BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomena Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan bukti bahwa pemerintah belum mampu mengatasi masalah pengangguran di dalam negeri. Fenomena ini tampil sebagai solusi alternatif yang banyak peminatnya, ditandai dengan semangat menjadi TKI di kalangan angkatan kerja. Daya tarik untuk bekerja ke luar negeri cukup kuat. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa bekerja ke luar negeri penghasilannya lebih tinggi daripada bekerja di dalam negeri. Selain itu terbatasnya lapangan kerja di dalam negeri dan tingkat pendapatan ekonomi keluarga yang rendah, turut menjadi pendorong angkatan kerja mencari pekerjaan ke luar negeri. Berdasarkan laporan dari media cetak dan televisi, banyak tenaga kerja Indonesia (TKI) khususnya tenaga kerja wanita (TKW) yang mengalami kekerasan, fisik, pelecehan seksual, gaji yang tidak bayar, bahkan mengalami kematian. Resiko-resiko tersebut tentu sangat memprihatinkan, di satu sisi mereka adalah pahlawan keluarga bahkan “pahlawan devisa”, namun di sisi lain mereka menghadapi ancaman yang selalu mengintai, dari tempat penampungan sampai di tempat majikan. Baru – baru ini pemerintah Arab Saudi berencana mendeportasi 40.000 orang tenaga kerja asal Indonesia. Data terakhir dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat 118 kasus kekerasan terhadap TKI terutama TKW di Arab Saudi periode Januari sampai dengan Juni 2007 (Kompas, 9 Juni 2007). Dari Migrant Care melaporkan, sampai dengan bulan Agustus 2007 tercatat ada 121 TKI yang meninggal oleh berbagai sebab di luar negeri. Sebanyak 49 orang diantaranya bekerja di Arab Saudi. Migrant Care juga mencatat penempatan TKI hingga akhir tahun 2006 sudah mencapai 6,9 juta orang. Diantaranya 1,2 juta orang di Timur Tengah terutama di Arab Saudi. Dari jumlah tersebut 93% adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bekerja di sektor informal atau pembantu rumah tangga (PRT). Sedangkan dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat 4,9 juta orang TKI (Kompas, 30 Agustus 2007). Upaya pemerintah dalam perlindungan TKI terutama TKW
masih sangat minim. Padahal sebelum berangkat mereka
dipungut 15 USD atau 142.500,- (kurs Rp. 9.500,-) yang disebut sebagai dana
2
perlindungan dan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jika diasumsikan 600.000 TKI berangkat tiap tahun maka Negara telah menerima Rp. 85,5 miliar. Kontribusi lain yang lebih fantastik adalah TKI mengirim sedikitnya 6,5 miliar USD atau setara dengan 61,7 trilliun per tahun ke Indonesia. Nilai ini adalah 12,5% dari cadangan devisa Bank Indonesia yang sampai bulan Agustus 2007 mencapai 51,7 milliar USD atau Rp. 491,1 trilliun. Permasalahan yang menimpa para TKW 95% berasal dari dalam negeri. Mulai dari sistem perekrutan sampai penempatan calon TKW yang didominasi oleh calo/agensi yang sering menyalahi aturan atau prosedur yang berlaku. Diantaranya
memanipulasi
data
atau
dokumen.
Mereka
memanfaatkan
kelemahan calon TKW yang ingin bekerja ke luar negeri dengan gaji yang besar dan memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, namun kurang dalam informasi dan pengetahuan tentang prosedur untuk menjadi calon tenaga kerja ke luar negeri. Selain itu masalah yang menimpa para tenaga kerja Indonesia khususnya Tenaga Kerja Wanita (TKW) juga disebabkan oleh sebagian besar dari mereka tidak memiliki daya saing di pasar tenaga kerja di tempat kerja, karena mereka relatif tidak berkualitas. Hal ini dapat diukur dari profil tenaga kerja Indonesia antara lain: (1) tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan sesuai yang dibutuhkan jenis pekerjaannya; (2) tidak memiliki kepribadian yang tangguh, sehingga cenderung tidak dapat membawa diri; (3) tidak memiliki pengetahuan tentang hukum dan peraturan perundangan, setidaknya hukum dan peraturan perundangan yang menyangkut posisi dirinya sebagai tenaga migran; (4) tidak memahami budaya di tempat mereka bekerja; (5) tidak piawai menggunakan teknologi, misalnya peralatan elektronik yang sering digunakan di tempat mereka bekerja; (6) tidak menguasai bahasa yang digunakan mitra kerjanya (Wawa, 2005). Di tingkat lokal atau di kampung halaman tidak kurang masalah yang dihadapi oleh TKW. Diantaranya hubungan suami istri menjadi renggang bahkan berakibat perceraian, anak yang kurang kasih sayang dan terlantar atau tidak terurus. Disamping itu keluarga atau TKW sendiri menjadi konsumtif karena belum atau tidak mampu mengelola dan memanfaatkan hasil kerja mereka selama diluar negeri. Misalnya untuk kebutuhan yang lebih produktif atau bernilai ekonomis, misalnya untuk usaha atau menjadi tukang ojeg (Kompas, 9 Juni 2007).
3
Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan upaya perlindungan atau advokasi melalui program pemberdayaan dari semua pihak yang terlibat di dalam proses pemberangkatan dan penempatan calon TKW. Dalam hal ini dimulai dari unit yang paling kecil yaitu individu, keluarga dan yang utama adalah organisasiorganisasi sosial baik formal maupun informal yang ada ditingkat lokal baik yang berasal dari bentukan pemerintah maupun masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat. Yayasan Pusat Pengembangan Sumber Daya Perempuan (PPSW) merupakan salah satu LSM yang peduli dengan masalah – masalah tenaga kerja perempuan membentuk kelompok mantan TKW di desa Cibaregbeg. Tujuan utamanya adalah pemberdayaan perempuan melalui program pengorganisasian masyarakat dan pengembangan ekonomi berupa arisan kelompok. Pengurus dan anggotanya terdiri dari mantan tenaga kerja wanita luar negeri yang diorganisir dalam sebuah kelompok, karena saat ini tidak atau belum mempunyai keinginan bekerja kembali bekerja ke luar negeri dengan alasan tertentu. Pola pendekatan pemberdayaan melalui kelompok banyak dilakukan lembaga pemerintah maupun LSM. Salah satu alasannya adalah kelompok dapat menjadi alat untuk mencapai tujuan. Individu yang ada di dalam kelompok diorganisir, kemudian secara perlahan akan menjadi kekuatan kelompok yang dapat dijadikan alat perubah di tengah masyarakat. Kelompok juga dapat dijadikan wadah untuk pembelajaran, tukar informasi, pengalaman dan pengetahuan. Artinya kelompok dianggap sebagai alat atau media efektif untuk mewujudkan gagasan atau ide dalam bentuk kegiatan di tengah – tengah masyarakat. Namun dalam beberapa kasus terdapat pula kelompok yang tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Tidak sedikit kelompok yang telah dibentuk mengalami masalah dalam melaksanakan kegiatannya. Hal ini disebabkan karena lembaga pendamping yakni pendamping kelompok masih menggunakan pola instruktif (tidak dialogis) dan memandang kelompok sebagai sekumpulan orang – orang yang lemah, pasif, dan tidak mempunyai pengetahuan. Hal ini dapat dilihat pada proses pembentukan kelompok dengan modal desain konsep (pembentukan kelompok secara manual baik fungsi dan tanggung jawab kelompok) yang diatur sedemikian rupa oleh pendamping kelompok. Pada langkah terakhir dipilihlah beberapa anggota masyarakat yang sesuai dengan kriteria lembaga pendamping untuk menduduki posisi tertentu dalam kepengurusan kelompok. Selanjutnya anggota yang lain tinggal menyetujui pengurus yang telah ditunjuk oleh lembaga
4
pendamping dalam hal ini pendamping kelompok. Hal yang positif dalam proses pembentukan kelompok seperti ini relatif cepat, karena semua tata caranya telah diatur dalam lembar manual atau buku pedoman. Dalam pelaksanaan kegiatan biasanya kelompok seperti ini akan selalu berkonsultasi dengan pendamping kelompok dan bersifat menunggu perintah. Apabila hal ini terjadi maka kekuatan individu dalam kelompok maupun kelompok itu sendiri sulit berkembang. Transformasi pengetahuan dan ketrampilan pun tidak lagi menjadi kekuatan bersama. Akibatnya bukan keberdayaan dan kekuatan kelompok yang dihasilkan, melainkan ketergantungan kelompok kepada lembaga pendamping khususnya pendamping kelompok yang semakin besar. Selain itu status kelompok informal juga turut melemahkan kelompok karena kelompok dibentuk hanya didasarkan pada kepentingan dan pengalaman yang sama. Kelompok tidak didukung oleh peraturan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga tertulis. Walaupun ada pembagian peran dan tugas, norma pedoman tingkah laku anggotanya, tetapi tidak dirumuskan secara tegas. Jadi kelompok informal merupakan suatu kelompok yang tumbuh dari proses interaksi, daya tarik, dan kebutuhan – kebutuhan seseorang. Anggota dan pengurus tidak diangkat atau dilegalisasi dalam suatu pernyataan formal. Keanggotaan lebih ditentukan oleh daya tarik bersama dari individu dan kelompok. Demikian pula dengan kelompok mantan TKW luar negeri yang dibentuk oleh yayasan PPSW di desa Cibaregbeg. Proses perekrutan, pembentukan, kelompok, dan penyusunan pengurus kelompok serta kegiatan kelompok masih bersifat intruksi. Artinya semua masih berdasarkan arahan dari pendamping kelompok, sehingga ketergantungan kelompok dengan pendamping masih tinggi. Adapun kegiatan kelompok mantan TKW ini antara lain: (1) pengorganisasian masyarakat melalui pertemuan kelompok yang dilaksanakan setiap minggu kedua setiap bulan. Dalam kegiatan ini dilakukan diskusi kelompok dengan tema yang berbeda sesuai dengan masalah yang aktual di sekitar mereka. Namun jumlah anggota yang hadir dalam kegiatan ini masih minim dan antusias dalam mengikuti kegiatan juga rendah; (2) pengembangan ekonomi kelompok melalui arisan anggota yang dilaksanakan seminggu sekali setiap hari Kamis sore. Untuk kegiatan arisan masalah yang dihadapi adalah kesadaran anggota
dalam
membayar iuran dan kehadiran yang bagi anggota yang sudah mendapatkan uang arisan akan malas untuk menghadiri pertemuan. Atau yang meminjam uang kelompok dan belum membayar pinjamannya akan malu untuk hadir. Hal ini
5
menunjukan sebagian anggota maupun pengurus kurang bertanggung jawab dalam melaksanakan kesepakatan bersama dalam kelompok. Kurangnya tanggung jawab dan kesadaran anggota dan pengurus mengakibatkan kegiatan kelompok menjadi terhambat. Berdasarkan hasil evaluasi program terhadap kelompok mantan TKW di desa Cibaregbeg, terdapat masalah antara lain sumberdaya manusia baik anggota maupun pengurus. Pengalaman dalam berorganisasi dan kurangnya ketrampilan yang dimiliki berpengaruh pada rendahnya kemampuan pengurus dalam mengelola kelompok, kepemimpinan ketua kelompok, kerjasama dalam kelompok, dan kemampuan membangun jaringan kelompok. Demikian pula dengan motivasi dan partisipasi anggota dan pengurus dalam kegiatan kelompok masih rendah. Artinya kapasitas anggota dan pengurus dalam hal ini masih rendah yang akan berpengaruh pada kapasitas kelompok. Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan pokok kajian ini adalah “ Bagaimana Strategi Penguatan Kapasitas Kelompok mantan Tenaga Kerja Wanita luar negeri”. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan pertanyaan pokok kajian tersebut diatas, maka dapat dirinci dalam beberapa pertanyaan, yaitu : 1. Bagaimana kapasitas kelompok mantan TKW di Desa Cibaregbeg? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi kapasitas kelompok mantan TKW luar negeri di desa Cibaregbeg? 3. Strategi dan program apa yang dapat dikembangkan dalam rangka penguatan kapasitas kelompok mantan TKW luar negeri ? 1.3. Tujuan Kajian 1. Mendeskripsikan kapasitas kelompok mantan Tenaga Kerja Wanita luar negeri di desa Cibaregbeg 2. Mengidentifikasi faktor apa saja yang mempengaruhi kapasitas kelompok mantan Tenaga Kerja Wanita luar negeri 3. Menyusun strategi dan program penguatan kapasitas kelompok mantan Tenaga Kerja Wanita luar negeri