsi power/pangkat ditentukan oleh semua faktor-faktor kegiatan usaha (pertanian, pertambangan, perindustrian, perdagangan, dan perhubungan & komunikasi), sedangkan untuk trip attraction intra guguspulau lebih dominan ditentukan oleh kegiatan industri, perdagangan, dan perhubungan & komunikasi. 1. Pergerakan angkutan barang di Kota Semarang tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk waktu mendistribusikan dan mendatangkan barang niaga. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan angkutan barang niaga adalah tujuan barang (ke luar/ke dalam kota), moda
3.
Purno Laksito
Orientasi Pergerakan Angkutan Barang di Kabupaten Boyolali
2003
Tesis
4.
Eva Silviany Adianty Leiden
Pola Pergerakan Spatial Penduduk Kasus Desa Transmigrasi Batu Sibung dan Desa Non Transmigrasi Tangkum Batuah, Kabupaten Barito Timur
2004
Tesis
faktor yang mempengaruhi pola pergerakan angkutan barang niaga di Kota Semarang. 1. Menggambarkan pola spasial dan arah pergerakan angkutan barang (komoditas pertanian) dari sentrasentra produksi di Kabupaten Boyolali. 2. Mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhinya.
1. Mengidentifikasi pola pergerakan meruang yang dilakukan penduduk karena aktifitasnya dalam bekerja, pendidikan, kesehatan, belanja, dan kunjungan kekerabatan/rekreasi. 2. Menjelaskan bagaimana jangkauan dan frekuensi meruang penduduk dikaitkan dengan karakteristik masyarakat desa transmigrasi Batu Sibung
15
angkutan barang niaga, pola penggunaan lahan, jenis barang niaga, asal barang niaga dari luar kota, dan pemakaian jaringan jalan.
Metode Deskriptif Kualitatif. Materi pengamatan dan wawancara meliputi asal tujuan, proses pengumpulan, volume, dan pemilihan alat angkut.
Metode DeduktifKualitatif dengan Analisis Deskriptif Kualitatif dan Kuantitatif (analisis univariat, analisis tabulasi silang, analisis chi-square)
1. Sentra-sentra produksi peternakan, perkebunan, dan oertanian berkembang terutama pada wilayah-wilayah yang terlayani oleh sarana prasarana transportasi. Komoditas susu sapi perah tersebar di bagian barat Kab. Boyolali. Komoditas kencur dan jahe tersebar di bagian barat dan utara Kab. Boyolali. Komoditas sayuran tersebar di kaki Gunung Merapi dan Merbabu. Sedangkan kota utama tujuan pengiriman komoditas adalah Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Jakarta, dan kota-kota kabupaten di sekitar Kabupaten Boyolali. 2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pola spasial pergerakan komoditas adalah jaringan jalan, pelayanan angkutan, jarak (ongkos transport), volume produksi, kondisi fisik wilayah, permintaan pasar, dan lokasi asal tujuan. 1. Pergerakan yang terjadi membentuk pola menyebar ke segala arah dan beragam. 2. Perbedaan pola pergerakan tersebut dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat transmigrasi dan non transmigrasi. 3. Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan adalah bahwa desa transmigrasi Batu Sibung sebagai masyarakat pendatang, yaitu terkait dengan prinsip manusia untuk mempertahankan hidup di suatu tempat yang bukan tempat tinggal aslanya, sehingga mereka memiliki keinginan yang sangat besar untuk melakukan pergerakan demi pencapaian perbaikan dan pengembangan potensi diri (berpikir prospektif), dan desa non transmigrasi Tangkum Batuah sebagai penduduk asli,
5.
Rizky Permana
Kajian Pola Pergerakan Penduduk untuk Perencanaan Pelayanan Transportasi di Pinggiran Kota Purworejo
2003
Skripsi
dan desa non transmigrasi Tangkum Batuah. 3. Mencari perbedaan mendasar antara keduanya. 4. Mencari faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut. 1. Mengetahui karakteristik sarana transportasi di wilayah pinggiran kota Purworejo. 2. Mengetahui pola pergerakan penduduk pinggiran kota. 3. Mengetahui alasanalasan yang mendorong terjadinya pola pergerakan penduduk pinggiran kota menuju kota. 4. Mengetahui persepsi masyarakat akan sarana transportasi di pinggiran kota Purworejo. 5. Memberikan saran dan masukan terhadap perencanaan pelayanan transportasi yang diinginkan masyarakat.
16
Survei Kuesioner dengan teknik analisis data menggunakan Tabel Frekuensi, Analisa Cross Tab, dan Analisa Peta
cenderung terikat dan bergantung pada alam, serta cara berpikir tradisional dan cenderung konvensional, bahwa mereka merasa cukup dan sudah bisa menikmati hidup dengan apa yang sudah mereka peroleh sekarang. Sehingga mereka tidak memiliki keinginan yang cukup besar untuk melakukan mobilitas demi pencapaian perbaikan dan pengembangan potensi diri. 1. Karakteristik sarana transportasi di wilayah pinggiran Kota Purworejo adalah jumlah angkutan umum yang terbatas, rute yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat pengguna angkutan umum, dan sangat kurang baik dalam hal pelayanannya. 2. Pola pergerakan penduduk pinggiran Kota Purworejo adalah sebagian besar menuju pusat kota dengan tujuan pergerakan sebagian besar untuk bekerja, berbelanja, dan bersekolah. 3. Alasan yang mendorong terjadinya pola pergerakan penduduk pinggiran kota menuju kota untuk kegiatan belanja dan sekolah adalah kualitas dan kuantitas pelayanan. Kualitas pelayanan ditunjukkan oleh alasan mutu bagus, variasi barang, dan harga murah. Khusus untuk kegiatan bekerja, alasan spesifik adalah penempatan dan kesesuaian lokasi. 4. Persepsi masyarakat akan sarana transportasi di pinggiran Kota Purworejo adalah bahwa kinerja angkutan umum pinggiran Kota Purworejo dinilai cukup memadai, Namun kondisi tersebut perlu ditingkatkan karena sebagian penumpang lagi menilai bahwa tingkat keamanan dan kenyamanan masih kurang. 5. Saran yang diajukan adalah perlunya penambahan jumlah angkutan umum di beberapa daerah, penambahan rute angkutan umum yang disesuaikan dengan kebutuhan
6.
Sinta Ikawisudawati
Kajian Pola Perjalanan Penduduk Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman
2007
Skripsi
1. Mengetahui pola perjalanan yang dilakukan rumah tangga penduduk di Desa Condongcatur dilihat dari maksud perjalanan, daerah tujuan perjalanan, waktu perjalanan dan moda perjalanan. 2. Mengetahui hubungan antara kondisi sosial ekonomi rumah tangga dengan jumlah perjalanan rumah tangga penduduk di Desa Condongcatur.
Survei Kuesioner dengan teknik analisis Mann Whitney u-test untuk melakukan uji beda dan Korelasi Kendalls Tau b untuk mengetahui hubungan
7.
Ismadarni
Pengaruh Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Terhadap Bangkitan Pergerakan Zona Kecamatan di Kota Palu
2012
Jurnal
1. Mengetahui jumlah dan pola pergerakan perjalanan yang dibangkitkan oleh penghuni rumah tangga masyarakat yang bermukim pada zona kecamatan di Kota Palu ke tempat beraktivitas dengan menggunakan kendaraan. 2. Mengetahui pengaruh
Survei Kuesioner dan Analisa Regresi Linear (SPSS)
17
masyarakat, dan pembenahan kondisi pelayanan angkutan umum agar lebih baik di masa mendatang demi kenyamanan penumpang angkutan umum. 1. Tidak terdapat perbedaan pola berjalanan pada rumah tangga penduduk asli dan pendatang berdasarkan tujuan perjalanan, moda perjalanan, dan waktu perjalanan. Tujuan perjalanan penduduk untuk aktivitas ekonomi dan aktivitas sosial, perjalanan terbesar dalam wilayah Kecamatan Depok, kemudian menuju Kota Yogyakarta dan kecamatan lain dalam wilayah Kabupaten Sleman. Waktu bangkitan perjalanan terbesar terjadi pukul 06.00 sampai sebelum pukul 09.00 dengan tujuan dalam wilayah Kecamatan Depok dan Kota Yogyakarta. Penggunaan moda perjalanan didominasi oleh sepeda motor. 2. Hasil Korelasi Kendalls Tau b antar variabel diketahui bahwa pada rumah tangga penduduk asli maupun pendatang, jumlah kepemilikan kendaraan, jumlah anggota rumah tangga, dan jumlah anggota rumah tangga yang bekerja memiliki hubungan terhadap jumlah perjalanan rumah tangga. 1. Ada tiga pola pergerakan lalu lintas yang ditimbulkan oleh bangkitan pergerakan dari masing-masing zona kecamatan di wilayah Kota Palu, yaitu pola pergerakan intrazona, ekstrazona, dan internal-eksternal. 2. Faktor sosial ekonomi masyarakat yang signifikan pengaruhnya terhadap bangkitan pergerakan zona kecamatan di wilayah Kota Palu adalah jumlah anggota keluarga (X1), jumlah kepemilikan kendaraan roda dua (X2) dan jumlah pendapatan (X5), dimana faktor sosial ekonomi yang paling dominan pengaruhnya terhadap bangkitan pergerakan zona kecamatan di Kota Palu adalah jumlah
aspek sosial ekonomi masyarakat terhadap bangkitan pergerakan zona kecamatan Kota Palu yang selanjutnya dapat digunakan untuk memprediksi beban lalu lintas sebagai dasar perencanaan transportasi antar zona kecamatan di dalam wilayah Kota Palu. 8.
Nadhila Shabrina
Pola Pengangkutan Pasir dan Batu dengan Metode Survey OriginDestination (Kasus: Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman)
2015
Skripsi
1.Mengidentifikasi pola pengangkutan pasir dan batu dari Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. 2. Mengidentifikasi distribusi keruangan pengangkutan pasir dan batu dari Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. 3. Mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi pola pengangkutan pasir dan batu dari Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.
18
Analisis Deskriptif Kualitatif dengan alat analisis berupa Tabel Distribusi Frekuensi, Tabulasi Silang, dan Survey OriginDestination dengan alat analisis berupa Matriks AsalTujuan (MAT) perjalanan, serta analisis spasial (keruangan) yang dihasilkan dalam bentuk peta.
anggota keluarga (X1). Variabel luas rumah (X4) tidak berpengaruh signifikan terhadap bangkitan pergerakan dikarenakan angka korelasinya yang rendah, artinya peningkatan luas rumah di Kota Palu tidak berpola sehingga belum tentu meningkatkan bangkitan pergerakan. Variabel jumlah kepemilikan kendaraan roda empat (X3) dikeluarkan dari proses analisa regresi dikarenakan nilai korelasinya yang sangat rendah sehingga dianggap tidak ada hubungan dengan penambahan jumlah bangkitan pergerakan pada zona kecamatan di Kota Palu. 1. Pola pengangkutan material dilakukan seluruhnya oleh laki-laki menggunakan moda angkutan berupa truk bukan milik pribadi dengan jenis material yang dapat diangkut terdiri dari pasir, batu, dan pasir batu (sirtu), waktu dan intensitas pengangkutan tidak menentu, dan rute perjalanan yang dilalui cenderung sama. 2. Distribusi keruangan material semua berasal dari Kali Gendol dengan jenis pasir menjadi material yang paling banyak diangkut, dominasi perjalanan terbanyak adalah lokal Kecamatan Cangkringan dan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. 3. Faktor yang mempengaruhi pola pengangkutan ini adalah faktor di daerah asal (surplus dan perbedaan komoditas dalam wilayah), faktor di daerah tujuan (minus komoditas, permintaan akan barang), dan faktor diantara (jarak, aksesibilitas, biaya perjalanan yang dikeluarkan), serta pendorong intensitas perjalanan yang tinggi di lokasi ini adalah faktor lokasi, ketersediaan material melimpah, jarak tempuh, biaya perjalanan, dan kualitas material.
1.6.
Tinjauan Pustaka Pengembangan dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh seberapa besar kemampuan wilayahnya untuk memproduksi, mengolah, mengelola sumberdaya yang dimilikinya. Dalam hal ini, ketersediaan sumberdaya pun belum menjamin suatu wilayah untuk dapat berkembang apabila tidak dapat memanfaatkannya dengan baik. Potensi yang berbeda antar masing-masing wilayah menyebabkan munculnya kegiatan supply dan demand kebutuhan, sehingga terciptalah aktivitas perjalanan atau pergerakan yang dapat mendorong interaksi dan perkembangan suatu wilayah.
1.6.1
Pembangunan Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sebuah langkah untuk mengembangkan suatu kawasan secara holistik (Sutanto, 2012). Pembangunan dipandang tidak hanya memacu pertumbuhan sosial ekonomi wilayah, namun juga diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antar wilayah. Pengembangan wilayah berbeda dengan dengan pembangunan sektoral. Jika pembangunan sektoral lebih
menitikberatkan
sektor/sektor-sektor
pada
tertentu
pengembangan saja,
masing-masing
pembangunan
wilayah
dilaksanakan dalam skala lebih luas sampai saling tumpang tindih antar proyek pengembangan. Pengembangan wilayah juga memperhatikan proyek atau isu yang terjadi di wilayah yang sedang atau akan dikembangkan. Koordinasi semua pihak sangat penting pengembangan wilayah lebih membutuhkan sinergi atau kerjasama yang lebih kuat dan menyeluruh, tidak seperti pengembangan sektoral.
1.6.2
Interaksi Interaksi dapat diartikan sebagai hubungan aktivitas yang terjadi dalam suatu wilayah, yaitu hubungan vertikal, horizontal,
19
dan komplementer. Ketiga jenis hubungan ini penting untuk dikaji karena berpengaruh terhadap kebutuhan ruang dari adanya aktifitas dalam suatu wilayah yang pada akhirnya akan berpengaruh pada perkembangan wilayah pada masa yang akan datang. Muta’ali (2011) membagi interaksi antar aktifitas dalam suatu wilayah dalam 3 (tiga) jenis hubungan, yaitu: 1. Hubungan vertikal, yaitu hubungan antar kegiatan dimana hasil atau keluaran dari suatu kegiatan digunakan sebagai masukan untuk suatu kegiatan lain. Dalam hal ini, jarak antar lokasi kegiatan diperpendek untuk meminimalkan biaya transport nya. Demikian seterusnya sampai hubungan ini disebut sebagai suatu hubungan tarik menarik antar kegiatan dalam suatu wilayah. 2. Hubungan horizontal, yaitu berhubungan dengan kompetisi ruang antar kegiatan. Misalnya, adanya tolak menolak (persaingan) dari adanya aktifitas antar ruang. 3. Hubungan komplementer, yaitu hubungan tarik menarik yang selalu berkaitan antara pemasok produksi komplementer dan pengguna dari produk yang disupply. Misal, permintaan yang meningkat akan menyebabkan kedudukan produsen, begitupun jika keberadaan produsen yang semakin banyak, maka akan menarik konsumen yang semakin banyak pula.
Terjadinya perjalanan, aliran, pergerakan, mobilitas barang, uang, jasa, maupun orang tidak terlepas dari adanya proses interaksi didalamnya. Hurst (1974) dalam Daldjoeni N (1992) membagi 3 (tiga) prinsip terwujudnya interaksi keruangan, yaitu: 1. Saling Melengkapi (Complementary) Interaksi yang terjadi dengan prinsip ini mempercayai bahwa perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing wilayah menimbulkan adanya permintaan dan penawaran antar kedua
20
wilayah tersebut sehingga fungsi melengkapi ini dapat terjadi atau terwujud. Perbedaan yang dimaksud adalah jika masingmasing wilayah memiliki perbedaan sumberdaya sehingga terjadi interaksi untuk saling memuhi kekurangan tersebut sehingga prinsip saling melengkapi pun terwujud. Salah satu wilayah dengan surplus komoditas di bidang tertentu, sedangkan di wilayah lain tidak ada, menciptakan suatu upaya untuk mengangkut komoditas tersebut dari wilayah yang surplus ke wilayah yang kurang. Adanya proses saling melengkapi tersebut mendorong terciptanya arus dan rute untuk melayani
kebutuhan
pertukaran
komoditas/sumberdaya
tersebut. Semakin tinggi proses melengkapi antar dua wilayah, maka semakin tinggi pula arus yang terjadi dalam pertukaran komoditas/sumberdaya antar dua wilayah tersebut (Daldjoeni, 1992). Semakin jauh jarak (origin-destination), maka semakin sedikit frekuensi perjalanan. Interaksi akan semakin menurun intensitasnya seiring bertambahnya jarak dan hak ini pun menyebabkan volume atau jumlah perpindahan/pergerakan komoditas pun menurun. Jika jarak antara supplyer dan demander terlalu jauh sehingga biaya transportasi menjadi tinggi, interaksi tidak akan terjadi walaupun aspek complementarity tinggi. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk menghadapi kondisi tersebut adalah dengan mencari alternatif barang lainnya atau dengan mentransformasikan produk yang memiliki nilai jual lebih tinggi untuk mengkompensasi biaya. Komplementaritas wilayah pada dasarnya tergantung dari 2 (dua) keunggulan, yaitu keunggulan kompetitif (kemampuan yang paling tinggi dibandingkan yang lainnya) dan keunggulan komparatif (keunggulan yang dipilih dari dua keunggulan lainnya).
21
2. Faktor Jarak (Transferability) Kemungkinan terjadinya proses substitusi barang adalah saat jarak wilayah penawaran dengan wilayah permintaan terlampau jauh sangat besar terjadi. Hal ini didukung oleh analisa arus yang memiliki asumsi bahwa intensitas arus akan semakin berkurang seiring jauhnya jarak dari pusat, dan semakin dekat jarak ke pusat, maka semakin semakin tinggi intensitas arus yang terjadi. Apabila jarak wilayah permintaan dan penawaran semakin jauh, bukan interaksi dengan prinsip transferability yang terjadi, namun prinsip substitusi. Semakin mudah transferability antar dua wilayah, maka akan semakin besar arus komoditi yang terjadi. Model ini dapat menjadi pertimbangan untuk menghitung interaksi antar wilayah. Selain mempertimbangkan jarak, prinsip ini juga mempertimbangkan aspek harga/biaya, jenis barang (terkait daya tahan), dan jumlah barang (terkait efisiensi) (Daldjoeni, 1992). 3. Faktor
Peluang
atau
Kesempatan
Antara
(Intervening
Opportunity) Faktor ini terjadi apabila terdapat wilayah ketiga sebagai pengganti (substitusi) salah satu wilayah sebelumnya karena adanya kebijakan baru yang diterapkan dan mengacu pada kebijakan pembangunan diwilayahnya. Pergantian salah satu wilayah oleh wilayah ketiga ini terjadi jika wilayah ketiga menawarkan barang yang sama namun dengan lokasi jarak yang lebih dekat sehingga dapat memotong/berada diantara dua wilayah sebelumnya. Semakin besar intervening opportunity, maka semakin kecil arus sumberdaya yang terjadi antar wilayah tersebut.
22
Daldjoeni (1992) menyebutkan bahwa geograf membagi bentuk gerakan dalam geografi (arus) ke dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu: 1. Migrasi, jika menyangkut arus manusia, 2. Komunikasi, jika menyangkut gerakan/perpindahan informasi, dan 3. Transportasi, jika menyangkut materi dan energi.
Selain ditimbulkan oleh perbedaan komoditas, pergerakan sangat berkaitan dengan 3 (tiga) syarat terjadinya interaksi tersebut. Disimpulkan bahwa adanya migrasi, komunikasi, dan transportasi tersebut dapat terjadi apabila dipenuhi 3 (tiga) syarat interaksi yang meliputi komplementaritas, transferabilitas, dan absennya alternatif lain (intervening opportunity). Interaksi
antar
wilayah
merupakan
kunci
sukses
perkembangan suatu wilayah (Saputra, 2008). Wilayah yang melakukan interaksi akan menciptakan dampak positif dan negatif, terlebih dalam hal peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dampak ekonomi
yang
melengkapi
dihasilkan
kebutuhan
adalah
antar
adanya
wilayah,
aktivitas
sedangkan
saling dampak
negatifnya adalah timbulnya persaingan antar wilayah yang memiliki keinginan untuk lebih unggul dari interaksi yang dilakukannya. Hal ini berkaitan dengan potensi atau keungggulan wilayah yang dimiliki (Saputra, 2008). Aktifitas saling melengkapi ditemui antar wilayah yang memiliki perbedaan keunggulan, sedangkan aktifitas yang bersifat bersaing terjadi untuk wilayah-wilayah dengan keunggulan yang sama. Intinya, perkembangan di suatu wilayah dapat dilakukan dengan berbagai cara namun tetap memegang pada kunci saling melengkapi (komplementaritas).
23
1.6.3
Pengangkutan Angkutan adalah suatu alat berupa kendaraan yang digunakan untuk memindahkan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992). Kendaraan yang dimaksud adalah alat yang dapat bergerak di jalan, meliputi kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Pengangkutan diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam hubungan tersebut, 3 (tiga) hal yang harus ada yaitu: a) adanya muatan yang diangkut, b) tersedianya kendaraan sebagai alat angkutannya, dan c) ada jalanan yang dapat dilalui (Siregar, 1990:3). Sedangkan Nasution
(2004:15)
menyebutkan
bahwa
unsur-unsur
pengangkutan meliputi 5 (lima) hal dengan 2 (dua) tambahan unsur yang harus tersedia yaitu meliputi: d) ada terminal asal dan terminal tujuan dan e) sumber daya manusia yang menggerakkan kegiatan transportasi tersebut. Pengangkutan
diperlukan
karena
sumber
kebutuhan
manusia tidak terdapat di sembarang tempat. Sumber berupa bahan baku pun harus melalui tahapan produksi yang lokasinya pun juga tidak selalu di lokasi manusia sebagai konsumen berada. Kesenjangan jarak antara lokasi sumber, lokasi produksi, dan lokasi konsumen itulah yang melahirkan pengangkutan. Bagan aliran pengangkutan dapat dilihat pada Gambar 1.1. dibawah ini. Sumber Daya
Pengangkutan
Lokasi Produksi
Pengangkutan
Pasar Pengangkutan
Pengangkutan Gambar 1.1. Bagan Alir Pengangkutan (Sumber: Nasution, 2004 dan Warpani, 1990)
24
Konsumen
Kagiatan pengangkutan membutuhkan 2 (dua) jenis peralatan yang harus tersedia yaitu peralatan operasi (operating facilities) dan peralatan basic (basic facilities). Peralatan operasi sering disebut sebagai sarana angkutan, yaitu peralatan yang digunakan untuk mengangkut barang dan penumpang yang digerakkan oleh suatu tenaga penggerak, seperti mesin motor atau tenaga penggerak lainnya. Peralatan basic disebut juga sebagai prasarana angkutan yang terdiri dari: a) jalanan, sebagai tempat bergerak peralatan operasi, misalnya jalanan angkutan kereta api adalah rel kereta api dan jembatannya. b) terminal, sebagai tempat pemberian pelayanan kepada penumpang dalam perjalanan, barang dalam pengiriman, dan kendaraan sebelum dan sesudah melakukan operasinya. Lokasi ini dapat dibangun di tempat asal, tempat tujuan, dan diantara keduanya (Siregar, 1990:6). Pengangkutan menyebabkan nilai barang lebih tinggi di tempat tujuan daripada di tempat asal, dan nilai ini lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan untuk pengangkutannya. Nilai yang diberikan oleh pengangkutan adalah berupa nilai tempat (place utility) dan nilai waktu (time utility) (Siregar, 1990:3). Kedua nilai ini diperoleh jika barang telah diangkut ke tempat dimana
nilainya
lebih
tinggi
(tempat
tujuan)
dan
dapat
dimanfaatkan tepat pada waktunya. Menurut Tjakranegara (1995:1), place utility adalah nilai yang muncul setelah suatu barang dapat dipindahkan dari tempat dimana barang yang berlebihan itu kurang dibutuhkan di suatu tempat menuju tempat dimana barang itu sangat dibutuhkan karena langka. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa daerah dimana barang dihasilkan dalam jumlah banyak atau berlebih, maka nilainya akan sangat turun, jika dibandingkan dengan suatu tempat dimana barang tersebut sangat sukar untuk didapatkan.
Tetapi,
dengan
25
adanya
proses
pemindahan,
pengiriman, pengangkutan barang ke daerah lain, maka harga kebutuhan tersebut dapat disamaratakan. Suatu jenis barang lebih bermanfaat di suatu tempat daripada tempat lain, si pemilik sanggup membayar harga untuk terciptanya kegunaan barang tersebut ditempat yang bersangkutan, bukan semata-mata hanya untuk pemindahan barang tersebut dapat disebut juga dengan nilai tempat (place utility) (Salim, 1993:2). Sedangkan
time
utility
yaitu
nilai
yang
muncul
setelah
pengangkutan barang dari satu tempat ke tempat tertentu lainnya dimana barang tersebut sangat dibutuhkan menurut keadaan, waktu, dan kebutuhan. Disini pengangkut barang berperan penting. Hutchinson
(1974:403)
dalam
Nurkholis
(2002)
menggambarkan permintaan angkutan barang dalam suatu proses perekonomian adalah suatu unit dalam perekonomian menerima suatu jenis komoditas sebagai masukan untuk selanjutnya dilakukan proses lebih lanjut dan akan menjadi keluaran (output) untuk dikonsumsi oleh unit ekonomi lain. Setiap tahapan proses distribusi barang mulai dari produsen sampai ke konsumen akhir memerlukan permintaan pengangkutan barang. Proudlove (1986:1) dalam Nurkholis (2002) mengemukakan saluran distribusi barang akan mengikuti pola seperti tertera pada Gambar 1.2. dibawah ini. Pengumpul Bahan Baku Pedagang Besar/Produsen Pedagang Pengecer/Distributor
Konsumen Akhir Gambar 1.2. Saluran Distribusi Barang (Sumber: Proudlove (1986:1) dalam Nurkholis, 2002)
26
Sistem pengangkutan (transportasi) sangat diperlukan untuk menyalurkan barang dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya. Karakteristik masing-masing komponen dalam setiap pernyaluran barang tersebut yaitu: 1. Pengumpul Bahan Baku Kegiatan yang biasanya dilakukan disini adalah barangbarang hasil pertanian maupun pertambangan yang kemudian harus diolah lebih lanjut. Kegiatannya bersifat kontinyu (berlanjut). Umumnya barang yang dijual adalah barang sejenis. 2. Pedagang Besar/Produsen Merupakan tahapan pengolahan bahan baku. Kegiatan pengolahanya pun bersifat kontinyu. Faktor yang berpengaruh pada tahapan ini adalah sumber bahan baku, kedekatan lokasi penghasil dengan bahan dengan pasar, jenis barang (mudah rusak atau tidak), dan aksesibilitas dalam penyaluran barang. 3. Pedagang Pengecer/Distributor Pada bagian ini, lokasi pedagang pengecer/distributor dapat tersebar dimana saja. Barang yang dijual dapat bervariasi dan cenderung berdekatan dengan lokasi konsumennya. Jumlah barang yang dijual relatif kecil, tidak seperti produsen. Jenis barangnya dapat berupa barang musiman, barang yang mudah rusak, ataupun barang tahan lama. 4. Konsumen Akhir Anggota yang menjadi konsumen akhir kebanyakan adalah pada tingkat rumah tangga atau perorangan.
1.6.4
Konsep Pergerakan dan Transportasi Permana (2003) menuliskan bahwa Everest Lee dalam bukunya yang berjudul Theory of Migration, menyebutkan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan
27
seseorang untuk melakukan pergerakan dan proses pergerakan tersebut dapat diadaptasi dari teori migrasi, yaitu: 1. Adanya faktor-faktor yang berada di daerah asal; 2. Adanya faktor-faktor di daerah tujuan; 3. Adanya penghalang antara; dan 4. Adanya faktor-faktor pribadi.
Pergerakan didefinisikan sebagai kegiatan perpindahan suatu barang atau manusia sehingga memunculkan perpindahan lokasi yang berbeda dari tempat semula ketempat yang dituju dan adanya aktivitas interaksi didalamnya. Pergerakan dapat diartikan sebagai pergerakan satu arah dari suatu zona asal menuju zona tujuan (termasuk pejalan kaki) dan dua arah (Tamin dalam Indrareni, 2013). Adanya aliran orang, barang, uang, dan jasa merupakan wujud dari adanya interaksi dalam suatu wilayah. Interaksi keruangan
dapat
terwujud
dari
perkembangan
pelayanan
transportasi sebagai sarana penghubung terwujudnya interaksi. Namun, transportasi bukanlah satu-satunya bagian dari interaksi dan perilaku spasial. Tanpa adanya transportasi pun, interaksi itu dapat saja terjadi dalam suatu ruang. Perencanaan transportasi didefinisikan sebagai suatu proses yang bertujuan untuk mencapai tujuan kaitannya dengan pengembangan sistem transportasi yang memungkinkan manusia atau barang berpindah tempat dengan aman, murah, efektif, dan efisien (Tamin dalam Sijabat, 2013). Interaksi salah satunya ditentukan oleh diferensiasi spasial. Namun, hal itu tidak mengartikan jika terdapat perbedaan yang semakin banyak, maka akan menghasilkan interaksi yang lebih. Beberapa wilayah terkadang mengalami surplus and shortage. Fenomena itu terjadi ketika salah satu wilayah memiliki surplus komoditas,
namun
wilayah
28
tersebut
sendiri
masih
membutuhkannya, sehingga wilayah tersebut tidak akan menjual komoditas tersebut dan cenderung lebih memikirkan dan mementingkan kebutuhan daerahnya. Perbedaan kepemilikan komoditas antar dua wilayah memiliki kecenderungan untuk melakukan interaksi, tapi beberapa kasus menunjukkan hal yang tak sejalan. Adanya satu wilayah surplus dan satu wilayah minus komoditas terkadang juga tidak terjadi interaksi karena beberapa alasan, misalnya ketidaksepakatan harga antara 2 (dua) belah pihak, faktor jarak yang jauh, kepercayaan, dan lain-lain. Dalam hal ini, supply dan demand bukan satu-satunya faktor yang berperan menciptakan interaksi. Aktivitas lokasi mempengaruhi perilaku dan aktivitas manusia yang meliputi pergerakan orang, barang, informasi, dan lain-lain. Setijowarno (2003) menyebutkan bahwa pergerakan orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain dapat dijelaskan dalam 3 (tiga) kondisi: 1. Pelengkap, relatif menarik antara dua atau lebih tujuan, 2. Keinginan untuk mengatasi jarak. Perpindahan yang diukur dengan waktu dan uang dibutuhkan untuk mengatasi jarak tersebut dan dibutuhkan teknologi terbaik untuk mencapainya, 3. Kesempatan intervensi berkompetisi di antara beberapa lokasi untuk memenuhi kebutuhan dan penyediaan.
1.6.5
Bangkitan dan Tarikan Pergerakan Bangkitan dan tarikan pergerakan merupakan besaran jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan tertentu dan yang tertarik ke suatu zona atau tata guna lahan tertentu (Ismadarni, 2012). Pergerakan yang dihasilkan dari adanya bangkitan dan tarikan pergerakan tersebut dapat dinilai dari pergerakan meninggalkan atau menuju ke suatu tata guna lahan (Tamin, 2000).
29
Pemodelan bangkitan dan tarikan pergerakan dimulai dengan membagi suatu wilayah kajian menjadi beberapa zona atau tata guna lahan (Tanan, 2009). Zona tersebut terbagi menjadi 2 (dua), yaitu zona internal dan zona eksternal. Zona internal berada didalam area wilayah kajian yang berpengaruh banyak dalam pergerakan yang tejadi dalam area wilayah kajian, sedangkan zona eksternal berada diluar area kajian yang sedikit berpengaruhnya. Pembagian zona menjadi zona internal dan eksternal sebagai zona asal dan zona tujuan mengakibatkan adanya pengelompokkan arus pergerakan. Tamin (2000) membagi arus pergerakan menjadi 4 (empat) tipe dalam suatu sistem jaringan seperti tertera pada Gambar 1.3. dan 1.4. dibawah ini.
Gambar 1.3. Definisi Bagian-bagian dalam suatu Sistem Jaringan (Sumber: Tamin, 2000)
30
Gambar 1.4. Tipe Arus Pergerakan (Sumber: Tamin, 2000)
1. Pergerakan eksternal-eksternal Zona asal dan tujuan tipe pergerakan ini berada di luar area kajian (zona eksternal). Namun, untuk mencapai zona tujuan, pergerakan ini akan menggunakan sistem jaringan yang berada didalam zona internal (dalam area kajian). Pelaku pergerakan dengan tipe ini sebenarnya tidak memiliki kepentingan pergerakan di zona internal, namun karena kondisi (efisiensi waktu dan biaya, tidak ada alternatif rute lain) mengharuskan untuk menggunakan zona internal ini untuk mencapai ke zona tujuan (eksternal). 2. Pergerakan internal-eksternal atau sebaliknya Pergerakan ini memiliki salah satu zona (asal atau tujuan) yang berada di luar area kajian (eksternal). Pergerakan tipe ini relatif tidak terlalu besar dibandingkan tipe pergerakan lainnya. 3. Pergerakan internal-internal Zona asal dan tujuan untuk tipe ini berada di dalam area kajian (zona internal). Tipe pergerakan ini menjadi hal paling utama dari berbagai perencanaan transportasi dalam proses peramalan pola pergerakan dimasa depan. 4. Pergerakan intrazona
31
Pergerakan tipe ini memiliki zona asal dan tujuan didalam satu zona internal tertentu. Karena titik awal dan akhir pergerakan berada pada satu zona yang sama (pusat zona), tipe ini disimpulkan bahwa sistem jaringan tidak akan terbebani pergerakan intrazona. Semakin luas ukuran suatu zona, maka volume pergerakan arus lalu lintas akan semakin tinggi.
Berikut diberikan ilustrasi tipe pergerakan oleh Robert (1974) dalam Mandala (2013) dengan pembagian yang sama seperti dikemukakan oleh Tamin (2000) terkait 4 (empat) tipe pergerakan didalam area kajian. Ilustrasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.5. dibawah ini.
Gambar 1.5. Tipe Pergerakan dalam Area Kajian (Sumber: Roberts, 1974 dalam Mandala, 2013)
Besaran bangkitan dan tarikan pergerakan dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, yaitu jenis tata guna lahan dan intensitas (banyaknya) aktivitas yang terjadi dalam suatu tata guna lahan. Jenis tata guna lahan yang berbeda akan menghasilkan jumlah bangkitan dan tarikan yang berbeda. Hal itu berkaitan dengan jumlah arus/pergerakan yang ada, jenis pergerakan (pejalan kaki, kendaraan motor, mobil, truk, dll), dan waktu pergerakan (sekolah ataupun kantor akan menghasilkan arus pergerakan pada pagi hari,
32
pertokoan atau perdagangan akan menghasilkan arus pergerakan di sepanjang hari) (Black, 1978 dalam Tamin, 2000). Semakin tinggi tingkat penggunaan lahan di suatu tata guna lahan, maka semakin tinggi pula pergerakan yang dihasilkan. Bruton, M. J (1970) dalam Tanan (2009) mengelompokkan faktor-faktor pengaruh terbangkitnya/tertariknya suatu pergerakan dari/ke suatu tata guna lahan tertentu, yaitu: 1) pola dan intensitas tata guna lahan dan perkembangannya di area kajian, 2) karakteristik
sosio-ekonomi
populasi
pelaku
pergerakan
(perjalanan) di area kajian, 3) kondisi dan kapabilitas sistem transportasi yang tersedia dan bentuk pengembangannya.
1.6.6
Survey Asal-Tujuan (Origin-Destination Survey) Menurut Austroads (1988) dan Robertson (1994) dalam Setiawan (2010), terdapat beberapa metode survey untuk mendapatkan data asal-tujuan untuk membuat MAT yaitu: 1. Roadside interviews, metode ini umumnya dipergunakan untuk mengetahui informasi mengenai pola perjalanan eksternal. Metode
ini
mempunyai
keunggulan
karena
surveyor
dimungkinkan untuk menanyakan kepada responden tujuan dari perjalanan, termasuk zona asal dan zona tujuan. Kelemahan dari metode ini adalah dalam penerapannya membutuhkan
bantuan
dari
petugas
kepolisian
untuk
menghentikan sejumlah kendaraan tertentu, sehingga akan mengganggu kelancaran lalulintas terutama jika surveyor kurang trampil dalam melaksanakan tugasnya dan berpotensi menyebabkan pelaku perjalanan memilih rute lain untuk menghindari kemacetan. 2. License plate surveys, metode ini sangat sederhana yaitu surveyor mencatat/merekam sebagian/seluruh plat nomor dan waktu kendaraan tersebut melintasi pos pengamatan. Salah satu
33
kelemahan metode ini selain akurasi pencatatan (jika dilakukan secara manual) adalah pengolahan data hasil survey berupa pencocokkan data pencatatan antar pos pengamatan. Umumnya tidak lebih dari 60% data plat nomor kendaraan yang dapat ditelusuri asal-tujuannya dengan metode ini. 3. Postcard/mail-back
surveys,
metode
ini
sesuai
kondisi
lalulintas yang padat sehingga tidak memungkinkan untuk menghentikan kendaraan terlalu lama untuk menanyakan beberapa pertanyaan kepada pelaku perjalanan, sehingga pelaku perjalanan hanya diberikan postcard untuk diisi terkait dengan tujuan perjalanan, zona asal, zona tujuan, dan sebagainya (umumnya sekitar 5 s/d 7 pertanyaan sederhana) dan selanjutnya postcard tersebut dikirim via pos atau dimasukkan dalam drop-box. Keuntungan metode ini adalah relatif hemat biaya dan tidak mengganggu kelancaran lalulintas. Kerugiannya adalah adanya potensi jawaban responden
tidak
konsisten/bias
dan
rendahnya
tingkat
pengembalian postcard. 4. Vehicle intercept method, metode ini sesuai daerah yang tidak terlalu luas/terbatas. Setiap kendaraan yang melewati pos pengamatan akan diberikan sebuah kartu dengan kode/warna tertentu yang akan diminta kembali pada saat pelaku perjalanan meninggalkan daerah studi dengan melewati pos pengamatan yang lain. Variasi dari metode ini adalah dengan menempelkan tanda (perekat) dengan warna tertentu pada bemper atau kaca depan kendaraan yang melewati pos pengamatan. 5. Tag-on-vehicle method, adalah variasi metode yang dapat dipergunakan
jika
lalulintas
padat
sehingga
tidak
memungkinkan menghentikan kendaraan terlalu lama dan terbatasnya jumlah surveyor untuk mencatat plat nomor kendaraan. Pelaku perjalanan hanya diberikan kartu khusus
34
pada saat melewati pos pengamatan dan mengembalikannya pada saat meninggalkan daerah studi dengan melewati pos pengamatan yang lain. 6. Headlight study or Lights-On study, adalah metode yang digunakan untuk mengetahui pelaku perjalanan berasal dari satu atau dua zona asal dan hendak menuju ke maksimum dua atau tiga zona tujuan yang terpisah sejarak sekitar 0,8-1,6 km. Ilustrasinya yaitu, kendaraan yang melewati salah satu pos pengamatan (jalan A) diminta untuk menyalakan lampu dan baru boleh memadamkan lampu setelah melewati pos pengamatan di jalan C dan D, sehingga surveyor pada pos pengamatan jalan C dan D dapat mencatat jumlah kendaraan yang berasal dari jalan A dan B.
1.6.7
Matriks Pergerakan atau Matriks Asal-Tujuan (MAT) Pola pergerakan menjelaskan bentuk arus pergerakan (kendaraan, penumpang, dan barang) yang bergerak dari daerah asal ke daerah tujuan dalam periode waktu tertentu. Matriks Pergerakan atau Matriks Asal-Tujuan (MAT) ini sering digunakan oleh seorang perencana transportasi untuk menggambarkan pola pergerakan tersebut (Setiawan, 2010). MAT adalah matriks berdimensi dua yang berisi informasi mengenai besarnya pergerakan antarlokasi atau antar wilayah tertentu (Sutrisni, 2014). Baris menyatakan daerah asal dan kolom menyatakan daerah tujuan, sehingga sel matriksnya menyatakan besarnya arus dari daerah asal ke daerah tujuan (Tamin, 2000). MAT dapat pula menggambarkan pola pergerakan dari suatu daerah kajian dengan ukuran yang beragam, seperti pola pergerakan kendaraan di persimpangan, dalam suatu perkotaan, maupun negara (Tamin, 2000).
35
MAT sering digunakan untuk pemodelan kebutuhan akan transportasi untuk daerah pedalaman, antarkota, atau perkotaan, pemodelan dan perancangan manajemen lalulintas baik di daerah perkotaan
maupun
antarkota,
pemodelan
kebutuhan
akan
transportasi di daerah yang ketersediaan datanya tidak begitu mendukung kuantitas maupun kualitasnya (misal di negara sedang berkembang), perbaikan data MAT pada masa lalu dan pemeriksaan MAT yang dihasilkan oleh metode lainnya, dan pemodelan kebutuhan angkutan barang multi-moda. Metode untuk mendapatkan MAT dikelompokkan menjadi dua bagian utama, yaitu metode konvensional dan tidak konvensional. Kedua metode tersebut dapat dijelaskan pada Gambar 1.6. berikut ini.
Gambar 1.6. Metode untuk mendapatkan Matriks Asal-Tujuan (MAT) (Sumber: Tamin, 2000)
1.6.8
Penggolongan Bahan-bahan Galian Bahan galian adalah unsur-unsur kimia mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-Undang Nomor 11
Tahun
1967
tentang
Ketentuan-Ketentuan
Pokok
Pertambangan). Dasar penggolongan bahan-bahan galian itu 36
meliputi adanya nilai strategis/ekonomis bahan galian terhadap Negara, sesuatu bahan galian dalam alam, penggunaan bahan galian bagi industri, pengaruhnya terhadap kehidupan rakyat banyak, pemberian kesempatan pengembangan pengusaha, dan penyebaran pembangunan di daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan Galian membedakan bahan galian menjadi 3 (tiga), yaitu: 1. Golongan Bahan Galian yang Strategis (Golongan A) Bahan Galian Strategis yang dimaksud disini adalah strategis untuk Pertahanan, Keamanan, dan Perekonomian Negara, diantaranya minyak bumi, gas alam, aspal, batubara, timah, nikel, dan bahan-bahan galian radioaktif lainnya. 2. Golongan Bahan Galian yang Vital (Golongan B) Bahan Galian Vital golongan ini adalah yang dapat menjamin hajat hidup orang banyak, misalnya besi, seng, mangan, belerang, tembaga, emas, perak, air raksa, dan logam langka lainnya. 3. Golongan Bahan Galian yang tak termasuk Golongan A dan B Golongan ini sangat berarti karena sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional. Golongan ini meliputi nitrat-notrat, pospat-pospat, asbes, mika, magnesit, batu permata, pasir kwarsa, batu apung, obsidian, marmer, batu tulis, batu kapur, granit, andesit, basal, tanah liat, dan pasir sepanjang tidak mengandung unsur mineral Golongan A dan B dalam jumlah berarti, ditinjau dari segi ekonomi pertambangan.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, tidak dikenal penggolongan bahan galian, namun pengelompokan dilakukan berdasarkan jenis usaha, yaitu usaha pertambangan mineral dan pertambangan batubara.
37
Pertambangan adalah sebagian/seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang (Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 4 Tahun 2013).
1.7.
Kerangka Pemikiran Pengembangan
wilayah
dilakukan
untuk
mewujudkan
pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, dan pemerataan pembangunan. M. L. Jhingan (1975) dalam Muta’ali (2011) menyebutkan bahwa salah satu ciri dari pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan arus barang,
modal,
dan
migrasi
yang
dapat
dilakukan
dengan
mengkombinasikan dan memanfaatkan potensi internal maupun eksternal. Potensi internal merupakan modal/kemampuan paling mendasar dan modal eksternal adalah aspek/sarana penghubung pencipta interaksi. Sejatinya, transportasi dapat menjadi agen dari pergerakan dan perubahan untuk memperbaiki atau mengadakan pelayanan transportasi untuk kebutuhan sosial ekonomi masyarakat. Transportasi sebagai faktor ekonomi memiliki arti bahwa dengan adanya transportasi tersebut, akan mengakibatkan peningkatan sarana dan rute ekonomi, aktivitas ekonomi, sampai akhirnya menyebabkan kesejahteraan ekonomi semakin membaik. Interaksi antar kelompok manusia, antar wilayah, atau antar kegiatan sebagai produsen dan konsumen menunjukkan adanya gerakan (movement). Produsen suatu komoditas atau barang pada umumnya terletak dalam sebuah lokasi tertentu, sedangkan para konsumen atau pelanggannya
tersebar
dengan
jarak
yang
berbeda-beda
dengan
produsennya. Interaksi dan gerakan sangat berkaitan dimana adanya interaksi disebabkan oleh adanya gerakan dan adanya gerakan juga muncul dari adanya interaksi (Bintarto, 1983). Kaitannya dengan transportasi adalah sebagai permintaan turunan dari adanya suatu interaksi
38
kegiatan dalam suatu tatanan ruang. Interaksi kegiatan dalam ruang tersebut dapat berupa pergerakan orang, uang, jasa, informasi, dan barang yang selalu memerlukan sarana prasarana sebagai sistem penghubungnya. Setiap wilayah memiliki ketersediaan komoditas atau potensi yang berbeda-beda sehingga mendorong terciptanya suatu interaksi yang pada akhirnya menciptakan aktivitas pergerakan, perpindahan, maupun perjalanan uang, manusia, informasi, jasa, energi, dan barang. Interaksi antar wilayah dapat disebabkan dari adanya permintaan dalam suatu wilayah dan pemenuh kebutuhan yang tersedia dari luar wilayah tersebut. Wilayah dengan surplus komoditas akan menjadi daerah pelengkap bagi daerah lain yang kekurangan komoditas sehingga membutuhkan supply dari daerah lain. Kondisi transportasi pun penting karena berkaitan dengan kemudahan (aksesibilitas) dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Adanya kejelasan pola pengangkutan dan distribusi keruangan suatu perpindahan barang sangatlah penting untuk mengetahui sejauh mana peran dari barang yang bepindah tersebut dalam memenuhi kebutuhan (supply) yang dapat diberikan oleh wilayah penyuplai ke wilayah demand-nya. Identifikasi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi identifikasi pola perjalanan angkutan material hasil tambang untuk menggambarkan pola pengangkutannya, identifikasi jumlah dan volume pengangkutan, dan tujuan perjalanan masing-masing moda angkutan
untuk
menganalisis
distribusi
keruangannya.
Kerangka
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.7. dibawah ini. Pola Pengangkutan Supply Origin
- Sejauh mana pemenuhan dan permintaan kebutuhan dari Kecamatan Cangkringan ini ke luar daerah - Faktor-faktor Pengaruh
Distribusi Keruangan - Jumlah Moda Angkutan dan Volume Pengangkutan Material - Daerah Asal dan Tujuan Perjalanan Feedback Gambar 1.7. Kerangka Pemikiran
39
Demand Destination
1.8.
Batasan Penelitian 1. Transportasi adalah suatu kegiatan untuk memindahkan orang dan atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan dibarengi oleh fasilitas yang diperlukan untuk memindahkannya (Hendarto, dkk, 2001:1). Transportasi berpengaruh pada biaya perjalanan dan waktu tempuh. 2. Interaksi dapat diwujudkan dengan aliran orang, barang, uang, jasa, dan perkembangan pelayanan transportasi sebagai sarana penghubung terwujudnya interaksi tersebut. 3. Interaksi keruangan adalah aktivitas yang dihasilkan dari adanya kegiatan kerjasama atau relasi antar wilayah dalam hal arus manusia, materi, informasi, dan energi (modifikasi pengertian interaksi keruangan dari E.L. Ullman, dalam Daldjoeni N (1992)). 4. Pola adalah perulangan fenomena atau kondisi yang terjadi pada suatu hal dengan membentuk suatu aturan yang sama. 5. Pengangkutan yaitu usaha pemindahan bahan galian dan hasil pengolahan dan pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat pengolahan/pemurnian (UU Nomor 11 Tahun 1967). 6. Pola pengangkutan menjelaskan tentang sebaran perjalanan yang dibangkitkan oleh sesuatu daerah atau zona lalu akan disalurkan ke seluruh daerah atau zona lain (Tamin, 2000). Cakupan kajian ini meliputi karakteristik sopir sebagai pengangkut material, jenis material yang diangkut, jenis dan status kepemilikan moda angkutan yang digunakan, waktu dan frekuensi perjalanan, dan rute perjalanan. 7. Angkutan adalah suatu alat berupa kendaraan yang digunakan untuk memindahkan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992). Dalam penelitian ini angkutan yang dimaksud adalah moda angkutan berupa truk angkutan barang. 8. Karakteristik pengangkutan barang yang diamati meliputi pergerakan barang berupa material pasir, batu, dan pasir batu (sirtu), serta pergerakan barang yang terjadi antar zona didalam suatu area wilayah
40
kajian, dari area wilayah kajian menuju keluar wilayah kajian, dan pergerakan dari luar area wilayah kajian menuju (masuk) kedalam area wilayah kajian, sedangkan pergerakan barang yang tidak diamati adalah pergerakan barang yang hanya melewati wilayah kajian. Batasan daerah tujuan perjalanan di klasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu, D. I. Yogyakarta-Jawa Tengah dan luar D. I. Yogyakarta-Jawa Tengah. 9. Survey Origin-Destination merupakan survey terkait asal dan tujuan suatu perjalanan (barang, uang, energi, informasi, manusia, jasa) yang dilakukan untuk menunjukkan asal dan tujuan perjalanan dan dituangkan dalam sebuah Matriks Asal Tujuan (MAT). Survey ini menggunakan metode roadside interviews. 10. Distribusi adalah persebaran benda di suatu wilayah geografi tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia). 11. Distribusi keruangan dalam penelitian ini dihasilkan dari analisis bangkitan dan tarikan pergerakan, yaitu besaran jumlah pergerakan dan volume pergerakan yang berasal dari suatu zona tertentu (asal perjalanan) dan yang tertarik ke suatu zona tertentu (tujuan perjalanan).
41